"Aku menyuruhnya menenangkan diri. Di tempat yang tidak ada gangguannya tentu saja." Ayah Viona memberitahuku kalau Viona sedang tidak ada di rumah. Yang kutangkap dari ekspresi Ayah adalah dia sudah mengetahui segalanya dari Viona. "Tenang saja, dia akan segera kembali dan menyelesaikan semuanya. Viona juga sudah kusarankan untuk mencabut gugatannya dan mau untuk mempertimbangkan itu." Kabar dari Ayah sungguh sangat membuatku lega. Meski bukan Viona sendiri yang mengatakannya, tapi ada celah untuk memperbaiki masalah ini.
"Terima kasih Ayah,
sampaikan salamku untuk Vio dimanapun ia berada." Setelah menyampaikan
salamku aku pamit pada Ayah. Sebenarnya sudah banyak sekali pekerjaan di
kantor yang sudah kuterlantarkan gara-gara masalah ini. Untung Papa
masih mau membantuku setelah tau perbuatanku. Yeah, beliau amat murka
sampai merutukiku hingga beberapa hari pasca Viona keguguran. Orang tua
mana yang mau digunakan sebagai senjata pemikat wanita hanya karena
akal-akalan sakit bohongan. Mama juga menyayangkan perbuatanku. Tapi mau
apa dikata semuanya sudah terlanjur, aku terpaksa membuat semua
sandiwara ini. Ini karna wanita keras kepala itu. Sejak pertemuan
pertama kami saat dia menolongku. Ada sesuatu yang beda darinya. Caranya
menatap tidak seperti para gadis yang selalu berkedip menatapku seolah
'hei kau sangat tampan'. Tapi memang aku mengakui jika aku tampan. Atau
para wanita yang 'hei, lihat kemari sayang. Aku menginginkanmu. Di
ranjang. Tidak. Dia tidak menatapku seperti itu. Tatapannya langsung ke
mataku dan itu hanyalah tatapan formal pada orang asing dan tak berniat
mengakrabkan diri. Dia hanya membantuku mengembalikan file-file itu.
Lalu pergi. Tanpa memberiku kesempatan untuk berterima kasih. Atau
menanyakan namanya.
Aku semkakin gelisah
ketika tau dari Gio bahwa Viona sangat sulit ditaklukan bahkan ia tak
mempercayai cinta. Hell! Wanita mana yang tidak percaya yang namanya
cinta? Biasanya mereka malah mengagung-agungkan nama itu tanpa tau
artinya. Sedangkan Viona.. Setelah mengenalnya lebih dekat aku tau apa
yang dimaksud Gio.
"Clara, apa jadwalku
hari ini?" aku menghubungi Sekretarisku yang akhir-akhir ini juga ikut
kalang kabut menghadapi para mitra usaha, jadwal, serta dokumen-dokumen
yang terlantar gara-gara sering kutinggal dengan seenaknya sendiri.
Mungkin aku akan memberinya kenaikan gaji karena masih mau bertahan
dengan kelakuan boss nya yang gila.
Clara menyebutkan
beberapa rincian jadwal hari ini dengan suaranya yang datar. Aku heran,
sebenarnya Clara memiliki tubuh yang bagus dan dia malah memilih
bekerja sebagai sekretaris dibandingkan bekerja sebagai model. Orang
mungkin akan mati-matian untuk membentuk badannya agar bisa menjadi
seperti dia untuk menjadi model, tapi Clara malah menyimpan tubuh
indahnya itu dibalik pakaian kerjanya. Bukannya aku mengagumi postur
tubuh Clara, tapi begitulah yang pernah diungkap oleh Viona. Aku bahkan
dulunya tak pernah memperhatikan kalau Clara itu memang benar-benar
tinggi sampai Viona yang bilang seperti itu.
Ah.. wanita itu.. kemana sebenarnya dia menenangkan diri?
.
.
.
"Maaf, dulu budhe ngga sempet dateng ke nikahanmu. Habis nikahnya cepet banget, budhe ngga ada yang nganter karna cak-mu itu lagi sibuk banget."
