Hopeless Part 2

Percikan air yang kubasuhkan pada kemejaku malah menambah parah noda tintanya. Entah kenapa hari ini aku sungguh sial, nabrak orang, kena malu dan yang terakhir tadi itu bener-bener sikap yang bodoh ‘..sepertinya anda tak asing’ tentu saja Vi! Dia direktur kita!

“Urgh…” aku putus asa. Kubiarkan saja lingkaran hitam di kemejaku. Aku memakai kembali jasku dan mematut diri di depan cermin kamar mandi. Hmm… tak begitu kentara kok. Pena yang patah tadi kutaruh pada kantong plastik supaya tintanya tak menyebar kemana-mana. Tapi sebelumnya aku memeriksa merknya, D’lighter. Aku belum pernah mendengarnya. Akan kutanyakan nanti di toko buku langgananku sepulang kantor nanti.
“Penanya patah bu?” ada suara yang tiba-tiba muncul.

“Eh iya…ini. Tadi jatuh terus keinjek.” Jelasku. “Design kemasan permen kopi yang baru udah selesai belum Yun? Dead line-nya 2 hari lagi lo.” Kuingatkan Yuni pada tugasnya.
“iya iya… udah selesai 80% tinggal dikit lagi kok. Nyante aja bu..”
“ya udah, jangan di toilet lama-lama.” Aku meninggalkan Yuni yang masih memoleskan bedak pada wajahnya.

Sekembalinya aku ke ruanganku di dalam rupanya ada Gio yang telah menungguku. Gio itu sekretarisku, yah aku tak berharap sekretarisku pria tapi mau gimana lagi, yang ada cuman dia. Apalagi dia kadang slengekan bikin keki, kalau bukan temen udah kuminta tuh HRD buat gantiin dia, dan lagi aku sudah ‘terlanjur’ akrab dengan tunangannya. Bisa-bisa Naya ngamuk kalau aku ngapa-ngapain si Gio

“Darimana?”

“Toilet.”

“Ini beberapa berkas yang minta persetujuan, dan ini..” dia menyisihkan map warna kuning.

“Akan ada pengenalan produk baru di luar kota. Kau diminta jadi pembicara lagi.”

Kubuka map kuning itu dan memindainya. Bogor, pembalut wanita, 10 Juli, hmm.. berarti sekitar dua minggu lagi.

“Tapi sepertinya gwe gak bisa nemenin elo deh Vi, soalnya..”

“Persiapan pernikahan?” potongku.

“Hmm..yeah..” dia menjawab malas-malasan.

Bibirku tertarik ke atas. “Jadi kau akan segera resmi jadi keluarga Kusuma.” Kanaya Lastri Kusuma adalah tunangan Gio sejak setengah tahun lalu dan sebentar lagi mereka akan menikah. Tunangannya adalah cucu kesayangan pemilik perusahaan periklanan nasional yang sangat mumpuni. Perusahaan kami juga terkadang bekerja sama dengan perusahaan periklanan tersebut. Naya, panggilan akrabnya adalah seorang yang cukup aktif mengurusi bisnis kakeknya dan dia juga memegang saham yang cukup besar. Besar kemungkinan dialah yang meneruskan bisnis keluarga kusuma. Awalnya aku tak menyangka si cucu emas ini sangat manja minta ampun, padahal yang kudungar dari selentingan tetanggak sebelah, gedung periklanan milik keluarga Kusuma, dia adalah orang bertangan dingin.

Gio juga tersenyum. Matanya memancarkan sesuatu yang sulit kumengerti. Apakah itu kebahagiaan? Ah aku sudah lupa apa itu bahagia. Itu satu hal omong kosong untukku.

.
.
.

“Yang merk ini gak ada bu.” Seorang pelayan yang kutanyai memperhatikan merk pena yang kutanyakan padanya. Dia mengembalikan pena atau bisa dibilang serpihan pena tersebut padaku.

“Emm.. kira-kira dimana ya aku bisa mendapatkannya?” kupikir aku bisa mendapatkan pena itu di sini, di toko buku langgananku. Padahal menurutku toko ini juga cukup lengkap selain menyediakan buku ada peralatan tulis dan peralatan kantor lainnya.

“Gini aja bu, kita cariin aja dulu kalau udah ada kita hubungin gimana?”

Rrr…rrr…

Ponselku bergetar. “sebentar.” Aku agak menjauh ke tempat yang agak sepi.

