Hopeless Part 64


.
Aku memegangi selembaran persegi berwarna hitam putih abstrak. Ada titik besar berwarna putih di tengah-tengah gambar itu. Sesuatu yang akan tumbuh berkembang dengan cepat selama delapan bulan kedepan. Aku menyisipkan di buku biru yang selalu siap sedia dalam tasku.
"Apa kau akan langsung pulang?"
"Tidak, aku ingin ke rumah Ayah. Bisakah aku minta tolong lagi?"
"Tentu saja princess." Supir dadakanku menganggu bersemanggat. "Jadi sampai kapan kau akan menyembunyikan ini?"
"Menyembunyikan apa?"
"Ayolah Vi.. kau belum memberitahunya kan? Jika sudah kau tak mungkin memintaku mengantarmu ke dokter siang ini." Aku memilin kecil keliman dress one piece hijau tua yang kupakai. Bagaimana dia bisa tau?
"Rei pagi tadi berangkat keluar kota, aku tak punya kesempatan bicara."
"Hanya untuk mengatakan bahwa kau hamil?"
"Tidak semudah itu Alex!" geramku.
"Ok.. Ok.. kalau kau mau berpaling, aku yang akan selalu di sampingmu." Seringai jahil Alex telah kembali seperti dulu. Aku lebih senang seperti ini, Alex yang banyak bicara dan tersenyum. Meski senyumnya menyebalkan. "Jadi kemana kita akan pergi tepatnya?"
Aku menyebut alamat rumah yang selama sebulan ini belum kukunjungi lagi. Semenja ayah kembali ke rumah, aku belum sempat menjenguknya. Tapi ia sempat berkunjung ke rumah, maksudku rumah Rei, bersama bibi Ama untuk menengok kami. Mungkin dia akan terkejut kalau aku datang di siang bolong pada jam kerja seperti ini. Terlebih aku membawa pria di sampinku ini.
"Dua blok lagi, nomor 75 cat biru muda." Alex memelankan laju sparconya. Apakah ini adalah mobil yang sama saat ia di Bali waktu itu? atau ini mobil lain lagi? Mungkin dia punya bisnis sampingan rental mobil.
"Viona?" benar saja, ayah begitu terkejut melihatku saat keluar dari mobil. Sepertinya saat aku datang ayah sedang berbincang-bincang dengan bibi Ama di teras depan. "Kau tidak bekerja?"
"Aku sedang libur." Aku mencium tangannya lalu memeluk ayah singkat. "Hai Bibi Ama.." aku mengangguk kecil padanya dan dibalas sama pula.
"Ehm.." Deheman kecil mengingatkanku pada sosok yang sedari tadi menunggu untuk diperkenalkan.
"Ayah, kenalkan ini Alex.." Ayah mengangkat sebelah alisnya. "Temen Viona.."
"Nak Alex, lama tidak berjumpa." Hmm? Jadi Bibi Ama pernah bertemu Alex. Kelihatannya mereka sudah lama saling kenal, bahkan sepertinya lebih hanya sekedar saling kenal..
"Hallo Bibi.." Alex menyalami Bibi Ama.
"Alex adalah teman Raihan. Dia sudah bersama sejak sekolah menengah pertama, tapi sekarang Alex sudah jarang main ke rumah." Bibi Ama menjelaskan tentang Alex pada Ayah. It membuatku terkesiap. Sedekat itukah Rei dengan Alex dulu? Jadi apa yang membuat mereka saling berjauhan?
"Mari masuk." Ajak Ayah. Kami masuk mengiringi ayah ke ruang tamu.
"Apa kau tidak apa meninggalkan pekerjaanmu?" bisikku pada Alex.
"Aku rela kehilangan pendapatanku hanya untuk menghabiskan hari bersamamu sweety." Alex balas berbisik. Cih.. tidak bisakah dia menghilangkan sifat suka merayunya?
Aku menjelaskan pada ayah bahwa Rei sedang keluar kota dan tidak bisa ikut berkunjung, jadi aku meminta Alex untuk menemaniku pergi hari ini. Menemaniku juga ke dokter kandungan. Memang aneh meminta musuhmu mengantarkanmu ke dokter kandungan. Tapi sudahlah, aku ingin gencatan senjata sementara waktu. Lagi pula.. tidak ada yang lain yang bisa kupercaya.
Bibi Ama rupanya telah menyiapkan makan siang, jadi kami tak perlu menunggu lama untuk makan. Bibi Ama bergabung di meja makan dan menceritakan masa lalu tentang Alex dan Rei. Aku tak mengira mereka begitu akrab, meski itu dulu. Kukira mereka hanya berteman biasa, tapi mendengar cerita Bibi Ama bahwa mereka sering hang out bersama juga terkedang mereka menginap secara bergilir. How close theya are.. aku amat penasaran kenapa sikap mereka saling sinis terhadap satu sama lain sekarang.
