Hopeless Part 73


.
Bangun dengan perasaan kehilangan sesuatu yang tidak diketahui itu menjengkelkan. Seperti perasaan kosong yang tiba-tiba saja menggerogoti hati. Memang apa yang hilang? Apa yang kurang? Malah aku dapet selimut. Selimut? Bukannya tadi malam aku melempar selimut ini ke lantai? Lalu Rei tadi malam tidur pakai apa? Ah.. sempat-sempatnya aku mengkhawatirkan pria itu.
Lebih baik aku cepat bangun dan nebeng Kia ke kantor. Aku akan mengancam mogok kerja kalau dia menolakku. Pokoknya aku nggak mau bareng Rei lagi. Bisa-bisa moodku meluncur bebas seharian. Dan itu sudah terjadi kemarin, menyebabkan pekerjaanku kacau. Tak fokus saat Wira menyuruhku memilih font mana yang harus diterapkan pada buku menu. Atau saat Putri memanggilku untuk mengikuti jalannya proses pemotretan makanan, tanpa sadar aku malah nyasar ke ruangan Kia dan berakhir ditertawainya. Sialan.
"Cak ntar aku bareng ya ke kantornya." Bisikku ketika kami berdua sudah siap di meja makan bersama budhe. Liv belum kelihatan batang hidungnya begitu juga Rei.
"Suruh anter suamimu aja. Liv nyuruh aku nganterin dia ke kampus, katanya temennya ngga bisa jemput."
"Ya nggak papa aku ikut nganterin juga." Aku mengambil nasi beserta lauk pauknya. Kata budhe itu kalau belum makan nasi namanya belum makan, jadi ya setiap saat pasti makanan pokoknya nasi. Jangan harap ada roti atau kentang. "Sekalian liat gimana tempat kuliahnya Liv."
"Cak nanti jadi nganterin Liv? Kalau jadi aku mau sms temen suruh ngga usah datang kesini jemput Liv." Liv tiba-tiba muncul dari kamarnya, lengkap dengan tas punggung serta beberapa map di tangannya. Sedangkan Kia langsung tersedak nasi gorengnya. Aku segera meraih air putih yang ada di dekatnya dan memberinya tatapan mengancam. Kia berusaha merebut gelas yang tadi kusambar. Haha! Rasakan tersedak dengan nasi goreng dua puluh cabe setan!
Kia menyerah dan segera berlari mengambil botol minuman di kulkas lalu menenggak isinya dalam hitungan beberapa detik. Liv hanya tertawa cekikikan melihat tingkah kakaknya. "Kamu nggak nyuruh cak Kia ngaterin kamu Liv?" aku mengalihkan perhatianku pada Liv yang masih berusaha meredakan tawanya.
"Hm? Enggak, orang malah cak Kia yang tiba-tiba nawarin tumpangan. Memang kenapa?"
"Salahin aja Rei, dia yang memaksaku!" sungut Kia. "Kau hampir membuatku mati tersedak tau! Kau mau aku jadi anak negro ke delapan? Sumpah tadi itu sakit banget." Muka Kia masih merah padam akibat kejadian tadi. Biarin, siapa suruh bohong? Kena karma kan!
"Karma is a bitch. Kau seharusnya sudah tau Cak." Ledekku. "Memang Rei kenapa? Rei ngancem kakak buat berhentiin proyek? Ya ampun.. masa gitu aja takut."
"Dia ngancem pake yang lain." Gumam Kia masih bisa kudengar.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Sesuatu."
"Apa?" Yang bertanya bukan aku melainkan Liv. Dia ikutan kepo ternyata.
"Ah! Pokoknya ada. Aku nggak mungkin belain kamu lagi Vi. Udah ntar bareng suamimu aja!" Kia meninggalkan sisa nasi gorengnya yang belum tandas.
"Emang kak Viona lagi marahan sama Om Rei ya?" Tuhkan, sekarang kepo ke aku Liv nya.
"Dia belum tua ngapain kamu panggil Om?" Kenapa aku belain Rei??
"Iya.. Emang Kak Viona sama Rei lagi berantem?" Liv mengulangi pertanyaannya.
"Yang sopan kamu sama yang tua kok nyebut nama doang." Kenapa harus belain si brengsek itu lagi sih mulutku ini!!