“Hallo Gi?”

“Vi, ada kabar bagus buat lo..” suara Gio memekakkan telingaku. Segera kujauhkan ponselku dari telinga.

“Kabar bagus apaan, lo dimana sih, rame banget tau!” suara berisik dan teriakan-teriakan tak jelas mendominasi panggilan Gio.

“Tempat futsal, aku udah nemuin tempat tinggal sementara buat lo. Nanti lo siap-siap aja, ntar gwe jemput.”

“Serius nih?!!!” yeah..akhirnya masalah terpecahkan juga.
Bersyukur deh punya temen yang bisa diandalkan. “Ok..ok..makasih Gio, nanti kuhubungi lagi, by the way ntar malem gwe traktir lo dinner deh..”

“Ok bu manager…see u tonight beib..”

Tutt..tutt..tutt..

Suara sambungan terputus terdengar setelah candaan dari Gio yang belum sempat kubalas. Dan aku kembali pada mbak-mbak pelayan yang kutanyai mengenai pena tadi.

“Iya mbak, gitu juga boleh aku tinggalin nomor aja nanti kalau udah ada dihubungin aku juga pelanngan sini juga kok jadi kemungkinan aku sering ke sini.” Kucatat nomorku di atas kertas note warna merah jambu.
“Makasih ya mbak.”

“Sama-sama bu”
.
.
.

“Lo mau ngebunuh gwe Gi!! Gila lo.” Nada delapan oktafku keluar gara-gara tindakan Gio yang sembarangan.

“Ya..bukan gitu. Cuman ini sekarang yang bisa kita lakukan. Yah mungkin sebulan lagi ada jalan keluar lainlah.”
“Ya gak gitu juga kali. Masak gwe disuruh tinggal sama cowok sih.. tau gitu gwe tinggal ama elu aja.

Arghhh..kenapa tadi lo ga bilang kalo gwe disuruh numpang rumah orang sih…. Dan itu direktur kita yang tadi, gwe masih malu tau!!” tentu aja aku masih malu gara-gara insiden tinta tadi. Dan ketidak kenalanku terhadapnya. Rasanya tadi mau nyungsep ngilang di balik tembok aja. Memalukan.

“Sekarang mau gimana lagi, lo udah ngemasin barang udah chek out pula.” Aku baru saja keluar hotel dan sekarang berada di parkiran dimana aku baru saja diberitahu ‘kabar bagus’ dari Gio. “Gak papa kok, dia sendiri yang bilang mau bantu elo, katanya dia pernah dibantu sama elo.”

“Kapan gwe bantuin dia…” kataku gemas.

“Mana gwe tau, ah udahlah keburu malam nih. Lo coba aja dulu.”

“Coba-coba, lo pikir apaan. Dia itu cowok dan gwe itu cewek, masak tinggal serumah sih!” ergh.. si Gio bener-bener kurang ajar nih. Dia pikir aku ini tikus percobaan yang ditempatin di kandang macan. Udah dipastiin end lah.

“Jangan dengerin kata orang..”

“Elo bisa ngomong gitu, iya kalo kata orang salah. Tapi kalo tiba-tiba ada kecelakaan..” aku bergidik ngeri.

“Trus mau lo sekarang gimana??” Gio putus asa pada pendirianku. Aku agak kasian sih, dia udah berusaha membantuku. Tapi caranya yang salah.

“Ah…gwe juga gak tau… masak gwe harus chek in lagi, tau gini kan tadi gak usah keluar dulu, biayanya bisa nambah bengkak.oh shit…shit..shit…” aku tak tahan lagi untuk tidak mengumpat.

“Vi..” suara Gio semakin mengkeret.

“Ah, baiklah.. ayo kita ke rumah temanmu.” Kataku mengalah.

“Beneran ni?” raut wajah Gio yang semula lesu tampak ceria lagi kini. Sialan dia. “Ok, sekarang masuk mobil dan ikuti aku. Kau akan suka tempatnya.” Entah apa kadang seleraku dan Gio agak berbeda. Dan tempat menyenangkan sepertia apa yang dibilang Gio itu.

Kuturuti perkataan Gio. Aku mengikuti mobil suv hitam miliknya dengan pelan keluar dari tempat parkir hotel menuju jalan raya. Hidupku sudah kacau, dan sekarang tambah kacau lagi. Cuman gwe kayaknya yang bisa ngejalanin hidup kayak gini.

