Hopeless Part 70


"Aku menyuruhnya menenangkan diri. Di tempat yang tidak ada gangguannya tentu saja." Ayah Viona memberitahuku kalau Viona sedang tidak ada di rumah. Yang kutangkap dari ekspresi Ayah adalah dia sudah mengetahui segalanya dari Viona. "Tenang saja, dia akan segera kembali dan menyelesaikan semuanya. Viona juga sudah kusarankan untuk mencabut gugatannya dan mau untuk mempertimbangkan itu." Kabar dari Ayah sungguh sangat membuatku lega. Meski bukan Viona sendiri yang mengatakannya, tapi ada celah untuk memperbaiki masalah ini.
"Terima kasih Ayah, sampaikan salamku untuk Vio dimanapun ia berada." Setelah menyampaikan salamku aku pamit pada Ayah. Sebenarnya sudah banyak sekali pekerjaan di kantor yang sudah kuterlantarkan gara-gara masalah ini. Untung Papa masih mau membantuku setelah tau perbuatanku. Yeah, beliau amat murka sampai merutukiku hingga beberapa hari pasca Viona keguguran. Orang tua mana yang mau digunakan sebagai senjata pemikat wanita hanya karena akal-akalan sakit bohongan. Mama juga menyayangkan perbuatanku. Tapi mau apa dikata semuanya sudah terlanjur, aku terpaksa membuat semua sandiwara ini. Ini karna wanita keras kepala itu. Sejak pertemuan pertama kami saat dia menolongku. Ada sesuatu yang beda darinya. Caranya menatap tidak seperti para gadis yang selalu berkedip menatapku seolah 'hei kau sangat tampan'. Tapi memang aku mengakui jika aku tampan. Atau para wanita yang 'hei, lihat kemari sayang. Aku menginginkanmu. Di ranjang. Tidak. Dia tidak menatapku seperti itu. Tatapannya langsung ke mataku dan itu hanyalah tatapan formal pada orang asing dan tak berniat mengakrabkan diri. Dia hanya membantuku mengembalikan file-file itu. Lalu pergi. Tanpa memberiku kesempatan untuk berterima kasih. Atau menanyakan namanya.
Aku semkakin gelisah ketika tau dari Gio bahwa Viona sangat sulit ditaklukan bahkan ia tak mempercayai cinta. Hell! Wanita mana yang tidak percaya yang namanya cinta? Biasanya mereka malah mengagung-agungkan nama itu tanpa tau artinya. Sedangkan Viona.. Setelah mengenalnya lebih dekat aku tau apa yang dimaksud Gio.
"Clara, apa jadwalku hari ini?" aku menghubungi Sekretarisku yang akhir-akhir ini juga ikut kalang kabut menghadapi para mitra usaha, jadwal, serta dokumen-dokumen yang terlantar gara-gara sering kutinggal dengan seenaknya sendiri. Mungkin aku akan memberinya kenaikan gaji karena masih mau bertahan dengan kelakuan boss nya yang gila.
Clara menyebutkan beberapa rincian jadwal hari ini dengan suaranya yang datar. Aku heran, sebenarnya Clara memiliki tubuh yang bagus dan dia malah memilih bekerja sebagai sekretaris dibandingkan bekerja sebagai model. Orang mungkin akan mati-matian untuk membentuk badannya agar bisa menjadi seperti dia untuk menjadi model, tapi Clara malah menyimpan tubuh indahnya itu dibalik pakaian kerjanya. Bukannya aku mengagumi postur tubuh Clara, tapi begitulah yang pernah diungkap oleh Viona. Aku bahkan dulunya tak pernah memperhatikan kalau Clara itu memang benar-benar tinggi sampai Viona yang bilang seperti itu.
Ah.. wanita itu.. kemana sebenarnya dia menenangkan diri?
.
.
.
"Maaf, dulu budhe ngga sempet dateng ke nikahanmu. Habis nikahnya cepet banget, budhe ngga ada yang nganter karna cak-mu itu lagi sibuk banget."
"Ngga papa budhe, nikannya engga gede banget kok." Aku dan budhe Lis sedang berbincang sambil menikmati sari apel hangat di teras rumahnya.
"Ngga gede gimana, orang diberitain dimana-mana kok." Aku hanya bisa meringis membenarkan sindiran budhe. Aku nggak terlalu tau kalau ada pemberitaan tentang pernikahan itu karna waktu itu aku langsung terbang ke Bali dengan Rei. Ah kenapa aku jadi mikirin pria brengsek itu.
"Kia kemarin bilang sama budhe buat nyuruh kamu bantuin dia buat sesuatu."