"Ihh..." Liv mulai jengah dengan koreksi yang kulakukan. "Memangnya Kak Viona lagi berselisih paham?"
"Mau tau aja kepo kamu!" aku membawa piring serta gelas air mineral milik Kia ke halaman belakang demi meghindar dari pertanyaan Liv.
.
.
.
"Kamu ngancem Kia pake apa?" tanyaku to the point setelah Rei menyentuhkan bokongnya ke jok kemudi.
"Aku tidak mengancam siapapun." Jawab Rei acuh. Cih.. kenapa makhluk satu ini selalu berbohong sih. "Aku nggak bohong ya!" Ha? Bagaimana dia tau apa yang kupikirkan. "Jangan menuduhku dengan tatapan seperti itu. Aku cuman tau sesuatu tentang Kia itu saja." Ia tersenyum seperti setan. Sialan. Apa yang dia tau sampai Kia bertekuk lutut begitu? Bahkan tanpa mengancam? Yang benar saja...
"Tak perduli kau mengancam Kia atau tidak. Kau tetap memperalatnya."
"Kia sendiri yang menawarkan bantuan. Yeah, sebagai sesama pria tentu aku tak bisa menolaknya. Sudah jangan cemberut seperti itu atau akan kucium bibirmu itu." Aku segera menarik mundur bibir bawah yang kumajukan entah sejak kapan. Mungkin sejak kedatangan Rei ke Malang. "Dengar Vio.. aku telah mempertimbangkan tawaranmu soal kita dan kontrak itu lagi." Tiba-tiba Rei berubah jadi serius.
Aku menjadi tak tenang, gelisah penuh antisipasi mendengar kelanjutan dari perkataan Rei. "Ja..jadi apa keputusanmu?" Aku jadi tergagap dan tidak sabar karena Rei tak kunjung membuka mulut sialannya. Apa dia berusaha menggodaku?
"Ya, kita akan tetap pada jalur awal. Menjalankan kontrak itu. Setelah itu kau bisa pergi kemanapun kau suka. Dan aku tetap akan memenuhi janjiku soal pemberian saham yang sudah kita sepakati." Aku sedikit terhenyak mendengar keputusannya. Ada nada keputus asaan saat dia menyampaikannya dan entah bagaimana mengusikku.
Tak ada lagii percakapan tentang apapun sampai kami tiba di parkiran kantor Kia. Bahkan penyiar radio yang biasanya ngoceh tanpa jeda juga tak diperdengarkan oleh Rei, pun irama dari music player nya.
Rei mematikan mesin mobilnya usai memarkirkan mobilnya di tempat paling sudut. Ia menghela nafas panjang sebelum berujar. "Keluar dari mobil ini kita akan memulai segalanya kembali." Ia berpaling memandangku dengan senyumnya yang lebar. Tapi aku sangat tau itu jenis senyum seperti apa. Itu sama seperti ketika aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat kehilangan bayiku. Senyum yang sama sekali tak menyentuh ke matanya. Rei keluar dan segera memutari mobilnya menunju pintu penumpang yang ada di sebelahku. Ia membukanya dan mengulurkan sebelah tangannya padaku.
Sejenak aku ragu apakah aku harus menyambutnya atau tidak. Tapi melihat tatapan pengharapan dari mata birunya yang meredup membuatku segera menautkan tanganku pada uluran tangannya. Dan Reipun tersenyum manis. Senyum yang.. mungkin sedikit kurindukan.
Rei segera menarikku mendekat dan melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku. Awalnya aku merasa kaku dan kemudian merileks saat ia berbisik menyuruhku untuk menganggap ini semua hanya akting.
Beberapa karyawan yang mungkin telah mengenalku dan tahu siapa Rei, melihatku dan Rei dengan tatapan tak percaya. Bahkan Wira sampai tersandung kakinya sendiri dan Putri menjatuhkan seluruh barang bawaannya papan board, buku design nya serta beberapa map.
Rei melepas lengannya saat sampai di depan ruang design grafis. Melihat Rei tanpa setelan kerjanya di sebuah kantor adalah pemandangan yang amat janggal. Kaos oblong, celana jogger tiga perempat dan sendal jepit sudah merusak citra calon presdir Xeon. Tapi Rei sepertinya tak ambil pusing dengan itu dan tetap percaya diri.
