.
"Ada apa dengan ayah?" tembakku langsung saat menemui nenek sihir aka emak tiriku setelah seorang pelayan kafe menyajikan pesanan kami.
"Ada apa dengan ayah?" tembakku langsung saat menemui nenek sihir aka emak tiriku setelah seorang pelayan kafe menyajikan pesanan kami.
"Dia sedang menjalani
fisioterapi." Jadi benar yang dikatakan dokter itu kalau ayah diharuskan
menjalani terapi fisik untuk memulihkan anggota gerak tubuhnya. "Dia
membutuhkan biaya." Aha! Sepertinya aku tau apa yang ada di kepala
manusia ular ini.
"Bukankah tabungan ayah
cukup banyak untuk membiayai semua itu?" bukannya aku pelit nggak mau
kasih atau gimana. Aku tau betul jumlah uang ayah di bank karna selain
kadang membantu usaha percetakannya aku juga mengatur keuangannya.
"Semua sudah digunakan untuk membiayai gaji para pegawai dan untuk perawatannya kemarin."
"Gaji pegawai? Itukan ada anggaran sendiri."
"Percetakan sedang sepi
Vi. Kau tau sendiri kan ada bulan-bulan paceklik untuk usaha ayahmu, dan
sekarang diperparah dengan persaingan yang semakin ketat." Bener sih
yang dikatakannya, tapi masa iya uang ayah amblas gitu aja.
"Ya sudah, akan kukirim
ke rekening ayah besok." Sekilas aku melihat sudut bibirnya terangkat
sebelum menampilkan ekspresi datarnya lagi. "Aku tak bisa lama." Tanpa
berkata apa-apa lagi aku pergi meninggalkannya dan secangkir kopi yang
sama sekali tak kusentuh. Bertemu dengannya membuat nafsu makanku lenyap
sama sekali. Dia memperparahnya dengan meminta uang padaku. Hah! Dia
pikir siapa? Kenapa dulu mengusirku? Seharusnya dia bisa menjaga ayah
sepenuhnya kalau bisa mengusirku. Dasar wanita sialan. Aku tak akan
memberikan uang begitu saja. Akan kuselediki apa yang sebenarnya
terjadi. Aku tau seberapa licik dirimu.
.
.
.
Rei memintaku menemaninya dalam sebuah pesta ulang tahun perusahaan konstruksi milik rekannya. Ini pertama kalinya kami tampil sebagai pasangan suami istri di khalayak umum setelah tiga bulan menikah.
.
.
.
Rei memintaku menemaninya dalam sebuah pesta ulang tahun perusahaan konstruksi milik rekannya. Ini pertama kalinya kami tampil sebagai pasangan suami istri di khalayak umum setelah tiga bulan menikah.
"Aku akan membunuh Diana
karna dia memberikanmu pakaian seperti ini!" Geram Rei di telingaku.
Aku hanya bisa tersenyum simpul. Dia amat marah saat aku melepas
mantelku dan melihat gaun yang kukenakan dibaliknya. Gaun putih yang
mengekspos seluruh punggungku hingga pinggang.
"Kau sendiri yang
merekomendasikan Diana padaku." Cibirku tak mau kalah. Dia memaksaku
untuk beli gaun baru untuk pesta ulang tahun serta peresmian kantor baru
perusahaan konstruksi dari teman Rei. Aku menyukai gaun ini kok,
memeluk tubuhku dengan pas dan memamerkan lekukku dengan tepat. Diana
memang yang terbaik.
"Seharusnya aku ikut
saja ke butik dan memilihkanmu baju yang tepat." Nada tak suka masih
keluar dari mulut Rei. Ia menggiringku dari belakang untuk menutup
punggungku. "Akan kucongkel mata sialan yang memandang punggung
telanjangmu." Lebay.
"Jangan berlebihan deh..
kau nggak liat semua wanita yang ada disini memakai gaun yang
berpotongan hampir sama denganku? Malah ada yang lebih parah."