"Buat apa budhe? Cak Kia mau dibikinin masakan apa?" Moodku tiba-tiba bertambah karena sejak tiba disini budhe melarangku menyentuh dapur. Katanya biar aku seneng-seneng aja disini, padahal aku sudah menjelaskan kalau memasak itu bagian dari hobbyku. Tapi tetap saja budhe kekeh aku tidak boleh menyentuh dapur.
"Bukan buat makanan, nggak tau apa tapi masalah pekerjaannya."
"Oh.." Moodku kembali turun.
"Nah, itu Kia baru pulang. Dia akan menjelaskannya nanti." Kia, anak sulung budhe Lis baru saja memarkirkan sedan putihnya di halaman rumah yang membentang luas lalu turun dan menghampiri kami.
"Sore Ibu." Kia memeluk budhe Lis lalu menyapaku. "Sore, Vi."
"Sore, Cak."
"Liv dimana Bu? Kok ngga kelihatan?" Kia menanyakan adik perempuannya, dan itu adalah si bungsu di keluarga ini.
"Katanya lagi bikin tugas sama temen-temen kuliahnya."
"Bikin tugas kok sampe sore gini belum pulang." Dengus Kia. Bukannya mahasiswa itu emang kerjaannya seambrek? Mending sore, dulu aku sampai nginep di kosan temen hanya demi mengerjakan tugas kelompok waktu itu.
"Ya kayak kamu belum pernah kuliah aja Ki. Sudah sana mandi dulu, ngobrolnya nanti saja." Kia nyengir dan langsung masuk ke dalam rumah.
.
.
.
Ternyata Kia ingin aku membantunya mendesain sebuah proyek caffe yang sedang digarapnya. "Aku nggak bisa desain caffe cak. Dulu aku belajarnya desain grafis bukan interior." Dulu aku pernah belajar desain grafis beberapa bulan dalam sebuah komunitas yang aku iseng untuk masuki. Dan itu sangat bermanfaat sekali saat aku mejabat manager pemasaran untuk menilai kemasan mana yang menarik masyarakat atau tidak. Uh.. apa kabarnya divisiku sekarang ini. Aku jadi teringat belum mengabari Gio sama sekali setelah aku menyatakan keputusan gilaku itu padanya.
"Ya nggak papa Vi. Cuman bantuin aja daripada kamu bosan disini. Aku tau kamu kebosanan karna disuruh Ibu nggak ngapa-ngapain kan disini?" Kia tau banget aku hampir mati bosan hanya bisa berjalan-jalan atau belanja selama beberapa hari disini.
"Iya, aku hampir mati kebosanan." Bisikku supaya tidak terdengar oleh budhe. "Tapi aku bisa bantuin apa dong?" Aku membenarkan posisi dudukku di sofa ruang keluarga karena mulai tertarik dengan tawaran Kia. Tidak bekerja sama sekali rasa-rasanya otakku mau tumpul.
"Banyak Vi. Kamu bisa desainin plakat, paper bag, sampai ke brosur sekalian juga nggak papa. Tenang aja, nggak gratis kok. Mau ya? Daripada kam ndekem disini aja, kayak kucing lagi hibernasi."
Aku memukul kepala Kia pelan. "Yang hibernasi tu beruang." Kia tertawa mendengar perkataanku. "Okelah, aku bantuin. Mulainya kapan?" Tanyaku serius.
"Secepatnya kalau bisa. Kita udah dikejar waktu soalnya, kemarin aja sudah minta tenggat dan untungnya masih diberi waktu. Besok kuantar ke lokasinya supaya kamu bisa cari bahan desainnya."
Aku menyanggupi permintaan Kia. Bahkan mulai malam itu aku mencari refensi desain caffe. Meski aku tidak akan ikut ambil bagian pada interiornya, tapi setidaknya dengan melihat gambar-gabar itu aku akan mendapat inspirasi untuk membuat sentuhan grafis pada caffe.
.
.
.
Kia benar-benar langsung mengajakku ke tempat kerjanya esok hari setelahnya. Aku diikutkan rapat semi formal dengan teamnya dan aku bergabung dengan dua orang lainnya yang akan mengurusi desain grafis caffe.
Aku, Wira dan Putri membentuk kelompok diskusi sendiri setelah rapat selesai di outdoor caffe. Mereka yang akan menjadi partner kerjaku kali ini. Sesuai dengan tema yang diangkat, kami mulai mendiskusikan desain apa yang akan kami terapkan.
"Sekarang lagi heboh sama flat design, sepertinya itu juga cocok dengan tempat ini." Wira mulai mengemukakan pendapatnya.
"Jangan lupakan typografi untuk poster serta papan board untuk quote." Tambahku. Putri mulai menjelaskan spot mana saja yang akan di taruh papan board serta membeberkan bahan tag line yang akan kami design dalam poster maupun bosur. Ia juga menyalinkan foto-foto makanan serta minuman untuk menu.
"Mbak Viona nggak papa nih mulai kerja langsung lembur?"
"Jangan khawatir, aku biasa lembur kok." Meski udah lama ngga pernah lembur, ngga kerja malah.