Tak berjarak jauh dari hotel, Gio berbelok di sebuah tikungan. Kuputar stir mobilku mengikutinya. Ada gapura besar dengan ornamen seperti stupa candi. Dengan plang besar bertuliskan KANOMAN REAL ESTATE. Agak menyeramkan menurutku. Kami telah melewati beberapa rumah, jarak satu rumah dengan yang lainnya.err..sangat jauh. Kuperiksa kecepatanku, 30km/jam, tiap rumah sekitar 5-8 detik, jadi…kira-kira 35-45 meter, gila nih.. berapa harganya ya per unit. Bener kata Gio, bisnis property sepertinya sangat menjanjikan.

“Shit..” hampir saja kutabrak mobil si Gio. Saking asyiknya memandangi rumah dan melamun memikirkan harga property yang membumbung aku tak memperhatikan suv hitam Gio telah berhenti. Gio sendiri udah turun dan melambai padaku. Aku mengangguk dan segera turun dari mobil dan membawa barang-barangku.

“Gimana? Bagus ga?” tanyanya sambil berjalan melintasi pekarang yang uh.. sangat luas. Buat apa coba punya pekarangan begini luas, apa ga repot ngurusnya. Emm.. tapi kalau rumah segede gini pasti ada pemantunya dong! Jadi.. aku gak bakalan tinggal berdua doang nih.

“Lumayan.” Kataku datar. Kusejajarkan langkahku dengan Gio, sangat repot membawa banyak barang. Sepertinya dia gak sabar banget pengen nyampe rumahnya Rei. Harusnya kan aku.

Kami meletakkan barang bawaan begitu sampai di depan pintu. Gio menekan bel berbentuk ketukan pintu dengan ornamen harimau yang sedang mengaum memperlihatkan taring-taringnya. Tak berselang lama pintu  dibuka dari dalam.

“Hai gi! Masuh gih” Rei, dengan polo shirt dan celana pendeknya muncul dari balik pintu.

“Ayo Vi.” Aku mengangkat kembali barang bawaanku dan mengekor Gio.

“Udah disiapin kamarnya, barangnya langsung bawa masuk ke kamar aja.” Kami melewati ruang tamu dan masuk ke ruang keluarga yang sangat luas disitu ada dua tangga yang melengkung menuju ke atas. “Pintu dekat tangga yang kanan.” Rei mengintrupsi.
Aku dan Gio memasuki ‘kamar baruku’. Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling. Cukup luas, ada sebuah pintu di dalam, kupikir itu kamar mandi. Untunglah, aku tak akan berbagi kamar mandi dengan siapapun. Kami meletakkan barang-barang di dekat almari.

“Haha..gwe pasti sudah gila menerima bantuanmu ini.” Kelakarku.

“Udahlah Vi..”

“Iye..iye.. bercanda kok”

“Apa masih ada yang lainnya?” Rei menyambangi kami.

“Cuman ini kok.” Kataku. Ah, aku tak percaya ini. Menumpang tinggal di rumah direktur sendiri, mana ada pegawai yang seperti itu. Tapi sudahlah. Ini juga gak akan selamanya kok, hanya sementara Vi.. paling lama sebulan lagi kau pasti menemukan tempat tinggal yang cocok. Dan tentunya segera pindah dari sini.

“Kita keluar dulu.” Ajaknya. Aku dan Gio mengikutinya ke ruang keluarga. Kuperhatikan seluruh bagian ruangan itu. Marmer hijau tua yang serasi dengan cat tembok warna hijau pupus. Kursi kayu ukir yang terletak di tengah ruanganpun menambah asri pemandangan. Buffet besar berisi barang-barang pecah belah yang antik, emm.. beberapa trofi penghargaan dan pernak pernik lainnya. Beberapa lukisan dan hiasan tergantung di dinding menambah mewah ruangan ini.

“Aku langsung pulang aja ya, udah agak larut nih..” sialan nih si Gio main pamit pamit aja.

“Ga duduk dulu gi?” Tanya Rei.

“Capek bro, lo gak capek apa habis maen futsal tadi.”

“Cuman segitu doang..”

“Ya udah, gwe pamit dulu. Nitip bu manager ya..” aku pasti akan memkulnya membabi buta seandainya Rei gak ada disini.

