Sebenarnya Viona tak
makan siang, ia justru melanjutkan pekerjaannya. Itu karna nanti dia tak
lembur, jadi dia harus menyelesaikannya sekarang. Viona hanya makan
cemilan dan minuman ringan yang ia ambil dari pantry. Tangannya terus
menari di atas keyboard, mengetikkan ribuan kata.
"Kau sudah makan siang Vi?" Gio masuk tanpa permisi.
"Ah.. aku udah makan siang bareng Rei." bohong. Viona sama sekali tak makan dengan Rei
"Oh.. kau tak ingin melakukan sidak minggu ini?" tanya Gio
"O iya.. udah waktunya
ya gi? Aku hampir lupa karna proyek ini." Viona mengusap wajahnya. Ia
tampak penat dengan pekerjaannya yang menumpuk. "baiklah, ayo lakukan."
Dia beranjak dari kursinya dan agak sedikit terhuyung. Matanya
berkunang-kunang, dan pandangannya kabur.
"Lo nggak papa Vi?" Gio dengan sigap memegangi lengan Viona.
"Nggak, mungkin darah gwe turun. Nanti aku minun suplemen tambah darah."
"Yakin? Lo pucet
banget.." Gio memperhatikan wajah Viona, bibirnya kering, lingkaran
kecoklatan di sekitar matanya tampak jelas meski telah ditutupi make up
dan wajahnya sangat sayu.
"Aku.." Viona mencengkeram erat pinggir meja kerjanya. Pandangannya yang semula mengabur kini benar-benar telah gelap gulita.
"Viona!" Gio menangkap
tubuh Viona yang kini lemas. Dengan cekatan dia mengangkat tubuh Viona,
dia harus segera membawanya ke ruang kesehatan. Gio dengan hati-hati
mendorong pintu ruang kerja Viona dengan kakinya, pintu itu terbuat dari
kaca jadi harus pelan-pelan.
"Bu Viona!" salah satu pegawai perempuan terpekik melihat atasannya dibopong si sekretaris. Dia langsung mengikuti Gio.
"Keke, tolong siapkan ranjang di ruang kesehatan." Perintah Gio pada perempuan yang mengikutinya.
Perempuan bernama keke
tadi mendahului Gio. Berlari ke ruang kesehatan untuk menyiapkan
ranjang. Gio segera membaringkan Viona di ranjang.
"Panggil ambulan Ke, aku akan memberi tahu Rei."
"Baik." Keke langsung menekan nomor darurat, sementara Gio menghubungi Rei.
.
.
.
.
.
.
Viona segera dilarikan
ke rumah sakit. Dokter telah memeriksanya, melakukan ct scan dan yang
lainnya. Dokter bilang bahwa di terlalu lelah, maghnya kambuh dan ada
gejala tifus. Dia memerlukan istirahat..
"Sayang.." Rei
menggenggam erat tangan istrinya yang tak tersambung selang infus. Ia
duduk duduk di tepian ranjang dimana Viona terbaring masih belum
sadarkan diri. Ibu jarinya bergerak lembut di pipi Viona.
"Kau bilang padaku bahwa
aku harus menjaga kesehatan, makan dengan teratur dan yang lainnya. Kau
sendiri malah mengingkari perkataanmu.."
Tangan Rei beralih
membelai rambut Viona, dan ia tergoda.. lama-lama memandangi wajahnya
yang terlelap membuatnya tak tahan.. ia mengecup lembut bibir tipis
Viona.
.
.
.
Oh.. mimpi ini lagi! Entah kenapa aku selalu mendapat mimpi yang sama dimana Rei selalu menciumku! Tapi rasa-rasanya kadang mimpi itu terlalu nyata.
.
.
.
Oh.. mimpi ini lagi! Entah kenapa aku selalu mendapat mimpi yang sama dimana Rei selalu menciumku! Tapi rasa-rasanya kadang mimpi itu terlalu nyata.
"Hei.." sapaan itu terdengar berat.. dan lelah..
Bau obat juga langsung
menyapaku ketika sadar. Rumah sakit. Pasti. "ergh.." aku mengerang
tertahan karena merasa ngilu di tangan kiriku. Jarum infus.
"Kenapa Vio..?" Rei terdengar khawatir. Telapak tangannya yang hangat segera membungkus tangan kananku.
"Nggak papa, jam berapa sekarang? Udah berapa lama aku disini."
"Ssttt.. !! kau ini
kenapa sih, dulu kau bilang kau tau kapan saat harus berhenti, kenapa
sekarang begini? Kau menyuruhku untuk menjaga kesehatan sementara kau
malah mengabaikannya." Ada apa dengan Rei? kenapa dia jadi marah-marah.
"Maaf.. lagi-lagi aku merepotkanmu."
"Bukan itu.. kau
membuatku cemas. Kau tahu, aku membatalkan semua pertemuan hari ini saat
mendapat kabar bahwa kau di bawa ke rumah sakit."
"Apa? Kau membatalkannya?" dasar pria bodoh. Kau tak perlu melakukan itu Rei! "aku kan bukan istrimu, jangan cemas berlebihan."
"Terlepas kau ini istriku atau bukan, kau tetap tanggung jawabku!" Rei menggeram marah
"Rei! kau menyakiti tanganku.." genggaman tangannya ikut mengerat hingga mencengkeram tanganku ketika emosinya naik.
"Sorry.." dia segera
melepaskan tanganku. "kau mau makan apa? Akan kubelikan di bawah, aku
tau makanan rumah sakit tak ada yang enak."
"Aku tak lapar Rei.."
"Sudah dua belas jam lebih kau tak makan dan bilang tak lapar? Jangan bandel! Aku akan segera kembali.."
"Dasar keras kepala.." gumamku
"Kau yang keras kepala Viona!" Rei berbalik dan menjawabi gumamanku. Oupss... dia mendengarku rupanya.
Usut punya usut Rei tahu
aku tak makan siang tadi. Dia tahu dari Gio karna Gio menanyakan apa
yang kubawakan untuk Rei dan bagaimana makan siang kami di kantor. Tentu
saja Rei membantah bahwa ia tak makan siang denganku, that's way he is
so angry with me now..
"Aku nggak tau apa yang
kau suka, tapi waktu kau membelikanku nasi gulung saat aku sakit itu
enak. Jadi aku beliin ini juga.." Rei memperlihatkan bungkusan berisi
nasi gulung. Yah, sepertinya enak tapi aku tak lapar.
"Aku mau tidur.." kutarik selimutku.
"Sekarang lihat? Siapa
yang membangkang pada aturan yang dibuatnya sendiri?" cemoh Rei. suer
deh, aku lagi nggak pengen makan apa-apa.
"Rei.. aku tak lapar, aku hanya lelah dan aku mau tidur, kau bisa pulang sekarang.."
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 30"
Post a Comment