Ah.. wanita itu.. kemana sebenarnya dia menenangkan diri?
.
.
.
"Maaf, dulu budhe ngga sempet dateng ke nikahanmu. Habis nikahnya cepet banget, budhe ngga ada yang nganter karna cak-mu itu lagi sibuk banget."
"Ngga papa budhe,
nikannya engga gede banget kok." Aku dan budhe Lis sedang berbincang
sambil menikmati sari apel hangat di teras rumahnya.
"Ngga gede gimana, orang
diberitain dimana-mana kok." Aku hanya bisa meringis membenarkan
sindiran budhe. Aku nggak terlalu tau kalau ada pemberitaan tentang
pernikahan itu karna waktu itu aku langsung terbang ke Bali dengan Rei.
Ah kenapa aku jadi mikirin pria brengsek itu.
"Kia kemarin bilang sama budhe buat nyuruh kamu bantuin dia buat sesuatu."
"Buat apa budhe? Cak Kia
mau dibikinin masakan apa?" Moodku tiba-tiba bertambah karena sejak
tiba disini budhe melarangku menyentuh dapur. Katanya biar aku
seneng-seneng aja disini, padahal aku sudah menjelaskan kalau memasak
itu bagian dari hobbyku. Tapi tetap saja budhe kekeh aku tidak boleh
menyentuh dapur.
"Bukan buat makanan, nggak tau apa tapi masalah pekerjaannya."
"Oh.." Moodku kembali turun.
"Nah, itu Kia baru
pulang. Dia akan menjelaskannya nanti." Kia, anak sulung budhe Lis baru
saja memarkirkan sedan putihnya di halaman rumah yang membentang luas
lalu turun dan menghampiri kami.
"Sore Ibu." Kia memeluk budhe Lis lalu menyapaku. "Sore, Vi."
"Sore, Cak."
"Liv dimana Bu? Kok ngga kelihatan?" Kia menanyakan adik perempuannya, dan itu adalah si bungsu di keluarga ini.
"Katanya lagi bikin tugas sama temen-temen kuliahnya."
"Bikin tugas kok sampe
sore gini belum pulang." Dengus Kia. Bukannya mahasiswa itu emang
kerjaannya seambrek? Mending sore, dulu aku sampai nginep di kosan temen
hanya demi mengerjakan tugas kelompok waktu itu.
"Ya kayak kamu belum
pernah kuliah aja Ki. Sudah sana mandi dulu, ngobrolnya nanti saja." Kia
nyengir dan langsung masuk ke dalam rumah.
.
.
.
Ternyata Kia ingin aku membantunya mendesain sebuah proyek caffe yang sedang digarapnya. "Aku nggak bisa desain caffe cak. Dulu aku belajarnya desain grafis bukan interior." Dulu aku pernah belajar desain grafis beberapa bulan dalam sebuah komunitas yang aku iseng untuk masuki. Dan itu sangat bermanfaat sekali saat aku mejabat manager pemasaran untuk menilai kemasan mana yang menarik masyarakat atau tidak. Uh.. apa kabarnya divisiku sekarang ini. Aku jadi teringat belum mengabari Gio sama sekali setelah aku menyatakan keputusan gilaku itu padanya.
.
.
.
Ternyata Kia ingin aku membantunya mendesain sebuah proyek caffe yang sedang digarapnya. "Aku nggak bisa desain caffe cak. Dulu aku belajarnya desain grafis bukan interior." Dulu aku pernah belajar desain grafis beberapa bulan dalam sebuah komunitas yang aku iseng untuk masuki. Dan itu sangat bermanfaat sekali saat aku mejabat manager pemasaran untuk menilai kemasan mana yang menarik masyarakat atau tidak. Uh.. apa kabarnya divisiku sekarang ini. Aku jadi teringat belum mengabari Gio sama sekali setelah aku menyatakan keputusan gilaku itu padanya.
"Ya nggak papa Vi. Cuman
bantuin aja daripada kamu bosan disini. Aku tau kamu kebosanan karna
disuruh Ibu nggak ngapa-ngapain kan disini?" Kia tau banget aku hampir
mati bosan hanya bisa berjalan-jalan atau belanja selama beberapa hari
disini.