"Aku akan menjemputmu nanti." Sebuah sentuhan hangat mampir di dahiku sebelum Rei melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Oh Tuhan.. bernafas Viona...
"Ehem..." suara deheman segera membuatku berbalik ke arah dalam ruang design grafis. Diasana sudah ada Wira , Putri dan yang lainnya. Damn! Mereka pasti menjadi saksi hidup saat Rei menciumku barusan.
"Ha..Hai.. Selamat pagi.." Aku menyunggingkan senyum kaku. Beberapa karyawan menyapaku balik dan beberapa lagi hanya mengangguk.
"Ikut aku!" Putri tiba-tiba menyeret lenganku. Hei apa-apaan ini! Ia menyudutkanku di dekat lift bersama Wira.
"Kalian kenapa?" tanyaku sebal. Bagaimana tak sebal pagi-pagi udah diseret dan dibentak.
"Kami menyayangimu Vi jadi kami harus memperingatanmu." Tukas Wira.
"Dan tentang apa itu?" aku memicing curiga pada mereka berdua.
"Kau harus tau kalau Mr. Husain itu sudah beristri!" guess what?? Yeap! Aku hampir meledakkan tawaku mendengar peringatan Putri. Dia persis Kia saat memberitahukan kebeneran bahwa clien mereka sudah bersuami. Mungkin aku harus sedikit mengikuti permainan mereka.
"Lalu kenapa kalau Rei sudah bersuami." Aku sengaja memanggilnya dengan nama depan.
Wira dan Putri langsung terbelalak kaget mendengar kelancanganku memanggil clien dengan nama depan bahkan tanpa embel-embel apapun.
"Kalian sedang apa disitu?" Si pengkhianat baru sampai rupanya.
"Kami baru memberitahu Viona kalau Mr. Husain sudah bersuami." Putri memberitahu secara menggebu pada Kia.
"Lalu?" dengan tanpa oonnya Kia tampak bingung ke mana arah pembicaraan mereka.
"Kami mengerti kalau Viona masih sepupumu, tapi kami tidak bisa membiarkan dia menggoda klien kita!" tambah Wira tak kalah menggebu.
Sepertinya Kia mulai mengerti apa yang terjadi karna ia tersenyum geli. "Jangan bermain-main Viona, beritahu mereka apa hubunganmu dengan Mr. Husain itu." perintah Kia. Huh.. aku tidak bisa bermain-main lagi.
Wira dan Putri tampak bingung dengan tanggapan Kia. "Memangnya mereka punya hubungan seperti apa?" Putri sudah berada di tingkat penasaran akhir.
"Yang sedang kalian pojokin itu istrinya Mr. Husain."
.
.
.
Wira dan Putra segera bertukar pandang dan kehilangan saraf motorik untuk menggerakkan lidah mereka. Mereka memandang pucat pada Viona yang masih berdiri diam dengan senyum geli yang juga nampak pada Kia.
"Ma..Maafkan kami. Kami tidak tau kalau Anda adalah Mrs. Husain..." Wiralah yang pertama berhasil menemukan suaranya. Sedangkan Putri masih menunduk, ia telah benar-benar kehilangan mukanya.
Situasi ini persis seperti saat Kia mengalami akward moment dengan Rei sendiri. Jadi Viona merasa kasian dan segera menengahi. "Sudah tak apa, lagian aku juga tadi kelewat bercanda dengan membiarkan kalian salah paham. Kia sendiri awalnya juga sempat salah paham kok.."
"Itu karna kau telat menjelaskannya Vi. Sudah sana kalian kerja jangan mojok disini. Kia masuk lift untuk naik ke ruangannya yang ada di lantai lima.
"Maafkan kami.. Kami bodoh karena tidak mengenali anda." Putri memohon sambil menggenggam tangan Viona dan memberikan tatapan berkaca-kacanya.
"Ya ampu putri.." Viona merasa kasihan karena tampang melas yang seolah memohon diampuni dari hukum pancung. "Nggak papa kok lagian kalian juga tidak sengaja dan malah ingin menasehatiku baik-baik. Dan kamu Wira!"
Wira yang tiba-tiba ditunjuk oleh Viona gelagapan bukan main. "Yes Mam?"