"Iya, kan kamu disini lagi liburan Vi." Timpal Wira.
"Aku bosan jalan-jalan mulu sama blanja ngga jelas. Aku suka kok berkegiatan kayak gini." Malah rindu banget kerja team seperti ini. Berdiskusi dan saling melempar ide. Gio, Yuni biang gosip, si mesum Rendi, Keke.. Ah.. aku menggelengkan kepala menyingkirkan wajah-wajah yang kurindukan.
"Kita sudahi saja diskusinya, nanti kita share kerjaan lewat email. Sudah tau kan email masing-masing?" Wira memberesi dokumen serta komputer jinjingnya. Aku dan Putri mengangguk mengiyakan dan ikut memberesi dokumen milikku.
"Vi udah selesai?" Kia muncul dari bagian dalam caffe dengan tas ranselnya. Ya ampun.. kayak anak kuliahan aja padahal umur udah mau kepala tiga. Tapi Kia emang awet muda sih.. masih kelihatan awal dua puluhan malah.
"Udah cak. Mau pulang atau kemana dulu?" Aku mengekori Kia menuju mobilnya.
"Kamu mau kemana dulu?" Tawar Kia.
"Pulang aja cak. Aku mau bantu budhe nyiapin makan malam."
"Emang boleh?" sindirnya sambil memasang sabuk pengaman.Huh! Iya, budhe belum bolehin aku nyentuh dapur selama berada disini. "Jangan manyun gitu.. Ibu cuman ngga mau kamu repot padahal disini kamu liburan."
"Aku nggak repot cak.. aku suka kok masak. Rasanya aku gatel banget nggak masak padahal dapur gede."
"Maaf, cak mu yang malah bikin kamu repot bantuan kerjaan cak."
"Kan kemarin juga cak yang nawarin kalau aku bosen di rumah, dan emang aku bosen pengen ngelakuin sesuatu.."
"Iya, iya. Nanti aku coba bantu ngomong ke Ibu agar kamu dibolehin masak."
"Makasih cak."
.
.
.
Olivia meminjamiku mac nya untuk membantu pekerjaan Kia. Untung di mac nya ada software yang kubutuhkan, kalau nggak ada dan harus beli dulu yang ori kan mahal. Sesekali aku mengikuti Kia ke tempat kerja untuk mendiskusikan hasil kerja dengan partner satu teamku, Wira dan Putri. Selebihnya aku hanya mengerjakannya di rumah.
"Kak Vi, Tungguin Liv!" Olivia berusaha menyusulku dengan nafas ngos-ngosan. Kami sedang lari pagi menyusuri kebun apel karna ini adalah minggu pagi. Minggu pagi yang sangat . Tadi dia bersemangat mau menemanik jogging, tapi sekarang malah bersungut-sungut. "Balik aja yuk kak? Dah keringetan nih.." Keluh Liv.
"Sama aja kalo kita muter lagi atau balik. Udah terusin aja ayo!" Aku menyeret tangan Liv agar lebih cepat.
Besok adalah presentasi proyeknya Kia dan aku disuruh mengikutinya. Sebenarnya sempat kutolak karena aku cuman anak bawang, tapi Kia memaksaku. Katanya semua anggota team harus hadir secara lengkap.
"Liv kamu kenapa? Ngos-ngosan gitu?"
"Nemenin kak Vi jogging cak..." Liv yang mukanya sudah merah padam membaringkan tubuhnya di rerumputan pendek depan rumah.
"Nemenin jogging kok kayak orang mau lairan gitu." Ejek Kia.
"Lairan anak kodok nih!" Liv mencabut rumput di sekitarnya dan melemparnya pada Kia. Tapi terlambat karna Kia sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Aku tertawa melihat keakraban adik kakak ini. Walau mereka saudara tiri.
Malam sebelum Kia mengajukan presentasi proyeknya, ia memintaku untuk menemaninya berlatih, Ini mengingatkanku saat berlatih presentasi juga bersama Rei. Dia mengkritikku disana sini. Ahh.. kenapa aku harus mengingat orang itu lagi!
Dan senin pagi yang membuat seluruh anggota team, tak terkecuali aku, merasa berdebar pun tiba. Hari senin yang identik dengan kemalasan harus kami taklukan. Entah kenapa aku jadi amat bersemangan dengan proyek sepupuku ini. Tapi hari senin ini juga membuktikan padaku bahwa peribahsa 'dunia tak selebar daun kelor' itu salah. Malah rasanya dunia itu tak lebih besar dari daun cabai..
.
.
.
Tbc

Related Posts:

1 Response to "Hopeless Part 70"

  1. 1xbet korean | Online gambling | Play & win - legalbet
    1xbet korean is a free 1xbet mobile sport betting website. The site is owned by VGN Global Limited, an award-winning developer that is based in the

    ReplyDelete