.
Entah Alex menemui siapa di club itu, dia keluar dengan menuntun, atau lebih bisa menyeret, seorang gadis dan memanggilkan taxi untuk gadis itu. Tapi yang kulihat dari penampilannya, gadis itu bukan pengunjung club itu. Maksudku, pakaiannya sama sekali tak menunjukkan bahwa dia sedang clubbing atau sejenisnya. Tidak dengan jeans dan kaus itu.
Entah Alex menemui siapa di club itu, dia keluar dengan menuntun, atau lebih bisa menyeret, seorang gadis dan memanggilkan taxi untuk gadis itu. Tapi yang kulihat dari penampilannya, gadis itu bukan pengunjung club itu. Maksudku, pakaiannya sama sekali tak menunjukkan bahwa dia sedang clubbing atau sejenisnya. Tidak dengan jeans dan kaus itu.
Yang paling mengangguku
hingga aku telah terbaring di kamar adalah penampakan sosok yang bersama
dengan Helena, atau itu tadi hanya ilusiku saja, mungkin karna
ketegangan yang terus menerjang bertubi-tubi. Membuatku berfantasi aneh.
Yang perlu kulakukan adalah beristirahat dan memikirkan bagaimana cara
meminta penjelasan dari Rei lusa besok. Apakah dia benar-benar
mencintaiku atau.. hanya menginginkan tubuhku. Kalau Rei tidak
mencintaiku, maka aku.. apa yang harus aku lakukan?
"Argh..." kembali bergerak gelisah karna jalan pikiranku yang semakin ruwet sementara otak tidak mau berkompromi.
Diiing doong
Siapa? Siapa malam-malam
begini? Jam di nakas menampilkan angka 20 serta 44. Mbak Nina pasti
sudah di rumah belakang. Dengan terpaksa aku harus turun dan menemui
siapapun orang yang tak sabar memencet bel berkali-kali.
Aku tidak bisa berlari
terburu-buru menuruni tangga kalau tak mau jatuh dan membahayakan
bayiku. Bayiku. Aku tersenyum dan mengelus lembut perut rataku. Tapi
senyumku tak bertahan lama karena suara bel yang kembali menggema di
seluruh ruang bawah.
"Sia.." Oh Holly Shit!!
"Hai..?" suara serak
yang menjijikkan. Wajahnya menampakkan seringai penuh ejekan dengan
matanya yang memerah karena alkohol. "Gwe nganterin suami lo.." Wanita
sialan di depanku melirik penuh arti pada orang yang sedang dipapahnya.
Dasar jalang. Bagaimana dia bisa bersama Rei?! Dasar pria brengsek!
Helena menyerahkan Rei padaku. Bau menyengat dari alkohol langsung
meyeruak dari tubuh Rei. Begitu pula bau rose yang langsung membuatku
mual. "Gwe pulang dulu, bye.." senyum setan Helena masih terus
mengejekku sampai akhir.
Rei yang tak sadarkan
diri sangat berat menumpu padaku. Aku hanya mampu menyeretnya sampai ke
ruaang tengah dan membaringkan tubuhnya di sofa depan tv. "Astaga.."
bekas lipstik amat kentara di kerah bajunya, serta..
Jadi beginikah? Sekarang
aku sudah tau jawabannya. Setidaknya aku tidak harus menunggu lusa,
setidaknya semua sudah jelas. Aku memandangi wajah tenangnya yang
terlelap, berbeda sekali dengan hatiku yang bergemuruh penuh amarah.
Kemeja, sabuk serta
sepatunya segera kulepaskan. Ia bergerak tak nyaman dan sepertinya
sadar. "Sayang?" aku bukan sayangmu! Dasar brengsek..
"Kau harus mandi Rei.
Kita harus ke atas." Entah mengerti atau tidak akan perkataanku. Rei
bangkit dan menurut saat aku memapahnya. Agak sulit memang membawa Rei
ke atas namun ini sudah lebih mudah karena Rei sedikit sadar. Kududukkan
ia di pinggir tube lalu aku mengambil hand shower untuk menyirami
tubuhnya yang half naked. Menggosok dengan putus asa pada beberapa tanda
merah di sekitar leher dan dada bidangnya.