"Jangan panggil aku seperti itu. tidak Mrs. Husain atau apapun kecuali Viona saja. Seperti kalian memanggilku sebelumnya."
"Um..uh.. ya Viona.."
Berita tentang status Viona yang bukan hanya sepupu Kia namun juga istri Raihan menjadi trending topic di kantor Kia sepanjang hari. Sebagai permintaan maaf Putri dan Wira, mereka mentraktir makan siang. Tentu saja Viona menerimanya dengan senang hati.
Sesuai janjinya, Rei menjemput Viona sore harinya. Masih mengenakan pakaian santainya entah apa yang ia lakukan seharian di rumah. Viona heran kenapa Rei masih berada di Malang padahal seharusnya ia sudah kembali sejak kemarin setelah melihat presentasi Kia. Tapi tentu saja hal itu karena Viona. Ia menyuruh Clara untuk mengalihkan sebagian pekerjaannya pada Papa dan sebagian lagi pada salah seorang kepercayaan Rei. Awalnya Mr. Salim marah karna anaknya tiba-tiba mengambil 'cuti' tak terbatas saat berada di Malang. Namun setelah Rei menjelaskan alasan dirinya tertahan - atau memilih tinggal - di Malang demi Viona, Mr. Salim justru mendukung bahkan mewanti-wanti pada Rei untuk pulang dengan membawa Viona.
Keadaan antara Rei dan Viona sudah jauh lebih baik. Viona bahkan telah mengijinkan Rei untuk tidur seranjang. Namun tentu saja tidak ada 'main course'. Seperti di perjanjian awal. Itu saja sudah membuat Rei bersyukur. Ia bisa diam-diam memeluk Viona saat tengah malam dan Viona telah jauh tenggelam dalam tidur lelapnya. Yah, meski ia harus bangun amat pagi dan tak rela melepas dekapan hangatnya pada tubuh Viona agar ia tak dijadikan menu santap pagi olehnya.
Tapi ada yang beda pagi ini. Karena tadi malam Rei mengobrol dengan Kia semalam suntuk dan baru bisa tidur larut. Viona hendak bangun dan menemukan dirinya dipeluk dari belakang oleh lengan kekar yang tak lain adalah milik Rei. Ia berusaha melepaskan lilitannya tanpa ingin mengganggu tidur Rei.
Namun sial. Bukannya terlepas malah lengan itu melilit lebih erat dan kepala si empu menelusup di antara bahu dan leher Viona. "Rei.." Suara Viona bergetar serta tubuhnya merinding kala bibir Rei menyentuh hangat lehernya dan memberikan kecupan-kecupan lembut. Menghirup aroma manis dari leher istrnya.
Dengan mata yang masih tertutup, Rei membalik tubuh Viona dan langsung menindihnya, menahan kedua tangan Viona yang memberontak ke atas kepalanya. Bibir Rei menyusuri dagu lancip milik Viona berkelana mencari pasangannya untuk kemudian dikecupnya dengan rakus.
Rei pasti sedang bermimpi karna ia merasakan bahwa Viona membalas lumatannya. Sebenarnya, tak bisa dipungkiri bahwa Viona juga merindukan ciuman ini. Sebagian hati Viona masih tersimpan untuk Rei. Itulah mengapa ia memberi kesempatan pada pria yang telah membohonginya. Dan kerinduan yang selama ini ia pendam mati-matian akhirnya pecah berkeping-keping saat menerima serangan tak terduga seperti ini. Ia hanya mampu membalasnya dengan putus asa.
Viona menepuk-nepuk pipi Rei saat ia telah kehabisan nafasnya. Namun Rei masih belum sadar dan menciuminya dengan liar. Akhirnya dengan satu tepukan yang cukup kuat - tamparan -. Mata Rei terbuka dan mendapati Viona berada di bawahnya dengan napas tersengal dan bibir yang membengkak berantakan seperti terkena badai katrina. Wajah serta leher Viona merah merona dengan mata sayu.
"Sial! Maafkan aku Viona." Rei segera bangkit dari tubuh Viona dan berjalan ke kamar mandi dengan terhuyung. Ia kira tadi itu hanya mimpi saja saat dirinya mencumbui istrinya.
.
.
.
Tbc

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 73"

Post a Comment