.
Bangun dengan perasaan kehilangan sesuatu yang tidak diketahui itu menjengkelkan. Seperti perasaan kosong yang tiba-tiba saja menggerogoti hati. Memang apa yang hilang? Apa yang kurang? Malah aku dapet selimut. Selimut? Bukannya tadi malam aku melempar selimut ini ke lantai? Lalu Rei tadi malam tidur pakai apa? Ah.. sempat-sempatnya aku mengkhawatirkan pria itu.
Lebih baik aku cepat
bangun dan nebeng Kia ke kantor. Aku akan mengancam mogok kerja kalau
dia menolakku. Pokoknya aku nggak mau bareng Rei lagi. Bisa-bisa moodku
meluncur bebas seharian. Dan itu sudah terjadi kemarin, menyebabkan
pekerjaanku kacau. Tak fokus saat Wira menyuruhku memilih font mana yang
harus diterapkan pada buku menu. Atau saat Putri memanggilku untuk
mengikuti jalannya proses pemotretan makanan, tanpa sadar aku malah
nyasar ke ruangan Kia dan berakhir ditertawainya. Sialan.
"Cak ntar aku bareng ya
ke kantornya." Bisikku ketika kami berdua sudah siap di meja makan
bersama budhe. Liv belum kelihatan batang hidungnya begitu juga Rei.
"Suruh anter suamimu aja. Liv nyuruh aku nganterin dia ke kampus, katanya temennya ngga bisa jemput."
"Ya nggak papa aku ikut
nganterin juga." Aku mengambil nasi beserta lauk pauknya. Kata budhe itu
kalau belum makan nasi namanya belum makan, jadi ya setiap saat pasti
makanan pokoknya nasi. Jangan harap ada roti atau kentang. "Sekalian
liat gimana tempat kuliahnya Liv."
"Cak nanti jadi
nganterin Liv? Kalau jadi aku mau sms temen suruh ngga usah datang
kesini jemput Liv." Liv tiba-tiba muncul dari kamarnya, lengkap dengan
tas punggung serta beberapa map di tangannya. Sedangkan Kia langsung
tersedak nasi gorengnya. Aku segera meraih air putih yang ada di
dekatnya dan memberinya tatapan mengancam. Kia berusaha merebut gelas
yang tadi kusambar. Haha! Rasakan tersedak dengan nasi goreng dua puluh
cabe setan!
Kia menyerah dan segera
berlari mengambil botol minuman di kulkas lalu menenggak isinya dalam
hitungan beberapa detik. Liv hanya tertawa cekikikan melihat tingkah
kakaknya. "Kamu nggak nyuruh cak Kia ngaterin kamu Liv?" aku mengalihkan
perhatianku pada Liv yang masih berusaha meredakan tawanya.
"Hm? Enggak, orang malah cak Kia yang tiba-tiba nawarin tumpangan. Memang kenapa?"
"Salahin aja Rei, dia
yang memaksaku!" sungut Kia. "Kau hampir membuatku mati tersedak tau!
Kau mau aku jadi anak negro ke delapan? Sumpah tadi itu sakit banget."
Muka Kia masih merah padam akibat kejadian tadi. Biarin, siapa suruh
bohong? Kena karma kan!
"Karma is a bitch. Kau
seharusnya sudah tau Cak." Ledekku. "Memang Rei kenapa? Rei ngancem
kakak buat berhentiin proyek? Ya ampun.. masa gitu aja takut."
"Dia ngancem pake yang lain." Gumam Kia masih bisa kudengar.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Sesuatu."
"Apa?" Yang bertanya bukan aku melainkan Liv. Dia ikutan kepo ternyata.
"Ah! Pokoknya ada. Aku
nggak mungkin belain kamu lagi Vi. Udah ntar bareng suamimu aja!" Kia
meninggalkan sisa nasi gorengnya yang belum tandas.
"Emang kak Viona lagi marahan sama Om Rei ya?" Tuhkan, sekarang kepo ke aku Liv nya.
"Dia belum tua ngapain kamu panggil Om?" Kenapa aku belain Rei??
"Iya.. Emang Kak Viona sama Rei lagi berantem?" Liv mengulangi pertanyaannya.
"Yang sopan kamu sama yang tua kok nyebut nama doang." Kenapa harus belain si brengsek itu lagi sih mulutku ini!!
"Ihh..." Liv mulai jengah dengan koreksi yang kulakukan. "Memangnya Kak Viona lagi berselisih paham?"
