Hopeless Part 2

Percikan air yang kubasuhkan pada kemejaku malah menambah parah noda tintanya. Entah kenapa hari ini aku sungguh sial, nabrak orang, kena malu dan yang terakhir tadi itu bener-bener sikap yang bodoh ‘..sepertinya anda tak asing’ tentu saja Vi! Dia direktur kita!

“Urgh…” aku putus asa. Kubiarkan saja lingkaran hitam di kemejaku. Aku memakai kembali jasku dan mematut diri di depan cermin kamar mandi. Hmm… tak begitu kentara kok. Pena yang patah tadi kutaruh pada kantong plastik supaya tintanya tak menyebar kemana-mana. Tapi sebelumnya aku memeriksa merknya, D’lighter. Aku belum pernah mendengarnya. Akan kutanyakan nanti di toko buku langgananku sepulang kantor nanti.
“Penanya patah bu?” ada suara yang tiba-tiba muncul.

“Eh iya…ini. Tadi jatuh terus keinjek.” Jelasku. “Design kemasan permen kopi yang baru udah selesai belum Yun? Dead line-nya 2 hari lagi lo.” Kuingatkan Yuni pada tugasnya.
“iya iya… udah selesai 80% tinggal dikit lagi kok. Nyante aja bu..”
“ya udah, jangan di toilet lama-lama.” Aku meninggalkan Yuni yang masih memoleskan bedak pada wajahnya.

Sekembalinya aku ke ruanganku di dalam rupanya ada Gio yang telah menungguku. Gio itu sekretarisku, yah aku tak berharap sekretarisku pria tapi mau gimana lagi, yang ada cuman dia. Apalagi dia kadang slengekan bikin keki, kalau bukan temen udah kuminta tuh HRD buat gantiin dia, dan lagi aku sudah ‘terlanjur’ akrab dengan tunangannya. Bisa-bisa Naya ngamuk kalau aku ngapa-ngapain si Gio

“Darimana?”

“Toilet.”

“Ini beberapa berkas yang minta persetujuan, dan ini..” dia menyisihkan map warna kuning.

“Akan ada pengenalan produk baru di luar kota. Kau diminta jadi pembicara lagi.”

Kubuka map kuning itu dan memindainya. Bogor, pembalut wanita, 10 Juli, hmm.. berarti sekitar dua minggu lagi.

“Tapi sepertinya gwe gak bisa nemenin elo deh Vi, soalnya..”

“Persiapan pernikahan?” potongku.

“Hmm..yeah..” dia menjawab malas-malasan.

Bibirku tertarik ke atas. “Jadi kau akan segera resmi jadi keluarga Kusuma.” Kanaya Lastri Kusuma adalah tunangan Gio sejak setengah tahun lalu dan sebentar lagi mereka akan menikah. Tunangannya adalah cucu kesayangan pemilik perusahaan periklanan nasional yang sangat mumpuni. Perusahaan kami juga terkadang bekerja sama dengan perusahaan periklanan tersebut. Naya, panggilan akrabnya adalah seorang yang cukup aktif mengurusi bisnis kakeknya dan dia juga memegang saham yang cukup besar. Besar kemungkinan dialah yang meneruskan bisnis keluarga kusuma. Awalnya aku tak menyangka si cucu emas ini sangat manja minta ampun, padahal yang kudungar dari selentingan tetanggak sebelah, gedung periklanan milik keluarga Kusuma, dia adalah orang bertangan dingin.

Gio juga tersenyum. Matanya memancarkan sesuatu yang sulit kumengerti. Apakah itu kebahagiaan? Ah aku sudah lupa apa itu bahagia. Itu satu hal omong kosong untukku.

.
.
.

“Yang merk ini gak ada bu.” Seorang pelayan yang kutanyai memperhatikan merk pena yang kutanyakan padanya. Dia mengembalikan pena atau bisa dibilang serpihan pena tersebut padaku.

“Emm.. kira-kira dimana ya aku bisa mendapatkannya?” kupikir aku bisa mendapatkan pena itu di sini, di toko buku langgananku. Padahal menurutku toko ini juga cukup lengkap selain menyediakan buku ada peralatan tulis dan peralatan kantor lainnya.

“Gini aja bu, kita cariin aja dulu kalau udah ada kita hubungin gimana?”

Rrr…rrr…

Ponselku bergetar. “sebentar.” Aku agak menjauh ke tempat yang agak sepi.

“Hallo Gi?”

“Vi, ada kabar bagus buat lo..” suara Gio memekakkan telingaku. Segera kujauhkan ponselku dari telinga.

“Kabar bagus apaan, lo dimana sih, rame banget tau!” suara berisik dan teriakan-teriakan tak jelas mendominasi panggilan Gio.

“Tempat futsal, aku udah nemuin tempat tinggal sementara buat lo. Nanti lo siap-siap aja, ntar gwe jemput.”

“Serius nih?!!!” yeah..akhirnya masalah terpecahkan juga.
Bersyukur deh punya temen yang bisa diandalkan. “Ok..ok..makasih Gio, nanti kuhubungi lagi, by the way ntar malem gwe traktir lo dinner deh..”