“Haha, tenang aja. Dia aman kok sama gwe.” Yeah obrolan anak cowok, apa mereka gak nganggap aku ada disini kali ya.

Tanpa basa basi lagi Gio meninggalkan kami berdua. Dan sebenernya aku belum siap untuk momen saat ini.

“Kau pasti juga lelah, tidurlah. Besok bibi akan membereskan barangmu. Kalau kau perlu apa-apa kamarku ada di atas, pintu paling pojok kanan”

“Baik.” Aku melangkah menuju kamarku dan Rei juga naik ke kamarnya. Tapi tiba-tiba aku ingat sesuatu yang sedari tadi ingin kutanyakan. “Tunggu Rei.”
“Ada apa” Rei mematung di tengah tangga.

“Gio bilang kau mau membantuku karna aku pernah membantumu. Tapi.. aku tak pernah merasa telah membantumu sama sekali.” Entah aku yang lupa atau Rei yang salah orang. Aku ingin segera mengetahuinya.

“Oh itu, kau tak ingat ya? Ah.. tentu saja kau tak ingat.” Rei sedikit terkekeh. “Waktu seminar di bandung beberapa bulan lalu. Kau yang mengembalikan file terhapus yang ada di laptopku. Ingat?”

Otakku mencoba berputar mencari memory itu. Tapi dasar. “Hmm.. entahlah, aku belum ingat haha.”
Urusan mengingat atau menghapal sesuatu memang aku agak dapet nilai jeblok, bahkan aku sering lupa nama dari sepupu-sepupuku.

“Mungkin besok kau akan ingat, tidurlah.” Rei kembali menaiku tangganya dan aku juga masuk ke kamar.

Sebelum tidur, kusempatkan mengisi buk harian warna biru navyku. Menuliskan beberapa kalimat tentang kejadian beberapa hari ini.

Kanoman, 24 Juni 2014

Merangkak dari awal. Hanya butuh beberapa hari untuk dapat tempat tinggal baru. Dan untuk sementara tinggal serumah dengan calon presdir. Sungguh menggelikan. Tapi tak apa. Kuharap segera menemukan tempat yang cocok. Dan aku akan mengumpulkan uang untuk ‘membahagiakan’ hidupku.

TBC

Related Posts:

Hopeless Part 1



Ini, tabungan dan deposito yang bisa kau gunakan Vi.” Ayahku. Ayah kandungku sendiri menyerahkan buku tabungan dan deposito untukku. Ini bukan hadiah ulang tahun atau hadiah kelulusan atau semacamnya. Dia memberiku itu untuk mengusirku. Yah mengusirku dari rumah yang selama 24 tahun aku huni bersama keluarga tercintaku. “aku percaya kau bisa mandiri di luar sana Viona..” aku masih tak menggubris kata-kata ayah. Aku hanya duduk bersedekap sambil menatap tajam ayah. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Oh.. ayolah harusnya aku yang menangis bukannya kau!

Aku mengambil buku tabungan itu dan masuk ke kamar. Ku kemasi semua  barang secepat mungkin. Pakaian, make up, aksesoris dan yang lainnya. Terakhir aku memasukkan foto ibu. Aku memandanginya sesaat sebelum kumasukan ke dalam koper. “Seandainya saja kau masih ada di sini. Ini semua tak akan terjadi padaku atau pada ayah..” aku bergumam lirih.

Aku pergi tanpa berpaling lagi. Aku tak mau menyisakan kenangan pada rumah itu. Rumah yang terletak di perumahan yang cukup asri dimana aku tumbuh dan dibesarkan oleh dua orang tua yang sangat menyayangiku hingga semuanya terenggut dariku dalam sekejap. Ibuku meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Itu sudah cukup mengguncang hidupku. Dia adalah ibu terbaik di dunia, istri peyayang, peri bagi aku dan ayah yang dikirim oleh Tuhan untuk mengurus kami sekeluarga. Sampai hari ini aku masih merasa kehilangan dirinya. Namun itu bukanlah yang terburuk. Ada seorang wanita yang datang ke kehidupan keluargaku. Ayah memperkenalkannya 4 bulan setelah ibu meninggal. Hati anak mana yang tak sakit ketika baru saja ibunya meninggal kemudian ayahnya mengenalkan seorang wanita padanya? Tentu aku langsung tak setuju dan memberikan tanggapan yang buruk padanya. Sebulan setelahnya dia menikah dengan ayah. Setelah itu aku tak bicara sepatah katapun pada ‘ibu baru’ku itu. Rupanya dia juga membalas perlawananku.

