Hopeless Part 67


.
Beberapa saat setelah Alex keluar terdengar keributan dari arah ruang depan dan suara pintu yang terbanting. Apa Alex sudah bertemu dengan Ane dan langsung pulang? Cepat sekali. Aku segera bergegas ke ruang depan. Alex tak boleh memarahinya.
"Alex kau tak bisa..". Sial.. "Rei?" Ia masih dengan piaya dan jaketnya. Sepertinya ia langsung megkutiku kesini dari minimarket tadi.
"Pulang sekarang Viona! atau aku akan menyeretmu!!" kilatan marah tercetak jelas dari matanya, aku mundur beberapa langkah. Rei sempat mengikuti kemana arahku tapi lengannya dipegangi salah seorang ajudan Alex.
"Tidak Rei. Aku tak akan kemana-mana."
"Anda lebih baik keluar sekarag Tuan." Saran sang ajudan.
Rei menggeram marah atas jawabanku. Ia menarik lengannya paksa tapi orang keamanan itu tidak lengah sama sekali. Ia masih kuat menahan lengan Rei. Membuat Rei tambah murka. Ia berbalik pada sang ajudan dan dengan cepat tinjunya bersarang di hidung pria berseragam hitam itu. Darah seketika mengalir dari lubang hidung si pria bertubuh tegap.
Rei tak berheti sampai disitu, ia melayangkan sebuah pukulan lagi ke arah perut. Untunglah bisa ditangkis si ajudan. Namun gerak kaki kanannya seperti peluru yang tidak bisa diprediksi, meghantam dengan keras tepat di ulu hati. Membuat sipenerima tendangan tersungkur. Rei bahkan tak memberi jeda, ia langsung menghajarnya membabi buta.
Sekali lagi aku melihat keberingasan Rei. membyat seluruh tubuhku meremangan. "Rei hentikan!" Aku seolah tersadar oleh sikap kesetanan yang dilakukan Rei. Ia sama sekali tak menggubris teriakanku dan terus melayangkan tinjunya. "Rei!" aku berusaha menarik bahu Rei.
Sadar akan aku yang mendekat, Rei segera melepas kerah seragam hitam pria malang yang sudah babak belur. Kini tangannya berbalik mencengkeram lenganku. Tanpa kata ia menyeretku keluar, menuju mobil besarnya. Meski aku telah berusaha menahan serta melepas genggamannya yang terlampau kuat, Rei sama sekali tak terpengaruh dan terus menyeretku dengan paksa.
"Berhenti dan lepaskan aku!" Geramanku hanya disahutnya dengan melemparku ke jok penumpang depan. Dia memasangkan sabuk pengaman, bukan, ia mengikatku dengan itu karena entah bagaimana Rei menyimpulkannya membuatku tak bisa melepaskan lilitan sialan ini.
Masih dengan kesetanan, Rei mengemudikan escalade nya dengan brutal. Menyalip semua kendaraan yang menghalangi jalurnya. Darah di wajahku mungkin sudah surut saat ia berkali-kali mencoba mendahului kendaran besar. Akupun hanya bisa tutup mulut, tak berani mengusik emosinya yang sedang labil. Salah-salah kami berdua tamat hanya karena Rei terlambat memutar kemudi gara-gara membalasku dan menabrak truk pembawa material.
Beberapa saat kemudian kami telah masuk ke jalur yang sudah sangat kuhapal beberapa bulan ini. Kembali ke tempat yang belum genap kutinggalkan selama 24 jam. Dengan kasar ia menarikku keluar dari mobil, membawaku ke dalam rumah dan naik ke atas. Menuju kamar kami. Kamar Rei..
Rei menghempaskanku hingga aku tersungkur dekat rangjang. Untuk karpet berbulu tebal masih menyelamatkanku dari dingin dan kerasnya lantai marmer.
"Kau milikku. Ingat itu Viona.. sampai kapanpun akan tetap seperti itu." nada dinginnya seolah mampu menciptakan es dihatiku.
"Aku bukan milik siapa-siapa Rei.." sambil berpegangan pada pinggir ranjang aku berusaha berdiri. "Jangan mengklaimku seperti itu setelah semalam." Ujarku sinis.
"Sudah kubilang. Aku tak melakukan apapun dengan Helena. Dia yang menjebakku dan membuatku mabuk!"
"Klise sekali.. Tapi aku tak bodoh Rei. Kau pikir, karena telah berhasil membohongiku soal papa aku akan percaya pada omonganmu mengenai semalam?"
"Papa!?" Rei tampak gusar bercampur gugup.
"Aku sudah tau Rei." Kataku datar, dan sepertinya ia mengerti maksudku. "Bukti semalam juga sudah cukup. Semuanya sudah berakhir." Tekanku di kalimat terakhir.
"Tidak! Tak ada yang berakhir atau apapun!" Bentak Rei. "Apa Alex yang memberitahumu soal papa? Jangan pernah mempercayai si brengsek itu!"
Aku tertawa hambar. "Alex memang brengsek. Aku tau sekali, tapi aku juga sangat tau kalau dia tak pernah menipuku mentah-mentah!" Intonasiku ikut naik manakala Rei tak juga mau mengakui kesalahannya.
"Siapa yang menipumu?!"
"Ya Tuhan.. jangan buat aku mati tertawa Rei. Sungguh menggelikan saat aku harus bertanya pada dokter soal papa. Dokter itu pasti meragukanku yang mengaku sebagai menantunya sampai-sampai keadaan mertua sendiri tak tau." Helaan nafas menjadi jeda saat aku mengumandangkan permintaan itu. "Ceraikan saja aku Rei. Sudah tak ada lagi yang tersisa. Kau benar-benar berhasil merenggut semuanya.. kau sudah puas kan?"
Wajah Rei seketika merah padam. Ia berjalan mendekatiku. Tidak, aku tak mau mundur hanya karena intimidasinya. "Kau dan aku saling mencintai Viona, maka sampai kita matipun tak akan ada perceraian yang terjadi!"
Aku tersenyum sinis. Menggumamkan kata cinta, seolah kata itu tak mempunyai arti sama sekali. Seperti sebelumnya. It's a bulshit thing. "Terserah apa katamu. Aku akan segera mengajukan gugatan." Kataku datar sambil memandang ke arah jendela yang memaparkan senja kelabu. Menghindari tatapan mematikan dari iris biru Rei.
"Silahkan saja kalau kau bisa." Tak kalah datar, Rei berujar lalu berbalik keluar. Menutup pintu keras-keras. Lalu terdengar bunyi klik dari pintu. Tunggu! Dia tak mungkin mengunciku dari luar!
"Rei!" aku mencoba memutar knop pintu dan berakhir dengan nihil. "Kau tak bisa melakukan ini!" tanganku berganti menggendor pintu dengan keras. Sial! Ponselku tentu masih berada di rumah Alex. Apa yang harus kulakukan agar bisa keluar dari sini?
Telepon rumah! Tentu saja. Masih ada alat komunikasi yang tidak akan pernah membuat seseorang terkurung sama sekali. Tapi siapa yang harus kuhubungi? Dan lagi.. aku tak hapal satu nomorpun, kecuali nomorku tentunya. Ah ya.. nomorku! Lebih baik kuhubungi ponselku sendiri dan berharap ada seseorang yang mengangkatnya.
Kutekan 12 angka id nomorku tapi tak terdengar nada apapun? Apa sambungannya telah diputus? Aku memicing pada pintu yang masih terkunci. Sialan kau Rei..
.
.
.
Pintu yang menghubungkan kamar dengan ruang kerja Reipun terkunci. Viona yang berniat menggunakan mac milik Rei jadi mengurungkan niatnya. Ia melongok pada jendela yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Tidak terkunci, namun ia juga tidak akan bisa turun mengingat ketinggian kamar itu. Menalikan gorden untuk turun ke bawah? Tidak, itu hanya ada di sinetron-sinetron. Dia tak mau ambil resiko jatuh dan mati konyol.
"Nyonya Viona?" Tiba-tiba saja Nina sudah muncul dari balik pintu membawa makanan yang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkan saja di atas meja akan segera kumakan." Viona menghampiri sofa yang ada di sudut kamar. "Bisakah aku minta tolong carikan dress warna cokelat dengan motif garis merah? Aku ingin segera membersihkan diri sebentar lagi." Viona mengambil mangkuk berisi sayur asam manis. "Sekalian pakaian dalam. Tolong pilihkan yang bahannya nyaman."
Tanpa rasa curiga Ninan masuk ke walk in closet sementara Viona mulai menjalankan rencananya. Ia menaruh mangkuk yang masih berisi penuh tersebut kembali ke meja dan mengendap-endap ke arah pintu yang terbuka. Dengan sigap ia keluar dan mengunci pintu. Anak kunci yang terluput oleh Nina masih menempel di kenop hingga memudahkannya.
Ia mengawat-awati ruang bawah dan memastikan tak ada seorangpun yang ada di sana sebelum ia turun. Beruntung kunci ben masih menggantung seperti biasa pada gantungan tembok dekat tangga. Segera ia menyambarnya dan berlari cepat ke arah garasi dengan tetap waspada.
Nina selamanya tak akan pernah menemukan pakaian yang diminta Viona karena pakaian itu tak pernah dimilikinya. Itu hanya akal-akalan Viona untuk mengalihkan perhatiannya supaya Viona bisa kabur. Dan ternyata berhasil. Kini ia bersama Ben melenggang meninggalkan rumah Rei.
Viona memastikan ini terakhir kalinya ia mengendarai ben. Meski sebenarnya dia sangat menyukai mobil ini. Miris, mana mungkin Rei membelikan mobil ini hanya untukku, pastinya ini hanya salah satu investasinya. Batin Viona. Semua yang dilaluinya dengan Rei adalah sebuah kebohongan, tak lebih dari kepalsuan.
Dan juga.. untuk terakhir kalinya ia akan melewati gerbang ini. Viona mengamati relief dengan huruf kapital yang menyebutkan nama kawasan ini dengan megah dan terlihat kokoh. Dulu, pertama kali saat Viona mengejanya rasanya terdengar mistis, namun saat melihat dengan mata kepala sendiri kawasan perumahan ini sungguh asri dan indah. Tak terkecuali rumah Rei.
Dan sedetik kemudian saat matanya turun kembali ke arah jalan, pandangannya menangkap sosok mobil hitam yang sangat dikenalnya. Juga suara klakson memekakkan karena dibunyikan secara membabi buta.
"Oh, shit..!"
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 67"

Post a Comment