Kuperhatikan sekelilingku dan menemukan beberapa wanita memakai gaun
yang sama sekali kekurangan bahan. Minim dan tipis.
MC mulai membuka acara
malam ini secara singkat, dilanjutkan dengan prakata dari si empunya
acara. Roan Adiyaksa adalah orang baru di bidangnya, ia melanjutkan
bisnis ayahnya baru beberapa bulan ini menurut cerita Rei. Dulunya ia
adalah pekerja lepas di sebuah perusahaan periklanan skala menengah
milik ayah gadis yang sekarang ini menjadi istrinya.
"Selamat Ro."
"Terimakasih Raihan.."
Rei menyalami pria seumurannya dan dibalas dengan hangat oleh pria itu.
Pria dengan wajah tirus dan jambang cukup tebal itu terlihat seperti
bukan seora presdir perusahaan konstruksi.
"Mana istrimu?" tanya Rei.
"Zeelam sedang mengikuti
pameran di Malaysia bersama Candra." Waow.. istrinya pasti seorang
seniman. Nggak bisa dibandingin deh sama aku, aku cuman nebeng di
perusahaan Rei doang.
"Kau tak cemburu?" tanya Rei menggoda.
"Enggaklah.. kalaupun
Candra berani nyentuh Zeelam, Cika pasti sudah lebih mendahuluiku
membunuh pria itu." Sudah dua kali aku mendengar dua kata ancaman
pembunuhan malam ini. Kenapa para pria selalu sensi sih! "Istrimu?" Roan
menunjukku dengan mata hijaunya.
"Ya." Aku menyambut uluran tangannya.
"Kalian tampak serasi.
Maaf waktu itu tak bisa menghadiri pernikahan kalian. Kalian cukup
membuat khalayak umum terkejut dengan pernikahan yang mendadak. Waktu
itu aku sedang ada di Makasar dan ada pekerjaan yang tak bisa
ditinggal."
"Tak masalah Ro."
Perbincangan kami disela
oleh tamu lain yang ingin mengucapkan selamat pada Roan. Banyak tamu
yang menghadiri acara ini. Ada perbedaan mencolok saat aku tampil dengan
Rei di acara ini dan di pesta pernikahan Gio waktu lalu. Tatapan mata
nyalang yang dulu ditujukan padaku kini berubah jadi pandangan envy,
huh! Rei terus menempeliku dari belakang, memebuatku risih. Dia hanya
beridiri di sampingku sambil menggamit tangan atau pinggangku saat
berbincang dengan kenalannya. Seperti saat ini, tapi dia sama sekali tak
menggandengku. Sudah terlarut dengan obrolan cewek yang bisa membuatnya
lupa aku berada di sampingnya sama seperti dulu. Si Helena. Hei! Ini
maksudku. Sepertinya aku pernah mendengar saat Rei menyebut nama Selena.
Sekarang aku ingat kalau yang kumaksud ini Helena. Hmm.. namanya sama
dengan mantan tercinta Rei. Membuat perutku bergejolak kesal.
Tanpa pamit aku
meninggalkan Rei. Dia bahkan tak menyadarinya saat aku pergi. Cih! Apa
sih persamaan Helena dan Selena selain namanya sampai Rei nempel gitu,
bahkan aku seperti dihempas peredarannya. Karn tak ada yang begitu
kukenal baik, akhirnya aku menuju meja prasmanan. Lebih baik makan
daripada ngobrol nggak jelas, lagian apa yang mau diobrolin? Promoin
produk? Cuman itu keahlian bicaraku.
Mataku menemukan
pemandangan yang membuat malam ini tambah buruk. Alex.. ini seperti
kejadian waktu lalu saat aku meninggalkan Rei berbincang dengan wanita
tadi dan bertemu Alex. Alex yang kini menggandeng seorang gadis. Oh hei?
Sepertinya gadis itu masih dibawah umur. Alex bahkan mengacuhkanku saat
dia melihatku. Jadi aku jadi si butiran debu nih malam ini? Yang nggak
nampak sama sekali. Baru tadi jadi berlian yang ditatap iri semua orang,
sedetik kemudian jadi debu yang kehadirannya aja dihindarin.