Aku tak tahu kegilaan apa yang terjadi pada hidupku sampai-sampai ia berhasil membujuk ayah untuk mengusirku. Dan ayah termakan omongannya. Entah kenapa ayah begitu mencintainya. Aku masih tak mempercayainya. Dia sama sekali tak bisa dibandingkan dengan ibu, seinchipun ia tak sebanding dengan ibu.

Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Sepertinya aku harus cepat menemukan tempat tinggal sementara. Aku sudah menduga ini terjadi karna beberapa hari belakangan perang dingin antara aku dan wanita sialan itu semakin menjadi. Hanya aku tak menyangka ia berhasil menghasut ayah secepat ini. Aku belum punya rencana apapun saat ini.

Hotel Jullian pak.” Aku mengintrupsi supir taksi yang kupesan. Tinggal di hotel untuk sementara waktu, tak ada pilihan lain.

Baik neng.”
.
.
.

Hotel Jullian, 21 Juni 2014

Mulai besok aku akan memulai hidup baru. Aku sudah tak peduli pada masa laluku. Semuanya sudah berakhir. Jika aku tak ingin gagal, maka secepatnya aku harus bangkit. Dan hari ini semuanya sudah jelas, di dunia ini tak ada yang namanya cinta atau kasih sayang, yang ada hanyalah nafsu belaka. Manusia sama sekali tak punya cinta seperti yang mereka gembar gemborkan. Semuanya hanya berasal dari nafsu mereka saja.

Kututup buku harian berukuran 20x25 cm yang baru saja kuisi di atas ranjang salah satu kamar hotel yang untuk sementara aku tinggali. Kemudian kuletakkan di nakas dekat ranjang yang kini kubaringi. Aku hanya berencana tinggal di hotel ini selama beberapa hari, mungkin paling lama 5 hari sampai aku menemukan tempat tinggal dekat kantorku. Aku harus mendapatkan yang paling dekat karena lalu lintas menuju tempat kerjaku sungguh sangat gila. Setiap pagi pasti aku harus bergulat dengan kemacetan. Itu hampir membuatku stres. Apalagi dengan peraturan ketat dari kantorku yang siap memotong gaji tiap menitnya jika ada yang terlambat. Padahal jam masuknya pukul 8.15.

Aku sudah menghubungi temanku untuk mencarikan sebuah tempat tinggal. Kalau ada rumah yang disewakan aku sangat bersyukur, tapi kalau cuman kos-kosan tak apalah. Mungkin aku bisa tinggal selama 1-2 tahun sampai aku bisa mengumpulkan uang dan membeli sebuah rumah. Tujuan hidupku kedepan adalah uang. Bukan hal lainnya. anggap aku cewek matre, silahkan, itu terserah kalian. Dengan uang aku bisa melakukan apapun. Mendapatkan apapun.

Sambil terus memikirkan rencana-rencana masa depan, mataku mulai tertutup rasa kantuk. Aku sempat melirik jam digital yang ada di nakas menunjukkan pukul 23.30 sebelum akhirnya aku terlelap.
.
.
.

Pagi bu Viona..” sapa salah satu resepsionis bernama Wanda. Aku hanya membalas sapaannya dengan sebuah senyuman tipis. Aku melangkah menuju lift yang akan mengantarkanku ke lantai 9 letak ruanganku berada. Aku bekerja sebagai seorang manager pemasaran di sebuah perusahaan brand  yang cukup punya nama. Cukup berat memang, tapi uang yang kuhasilkan juga lumayan.

Vi, kenapa kau mau pindah? Bukankah tempat tinggalmu udah cukup dekat dengan kantor ini?” aku berpapasan dengan temanku Gio saat masuk lift. Dan dia langsung menanyaiku perihal bantuan yang kuminta padanya.

Aku diusir” ucapku enteng.

What?? Becanda lo gak lucu.” Cemohnya.

Aku memandangiya dengan wajah datar. “Is it looks like a joke honey???” aku memanggilnya sayang bukan karena apa-apa, hanya kebiasaan bercanda di tempat kerjaku seperti itu.

Ting.. lift telah sampai di lantai 9. Aku bergerak ke luar diikuti Gio meninggalkan beberapa orang di dalam lift yang akan menuju ke lantai bagian atas.