"Mau tau aja kepo kamu!"
aku membawa piring serta gelas air mineral milik Kia ke halaman
belakang demi meghindar dari pertanyaan Liv.
.
.
.
"Kamu ngancem Kia pake apa?" tanyaku to the point setelah Rei menyentuhkan bokongnya ke jok kemudi.
.
.
"Kamu ngancem Kia pake apa?" tanyaku to the point setelah Rei menyentuhkan bokongnya ke jok kemudi.
"Aku tidak mengancam
siapapun." Jawab Rei acuh. Cih.. kenapa makhluk satu ini selalu
berbohong sih. "Aku nggak bohong ya!" Ha? Bagaimana dia tau apa yang
kupikirkan. "Jangan menuduhku dengan tatapan seperti itu. Aku cuman tau
sesuatu tentang Kia itu saja." Ia tersenyum seperti setan. Sialan. Apa
yang dia tau sampai Kia bertekuk lutut begitu? Bahkan tanpa mengancam?
Yang benar saja...
"Tak perduli kau mengancam Kia atau tidak. Kau tetap memperalatnya."
"Kia sendiri yang
menawarkan bantuan. Yeah, sebagai sesama pria tentu aku tak bisa
menolaknya. Sudah jangan cemberut seperti itu atau akan kucium bibirmu
itu." Aku segera menarik mundur bibir bawah yang kumajukan entah sejak
kapan. Mungkin sejak kedatangan Rei ke Malang. "Dengar Vio.. aku telah
mempertimbangkan tawaranmu soal kita dan kontrak itu lagi." Tiba-tiba
Rei berubah jadi serius.
Aku menjadi tak tenang,
gelisah penuh antisipasi mendengar kelanjutan dari perkataan Rei.
"Ja..jadi apa keputusanmu?" Aku jadi tergagap dan tidak sabar karena Rei
tak kunjung membuka mulut sialannya. Apa dia berusaha menggodaku?
"Ya, kita akan tetap
pada jalur awal. Menjalankan kontrak itu. Setelah itu kau bisa pergi
kemanapun kau suka. Dan aku tetap akan memenuhi janjiku soal pemberian
saham yang sudah kita sepakati." Aku sedikit terhenyak mendengar
keputusannya. Ada nada keputus asaan saat dia menyampaikannya dan entah
bagaimana mengusikku.
Tak ada lagii percakapan
tentang apapun sampai kami tiba di parkiran kantor Kia. Bahkan penyiar
radio yang biasanya ngoceh tanpa jeda juga tak diperdengarkan oleh Rei,
pun irama dari music player nya.
Rei mematikan mesin
mobilnya usai memarkirkan mobilnya di tempat paling sudut. Ia menghela
nafas panjang sebelum berujar. "Keluar dari mobil ini kita akan memulai
segalanya kembali." Ia berpaling memandangku dengan senyumnya yang
lebar. Tapi aku sangat tau itu jenis senyum seperti apa. Itu sama
seperti ketika aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat kehilangan
bayiku. Senyum yang sama sekali tak menyentuh ke matanya. Rei keluar dan
segera memutari mobilnya menunju pintu penumpang yang ada di sebelahku.
Ia membukanya dan mengulurkan sebelah tangannya padaku.
Sejenak aku ragu apakah
aku harus menyambutnya atau tidak. Tapi melihat tatapan pengharapan dari
mata birunya yang meredup membuatku segera menautkan tanganku pada
uluran tangannya. Dan Reipun tersenyum manis. Senyum yang.. mungkin
sedikit kurindukan.
Rei segera menarikku
mendekat dan melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku. Awalnya
aku merasa kaku dan kemudian merileks saat ia berbisik menyuruhku untuk
menganggap ini semua hanya akting.
Beberapa karyawan yang
mungkin telah mengenalku dan tahu siapa Rei, melihatku dan Rei dengan
tatapan tak percaya. Bahkan Wira sampai tersandung kakinya sendiri dan
Putri menjatuhkan seluruh barang bawaannya papan board, buku design nya
serta beberapa map.
Rei melepas lengannya
saat sampai di depan ruang design grafis. Melihat Rei tanpa setelan
kerjanya di sebuah kantor adalah pemandangan yang amat janggal. Kaos
oblong, celana jogger tiga perempat dan sendal jepit sudah merusak citra
calon presdir Xeon. Tapi Rei sepertinya tak ambil pusing dengan itu dan
tetap percaya diri.
