Hopeless Part 52

.
Teriakanku rupanya berhasil mengalihkan perhatian mereka. Sang wanita dengan cepat dan buru-butu berdiri dari pangkuan prianya hingga dia hampir jatuh terjengkang jikalau tangannya tak ditahan sang pria. Keadaan mereka sungguh sangat mengenaskan, dalam arti pakaian mereka. Bagian atas dress wanita itu tersingkap ke bawah, untung branya masih tersemat. Sedang si pria? Mungkin wanita itu sedikit liar karna kemejanya terbuka, dan tak satu kancingpun menempel di kemejanya itu, semua tergolek dengan naas di lantai.
"Siapa kau?" si pria berkemeja terbuka itu malah mengembalikan pertanyaanku. Hell! Kenapa malah nanyain siapa aku? Aku tak sudi menjawabnya.
"Sedang apa kalian disini?" maksudku selain berbuat mesum seperti tadi, si pria terlihat heran dan wanitanya seperti tak ambil pusing karna masih sibuk dengan pakaiannya yang coba dirapihkan kembali.
"Ini perusahaan saya. Terserah saya mau ngapain. Dan seharusnya anda yang harus diberikan pertanyaan seperti itu. Ada keperluan apa anda datang kemari dan berteriak-teriak?" dengan tenang pria ini mengaku sebagai pemilik tempat ayah. Hei! Kau mesti sedang bercanda. Aku tersenyum sinis, ingin mengeluarkan makian puluhan pada orang ini, seenak jidatnya aja ngaku-ngaku, tapi aku didahului mas Dhanu yang menyusulku ke ruangan ayah.
"Pak Bayu maaf saya tadi sudah berusaha memberitahu kalau anda sedang tidak ingin diganggu." WHAT? Mas Dhanu maksudnya apa coba ngomong kayak gitu. "Mbak Viona, mari keluar dulu. Akan saya jelaskan."
"Siapa dia Dhan?" terdengar nada kesinisan yang tertuju padaku meski pertanyaan pria itu terarah pada mas Dhanu.
"ini mbak Viona, anak pak Kamal, anak pemilik sebelumnya." Nah dengerin tuh! Aku ini anak... PEMILIK SEBELUMNYA?? Untung aku belum terlanjur tersenyum sombong, sialan. Sepertinya aku tau kenapa ini bisa terjadi. Hanya wanita terkutuk itu yang bisa melakukan ini semua.
.
.
.
DIJUAL. Satu kata dan diikuti beberapa jajaran angka dibawahnya. Gila! Aku sudah ketinggalan apa ini! Segera ku dial nomor itu. Perutku melilit bersiap memuntahkan segala serapah yang ada di dunia ini. Siapa berani memasang plakat ini di depan rumah?!?
Beberapa nada sambung dan terdengar suara seorang wanita. Hampir saja serapahanku keluar jika saja wanita tadi tidak menjawab dengan formal.
"Kantor Reagan, ada yang bisa dibantu?" uh.. oh.. sial! Berpikir Viona.
"Apa.. Apa ada rumah yang dijual di perum Mega Sari ada yang dijual?" tanyaku hati-hati.
"Mohon tunggu sebentar, akan saya periksa." Lalu hening beberapa saat. "Ya. Benar, ada satu dengan nom.."
Sambungan telepon segera kuputus. Aku sudah mendapat info lebih dari cukup. Ya Tuhan.. tiga minggu dan dia bisa bertindak sejauh ini? Gila!
"Loh neng Viona ngapain disini?" Mbak Sum, pembantu tetangga sebelah yang sedang membuang sampah menyapaku heran.
"Eh mbak Sum, ini pak Kamal pindah kemana ya?"
Wajah Mbak Sum makin heran mendengar pertanyaanku. Sial, tapi aku harus menanyakannya untuk dapat info. "Neng Viona nggak tau? Seminggu yang lalu Bu Keyra sama Pak Kamal pindahan, nggak sengaja saya lihat malem-malem ada mobil pengangkut yang mindahin semua barang-barang yang ada di dalam. Para tetangga juga nggak tau neng, wong tiba-tiba pagi harinya rumah udah sepi dan kopong, trus cuman ada pengumuman yang ditempelin di gerbang."
Jadi dimana ayah? Kemana mereka pergi? Ini lebih buruk dari yang kukira. Kantor bahkan bisa diambil alih dengan mudah. Hanya tiga minggu! Demi semua kerang yang ada di laut! Tiga Minggu! Dan sekarang rumah mau dijual?! Ular itu sungguh sangat licin dan cepat hingga mampu melakukan ini semua dalam sekejap mata.
Lamunanku terintrupsi dering ponselku. Mbak Sum mengkodeku dengan senyum untuk pamit kembali ke dalam rumah. Aku menganggu seraya menerima panggilan ponselku.