"Kenapa kau menangis
Vio.." Ya Tuhan.. bahkan dia masih sempat memanggilku dengan sebutan itu
sambil memegang pipiku lembut. Aku memalingkan wajah dan mengusap air
mataku dengan kasar.
"Ini hanya air."
Kilahku. "Kau mandilah, aku akan menyiapkan pakaianmu." Kuletakkkan hand
shower yang masih menyala ke pangkuannya.
.
.
.
Biasanya aku terbangun karena omelan dari ringtone alarm ponsel Viona ata malah gerakan kecil yang dibuatnya saat berusaha melepas pelukanku. Itu adalah hal yang menyenangkan saat di pagi hari membuka mata dan pertama kali menangkap sosok yang amat kau cintai. Tapi sepertinya pagi ini lain..
.
.
.
Biasanya aku terbangun karena omelan dari ringtone alarm ponsel Viona ata malah gerakan kecil yang dibuatnya saat berusaha melepas pelukanku. Itu adalah hal yang menyenangkan saat di pagi hari membuka mata dan pertama kali menangkap sosok yang amat kau cintai. Tapi sepertinya pagi ini lain..
Tak ada siapa-siapa di
sebelahku. Hanya rasa sakit menyengat memenuhi kepalaku. Sial.. jam
berapa ini? Matahari sudah tampak sangat terang sepertinya.
"Sayang?" kukira dia ada
di kamar mandi, tapi nihil. Apa dia sedang keliling komplek? Atau
sedang di dapur. Kenapa ia tak membangunkanku pagi ini? Arg.. sial,
kepalaku sakit sekali.. seharusnya aku tidak minum... dengan Helena.
"Shit!"
Sialan.. sekelebat memory tentang semalam samar-samar kuingat. Tanpa pikir panjang aku turun ke bawah dan berlari ke dapur.
"Mbak, Viona mana?" hanya ada Mbak Nina yang sedang memotong sesuatu.
"Saya belum melihat ibu
turun, atau mungkin beliau sedang jogging." Nina, pembantu sementara di
rumah ini berhenti melakukan kegiatannya untuk menjawabku.
Tidak. Ini sudah terlalu siang untuk jogging. Secepat tadi, aku kembali ke kamar dan langsung ke walk in closet.
Setidaknya kalau kau berfikir bahwa aku pergi jauh periksalah baju dan barangku juga masih ada atau tidak.
Aku tiba-tiba teringat
candaan Viona saat itu.. dan kali ini, itu semua bukan candaan. Aku tak
akan tertawa, karna ini sama sekali tak lucu. Dan panggilan yang
tersambung ke mail box membuat jantungku mencelos. Tidak ini tidak
mungkin..
"Gi!" aku langsung
menyambar saat Gio mengangkat panggilan telepon yang kutujakan padanya.
"Apa Viona sudah datang?" dengan gemetar aku menunggu jawabannya.
"Belum. Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"
"Aku belum tau. Thank's
infonya." Segera kuakhiri panggilan telponku dan jatuh terduduk. Hal
terakhir yang akan ditinggalkan Viona adalah pekerjaannya. Dia amat
mencintai pekeraannya, kerja keras dan keprofesionalitasannya tidak
pernah diragukan. Dan jika itu terjadi maka dia benar-benar pergi..
Aku meremas rambutku
frustasi. Semestinya kemarin aku pulang dan tak menghiraukan ajakan
Helena ke club sialan itu hingga berakhir dengan mabuk berat.. Tapi aku
hanya minum tak sampai lima sloki? Brengsek! Wanita itu..
.
.
.
Meski aku tak makan banyak tadi malam, tapi tetap saja.. sudah hampir seperempat jam aku menghadap toilet duduk dan memuntahkan segala makan malam yang kusantap. Kuharap ada seseorang yang menepuk punggungku.. itu hanya terjadi sekali Viona, dan tidak akan lagi..
.
.
Meski aku tak makan banyak tadi malam, tapi tetap saja.. sudah hampir seperempat jam aku menghadap toilet duduk dan memuntahkan segala makan malam yang kusantap. Kuharap ada seseorang yang menepuk punggungku.. itu hanya terjadi sekali Viona, dan tidak akan lagi..
"Viona bisakah kau buka pintu sialan ini? Sedang apa kau sebenarnya ha?!"
"Tidak apa, aku tak apa.." aku menjawab sambil membersihkan merapikan rambut yang berserakan dan kotor terkena muntahaku.
