Hopeless Part 48

.
"Ada apa dengan ayah?" tembakku langsung saat menemui nenek sihir aka emak tiriku setelah seorang pelayan kafe menyajikan pesanan kami.
"Dia sedang menjalani fisioterapi." Jadi benar yang dikatakan dokter itu kalau ayah diharuskan menjalani terapi fisik untuk memulihkan anggota gerak tubuhnya. "Dia membutuhkan biaya." Aha! Sepertinya aku tau apa yang ada di kepala manusia ular ini.
"Bukankah tabungan ayah cukup banyak untuk membiayai semua itu?" bukannya aku pelit nggak mau kasih atau gimana. Aku tau betul jumlah uang ayah di bank karna selain kadang membantu usaha percetakannya aku juga mengatur keuangannya.
"Semua sudah digunakan untuk membiayai gaji para pegawai dan untuk perawatannya kemarin."
"Gaji pegawai? Itukan ada anggaran sendiri."
"Percetakan sedang sepi Vi. Kau tau sendiri kan ada bulan-bulan paceklik untuk usaha ayahmu, dan sekarang diperparah dengan persaingan yang semakin ketat." Bener sih yang dikatakannya, tapi masa iya uang ayah amblas gitu aja.
"Ya sudah, akan kukirim ke rekening ayah besok." Sekilas aku melihat sudut bibirnya terangkat sebelum menampilkan ekspresi datarnya lagi. "Aku tak bisa lama." Tanpa berkata apa-apa lagi aku pergi meninggalkannya dan secangkir kopi yang sama sekali tak kusentuh. Bertemu dengannya membuat nafsu makanku lenyap sama sekali. Dia memperparahnya dengan meminta uang padaku. Hah! Dia pikir siapa? Kenapa dulu mengusirku? Seharusnya dia bisa menjaga ayah sepenuhnya kalau bisa mengusirku. Dasar wanita sialan. Aku tak akan memberikan uang begitu saja. Akan kuselediki apa yang sebenarnya terjadi. Aku tau seberapa licik dirimu.
.
.
.
Rei memintaku menemaninya dalam sebuah pesta ulang tahun perusahaan konstruksi milik rekannya. Ini pertama kalinya kami tampil sebagai pasangan suami istri di khalayak umum setelah tiga bulan menikah.
"Aku akan membunuh Diana karna dia memberikanmu pakaian seperti ini!" Geram Rei di telingaku. Aku hanya bisa tersenyum simpul. Dia amat marah saat aku melepas mantelku dan melihat gaun yang kukenakan dibaliknya. Gaun putih yang mengekspos seluruh punggungku hingga pinggang.
"Kau sendiri yang merekomendasikan Diana padaku." Cibirku tak mau kalah. Dia memaksaku untuk beli gaun baru untuk pesta ulang tahun serta peresmian kantor baru perusahaan konstruksi dari teman Rei. Aku menyukai gaun ini kok, memeluk tubuhku dengan pas dan memamerkan lekukku dengan tepat. Diana memang yang terbaik.
"Seharusnya aku ikut saja ke butik dan memilihkanmu baju yang tepat." Nada tak suka masih keluar dari mulut Rei. Ia menggiringku dari belakang untuk menutup punggungku. "Akan kucongkel mata sialan yang memandang punggung telanjangmu." Lebay.
"Jangan berlebihan deh.. kau nggak liat semua wanita yang ada disini memakai gaun yang berpotongan hampir sama denganku? Malah ada yang lebih parah." Kuperhatikan sekelilingku dan menemukan beberapa wanita memakai gaun yang sama sekali kekurangan bahan. Minim dan tipis.
MC mulai membuka acara malam ini secara singkat, dilanjutkan dengan prakata dari si empunya acara. Roan Adiyaksa adalah orang baru di bidangnya, ia melanjutkan bisnis ayahnya baru beberapa bulan ini menurut cerita Rei. Dulunya ia adalah pekerja lepas di sebuah perusahaan periklanan skala menengah milik ayah gadis yang sekarang ini menjadi istrinya.
"Selamat Ro."
"Terimakasih Raihan.." Rei menyalami pria seumurannya dan dibalas dengan hangat oleh pria itu. Pria dengan wajah tirus dan jambang cukup tebal itu terlihat seperti bukan seora presdir perusahaan konstruksi.
"Mana istrimu?" tanya Rei.
"Zeelam sedang mengikuti pameran di Malaysia bersama Candra." Waow.. istrinya pasti seorang seniman. Nggak bisa dibandingin deh sama aku, aku cuman nebeng di perusahaan Rei doang.
"Kau tak cemburu?" tanya Rei menggoda.
"Enggaklah.. kalaupun Candra berani nyentuh Zeelam, Cika pasti sudah lebih mendahuluiku membunuh pria itu." Sudah dua kali aku mendengar dua kata ancaman pembunuhan malam ini. Kenapa para pria selalu sensi sih! "Istrimu?" Roan menunjukku dengan mata hijaunya.
"Ya." Aku menyambut uluran tangannya.
"Kalian tampak serasi. Maaf waktu itu tak bisa menghadiri pernikahan kalian. Kalian cukup membuat khalayak umum terkejut dengan pernikahan yang mendadak. Waktu itu aku sedang ada di Makasar dan ada pekerjaan yang tak bisa ditinggal."
"Tak masalah Ro."