"Dimana kau?" cih, dia bahkan tak mengucapkan hallo ataua hai sama sekali.
"Di luar." Jawabku pendek.
"Jangan main-main. Katakan kau dimana?" Meski nadanya datar, tapi aku tau emosinya sedang mendaki ke puncak.
"Rei.. please. Bisakah kita mengabaikan ini sebentar..?" pintaku lelah, dan aku sendiri terkejut dengan suaraku yang seperti orang tercekik. Dari membuka mata pagi ini rasanya ada begitu banyak kejadian yang menguras pikiran dan hatiku.
"Apa kau baik-baik saja? Katakan dimana kau? Aku akan segera kesana." Untuk ketiga kalinya Rei menanyakan keberadaanku, kali ini dengan nada lembut, terdengar mengkhawatirkanku.
"Hmm, i'm not OK." Jawabku jujur. "But don't be panic please, i'll go home soon." Berusaha untuk tetap tenang dan meyakinkan Rei, juga diri sendiri.
"Kau yakin? Kau tidak mengalami kecelakaan atau sejenisnya kan?"
"Tidak Rei. Oh Tuhan.." suaraku kembali bergetar.
"Katakan dimana kau sekarang?! Kau membunuhku!" teriaknya frustasi.
"Aku di rumah.. maksudku dirumahku."
"Jangan bergerak, tetap di tempatmu. Aku kesana sekarang."
.
.
Makan malam buatan bibi Ama hanya kupandangi dengan ling lung. Otakku berputar secara kacau memikirkan bagaimana ini bisa terjadi dan apa yang akan terjadi, selanjutnya. Apa ayah baik-baik saja? Satu pertanyaan itu yang berulang kali hatiku tanyakan. Terakhir bahkan aku tak sempat menemuinya, hanya menengoknya dari jendela kecil pintu kamar rumah sakit tanpa berani menemuiya. Kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya, akan kupastikan jalang itu mati di tanganku, membusuk di sel masih terlalu baik untuknya.
"Kau harus tetap makan Vio." Rei menegurku yang mendiamkan makan malam tanpa menyentuhnya sama sekali. Setelah menjemputku tadi, dia belum menanyakan apa yang terjadi. Meski begitu, kupikir dia telah melihat plakat di depan rumahku dan sedikit mengerti apa yang membuatku shock.
Dengan enggan aku mengambil sup ke dalam mangkukku. Berterima kasih pada bibi Ama karna membuat makanan berkuah malam ini. Tak bisa dibayangkan jika tenggorokanku harus bekerja dengan makanan tak berkuah. Dan kuah kaldu ayamya juga sedikit memprovokasi perutku untuk meminta lebih.
"Mau membicarakan apa yang terjadi?" akhirnya setelah selesai makan malam, Rei menanyakan pertanyaan itu juga.
"Mereka menghilang. Perusahaan diambil alih dan rumah dijual." Singkat, padat dan sangat jelas bukan untuk menjelaskan kegilaan yang hari ini terjadi padaku. Kulihat rahangnya mengeras karna gigi yang saling beradu.
"Kau butuh sebuah pelukan." Rei beranjak dari kursinya dan menghampiriku untuk memberikan sebuah pelukan. Hangat dan aku butuh dia untuk bersandar. "Maaf tentang pagi ini." Ia menggerakanku ke depan dan ke belakang masih dalam dekapannya. Kepalaku bersandar pada perutnya yang keras namun lembut. Ia membelai rambutkudari atas kebawah secara konstan. Perbuatannya yang menenangkanku justru membuatku menangis, terharu sekaligus ingin menummpahkan emosi seharian ini
"Itu tak masalah. Hanya.. hanya saja.. hari ini terlalu membingungkan. Dan membuatku lelah."
"Naiklah ke kamar. Akan kubuatkan cokelat panas untukmu." Rei melepasku, namun masih membelaiku.
Aku tersenyum ragu dan menatap geli ke arahnya. "Kau yakin?"
"Apa maksudmu?" egonya tampak sedikit terluka.
"Kau tidak akan mengacaukan dapur? Selama aku mengenalmu, kurasa aku tak pernah melihatmu menyentuh dapur, kecuali untuk makan. Bahkan hanya membuat kopi atau teh saja tidak."
"Jangan remehkan aku. Cepat bawa pantatmu pergi ke atas dan tunggu aku. Atau kau mau kugendong lagi? Dua kali aku melakukannya, kau dalam keadaan tak sadar."
"Tidak, terima kasih. Aku ke atas sekarang." Itu akan sangat memalukan berada dalam gendongan Rei. Segera aku berdiri dan meninggalkan meja makan dan keluar dari dapur.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 52"

Post a Comment