"Aku mendengarmu muntah dari tadi tapi kau mengunci pintu ini. Kau membuatku gila!"
"Sudah kubilang aku tak apa-apa. Aku akan turun setelah selesai. Jangan khawatir." Aku berteriak dari balik pintu kamar mandi.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau membuka.."
"Apa?" Aku segera
menjeblak pintu kamar mandi yang sedari tadi dimaki. "Kau akan melakukan
apa? Mendobrak pintu ini? Bagaimana kalau aku sedang mandi?"
"Oh.. princess, jika kau sedang mandi tentu aku akan dengan senang hati mendobraknya sedari tadi."
"Dan aku langsung akan
membunuhmu Alex" aku langsung memelototi pria dengan setelan kerjanya
yang rapi dan melekat secara tepat pada badan berototnya.
"Ayolah Vi, kau terlihat pucat. Mana bisa membunuhku dengan tubuhmu yang lemah itu."
"Ohh.. dengan tubuh yang kau bilang lemah ini aku akan meracuni sarapanmu Mr. Curtiz." Sindirku.
"Kau tidak bisa
meracuniku princess. Sarapan telah disiapkan di bawah. Tapi sayangnya
aku tak bisa makan bersama, pekerjaan telah memanggil." Alex memamerkan
tas jinjingnya.
"Aku tidak akan mati
hanya aka kau tinggal sarapan sendiri Alex. Yang perlu kau khawatirkan
adalah dirimu, apa kau sudah sarapan?" tanyaku seraya keluar dari salah
satu kamar tamu rumah Alex. Atau bisa kusebut istana. Mungkin kemewahan
istana merdeka saja kalah dengan rumah Alex, meski aku belum melihat
detail rumah ini sih. Tapi hanya dengan memandangnya dari luar ketika
aku pertama kali datang kemari semalampun aku langsung tau bagaimana
bagian dalam rumah ini. Dan dulu saat Alex mengatakan tentang harus
punya satu seperti milikku, maksudku vw itu, ya dia mempunyai sebuah
mini cooper merah diantara puluhan mobil di garasi tempat ia memarkir
mobil BMW yang dipakainya untuk menjemputku dini hari tadi. Ah itu tak
bisa disebut garasi, itu seperti show room pribadi miliknya.
"Aku akan sarapan di jalan nanti. Ada Ana yang akan menemanimu. Dia juga yang akan memenuhi kebutuhanmu selama kau disini."
Aku memperhatikan gadis
bertubuh mungil yang sedang menyajikan beberapa piring yang dipenuhi
lauk pauk di atas meja makan besar yang dikelilingi kursi-kursi kayu
berukir. Dia sepertinya orang yang sama yang diseret Alex keluar dari
club kemarin sore.
"Aku pergi dulu, jika
kau butuh sesuatu jangan sungkan untuk langsung menghubungiku." Pamit
Alex, ia langsung melenggang ke pintu utama.
"Selamat pagi Nona, Saya
Ane. Hidangan telah siap, anda bisa sarapan segera." Aku membalikkan
pada sumber sapaan dari gadis berambut cokelat madu yang kini tengah
memandangku canggung.
"Jangan terlalu formal
Ane, aku hanya tamu sementara di rumah ini." Aku mendekat ke arah meja
makan yang ternyata sudah tersedia berbagai jenis masakan. "Panggil saja
aku Viona, dan terima kasih kau sudah menyiapkan ini semua. Tapi aku
tentu tak bisa menghabiskan semuanya, kuharap kau mau menemaniku
sarapan." Mata gadis yang sewarna dengan rambutnya itu melotot tak
percaya.
"Ti..tidak, Bran.. maksud saya Tuan Alex akan marah jika mengetahuinya."
"Sudahlah.. Alex akan
kumarahi jika dia tak mengijinkanmu makan bersamaku. Ayolah Ane, kau
tetu tau aku tak mungkin menghabiskan ini semua kan?" sebelah tanganku
menyapu pada hamparan masakan yang ada di meja makan.
"Baik, Nona.." ucap Ane pasrah. Ia menarik sebuah kursi untul dirinya.
"Sudah kubilang jangan terlalu formal dan memanggilku seperti itu. Panggil saja Viona."
"Em.." Ane terlihat ragu. "Ya, Viona..".
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 65"
Post a Comment