Apa kau hamil??” bisiknya padaku. Tapi beberapa orang mempunyai telinga yang tajam sehingga langsung menatap pada kami. Spontan aku memukul perutnya dengan beberapa map yang kubawa.

Keep your moth!!”

Hei..hei.. pagi-pagi pasutri udah berantem aja nih.” Celetuk salah seorang pegawai tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar monitor.

Plak. Satu bogeman mapku juga melayang di kepalanya.

Kau juga Fan! Jangan asal bicara. Pasutri dari mana, bisa-bisa aku dipenggal sama bu direktur tetangga sebelah.” Yah, Gionino Alamsyah adalah tunangan seorang direktur muda di perusahaan lain. Aku sering bercanda dengan mengancam akan membunuhnya jika dia membocorkan rahasia perusahaan kami pada tunangannya itu. “Kembali bekerja.” Ujarku pada Fandi.

Ibu Viona pikir yang aku lakukan dari tadi itu apa? Nyetrika baju? Yaelah ini juga lagi kerja ibu managerku tersayang….” Hari kerjaku sepertinya akan berjalan dengan lancar. Ini cukup melegakan. Karena aku tak mau terbawa emosi hari kemarin. Kesibukan kerja akan cukup menyita seluruh tenaga hingga aku tak lagi perlu berpikir tentang keluarga memuakkan

Aku memeriksa beberapa dokumen yang masuk di email. Laporan pejualan minggu lalu, hasil rapat pemegang saham ahh itu nanti saja, emm..data produk baru. Ini yang langsung kuperiksa.

Tok tok tok.

Masuk.”

Rupanya Gio.

Serius nih lo diusir dari rumah?” sambil menarik kursi di depan mejaku dia langsung bertanya ingin tahu. “kok bisa gitu sih?”

Bisalah, namanya juga manusia.” Aku malas diinterogasi olehnya. Apa aku harus menceritakan detail memuakkan itu lagi? Tidak!

Busyet dah.. kalo lo ga mau ngasih tau alasannya gwe juga males kali mau bantuinnya.” Tangannya bersedekap dan wajahnya ditekuk

Jalang sialan itu berhasil membujuk ayah gwe untuk mengusir gwe dari rumah, paham?” aku mediktenya. Sepertinya dia tak enak mendengar jawaban dariku. Wajahnya menunjukkan keprihatinan dan kekikukan, mengusap tengkuknya.

Ohh..” setelah beberapa detik dia angkat bicara. “Kok lo gak keliatan sedih atau gimana gitu sih.

Aku menggeram padanya. “Trus gwe harus nangis-nangis bombay memohon buat gak diusir gtu? Najis” beri aku satu milyar dan aku akan menolak jika harus memohon pada si jalang itu.

Iya..iya… gwe ngerti.” Gio yang mendapatiku mulai naik darah pun undur diri. “Nanti aku akan hubungin semua kenalan yang bisa bantu.” Tambahya sebelum keluar ruanganku.
.
.
.


Aku keluar dari mobil yang kuparkirkan di tingkat dua ketika ada sebuah mobil yang mengklaksonku.

Dinn..din…

Aku melongok mobil siapa. Gio. Kutunggu dia memarkir mobil.

Pagi Vi! Mobilmu udah beres ya?”

“Hem..” kepalaku mengangguk pelan. Yah tau deh tuh mobil udah beres beneran pa enggak, 3 hari nginep di bengkel. Sejak aku beli beberapa bulan lalu udah masuk bengkel 3 kali lebih. Ah! Aku tak pandai memilih otomotif. Seharusnya aku tanya seseorang terlebih dulu. Mobil volks wagen bekas berwarna kuning mencolok. Entah kenapa aku menyukainya saat pertama kali nelihatnya. Dan tanpa berpikir panjang aku membelinya. Sungguh bodoh. Lebih parahnya aku membayar dengan harga yang cukup mahal. Sial! “Gimana? Udah 3 hari kau belum kasih kabar apa ada tempat tinggal murah di daerah sini?” aku gak mau memperlama waktu tinggalku di hotel, bisa bengkak pengeluaranku nanti.

Aku udah nanya semua kenalan dan aku turun tangan sendiri hari minggu kemarin bwat nyari rumah atau kosan. Tapi ga ada yang kosong.” Keluhnya.