"Kenapa sekarang kalian bermusuhan?" aku langsung mengintrogasi Alex ketika kami punya kesempatan berdua saja saat bersantai di halaman belakang.
"Kami tak bermusuhan." Kata Alex acuh. Ia benar-benar dalam tampilan malasnya, celana kargo hijau tua dan polo shirt nya serta caranya duduk meluruskan kakinya. Menikmati sore dengan semilir hangat udara terbuka.
"Oh yeah, jelas sekali." Sindirku. Bagaimana mereka tak bermusuhan? Lalu kenapa mereka harus saling baku hantam kalau memang mereka berteman dan tidak bermusuhan.
"Tanya saja pada suamimu itu." ucap Alex sinis.
"Kan kau yang ada disini, ngapain repot-repot nanya Rei kalau salah satunya ada disini? Jadi benar kalian dulu bersahabat?" sahabat mungkin adalah kata yang tepat, kukira mereka lebih dari sekedar berteman biasa.
"Ya kami memang dulu seperti itu. Bersahabat atau apalah namanya, tapi tidak ada yang namanya sahabat selamanya. Pasti selalu ada sebuah masalah.."
"Apa itu?" kejarku, Alex sudah mulai mau bicara. Kuharap dia benar-benar memberitahuku yang sebenarnya kali ini.
"Wanita. Seorang wanita dan kami selesai." Wajah Alex berubah masam. "Wanita itu memilih Rei. Tapi dasar bodoh, dia tak mampu menjaganya. Kami semua kehilangan dia."
"Emm.. apakah dia Selena?" tanyaku ragu. Apakah gadis yang mereka rebutkan itu Selena. Seperti apa gadis itu sampai Rei dan Alex mengistimewakannya di hati mereka.
"Rei sudah memberitahumu?" Alex sedikit terkejut. Berarti benar bahwa itu adalah Selena. "Ya.. itu adalah dia kembaran Helena."
"Pardon?" WHAT??! Kembaran? Nggak salah denger nih? Selena dan Helena adalah saudara kembar?
"Mereka adalah kembar. Kau tak tau? Sepertinya Rei kurang bercerita secara lengkap." Senyum sindirannya mengejekku.
Pantas saja nama mereka mirip dan Rei amat akrab dengannya. Bisa kupastikan mereka kembar identik. Tapi aku masih ingat betul ketika Alex pertama kali menyapaku dan mengatai Helena dengan kata murahan. Kenapa Alex tidak dekat dengan wanita itu? Apa karena dia dulu ditolak oleh Selena dan sampai sekarang masih belum bisa menerima?
.
.
.
Alex mengantarku pulang dari rumah Ayah sekitar pukul tujuh lewat. Tak terasa satu hari berlalu dengan begitu cepat, dan Rei akan segera pulang tentunya.
"Tak keberatan jika aku mampir sebentar?" Alex tengah serius memandang ke arah kayar ponselnya ketika bertanya.
"Tentu saja."
Alex mulai menjalankan mobilnya dan keluar dari gerbang rumah. Menuju jalanan kota yang agak lengang. Temaram lampu jingga jalanan memberikan sedikit pandangan pada siluet kota. Alex tak mengememudi lama setelah ia keluar dari kawasan perumahan yang dihuni Ayah. Alex mampir ke sebuah bar? Yakin nih dia cuman mampir sebentar saja?
"Aku tak akan lama." Seperti bisa membaca pikiranku Alex. "Aku harus memastikan sesuatu sebentar. Kau tunggu disini saja."
Aku hanya mengangguk untuk menyetujuinya. Siapa juga yang mau ikut. Tempat seperti ini adalah tempat terakhir dalam daftar kunjunganku. Atau bahkan tidak ada.
Alex segera turun dan memasuki bangunan berlantai dua itu. Beberapa orang juga terlihat memasuki gedung bernuansa gelap itu. Berpakaian parlente juga santai. Dan para pengunjung wanita, gaun malam mereka semua terlihat terbuka.
Aku terus memandangi setiap pengunjung yang terus berdatangan sampai mataku tertuju pada sosok yang kubicarakan tadi sore bersama Alex. Wanita itu.. tapi orang di sebelahnya adalah.. tidak mungkin. Dia tidak mungkin ada disini.
.
.
.
Tbc

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 64"

Post a Comment