.
Aku memegangi selembaran persegi berwarna hitam putih abstrak. Ada titik besar berwarna putih di tengah-tengah gambar itu. Sesuatu yang akan tumbuh berkembang dengan cepat selama delapan bulan kedepan. Aku menyisipkan di buku biru yang selalu siap sedia dalam tasku.
"Apa kau akan langsung pulang?"
"Tidak, aku ingin ke rumah Ayah. Bisakah aku minta tolong lagi?"
"Tentu saja princess." Supir dadakanku menganggu bersemanggat. "Jadi sampai kapan kau akan menyembunyikan ini?"
"Menyembunyikan apa?"
"Ayolah Vi.. kau belum
memberitahunya kan? Jika sudah kau tak mungkin memintaku mengantarmu ke
dokter siang ini." Aku memilin kecil keliman dress one piece hijau tua
yang kupakai. Bagaimana dia bisa tau?
"Rei pagi tadi berangkat keluar kota, aku tak punya kesempatan bicara."
"Hanya untuk mengatakan bahwa kau hamil?"
"Tidak semudah itu Alex!" geramku.
"Ok.. Ok.. kalau kau mau
berpaling, aku yang akan selalu di sampingmu." Seringai jahil Alex
telah kembali seperti dulu. Aku lebih senang seperti ini, Alex yang
banyak bicara dan tersenyum. Meski senyumnya menyebalkan. "Jadi kemana
kita akan pergi tepatnya?"
Aku menyebut alamat
rumah yang selama sebulan ini belum kukunjungi lagi. Semenja ayah
kembali ke rumah, aku belum sempat menjenguknya. Tapi ia sempat
berkunjung ke rumah, maksudku rumah Rei, bersama bibi Ama untuk menengok
kami. Mungkin dia akan terkejut kalau aku datang di siang bolong pada
jam kerja seperti ini. Terlebih aku membawa pria di sampinku ini.
"Dua blok lagi, nomor 75
cat biru muda." Alex memelankan laju sparconya. Apakah ini adalah
mobil yang sama saat ia di Bali waktu itu? atau ini mobil lain lagi?
Mungkin dia punya bisnis sampingan rental mobil.
"Viona?" benar saja,
ayah begitu terkejut melihatku saat keluar dari mobil. Sepertinya saat
aku datang ayah sedang berbincang-bincang dengan bibi Ama di teras
depan. "Kau tidak bekerja?"
"Aku sedang libur." Aku
mencium tangannya lalu memeluk ayah singkat. "Hai Bibi Ama.." aku
mengangguk kecil padanya dan dibalas sama pula.
"Ehm.." Deheman kecil mengingatkanku pada sosok yang sedari tadi menunggu untuk diperkenalkan.
"Ayah, kenalkan ini Alex.." Ayah mengangkat sebelah alisnya. "Temen Viona.."
"Nak Alex, lama tidak
berjumpa." Hmm? Jadi Bibi Ama pernah bertemu Alex. Kelihatannya mereka
sudah lama saling kenal, bahkan sepertinya lebih hanya sekedar saling
kenal..
"Hallo Bibi.." Alex menyalami Bibi Ama.
"Alex adalah teman
Raihan. Dia sudah bersama sejak sekolah menengah pertama, tapi sekarang
Alex sudah jarang main ke rumah." Bibi Ama menjelaskan tentang Alex pada
Ayah. It membuatku terkesiap. Sedekat itukah Rei dengan Alex dulu? Jadi
apa yang membuat mereka saling berjauhan?
"Mari masuk." Ajak Ayah. Kami masuk mengiringi ayah ke ruang tamu.
"Apa kau tidak apa meninggalkan pekerjaanmu?" bisikku pada Alex.
"Aku rela kehilangan
pendapatanku hanya untuk menghabiskan hari bersamamu sweety." Alex balas
berbisik. Cih.. tidak bisakah dia menghilangkan sifat suka merayunya?
Aku menjelaskan pada
ayah bahwa Rei sedang keluar kota dan tidak bisa ikut berkunjung, jadi
aku meminta Alex untuk menemaniku pergi hari ini. Menemaniku juga ke
dokter kandungan. Memang aneh meminta musuhmu mengantarkanmu ke dokter
kandungan. Tapi sudahlah, aku ingin gencatan senjata sementara waktu.
Lagi pula.. tidak ada yang lain yang bisa kupercaya.
Bibi Ama rupanya telah
menyiapkan makan siang, jadi kami tak perlu menunggu lama untuk makan.
Bibi Ama bergabung di meja makan dan menceritakan masa lalu tentang Alex
dan Rei. Aku tak mengira mereka begitu akrab, meski itu dulu. Kukira
mereka hanya berteman biasa, tapi mendengar cerita Bibi Ama bahwa mereka
sering hang out bersama juga terkedang mereka menginap secara bergilir.