Aku juga udah minta bantuan sama yang lain. dan hasilnya juga nihil.” Kecemasanku mulai melanda. Aku nggak mungkin lama-lama tinggal di hotel. Bisa-bisa tabunganku ambles cuman buat numpang di hotel.

Kenapa ga beli apartemen aja?”

Gajiku setengah tahun bakalan sia-sia!” sergahku. “lagian gwe pengen beli hunian yang permanen. Bukan yang nyewa 20 tahun doang. Udah bayar mahal-malah cuman ditinggalin gitu doang, nggak bisa diwarisin pula.” Terserah deh orang mau anggep kuno atau apa, tapi aku lebih memilih seperti itu. Konvesional kalau aku bilang, iya kan? Buat apa bayar malah-mahal bahkan sampe milyaran cuman buat tinggal di sebuah ruangan yang bahkan nggak punya genteng selama 20 tahun doang trus nggak bisa dimilikin.

Iya ya…harga property hari-hari ini sungguh melangit. Jadi pengen buka bisnis property..hehe.”

Elu enak ada yang modalin.” Kami tiba di depan pintu lift yang terbuka lalu masuk ke dalam bersama beberapa karyawan lain. “Tasku!” Tiba-tiba aku tersadar tak membawa tas kerjaku. Di mobil!

Kenapa?” pertanyaan Gio tak sempat kujawab karna aku langsung menerobos keluar lift tepat sebelum lift tertutup.

Kupandangi jam yang menggantung di atas pintu lift. 08.09. empat menit lagi, paling lama 5 menit. Kupercepat ayunan langkah kakiku menuju tempat parkir. Tapi dasar orang lagi buru-buru ada aja halangannya.

Bruakkk…

Aku menabrak seseorang dengan keras hingga aku sendiri jatuh terjengkang ke belakang.

Oh.. maafkan aku!” aku segera bangkit dan membantu seorang laki-laki yang kutubruk. “Aku benar-benar minta maaf pak..bapak enggak papa kan?” orang di belakang laki-laki itu juga membantunya berdiri.

Krek..

Tapi aku menginjak sesuatu. Kakiku kuangkat dan menemukan pena yang patah jadi dua.

Eh…” kupungut pena itu. “saya akan menggantinya pak. Emm.. bapak bisa memberikan alamat bapak, nanti akan saya kirimi.”

Tak usah. Tak apa-apa.” Laki-laki paruh baya itu menolaknya.

Tapi aku terus memaksanya dan akhirnya dia memberikan alamat rumahnya. Dengan cepat kuketik di ponselku dan segera kembali menuju mobilku untuk mengambil tas.

Aku berlari secepat kilat. Aku sempat melirik kembali jam yang ada di atas lift. 08.14. dengan membabi buta aku memencet tombol lift.

Ayolah…” gumamku. Pintu lift terbuka, aku bersyukur tak ada orang. Segera kutekan angka 9. Kuharap waktuku cukup. 3,4,5,6, aku mengambil ancang-ancang, 7,8,9

Ting.

Tap tap tap

Sret

Kusisipkan kertas absenku pada scaner yang tertempel di tembok dekat lift.

Semua pegawai melihatku lalu berganti memandangi jam digital besar yang ada di atas mesin absen. 08.14.49. yeah.. jam yang sangat besar sampe aku bisa melihatnya dari ruanganku yang ada di ujung. Mengingatkan semua pegawai untuk tepat waktu dalam hal apapun.

Yeah….!!!!!..”

Suit..suitt..

Tepuk tangan dan siulan menyambutku.  Hah.. sungguh memalukan. Tapi aku selamat, hehe.. seenggaknya tak ada potongan gaji. Sekarang aku akan sangat menghargai setiap lembaran rupiah yang ada.

Selamat bu, anda tepat waktu sekali!” teriak salah seorang di meja paling ujung. Kubalas dengan senyum sinisku yang mengatakan ‘i know, just shut up!”

Hampir saja.. Sialan. Aku cukup menanggung malu gara-gara gak mau telat satu menitpun. Iyalah, satu menit aja gajiku dipotong 10.000 lah kalau telat 10 menit aja 100.000. gila memang peraturannya. Dengan uang segitu aku bisa makan di warteg lima kali.

“Vi!” seruan Gio membahana ke seluruh ruangan. Dia melambaikan tangan dengan semangat.

Segera saja kuhampiri Gio yang ada di depan ruanganku. Dia bersama seorang pria, entah siapa. Pakaiannya formal, mungkin pegawai di perusahaan ini tapi bukan dari divisiku pastinya.