"Iya, aku hampir mati
kebosanan." Bisikku supaya tidak terdengar oleh budhe. "Tapi aku bisa
bantuin apa dong?" Aku membenarkan posisi dudukku di sofa ruang keluarga
karena mulai tertarik dengan tawaran Kia. Tidak bekerja sama sekali
rasa-rasanya otakku mau tumpul.
"Banyak Vi. Kamu bisa
desainin plakat, paper bag, sampai ke brosur sekalian juga nggak papa.
Tenang aja, nggak gratis kok. Mau ya? Daripada kam ndekem disini aja,
kayak kucing lagi hibernasi."
Aku memukul kepala Kia
pelan. "Yang hibernasi tu beruang." Kia tertawa mendengar perkataanku.
"Okelah, aku bantuin. Mulainya kapan?" Tanyaku serius.
"Secepatnya kalau bisa.
Kita udah dikejar waktu soalnya, kemarin aja sudah minta tenggat dan
untungnya masih diberi waktu. Besok kuantar ke lokasinya supaya kamu
bisa cari bahan desainnya."
Aku menyanggupi
permintaan Kia. Bahkan mulai malam itu aku mencari refensi desain caffe.
Meski aku tidak akan ikut ambil bagian pada interiornya, tapi
setidaknya dengan melihat gambar-gabar itu aku akan mendapat inspirasi
untuk membuat sentuhan grafis pada caffe.
.
.
.
Kia benar-benar langsung mengajakku ke tempat kerjanya esok hari setelahnya. Aku diikutkan rapat semi formal dengan teamnya dan aku bergabung dengan dua orang lainnya yang akan mengurusi desain grafis caffe.
.
.
.
Kia benar-benar langsung mengajakku ke tempat kerjanya esok hari setelahnya. Aku diikutkan rapat semi formal dengan teamnya dan aku bergabung dengan dua orang lainnya yang akan mengurusi desain grafis caffe.
Aku, Wira dan Putri
membentuk kelompok diskusi sendiri setelah rapat selesai di outdoor
caffe. Mereka yang akan menjadi partner kerjaku kali ini. Sesuai dengan
tema yang diangkat, kami mulai mendiskusikan desain apa yang akan kami
terapkan.
"Sekarang lagi heboh sama flat design, sepertinya itu juga cocok dengan tempat ini." Wira mulai mengemukakan pendapatnya.
"Jangan lupakan
typografi untuk poster serta papan board untuk quote." Tambahku. Putri
mulai menjelaskan spot mana saja yang akan di taruh papan board serta
membeberkan bahan tag line yang akan kami design dalam poster maupun
bosur. Ia juga menyalinkan foto-foto makanan serta minuman untuk menu.
"Mbak Viona nggak papa nih mulai kerja langsung lembur?"
"Jangan khawatir, aku biasa lembur kok." Meski udah lama ngga pernah lembur, ngga kerja malah.
"Iya, kan kamu disini lagi liburan Vi." Timpal Wira.
"Aku bosan jalan-jalan
mulu sama blanja ngga jelas. Aku suka kok berkegiatan kayak gini." Malah
rindu banget kerja team seperti ini. Berdiskusi dan saling melempar
ide. Gio, Yuni biang gosip, si mesum Rendi, Keke.. Ah.. aku
menggelengkan kepala menyingkirkan wajah-wajah yang kurindukan.
"Kita sudahi saja
diskusinya, nanti kita share kerjaan lewat email. Sudah tau kan email
masing-masing?" Wira memberesi dokumen serta komputer jinjingnya. Aku
dan Putri mengangguk mengiyakan dan ikut memberesi dokumen milikku.
"Vi udah selesai?" Kia
muncul dari bagian dalam caffe dengan tas ranselnya. Ya ampun.. kayak
anak kuliahan aja padahal umur udah mau kepala tiga. Tapi Kia emang awet
muda sih.. masih kelihatan awal dua puluhan malah.
"Udah cak. Mau pulang atau kemana dulu?" Aku mengekori Kia menuju mobilnya.
