Hopeless Part 65

.
.
Entah Alex menemui siapa di club itu, dia keluar dengan menuntun, atau lebih bisa menyeret, seorang gadis dan memanggilkan taxi untuk gadis itu. Tapi yang kulihat dari penampilannya, gadis itu bukan pengunjung club itu. Maksudku, pakaiannya sama sekali tak menunjukkan bahwa dia sedang clubbing atau sejenisnya. Tidak dengan jeans dan kaus itu.
Yang paling mengangguku hingga aku telah terbaring di kamar adalah penampakan sosok yang bersama dengan Helena, atau itu tadi hanya ilusiku saja, mungkin karna ketegangan yang terus menerjang bertubi-tubi. Membuatku berfantasi aneh. Yang perlu kulakukan adalah beristirahat dan memikirkan bagaimana cara meminta penjelasan dari Rei lusa besok. Apakah dia benar-benar mencintaiku atau.. hanya menginginkan tubuhku. Kalau Rei tidak mencintaiku, maka aku.. apa yang harus aku lakukan?
"Argh..." kembali bergerak gelisah karna jalan pikiranku yang semakin ruwet sementara otak tidak mau berkompromi.
Diiing doong
Siapa? Siapa malam-malam begini? Jam di nakas menampilkan angka 20 serta 44. Mbak Nina pasti sudah di rumah belakang. Dengan terpaksa aku harus turun dan menemui siapapun orang yang tak sabar memencet bel berkali-kali.
Aku tidak bisa berlari terburu-buru menuruni tangga kalau tak mau jatuh dan membahayakan bayiku. Bayiku. Aku tersenyum dan mengelus lembut perut rataku. Tapi senyumku tak bertahan lama karena suara bel yang kembali menggema di seluruh ruang bawah.
"Sia.." Oh Holly Shit!!
"Hai..?" suara serak yang menjijikkan. Wajahnya menampakkan seringai penuh ejekan dengan matanya yang memerah karena alkohol. "Gwe nganterin suami lo.." Wanita sialan di depanku melirik penuh arti pada orang yang sedang dipapahnya. Dasar jalang. Bagaimana dia bisa bersama Rei?! Dasar pria brengsek! Helena menyerahkan Rei padaku. Bau menyengat dari alkohol langsung meyeruak dari tubuh Rei. Begitu pula bau rose yang langsung membuatku mual. "Gwe pulang dulu, bye.." senyum setan Helena masih terus mengejekku sampai akhir.
Rei yang tak sadarkan diri sangat berat menumpu padaku. Aku hanya mampu menyeretnya sampai ke ruaang tengah dan membaringkan tubuhnya di sofa depan tv. "Astaga.." bekas lipstik amat kentara di kerah bajunya, serta..
Jadi beginikah? Sekarang aku sudah tau jawabannya. Setidaknya aku tidak harus menunggu lusa, setidaknya semua sudah jelas. Aku memandangi wajah tenangnya yang terlelap, berbeda sekali dengan hatiku yang bergemuruh penuh amarah.
Kemeja, sabuk serta sepatunya segera kulepaskan. Ia bergerak tak nyaman dan sepertinya sadar. "Sayang?" aku bukan sayangmu! Dasar brengsek..
"Kau harus mandi Rei. Kita harus ke atas." Entah mengerti atau tidak akan perkataanku. Rei bangkit dan menurut saat aku memapahnya. Agak sulit memang membawa Rei ke atas namun ini sudah lebih mudah karena Rei sedikit sadar. Kududukkan ia di pinggir tube lalu aku mengambil hand shower untuk menyirami tubuhnya yang half naked. Menggosok dengan putus asa pada beberapa tanda merah di sekitar leher dan dada bidangnya.
"Kenapa kau menangis Vio.." Ya Tuhan.. bahkan dia masih sempat memanggilku dengan sebutan itu sambil memegang pipiku lembut. Aku memalingkan wajah dan mengusap air mataku dengan kasar.