“Ok bu manager…see u tonight beib..”

Tutt..tutt..tutt..

Suara sambungan terputus terdengar setelah candaan dari Gio yang belum sempat kubalas. Dan aku kembali pada mbak-mbak pelayan yang kutanyai mengenai pena tadi.

“Iya mbak, gitu juga boleh aku tinggalin nomor aja nanti kalau udah ada dihubungin aku juga pelanngan sini juga kok jadi kemungkinan aku sering ke sini.” Kucatat nomorku di atas kertas note warna merah jambu.
“Makasih ya mbak.”

“Sama-sama bu”
.
.
.

“Lo mau ngebunuh gwe Gi!! Gila lo.” Nada delapan oktafku keluar gara-gara tindakan Gio yang sembarangan.

“Ya..bukan gitu. Cuman ini sekarang yang bisa kita lakukan. Yah mungkin sebulan lagi ada jalan keluar lainlah.”
“Ya gak gitu juga kali. Masak gwe disuruh tinggal sama cowok sih.. tau gitu gwe tinggal ama elu aja.

Arghhh..kenapa tadi lo ga bilang kalo gwe disuruh numpang rumah orang sih…. Dan itu direktur kita yang tadi, gwe masih malu tau!!” tentu aja aku masih malu gara-gara insiden tinta tadi. Dan ketidak kenalanku terhadapnya. Rasanya tadi mau nyungsep ngilang di balik tembok aja. Memalukan.

“Sekarang mau gimana lagi, lo udah ngemasin barang udah chek out pula.” Aku baru saja keluar hotel dan sekarang berada di parkiran dimana aku baru saja diberitahu ‘kabar bagus’ dari Gio. “Gak papa kok, dia sendiri yang bilang mau bantu elo, katanya dia pernah dibantu sama elo.”

“Kapan gwe bantuin dia…” kataku gemas.

“Mana gwe tau, ah udahlah keburu malam nih. Lo coba aja dulu.”

“Coba-coba, lo pikir apaan. Dia itu cowok dan gwe itu cewek, masak tinggal serumah sih!” ergh.. si Gio bener-bener kurang ajar nih. Dia pikir aku ini tikus percobaan yang ditempatin di kandang macan. Udah dipastiin end lah.

“Jangan dengerin kata orang..”

“Elo bisa ngomong gitu, iya kalo kata orang salah. Tapi kalo tiba-tiba ada kecelakaan..” aku bergidik ngeri.

“Trus mau lo sekarang gimana??” Gio putus asa pada pendirianku. Aku agak kasian sih, dia udah berusaha membantuku. Tapi caranya yang salah.

“Ah…gwe juga gak tau… masak gwe harus chek in lagi, tau gini kan tadi gak usah keluar dulu, biayanya bisa nambah bengkak.oh shit…shit..shit…” aku tak tahan lagi untuk tidak mengumpat.

“Vi..” suara Gio semakin mengkeret.

“Ah, baiklah.. ayo kita ke rumah temanmu.” Kataku mengalah.

“Beneran ni?” raut wajah Gio yang semula lesu tampak ceria lagi kini. Sialan dia. “Ok, sekarang masuk mobil dan ikuti aku. Kau akan suka tempatnya.” Entah apa kadang seleraku dan Gio agak berbeda. Dan tempat menyenangkan sepertia apa yang dibilang Gio itu.

Kuturuti perkataan Gio. Aku mengikuti mobil suv hitam miliknya dengan pelan keluar dari tempat parkir hotel menuju jalan raya. Hidupku sudah kacau, dan sekarang tambah kacau lagi. Cuman gwe kayaknya yang bisa ngejalanin hidup kayak gini.

Tak berjarak jauh dari hotel, Gio berbelok di sebuah tikungan. Kuputar stir mobilku mengikutinya. Ada gapura besar dengan ornamen seperti stupa candi. Dengan plang besar bertuliskan KANOMAN REAL ESTATE. Agak menyeramkan menurutku. Kami telah melewati beberapa rumah, jarak satu rumah dengan yang lainnya.err..sangat jauh. Kuperiksa kecepatanku, 30km/jam, tiap rumah sekitar 5-8 detik, jadi…kira-kira 35-45 meter, gila nih.. berapa harganya ya per unit. Bener kata Gio, bisnis property sepertinya sangat menjanjikan.

“Shit..” hampir saja kutabrak mobil si Gio. Saking asyiknya memandangi rumah dan melamun memikirkan harga property yang membumbung aku tak memperhatikan suv hitam Gio telah berhenti. Gio sendiri udah turun dan melambai padaku. Aku mengangguk dan segera turun dari mobil dan membawa barang-barangku.

“Gimana? Bagus ga?” tanyanya sambil berjalan melintasi pekarang yang uh.. sangat luas. Buat apa coba punya pekarangan begini luas, apa ga repot ngurusnya. Emm.. tapi kalau rumah segede gini pasti ada pemantunya dong! Jadi.. aku gak bakalan tinggal berdua doang nih.