"Aku akan menjemputmu
nanti." Sebuah sentuhan hangat mampir di dahiku sebelum Rei melangkahkan
kakinya menuju pintu utama. Oh Tuhan.. bernafas Viona...
"Ehem..." suara deheman
segera membuatku berbalik ke arah dalam ruang design grafis. Diasana
sudah ada Wira , Putri dan yang lainnya. Damn! Mereka pasti menjadi
saksi hidup saat Rei menciumku barusan.
"Ha..Hai.. Selamat pagi.." Aku menyunggingkan senyum kaku. Beberapa karyawan menyapaku balik dan beberapa lagi hanya mengangguk.
"Ikut aku!" Putri tiba-tiba menyeret lenganku. Hei apa-apaan ini! Ia menyudutkanku di dekat lift bersama Wira.
"Kalian kenapa?" tanyaku sebal. Bagaimana tak sebal pagi-pagi udah diseret dan dibentak.
"Kami menyayangimu Vi jadi kami harus memperingatanmu." Tukas Wira.
"Dan tentang apa itu?" aku memicing curiga pada mereka berdua.
"Kau harus tau kalau Mr.
Husain itu sudah beristri!" guess what?? Yeap! Aku hampir meledakkan
tawaku mendengar peringatan Putri. Dia persis Kia saat memberitahukan
kebeneran bahwa clien mereka sudah bersuami. Mungkin aku harus sedikit
mengikuti permainan mereka.
"Lalu kenapa kalau Rei sudah bersuami." Aku sengaja memanggilnya dengan nama depan.
Wira dan Putri langsung
terbelalak kaget mendengar kelancanganku memanggil clien dengan nama
depan bahkan tanpa embel-embel apapun.
"Kalian sedang apa disitu?" Si pengkhianat baru sampai rupanya.
"Kami baru memberitahu Viona kalau Mr. Husain sudah bersuami." Putri memberitahu secara menggebu pada Kia.
"Lalu?" dengan tanpa oonnya Kia tampak bingung ke mana arah pembicaraan mereka.
"Kami mengerti kalau
Viona masih sepupumu, tapi kami tidak bisa membiarkan dia menggoda klien
kita!" tambah Wira tak kalah menggebu.
Sepertinya Kia mulai
mengerti apa yang terjadi karna ia tersenyum geli. "Jangan bermain-main
Viona, beritahu mereka apa hubunganmu dengan Mr. Husain itu." perintah
Kia. Huh.. aku tidak bisa bermain-main lagi.
Wira dan Putri tampak
bingung dengan tanggapan Kia. "Memangnya mereka punya hubungan seperti
apa?" Putri sudah berada di tingkat penasaran akhir.
"Yang sedang kalian pojokin itu istrinya Mr. Husain."
.
.
.
Wira dan Putra segera bertukar pandang dan kehilangan saraf motorik untuk menggerakkan lidah mereka. Mereka memandang pucat pada Viona yang masih berdiri diam dengan senyum geli yang juga nampak pada Kia.
.
.
.
Wira dan Putra segera bertukar pandang dan kehilangan saraf motorik untuk menggerakkan lidah mereka. Mereka memandang pucat pada Viona yang masih berdiri diam dengan senyum geli yang juga nampak pada Kia.
"Ma..Maafkan kami. Kami
tidak tau kalau Anda adalah Mrs. Husain..." Wiralah yang pertama
berhasil menemukan suaranya. Sedangkan Putri masih menunduk, ia telah
benar-benar kehilangan mukanya.
Situasi ini persis
seperti saat Kia mengalami akward moment dengan Rei sendiri. Jadi Viona
merasa kasian dan segera menengahi. "Sudah tak apa, lagian aku juga tadi
kelewat bercanda dengan membiarkan kalian salah paham. Kia sendiri
awalnya juga sempat salah paham kok.."
"Itu karna kau telat
menjelaskannya Vi. Sudah sana kalian kerja jangan mojok disini. Kia
masuk lift untuk naik ke ruangannya yang ada di lantai lima.
"Maafkan kami.. Kami
bodoh karena tidak mengenali anda." Putri memohon sambil menggenggam
tangan Viona dan memberikan tatapan berkaca-kacanya.
"Ya ampu putri.." Viona
merasa kasihan karena tampang melas yang seolah memohon diampuni dari
hukum pancung. "Nggak papa kok lagian kalian juga tidak sengaja dan
malah ingin menasehatiku baik-baik. Dan kamu Wira!"