How close theya are.. aku amat penasaran kenapa sikap mereka saling
sinis terhadap satu sama lain sekarang.
"Kenapa sekarang kalian
bermusuhan?" aku langsung mengintrogasi Alex ketika kami punya
kesempatan berdua saja saat bersantai di halaman belakang.
"Kami tak bermusuhan."
Kata Alex acuh. Ia benar-benar dalam tampilan malasnya, celana kargo
hijau tua dan polo shirt nya serta caranya duduk meluruskan kakinya.
Menikmati sore dengan semilir hangat udara terbuka.
"Oh yeah, jelas sekali."
Sindirku. Bagaimana mereka tak bermusuhan? Lalu kenapa mereka harus
saling baku hantam kalau memang mereka berteman dan tidak bermusuhan.
"Tanya saja pada suamimu itu." ucap Alex sinis.
"Kan kau yang ada
disini, ngapain repot-repot nanya Rei kalau salah satunya ada disini?
Jadi benar kalian dulu bersahabat?" sahabat mungkin adalah kata yang
tepat, kukira mereka lebih dari sekedar berteman biasa.
"Ya kami memang dulu
seperti itu. Bersahabat atau apalah namanya, tapi tidak ada yang namanya
sahabat selamanya. Pasti selalu ada sebuah masalah.."
"Apa itu?" kejarku, Alex sudah mulai mau bicara. Kuharap dia benar-benar memberitahuku yang sebenarnya kali ini.
"Wanita. Seorang wanita
dan kami selesai." Wajah Alex berubah masam. "Wanita itu memilih Rei.
Tapi dasar bodoh, dia tak mampu menjaganya. Kami semua kehilangan dia."
"Emm.. apakah dia
Selena?" tanyaku ragu. Apakah gadis yang mereka rebutkan itu Selena.
Seperti apa gadis itu sampai Rei dan Alex mengistimewakannya di hati
mereka.
"Rei sudah memberitahumu?" Alex sedikit terkejut. Berarti benar bahwa itu adalah Selena. "Ya.. itu adalah dia kembaran Helena."
"Pardon?" WHAT??! Kembaran? Nggak salah denger nih? Selena dan Helena adalah saudara kembar?
"Mereka adalah kembar. Kau tak tau? Sepertinya Rei kurang bercerita secara lengkap." Senyum sindirannya mengejekku.
Pantas saja nama mereka
mirip dan Rei amat akrab dengannya. Bisa kupastikan mereka kembar
identik. Tapi aku masih ingat betul ketika Alex pertama kali menyapaku
dan mengatai Helena dengan kata murahan. Kenapa Alex tidak dekat dengan
wanita itu? Apa karena dia dulu ditolak oleh Selena dan sampai sekarang
masih belum bisa menerima?
.
.
.
Alex mengantarku pulang dari rumah Ayah sekitar pukul tujuh lewat. Tak terasa satu hari berlalu dengan begitu cepat, dan Rei akan segera pulang tentunya.
.
.
.
Alex mengantarku pulang dari rumah Ayah sekitar pukul tujuh lewat. Tak terasa satu hari berlalu dengan begitu cepat, dan Rei akan segera pulang tentunya.
"Tak keberatan jika aku mampir sebentar?" Alex tengah serius memandang ke arah kayar ponselnya ketika bertanya.
"Tentu saja."
Alex mulai menjalankan
mobilnya dan keluar dari gerbang rumah. Menuju jalanan kota yang agak
lengang. Temaram lampu jingga jalanan memberikan sedikit pandangan pada
siluet kota. Alex tak mengememudi lama setelah ia keluar dari kawasan
perumahan yang dihuni Ayah. Alex mampir ke sebuah bar? Yakin nih dia
cuman mampir sebentar saja?
"Aku tak akan lama." Seperti bisa membaca pikiranku Alex. "Aku harus memastikan sesuatu sebentar. Kau tunggu disini saja."
Aku hanya mengangguk
untuk menyetujuinya. Siapa juga yang mau ikut. Tempat seperti ini adalah
tempat terakhir dalam daftar kunjunganku. Atau bahkan tidak ada.
Alex segera turun dan
memasuki bangunan berlantai dua itu. Beberapa orang juga terlihat
memasuki gedung bernuansa gelap itu. Berpakaian parlente juga santai.
Dan para pengunjung wanita, gaun malam mereka semua terlihat terbuka.
Aku terus memandangi
setiap pengunjung yang terus berdatangan sampai mataku tertuju pada
sosok yang kubicarakan tadi sore bersama Alex. Wanita itu.. tapi orang
di sebelahnya adalah.. tidak mungkin. Dia tidak mungkin ada disini.
.
.
.
Tbc
.
.
.
Tbc
0 Response to "Hopeless Part 64"
Post a Comment