"Kamu mau kemana dulu?" Tawar Kia.
"Pulang aja cak. Aku mau bantu budhe nyiapin makan malam."
"Emang boleh?" sindirnya
sambil memasang sabuk pengaman.Huh! Iya, budhe belum bolehin aku
nyentuh dapur selama berada disini. "Jangan manyun gitu.. Ibu cuman ngga
mau kamu repot padahal disini kamu liburan."
"Aku nggak repot cak.. aku suka kok masak. Rasanya aku gatel banget nggak masak padahal dapur gede."
"Maaf, cak mu yang malah bikin kamu repot bantuan kerjaan cak."
"Kan kemarin juga cak yang nawarin kalau aku bosen di rumah, dan emang aku bosen pengen ngelakuin sesuatu.."
"Iya, iya. Nanti aku coba bantu ngomong ke Ibu agar kamu dibolehin masak."
"Makasih cak."
.
.
.
Olivia meminjamiku mac nya untuk membantu pekerjaan Kia. Untung di mac nya ada software yang kubutuhkan, kalau nggak ada dan harus beli dulu yang ori kan mahal. Sesekali aku mengikuti Kia ke tempat kerja untuk mendiskusikan hasil kerja dengan partner satu teamku, Wira dan Putri. Selebihnya aku hanya mengerjakannya di rumah.
.
.
.
Olivia meminjamiku mac nya untuk membantu pekerjaan Kia. Untung di mac nya ada software yang kubutuhkan, kalau nggak ada dan harus beli dulu yang ori kan mahal. Sesekali aku mengikuti Kia ke tempat kerja untuk mendiskusikan hasil kerja dengan partner satu teamku, Wira dan Putri. Selebihnya aku hanya mengerjakannya di rumah.
"Kak Vi, Tungguin Liv!"
Olivia berusaha menyusulku dengan nafas ngos-ngosan. Kami sedang lari
pagi menyusuri kebun apel karna ini adalah minggu pagi. Minggu pagi yang
sangat . Tadi dia bersemangat mau menemanik jogging, tapi sekarang
malah bersungut-sungut. "Balik aja yuk kak? Dah keringetan nih.." Keluh
Liv.
"Sama aja kalo kita muter lagi atau balik. Udah terusin aja ayo!" Aku menyeret tangan Liv agar lebih cepat.
Besok adalah presentasi
proyeknya Kia dan aku disuruh mengikutinya. Sebenarnya sempat kutolak
karena aku cuman anak bawang, tapi Kia memaksaku. Katanya semua anggota
team harus hadir secara lengkap.
"Liv kamu kenapa? Ngos-ngosan gitu?"
"Nemenin kak Vi jogging cak..." Liv yang mukanya sudah merah padam membaringkan tubuhnya di rerumputan pendek depan rumah.
"Nemenin jogging kok kayak orang mau lairan gitu." Ejek Kia.
"Lairan anak kodok nih!"
Liv mencabut rumput di sekitarnya dan melemparnya pada Kia. Tapi
terlambat karna Kia sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Aku tertawa
melihat keakraban adik kakak ini. Walau mereka saudara tiri.
Malam sebelum Kia
mengajukan presentasi proyeknya, ia memintaku untuk menemaninya
berlatih, Ini mengingatkanku saat berlatih presentasi juga bersama Rei.
Dia mengkritikku disana sini. Ahh.. kenapa aku harus mengingat orang itu
lagi!
Dan senin pagi yang
membuat seluruh anggota team, tak terkecuali aku, merasa berdebar pun
tiba. Hari senin yang identik dengan kemalasan harus kami taklukan.
Entah kenapa aku jadi amat bersemangan dengan proyek sepupuku ini. Tapi
hari senin ini juga membuktikan padaku bahwa peribahsa 'dunia tak
selebar daun kelor' itu salah. Malah rasanya dunia itu tak lebih besar
dari daun cabai..
.
.
.
.
.
.
Tbc
1xbet korean | Online gambling | Play & win - legalbet
ReplyDelete1xbet korean is a free 1xbet mobile sport betting website. The site is owned by VGN Global Limited, an award-winning developer that is based in the