Perbincangan kami disela oleh tamu lain yang ingin mengucapkan selamat pada Roan. Banyak tamu yang menghadiri acara ini. Ada perbedaan mencolok saat aku tampil dengan Rei di acara ini dan di pesta pernikahan Gio waktu lalu. Tatapan mata nyalang yang dulu ditujukan padaku kini berubah jadi pandangan envy, huh! Rei terus menempeliku dari belakang, memebuatku risih. Dia hanya beridiri di sampingku sambil menggamit tangan atau pinggangku saat berbincang dengan kenalannya. Seperti saat ini, tapi dia sama sekali tak menggandengku. Sudah terlarut dengan obrolan cewek yang bisa membuatnya lupa aku berada di sampingnya sama seperti dulu. Si Helena. Hei! Ini maksudku. Sepertinya aku pernah mendengar saat Rei menyebut nama Selena. Sekarang aku ingat kalau yang kumaksud ini Helena. Hmm.. namanya sama dengan mantan tercinta Rei. Membuat perutku bergejolak kesal.
Tanpa pamit aku meninggalkan Rei. Dia bahkan tak menyadarinya saat aku pergi. Cih! Apa sih persamaan Helena dan Selena selain namanya sampai Rei nempel gitu, bahkan aku seperti dihempas peredarannya. Karn tak ada yang begitu kukenal baik, akhirnya aku menuju meja prasmanan. Lebih baik makan daripada ngobrol nggak jelas, lagian apa yang mau diobrolin? Promoin produk? Cuman itu keahlian bicaraku.
Mataku menemukan pemandangan yang membuat malam ini tambah buruk. Alex.. ini seperti kejadian waktu lalu saat aku meninggalkan Rei berbincang dengan wanita tadi dan bertemu Alex. Alex yang kini menggandeng seorang gadis. Oh hei? Sepertinya gadis itu masih dibawah umur. Alex bahkan mengacuhkanku saat dia melihatku. Jadi aku jadi si butiran debu nih malam ini? Yang nggak nampak sama sekali. Baru tadi jadi berlian yang ditatap iri semua orang, sedetik kemudian jadi debu yang kehadirannya aja dihindarin.
Rasa gerah dan marah membuatku menyambar segelas minuman yang dibawa oleh para pelayan yang mondar-mandir. Menyesapnya untuk merasakan enak apa tida. Em.. yummii.. manis, segar apel. Mungkin aku akan menemui Roan untuk meminta ijin untuk memberiku resep minuman ini. Satu gelas, dua, tiga, empat, lim..
.
.
.
Sedetik saja lengah aku langsung kehilangan Viona. Kemana gadis itu?! Helena yang semakin bicara tak jelas segera kutinggalkan. Dia tak mungkin berbicara dengan orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Jadi bisa kutebak Viona ada di dekat prasmanan.
100% right. Dia ada disana tapi.. Viona sama sekali tak menyentuh makanan apapun. Ia sedang asyik memandangi seseorang. Alex? Dan.. siapa gadisi di bawah umur itu? Apa Alex jadi seorang pedofil? Menjijikkan..
Viona.. oh shit!
"Berhenti!" gelas berisi chardonnay di tangan Viona segera kurebut. Muka dan lehernya sudah merah padam.
Viona sempat terkejut, namun segera tertawa cekikikan melihatku. "Ini enak Rei. Kau mau juga?" Via mengambil segelas minuman serupa lagi dari seorang pelayan dan menawarkannya padaku.
"Kita pulang." Tegasku. Aku merebut gelas yang dipegangnya dan menaruhnya di meja prasmanan dan segera menyeretnya sebelum Viona bertindak di luar kesadarannya.
"Kau sudah selesai rupanya. Haha.. apa sekarang aku bisa jadi berlian lagi?" Viona mulai meracau tak jelas. Sial! Berapa gelas sih yang dia minum?!
Aku segera menggiringnya sebelum tatapan lapar mereka menghentikanku dan memukuli mereka satu persatu karna sudah lancang memandangi punggung mulus Viona seolah ingin menjilatinya. Damn! Tak seharusnya kubiarkan ia beli gaun sendiri, andai saja tadi tak ada pertemuan mendadak pasti hal ini tak terjadi. Lagian Diana ngapain milihin Viona baju kayak gini sih! Membuatku dan tamu lain sulit bernafas! Sudah kubilang pada Diana untuk memilihkannya gaun yang tertutup.
Sambil menunggu petugas valet, aku mendudukan Viona di salah satu kursi tunggu depan lobi. Racauannya makin tak jelas. Apel, resep, Roan, butiran debu dan berlian. Apa dia suka lagu butiran debu? Apa sih yang ada di kepalanya?
"Pakai mantelmu.." aku membantunya memakai mantel cokelat tua. Sedikit bisa mengalihkan pikiran untuk menjalankan lidahku disepanjang punggung mulusnya setelah mantel itu menutup sempurna tubuhnya. Fiuh..
"Berdiri." Viona sudah tak mampu memijakkan kakinya dengan benar hingga harus kupapah. Kemarin aja dia melarangku minum, sekarang malah dia yang teler padahal baru ditinggal sebentar.
Dengan susah payah Viona kumasukkan ke dalam mobil. Ia berulangkali meronta ingin keluar walau seatbelt sudah terpasang. Terpaksa aku mengikat kedua tangannya dengan sabuk. Sayang sekali aku tak memakai dasi, mungkin akan lebih pantas mengikatnya dengan itu. Aku tersenyum simpul memikirkan hal itu, mungkin akan jadi tontonan yang menarik..
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 48"

Post a Comment