"Ini hanya air." Kilahku. "Kau mandilah, aku akan menyiapkan pakaianmu." Kuletakkkan hand shower yang masih menyala ke pangkuannya.
.
.
.
Biasanya aku terbangun karena omelan dari ringtone alarm ponsel Viona ata malah gerakan kecil yang dibuatnya saat berusaha melepas pelukanku. Itu adalah hal yang menyenangkan saat di pagi hari membuka mata dan pertama kali menangkap sosok yang amat kau cintai. Tapi sepertinya pagi ini lain..
Tak ada siapa-siapa di sebelahku. Hanya rasa sakit menyengat memenuhi kepalaku. Sial.. jam berapa ini? Matahari sudah tampak sangat terang sepertinya.
"Sayang?" kukira dia ada di kamar mandi, tapi nihil. Apa dia sedang keliling komplek? Atau sedang di dapur. Kenapa ia tak membangunkanku pagi ini? Arg.. sial, kepalaku sakit sekali.. seharusnya aku tidak minum... dengan Helena. "Shit!"
Sialan.. sekelebat memory tentang semalam samar-samar kuingat. Tanpa pikir panjang aku turun ke bawah dan berlari ke dapur.
"Mbak, Viona mana?" hanya ada Mbak Nina yang sedang memotong sesuatu.
"Saya belum melihat ibu turun, atau mungkin beliau sedang jogging." Nina, pembantu sementara di rumah ini berhenti melakukan kegiatannya untuk menjawabku.
Tidak. Ini sudah terlalu siang untuk jogging. Secepat tadi, aku kembali ke kamar dan langsung ke walk in closet.
Setidaknya kalau kau berfikir bahwa aku pergi jauh periksalah baju dan barangku juga masih ada atau tidak.
Aku tiba-tiba teringat candaan Viona saat itu.. dan kali ini, itu semua bukan candaan. Aku tak akan tertawa, karna ini sama sekali tak lucu. Dan panggilan yang tersambung ke mail box membuat jantungku mencelos. Tidak ini tidak mungkin..
"Gi!" aku langsung menyambar saat Gio mengangkat panggilan telepon yang kutujakan padanya. "Apa Viona sudah datang?" dengan gemetar aku menunggu jawabannya.
"Belum. Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"
"Aku belum tau. Thank's infonya." Segera kuakhiri panggilan telponku dan jatuh terduduk. Hal terakhir yang akan ditinggalkan Viona adalah pekerjaannya. Dia amat mencintai pekeraannya, kerja keras dan keprofesionalitasannya tidak pernah diragukan. Dan jika itu terjadi maka dia benar-benar pergi..
Aku meremas rambutku frustasi. Semestinya kemarin aku pulang dan tak menghiraukan ajakan Helena ke club sialan itu hingga berakhir dengan mabuk berat.. Tapi aku hanya minum tak sampai lima sloki? Brengsek! Wanita itu..
.
.
.
Meski aku tak makan banyak tadi malam, tapi tetap saja.. sudah hampir seperempat jam aku menghadap toilet duduk dan memuntahkan segala makan malam yang kusantap. Kuharap ada seseorang yang menepuk punggungku.. itu hanya terjadi sekali Viona, dan tidak akan lagi..
"Viona bisakah kau buka pintu sialan ini? Sedang apa kau sebenarnya ha?!"
"Tidak apa, aku tak apa.." aku menjawab sambil membersihkan merapikan rambut yang berserakan dan kotor terkena muntahaku.
"Aku mendengarmu muntah dari tadi tapi kau mengunci pintu ini. Kau membuatku gila!"
"Sudah kubilang aku tak apa-apa. Aku akan turun setelah selesai. Jangan khawatir." Aku berteriak dari balik pintu kamar mandi.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau membuka.."