“Lumayan.” Kataku datar. Kusejajarkan langkahku dengan Gio, sangat repot membawa banyak barang. Sepertinya dia gak sabar banget pengen nyampe rumahnya Rei. Harusnya kan aku.

Kami meletakkan barang bawaan begitu sampai di depan pintu. Gio menekan bel berbentuk ketukan pintu dengan ornamen harimau yang sedang mengaum memperlihatkan taring-taringnya. Tak berselang lama pintu  dibuka dari dalam.

“Hai gi! Masuh gih” Rei, dengan polo shirt dan celana pendeknya muncul dari balik pintu.

“Ayo Vi.” Aku mengangkat kembali barang bawaanku dan mengekor Gio.

“Udah disiapin kamarnya, barangnya langsung bawa masuk ke kamar aja.” Kami melewati ruang tamu dan masuk ke ruang keluarga yang sangat luas disitu ada dua tangga yang melengkung menuju ke atas. “Pintu dekat tangga yang kanan.” Rei mengintrupsi.
Aku dan Gio memasuki ‘kamar baruku’. Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling. Cukup luas, ada sebuah pintu di dalam, kupikir itu kamar mandi. Untunglah, aku tak akan berbagi kamar mandi dengan siapapun. Kami meletakkan barang-barang di dekat almari.

“Haha..gwe pasti sudah gila menerima bantuanmu ini.” Kelakarku.

“Udahlah Vi..”

“Iye..iye.. bercanda kok”

“Apa masih ada yang lainnya?” Rei menyambangi kami.

“Cuman ini kok.” Kataku. Ah, aku tak percaya ini. Menumpang tinggal di rumah direktur sendiri, mana ada pegawai yang seperti itu. Tapi sudahlah. Ini juga gak akan selamanya kok, hanya sementara Vi.. paling lama sebulan lagi kau pasti menemukan tempat tinggal yang cocok. Dan tentunya segera pindah dari sini.

“Kita keluar dulu.” Ajaknya. Aku dan Gio mengikutinya ke ruang keluarga. Kuperhatikan seluruh bagian ruangan itu. Marmer hijau tua yang serasi dengan cat tembok warna hijau pupus. Kursi kayu ukir yang terletak di tengah ruanganpun menambah asri pemandangan. Buffet besar berisi barang-barang pecah belah yang antik, emm.. beberapa trofi penghargaan dan pernak pernik lainnya. Beberapa lukisan dan hiasan tergantung di dinding menambah mewah ruangan ini.

“Aku langsung pulang aja ya, udah agak larut nih..” sialan nih si Gio main pamit pamit aja.

“Ga duduk dulu gi?” Tanya Rei.

“Capek bro, lo gak capek apa habis maen futsal tadi.”

“Cuman segitu doang..”

“Ya udah, gwe pamit dulu. Nitip bu manager ya..” aku pasti akan memkulnya membabi buta seandainya Rei gak ada disini.

“Haha, tenang aja. Dia aman kok sama gwe.” Yeah obrolan anak cowok, apa mereka gak nganggap aku ada disini kali ya.

Tanpa basa basi lagi Gio meninggalkan kami berdua. Dan sebenernya aku belum siap untuk momen saat ini.

“Kau pasti juga lelah, tidurlah. Besok bibi akan membereskan barangmu. Kalau kau perlu apa-apa kamarku ada di atas, pintu paling pojok kanan”

“Baik.” Aku melangkah menuju kamarku dan Rei juga naik ke kamarnya. Tapi tiba-tiba aku ingat sesuatu yang sedari tadi ingin kutanyakan. “Tunggu Rei.”
“Ada apa” Rei mematung di tengah tangga.

“Gio bilang kau mau membantuku karna aku pernah membantumu. Tapi.. aku tak pernah merasa telah membantumu sama sekali.” Entah aku yang lupa atau Rei yang salah orang. Aku ingin segera mengetahuinya.

“Oh itu, kau tak ingat ya? Ah.. tentu saja kau tak ingat.” Rei sedikit terkekeh. “Waktu seminar di bandung beberapa bulan lalu. Kau yang mengembalikan file terhapus yang ada di laptopku. Ingat?”

Otakku mencoba berputar mencari memory itu. Tapi dasar. “Hmm.. entahlah, aku belum ingat haha.”
Urusan mengingat atau menghapal sesuatu memang aku agak dapet nilai jeblok, bahkan aku sering lupa nama dari sepupu-sepupuku.

“Mungkin besok kau akan ingat, tidurlah.” Rei kembali menaiku tangganya dan aku juga masuk ke kamar.

Sebelum tidur, kusempatkan mengisi buk harian warna biru navyku. Menuliskan beberapa kalimat tentang kejadian beberapa hari ini.

Kanoman, 24 Juni 2014

Merangkak dari awal. Hanya butuh beberapa hari untuk dapat tempat tinggal baru. Dan untuk sementara tinggal serumah dengan calon presdir. Sungguh menggelikan. Tapi tak apa. Kuharap segera menemukan tempat yang cocok. Dan aku akan mengumpulkan uang untuk ‘membahagiakan’ hidupku.

TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 2"

Post a Comment