Wira yang tiba-tiba ditunjuk oleh Viona gelagapan bukan main. "Yes Mam?"
"Jangan panggil aku seperti itu. tidak Mrs. Husain atau apapun kecuali Viona saja. Seperti kalian memanggilku sebelumnya."
"Um..uh.. ya Viona.."
Berita tentang status
Viona yang bukan hanya sepupu Kia namun juga istri Raihan menjadi
trending topic di kantor Kia sepanjang hari. Sebagai permintaan maaf
Putri dan Wira, mereka mentraktir makan siang. Tentu saja Viona
menerimanya dengan senang hati.
Sesuai janjinya, Rei
menjemput Viona sore harinya. Masih mengenakan pakaian santainya entah
apa yang ia lakukan seharian di rumah. Viona heran kenapa Rei masih
berada di Malang padahal seharusnya ia sudah kembali sejak kemarin
setelah melihat presentasi Kia. Tapi tentu saja hal itu karena Viona. Ia
menyuruh Clara untuk mengalihkan sebagian pekerjaannya pada Papa dan
sebagian lagi pada salah seorang kepercayaan Rei. Awalnya Mr. Salim
marah karna anaknya tiba-tiba mengambil 'cuti' tak terbatas saat berada
di Malang. Namun setelah Rei menjelaskan alasan dirinya tertahan - atau
memilih tinggal - di Malang demi Viona, Mr. Salim justru mendukung
bahkan mewanti-wanti pada Rei untuk pulang dengan membawa Viona.
Keadaan antara Rei dan
Viona sudah jauh lebih baik. Viona bahkan telah mengijinkan Rei untuk
tidur seranjang. Namun tentu saja tidak ada 'main course'. Seperti di
perjanjian awal. Itu saja sudah membuat Rei bersyukur. Ia bisa
diam-diam memeluk Viona saat tengah malam dan Viona telah jauh tenggelam
dalam tidur lelapnya. Yah, meski ia harus bangun amat pagi dan tak rela
melepas dekapan hangatnya pada tubuh Viona agar ia tak dijadikan menu
santap pagi olehnya.
Tapi ada yang beda pagi
ini. Karena tadi malam Rei mengobrol dengan Kia semalam suntuk dan baru
bisa tidur larut. Viona hendak bangun dan menemukan dirinya dipeluk dari
belakang oleh lengan kekar yang tak lain adalah milik Rei. Ia berusaha
melepaskan lilitannya tanpa ingin mengganggu tidur Rei.
Namun sial. Bukannya
terlepas malah lengan itu melilit lebih erat dan kepala si empu
menelusup di antara bahu dan leher Viona. "Rei.." Suara Viona bergetar
serta tubuhnya merinding kala bibir Rei menyentuh hangat lehernya dan
memberikan kecupan-kecupan lembut. Menghirup aroma manis dari leher
istrnya.
Dengan mata yang masih
tertutup, Rei membalik tubuh Viona dan langsung menindihnya, menahan
kedua tangan Viona yang memberontak ke atas kepalanya. Bibir Rei
menyusuri dagu lancip milik Viona berkelana mencari pasangannya untuk
kemudian dikecupnya dengan rakus.
Rei pasti sedang
bermimpi karna ia merasakan bahwa Viona membalas lumatannya. Sebenarnya,
tak bisa dipungkiri bahwa Viona juga merindukan ciuman ini. Sebagian
hati Viona masih tersimpan untuk Rei. Itulah mengapa ia memberi
kesempatan pada pria yang telah membohonginya. Dan kerinduan yang selama
ini ia pendam mati-matian akhirnya pecah berkeping-keping saat menerima
serangan tak terduga seperti ini. Ia hanya mampu membalasnya dengan
putus asa.
Viona menepuk-nepuk pipi
Rei saat ia telah kehabisan nafasnya. Namun Rei masih belum sadar dan
menciuminya dengan liar. Akhirnya dengan satu tepukan yang cukup kuat -
tamparan -. Mata Rei terbuka dan mendapati Viona berada di bawahnya
dengan napas tersengal dan bibir yang membengkak berantakan seperti
terkena badai katrina. Wajah serta leher Viona merah merona dengan mata
sayu.
"Sial! Maafkan aku
Viona." Rei segera bangkit dari tubuh Viona dan berjalan ke kamar mandi
dengan terhuyung. Ia kira tadi itu hanya mimpi saja saat dirinya
mencumbui istrinya.
.
.
.
.
.
.
Tbc
0 Response to "Hopeless Part 73"
Post a Comment