Ada apa?” tanyaku saat sampai di depan mereka.

Kenalin, ini Rei. Temen futsal gwe.” Gio mengenalkan pria yang ada di sebelahnya.

“Viona. Hm.. sepertinya anda tak asing.” Aku mengangguk pelan. Kuperhatikan wajahnya. Entah sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Wajahnya tak asing itu apakah aku udah pernah ketemu sebelumnya atau emang mukanya pasaran. Ganteng sih, tapi kayak pernah liat dimana gitu, mungkin ganteng yang pasaran haha.. ups..

Dia agak terkekeh. Sedangkan Gio malah menyikutku. “dia salah satu direktur kita!” Gio membisikiku sambil menggeram.

Dia mengulurkan tangannya. Rahangku agak terbuka. Oh shit… kenapa aku gak bisa mengenali direktur sendiri tentu aja aku pernah bertemu dengannya atau berpapasan atau apa yang pasti tentu aku sudah pernah melihat wajahnya, maksudku yah liat pas seminar, pengenalan produk dan acara lain misalnya. Stupid! Segera kusambut tangannya dan menyalaminya. “Raihan.” Ia tersenyum. “Em..” dia membalikan telapak tangannya usai berjabat tangan.

Jantungku tiba-tiba terpacu dengan cepat. Tangannya menghitam. Kuperiksa telapak tanganku. Oh tidak tidak tidak… tinta pena tadi. Dengan reflek aku memeriksa saku dalam jasku. Tintanya menodai kemeja putihku tepat di dada. Argh… kenapa aku menyimpannya dengan sembarangan. Aku tak berpikir tintanya akan tumpah ruah seperti ini. Aku berusaha membersihkan kemejaku, tapi..

Aku menangkap pandangan aneh dari dua orang yang ada di depanku. Fix.. aku malah lupa sama mereka dan asyik dengan tinta di dadaku.

Maaf..maaf.. emm ini tinta penaku yang rusak.” aku mengambil sapu tangan dari dalam tas kerjaku. “Maaf aku tak tahu tanganku terkena tinta..” kuberikan sapu tangan itu.

Nggak papa kok.” Raihan menerima sapu tangan itu. “Eh, nanti aku hubungi saja ya, aku ada rapat beberapa menit lagi” dia pamit pada Gio.

Ok..”

.
.
.


Kenapa tanganmu?” tanya papa Rei. Dia memicingkan matanya heran melihat warna tangan kanan anaknya.

Kena tinta.” Jelasnya sinngkat.

“Kirain kena guna-guna..”

Papa..”

Bercanda..haha” sang papa tertawa ringan sambil menepuk-nepuk pundak anaknya. Rei dan papanya sedang memimpin jalan menuju ruang rapat para pemegang saham di lantai teratas gedung Orion. Tanpa sungkan mereka mengumbar keakraban mereka diantara para direktur lainnya.

Nanti kalo ada waktu papa main futsal aja sama Rei dan temen-temen daripada main golf sendiri.” Pinta Rei.

Hmm.. yah nanti papa liat-liat dulu ya..” dia berhenti sejenak di depan ruang rapat menunggu pintu dibukakan.

Main golf kan cuman keluar keringat gara-gara panasnya doang. Kalo futsal kan kalori papa bener-bener dibakar karena melakukan banyak gerakan. Pokoknya nanti papa harus ikut” bujuk Rei.

Tau apa kau soal golf bilang seperti itu. Udah papa putusin nanti aja.” Ujarnya sambil melenggang menuju kursi terdepan sementara Rei telah duduk di salah satu kursi dengan papan nama dirinya berada di meja depannya.

Related Posts:

Prolog Hopeless


Sebuah cerita romansa tentang pernikahan palsu seorang gadis yang dirancang oleh Direktur muda di perusahaannya untuk membahagiakan sang ayah yang mengidap penyakit mematikan. Namun dibalik pernikahan itu ada suatu rahasia yang disembunyikan, yang membuat Viona,sang gadis, hampir merasa putua asa pada dunia dan dirinya sendiri.
Cerita yang melibatkan cinta segitiga, perebutan seorang gadis, serta pernikahan palsu dengan kontrak perjanjian yang menggiurkan,yang tak bisa dilewatkan karna hanya sekali seumur hidup.

Related Posts: