.
Beberapa saat setelah Alex keluar terdengar keributan dari arah ruang depan dan suara pintu yang terbanting. Apa Alex sudah bertemu dengan Ane dan langsung pulang? Cepat sekali. Aku segera bergegas ke ruang depan. Alex tak boleh memarahinya.
"Alex kau tak bisa..".
Sial.. "Rei?" Ia masih dengan piaya dan jaketnya. Sepertinya ia langsung
megkutiku kesini dari minimarket tadi.
"Pulang sekarang Viona!
atau aku akan menyeretmu!!" kilatan marah tercetak jelas dari matanya,
aku mundur beberapa langkah. Rei sempat mengikuti kemana arahku tapi
lengannya dipegangi salah seorang ajudan Alex.
"Tidak Rei. Aku tak akan kemana-mana."
"Anda lebih baik keluar sekarag Tuan." Saran sang ajudan.
Rei menggeram marah atas
jawabanku. Ia menarik lengannya paksa tapi orang keamanan itu tidak
lengah sama sekali. Ia masih kuat menahan lengan Rei. Membuat Rei tambah
murka. Ia berbalik pada sang ajudan dan dengan cepat tinjunya bersarang
di hidung pria berseragam hitam itu. Darah seketika mengalir dari
lubang hidung si pria bertubuh tegap.
Rei tak berheti sampai
disitu, ia melayangkan sebuah pukulan lagi ke arah perut. Untunglah bisa
ditangkis si ajudan. Namun gerak kaki kanannya seperti peluru yang
tidak bisa diprediksi, meghantam dengan keras tepat di ulu hati. Membuat
sipenerima tendangan tersungkur. Rei bahkan tak memberi jeda, ia
langsung menghajarnya membabi buta.
Sekali lagi aku melihat
keberingasan Rei. membyat seluruh tubuhku meremangan. "Rei hentikan!"
Aku seolah tersadar oleh sikap kesetanan yang dilakukan Rei. Ia sama
sekali tak menggubris teriakanku dan terus melayangkan tinjunya. "Rei!"
aku berusaha menarik bahu Rei.
Sadar akan aku yang
mendekat, Rei segera melepas kerah seragam hitam pria malang yang sudah
babak belur. Kini tangannya berbalik mencengkeram lenganku. Tanpa kata
ia menyeretku keluar, menuju mobil besarnya. Meski aku telah berusaha
menahan serta melepas genggamannya yang terlampau kuat, Rei sama sekali
tak terpengaruh dan terus menyeretku dengan paksa.
"Berhenti dan lepaskan
aku!" Geramanku hanya disahutnya dengan melemparku ke jok penumpang
depan. Dia memasangkan sabuk pengaman, bukan, ia mengikatku dengan itu
karena entah bagaimana Rei menyimpulkannya membuatku tak bisa melepaskan
lilitan sialan ini.
Masih dengan kesetanan,
Rei mengemudikan escalade nya dengan brutal. Menyalip semua kendaraan
yang menghalangi jalurnya. Darah di wajahku mungkin sudah surut saat ia
berkali-kali mencoba mendahului kendaran besar. Akupun hanya bisa tutup
mulut, tak berani mengusik emosinya yang sedang labil. Salah-salah kami
berdua tamat hanya karena Rei terlambat memutar kemudi gara-gara
membalasku dan menabrak truk pembawa material.
Beberapa saat kemudian
kami telah masuk ke jalur yang sudah sangat kuhapal beberapa bulan ini.
Kembali ke tempat yang belum genap kutinggalkan selama 24 jam. Dengan
kasar ia menarikku keluar dari mobil, membawaku ke dalam rumah dan naik
ke atas. Menuju kamar kami. Kamar Rei..
Rei menghempaskanku
hingga aku tersungkur dekat rangjang. Untuk karpet berbulu tebal masih
menyelamatkanku dari dingin dan kerasnya lantai marmer.
"Kau milikku. Ingat itu Viona.. sampai kapanpun akan tetap seperti itu." nada dinginnya seolah mampu menciptakan es dihatiku.
"Aku bukan milik
siapa-siapa Rei.." sambil berpegangan pada pinggir ranjang aku berusaha
berdiri. "Jangan mengklaimku seperti itu setelah semalam." Ujarku sinis.
"Sudah kubilang. Aku tak melakukan apapun dengan Helena. Dia yang menjebakku dan membuatku mabuk!"
"Klise sekali.. Tapi aku
tak bodoh Rei. Kau pikir, karena telah berhasil membohongiku soal papa
aku akan percaya pada omonganmu mengenai semalam?"
"Papa!?" Rei tampak gusar bercampur gugup.
"Aku sudah tau Rei."
Kataku datar, dan sepertinya ia mengerti maksudku. "Bukti semalam juga
sudah cukup. Semuanya sudah berakhir." Tekanku di kalimat terakhir.
"Tidak! Tak ada yang
berakhir atau apapun!" Bentak Rei. "Apa Alex yang memberitahumu soal
papa? Jangan pernah mempercayai si brengsek itu!"
Aku tertawa hambar.
"Alex memang brengsek. Aku tau sekali, tapi aku juga sangat tau kalau
dia tak pernah menipuku mentah-mentah!" Intonasiku ikut naik manakala
Rei tak juga mau mengakui kesalahannya.
"Siapa yang menipumu?!"
"Ya Tuhan.. jangan buat
aku mati tertawa Rei. Sungguh menggelikan saat aku harus bertanya pada
dokter soal papa. Dokter itu pasti meragukanku yang mengaku sebagai
menantunya sampai-sampai keadaan mertua sendiri tak tau." Helaan nafas
menjadi jeda saat aku mengumandangkan permintaan itu. "Ceraikan saja aku
Rei. Sudah tak ada lagi yang tersisa. Kau benar-benar berhasil
merenggut semuanya.. kau sudah puas kan?"
Wajah Rei seketika merah
padam. Ia berjalan mendekatiku. Tidak, aku tak mau mundur hanya karena
intimidasinya. "Kau dan aku saling mencintai Viona, maka sampai kita
matipun tak akan ada perceraian yang terjadi!"
Aku tersenyum sinis.
Menggumamkan kata cinta, seolah kata itu tak mempunyai arti sama sekali.
Seperti sebelumnya. It's a bulshit thing. "Terserah apa katamu. Aku
akan segera mengajukan gugatan." Kataku datar sambil memandang ke arah
jendela yang memaparkan senja kelabu. Menghindari tatapan mematikan dari
iris biru Rei.
"Silahkan saja kalau kau
bisa." Tak kalah datar, Rei berujar lalu berbalik keluar. Menutup pintu
keras-keras. Lalu terdengar bunyi klik dari pintu. Tunggu! Dia tak
mungkin mengunciku dari luar!
"Rei!" aku mencoba
memutar knop pintu dan berakhir dengan nihil. "Kau tak bisa melakukan
ini!" tanganku berganti menggendor pintu dengan keras. Sial! Ponselku
tentu masih berada di rumah Alex. Apa yang harus kulakukan agar bisa
keluar dari sini?
Telepon rumah! Tentu
saja. Masih ada alat komunikasi yang tidak akan pernah membuat seseorang
terkurung sama sekali. Tapi siapa yang harus kuhubungi? Dan lagi.. aku
tak hapal satu nomorpun, kecuali nomorku tentunya. Ah ya.. nomorku!
Lebih baik kuhubungi ponselku sendiri dan berharap ada seseorang yang
mengangkatnya.
Kutekan 12 angka id
nomorku tapi tak terdengar nada apapun? Apa sambungannya telah diputus?
Aku memicing pada pintu yang masih terkunci. Sialan kau Rei..
.
.
.
Pintu yang menghubungkan kamar dengan ruang kerja Reipun terkunci. Viona yang berniat menggunakan mac milik Rei jadi mengurungkan niatnya. Ia melongok pada jendela yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Tidak terkunci, namun ia juga tidak akan bisa turun mengingat ketinggian kamar itu. Menalikan gorden untuk turun ke bawah? Tidak, itu hanya ada di sinetron-sinetron. Dia tak mau ambil resiko jatuh dan mati konyol.
.
.
.
Pintu yang menghubungkan kamar dengan ruang kerja Reipun terkunci. Viona yang berniat menggunakan mac milik Rei jadi mengurungkan niatnya. Ia melongok pada jendela yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Tidak terkunci, namun ia juga tidak akan bisa turun mengingat ketinggian kamar itu. Menalikan gorden untuk turun ke bawah? Tidak, itu hanya ada di sinetron-sinetron. Dia tak mau ambil resiko jatuh dan mati konyol.
"Nyonya Viona?" Tiba-tiba saja Nina sudah muncul dari balik pintu membawa makanan yang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya
membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang
dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop
pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya
membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang
dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop
pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya
membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang
dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop
pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya
membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang
dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop
pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya
membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang
dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop
pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya
membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang
dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop
pintu.
"Baik Nina, letakkan
saja di atas meja akan segera kumakan." Viona menghampiri sofa yang ada
di sudut kamar. "Bisakah aku minta tolong carikan dress warna cokelat
dengan motif garis merah? Aku ingin segera membersihkan diri sebentar
lagi." Viona mengambil mangkuk berisi sayur asam manis. "Sekalian
pakaian dalam. Tolong pilihkan yang bahannya nyaman."
Tanpa rasa curiga Ninan
masuk ke walk in closet sementara Viona mulai menjalankan rencananya. Ia
menaruh mangkuk yang masih berisi penuh tersebut kembali ke meja dan
mengendap-endap ke arah pintu yang terbuka. Dengan sigap ia keluar dan
mengunci pintu. Anak kunci yang terluput oleh Nina masih menempel di
kenop hingga memudahkannya.
Ia mengawat-awati ruang
bawah dan memastikan tak ada seorangpun yang ada di sana sebelum ia
turun. Beruntung kunci ben masih menggantung seperti biasa pada
gantungan tembok dekat tangga. Segera ia menyambarnya dan berlari cepat
ke arah garasi dengan tetap waspada.
Nina selamanya tak akan
pernah menemukan pakaian yang diminta Viona karena pakaian itu tak
pernah dimilikinya. Itu hanya akal-akalan Viona untuk mengalihkan
perhatiannya supaya Viona bisa kabur. Dan ternyata berhasil. Kini ia
bersama Ben melenggang meninggalkan rumah Rei.
Viona memastikan ini
terakhir kalinya ia mengendarai ben. Meski sebenarnya dia sangat
menyukai mobil ini. Miris, mana mungkin Rei membelikan mobil ini hanya
untukku, pastinya ini hanya salah satu investasinya. Batin Viona. Semua
yang dilaluinya dengan Rei adalah sebuah kebohongan, tak lebih dari
kepalsuan.
Dan juga.. untuk
terakhir kalinya ia akan melewati gerbang ini. Viona mengamati relief
dengan huruf kapital yang menyebutkan nama kawasan ini dengan megah dan
terlihat kokoh. Dulu, pertama kali saat Viona mengejanya rasanya
terdengar mistis, namun saat melihat dengan mata kepala sendiri kawasan
perumahan ini sungguh asri dan indah. Tak terkecuali rumah Rei.
Dan sedetik kemudian
saat matanya turun kembali ke arah jalan, pandangannya menangkap sosok
mobil hitam yang sangat dikenalnya. Juga suara klakson memekakkan karena
dibunyikan secara membabi buta.
"Oh, shit..!"
.
.
.
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 67"
Post a Comment