"Apa?" Aku segera menjeblak pintu kamar mandi yang sedari tadi dimaki. "Kau akan melakukan apa? Mendobrak pintu ini? Bagaimana kalau aku sedang mandi?"
"Oh.. princess, jika kau sedang mandi tentu aku akan dengan senang hati mendobraknya sedari tadi."
"Dan aku langsung akan membunuhmu Alex" aku langsung memelototi pria dengan setelan kerjanya yang rapi dan melekat secara tepat pada badan berototnya.
"Ayolah Vi, kau terlihat pucat. Mana bisa membunuhku dengan tubuhmu yang lemah itu."
"Ohh.. dengan tubuh yang kau bilang lemah ini aku akan meracuni sarapanmu Mr. Curtiz." Sindirku.
"Kau tidak bisa meracuniku princess. Sarapan telah disiapkan di bawah. Tapi sayangnya aku tak bisa makan bersama, pekerjaan telah memanggil." Alex memamerkan tas jinjingnya.
"Aku tidak akan mati hanya aka kau tinggal sarapan sendiri Alex. Yang perlu kau khawatirkan adalah dirimu, apa kau sudah sarapan?" tanyaku seraya keluar dari salah satu kamar tamu rumah Alex. Atau bisa kusebut istana. Mungkin kemewahan istana merdeka saja kalah dengan rumah Alex, meski aku belum melihat detail rumah ini sih. Tapi hanya dengan memandangnya dari luar ketika aku pertama kali datang kemari semalampun aku langsung tau bagaimana bagian dalam rumah ini. Dan dulu saat Alex mengatakan tentang harus punya satu seperti milikku, maksudku vw itu, ya dia mempunyai sebuah mini cooper merah diantara puluhan mobil di garasi tempat ia memarkir mobil BMW yang dipakainya untuk menjemputku dini hari tadi. Ah itu tak bisa disebut garasi, itu seperti show room pribadi miliknya.
"Aku akan sarapan di jalan nanti. Ada Ana yang akan menemanimu. Dia juga yang akan memenuhi kebutuhanmu selama kau disini."
Aku memperhatikan gadis bertubuh mungil yang sedang menyajikan beberapa piring yang dipenuhi lauk pauk di atas meja makan besar yang dikelilingi kursi-kursi kayu berukir. Dia sepertinya orang yang sama yang diseret Alex keluar dari club kemarin sore.
"Aku pergi dulu, jika kau butuh sesuatu jangan sungkan untuk langsung menghubungiku." Pamit Alex, ia langsung melenggang ke pintu utama.
"Selamat pagi Nona, Saya Ane. Hidangan telah siap, anda bisa sarapan segera." Aku membalikkan pada sumber sapaan dari gadis berambut cokelat madu yang kini tengah memandangku canggung.
"Jangan terlalu formal Ane, aku hanya tamu sementara di rumah ini." Aku mendekat ke arah meja makan yang ternyata sudah tersedia berbagai jenis masakan. "Panggil saja aku Viona, dan terima kasih kau sudah menyiapkan ini semua. Tapi aku tentu tak bisa menghabiskan semuanya, kuharap kau mau menemaniku sarapan." Mata gadis yang sewarna dengan rambutnya itu melotot tak percaya.
"Ti..tidak, Bran.. maksud saya Tuan Alex akan marah jika mengetahuinya."
"Sudahlah.. Alex akan kumarahi jika dia tak mengijinkanmu makan bersamaku. Ayolah Ane, kau tetu tau aku tak mungkin menghabiskan ini semua kan?" sebelah tanganku menyapu pada hamparan masakan yang ada di meja makan.
"Baik, Nona.." ucap Ane pasrah. Ia menarik sebuah kursi untul dirinya.
"Sudah kubilang jangan terlalu formal dan memanggilku seperti itu. Panggil saja Viona."
"Em.." Ane terlihat ragu. "Ya, Viona.."
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 65"

Post a Comment