Rasa gerah dan marah
membuatku menyambar segelas minuman yang dibawa oleh para pelayan yang
mondar-mandir. Menyesapnya untuk merasakan enak apa tida. Em.. yummii..
manis, segar apel. Mungkin aku akan menemui Roan untuk meminta ijin
untuk memberiku resep minuman ini. Satu gelas, dua, tiga, empat, lim..
.
.
.
Sedetik saja lengah aku langsung kehilangan Viona. Kemana gadis itu?! Helena yang semakin bicara tak jelas segera kutinggalkan. Dia tak mungkin berbicara dengan orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Jadi bisa kutebak Viona ada di dekat prasmanan.
.
.
.
Sedetik saja lengah aku langsung kehilangan Viona. Kemana gadis itu?! Helena yang semakin bicara tak jelas segera kutinggalkan. Dia tak mungkin berbicara dengan orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Jadi bisa kutebak Viona ada di dekat prasmanan.
100% right. Dia ada
disana tapi.. Viona sama sekali tak menyentuh makanan apapun. Ia sedang
asyik memandangi seseorang. Alex? Dan.. siapa gadisi di bawah umur itu?
Apa Alex jadi seorang pedofil? Menjijikkan..
Viona.. oh shit!
"Berhenti!" gelas berisi chardonnay di tangan Viona segera kurebut. Muka dan lehernya sudah merah padam.
Viona sempat terkejut,
namun segera tertawa cekikikan melihatku. "Ini enak Rei. Kau mau juga?"
Via mengambil segelas minuman serupa lagi dari seorang pelayan dan
menawarkannya padaku.
"Kita pulang." Tegasku.
Aku merebut gelas yang dipegangnya dan menaruhnya di meja prasmanan dan
segera menyeretnya sebelum Viona bertindak di luar kesadarannya.
"Kau sudah selesai
rupanya. Haha.. apa sekarang aku bisa jadi berlian lagi?" Viona mulai
meracau tak jelas. Sial! Berapa gelas sih yang dia minum?!
Aku segera menggiringnya
sebelum tatapan lapar mereka menghentikanku dan memukuli mereka satu
persatu karna sudah lancang memandangi punggung mulus Viona seolah ingin
menjilatinya. Damn! Tak seharusnya kubiarkan ia beli gaun sendiri,
andai saja tadi tak ada pertemuan mendadak pasti hal ini tak terjadi.
Lagian Diana ngapain milihin Viona baju kayak gini sih! Membuatku dan
tamu lain sulit bernafas! Sudah kubilang pada Diana untuk memilihkannya
gaun yang tertutup.
Sambil menunggu petugas
valet, aku mendudukan Viona di salah satu kursi tunggu depan lobi.
Racauannya makin tak jelas. Apel, resep, Roan, butiran debu dan berlian.
Apa dia suka lagu butiran debu? Apa sih yang ada di kepalanya?
"Pakai mantelmu.." aku
membantunya memakai mantel cokelat tua. Sedikit bisa mengalihkan pikiran
untuk menjalankan lidahku disepanjang punggung mulusnya setelah mantel
itu menutup sempurna tubuhnya. Fiuh..
"Berdiri." Viona sudah
tak mampu memijakkan kakinya dengan benar hingga harus kupapah. Kemarin
aja dia melarangku minum, sekarang malah dia yang teler padahal baru
ditinggal sebentar.
Dengan susah payah Viona
kumasukkan ke dalam mobil. Ia berulangkali meronta ingin keluar walau
seatbelt sudah terpasang. Terpaksa aku mengikat kedua tangannya dengan
sabuk. Sayang sekali aku tak memakai dasi, mungkin akan lebih pantas
mengikatnya dengan itu. Aku tersenyum simpul memikirkan hal itu, mungkin
akan jadi tontonan yang menarik..
.
.
.
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 48"
Post a Comment