Hopeless Part 71

.
"Vi, katanya dia mau makan siang sama kamu. Padahal aku udah nolak dengan halus kalau kamu nggak bisa. Aku tau kamu udah punya suami dan nggak mungkin aku ngumpanin ke pria seperti itu." Bisik Kia dengan amat hati-hati padaku. "Meski kuakui dia lebih ganteng dari gwe. Dikit." Tambah Kia.
Mukaku rasanya merah padam. Ya Tuhan.. cobaan apalagi ini? Aku tau aku bukan hamba yang taat banget, tapi kenapa engkau kasih cobaan secara bertubi-tubi kayak gini... Aku mengerang dalam hati.
Presentasi senin pagi memang berjalan sangat mulus, semulus jalan tol. Bahkan 'sang pemilik' caffe menyambut hangat ide-ide kami dan bersedia menggelontorkan dana lebih. Kia serta seluruh teamnya pastinya amat senang dan bakal antusias melaksanakan rancangan kerja mereka. Kecuali aku. Iya, aku.
"Tapi dia ngotot, pengen makan siang bar.. nah tuh orangnya." Mata Kia mengkodeku pada sesosok pria yang berjalan ke arah kami. "Siang sir.." Sapa Kia usai orang tersebut berada di hadapan kamu. Orang yang tatapannya selama presentasi sama sekali tak kugubris meski matanya tak pernah lepas selama presentasi tersebut berlangsung. Dasar tak tau malu!
"Selamat siang." Pria tersebut membalas dengan ramah sapaan Kia. Membuatku melengos dalam hati. "Hallo Viona.. bisa kita bicara sebentar?" Aku sama sekali mengacuhkan ajakannya.
"Maaf Sir.. tapi.. tapi Viona tidak bisa. Kami akan segera pulang." Kia terbata-bata menolakkan ajakan pria dihadapannya. Ya, segera bawa aku pulang sebelum tekanan darahku naik tak terkendali.
"Kalau begitu saya akan ikut kalian pulang." Dumb Ass!! Sialan banget sih ni orang! Keterlaluan.
"..." Aku hampir mencacinya tapi suara Kia telah mendahuluiku.
"Maaf sir. Kita memang partner kerja tapi bukan begini caranya. Jika anda tertarik dengan sepupu saya, saya beritahu sejak sekarang saja agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan nantinya. Viona telah memiliki suami dan anda tidak berhak untuk mendekatinya." Aku kaget mendengar ketegasan Kia. Oh Wow.. calm down boy.
"Udah ayo cak kita pulang." Aku sedikit menarik lengan Kia.
"Saya tau Viona sudah bersuami." Pria tadi menekankan kata terakhirnya. Argh.. apa-apaan sih ni! Mungkin mukaku sudah melebihi merahnya tomat atau udang rebus. Jengkel, kesel, malu!
"Jadi kalau begitu jangan mendekatinya. Atau proyek ini kita batalkan saja." Sepertinya emosi Kia sudah mulai mendidih. Aduh.. kok jadi salah paham begini.
"Kami sudah dekat Bapak Kia. Viona adalah istri saya.."
DOR!
.
.
.
Sepanjang perjalanan pulang Kia mengomeliku. Marah, ngambek, kesel. Seperti itulah. Ini lebih baik daripada aku harus pergi dengan orang yang notabenenya adalah 'suamiku'. Beruntung aku bisa pulang dengan Kia setelah aku berbicara berdua saja dengan Rei tadi. Tak sampai lima menit. Aku menyuruh Kia menungguku di mobil. And It will make sure that i'll never go anywhere with this fucking person.
Rei dengan tampang tak bersalahnya mengatakan bahwa sebuah kebetulan bertemu denganku di sini. Dan itu merupakan sebuah takdir. Urgh.. it smell like another bullshit from him. Takdir yang dia bikin maksudnya? Kenapa harus nglibatin proyek kayak gini? Apa Kia tau juga soal ini jadi dia mengajakku dalam kerja sama sialan ini? Ah.. tidak mungkin. Jika ya, maka dia tak akan mempermalukan dirinya seperti tadi. Pfft.. aku hampir tidak bisa menahan tawa saat mulutnya terbuka dan menutup kembali secara berulang seperti ikan koi saat Rei memberitahu bahwa aku adalah istrinya. Poor Kia..
Aku menegaskan pada Rei bahwa aku sedang tak ingin diganggu dan ingin menenangkan diri. Menenangkan diri yang itu artinya tidak dengan dirinya berada di sekitarku. Entah bagaimana Rei membiarkanku pergi. Tapi setelah aku berjalan meninggalkannya menuju ke tempat mobil Kia diparkir dia berteriak akan menemuiku lagi secepatnya. Damn it! Tidak bisakah aku beristirahat dengan tenang?
"Kenapa kamu ngga bilang sih Vi dari awal?" Akhirnya pria ganteng di sebelahku ini mau membuka mulutnya.
"Salah sendiri nikahanku kamu nggak hadir, kan jadinya nggak kenal." Aku berdalih, sebenarnya aku memang malas mengenalkan merek. Terlebih situasinya seperti ini.
"Aishh... Aku kayak nggak punya muka lagi deh ketemu suamimu.." Aku terkikik dalam hati. Aku juga tidak akan pernah berani memunculkan mukaku lagi jika aku jadi Kia. "Tapi kenapa kamu malah milih pulang bareng aku. Suamimu kemana emangnya?"
"Udahlah cak.. ngga usah bahas dia. Aku lagi bt." Sudah cukup hari ini aku dikejutkan oleh kedatangan Rei yang bikin mood hari senin langsung anjlok ke level minus. Aku malas jika harus membahasnya lagi.
"Kamu ini aneh. Kamu ngga lagi bertengkar kan Raihan?"
"Aku lagi mintai cerai!" Seketika menginjak rem secara mendadak. Ups.. kelepasan.. abis Kia cerewet banget sih pengen tau. Untung jalanan sepi, kalau tidak mungkin sudah jadi kecelakaan beruntun.
"Apa kamu bilang? Aku nggak salah denger kan?" nggak kok cak, kamu ngga perlu ngorek telingamu, masih bisa denger dengan normal. Cuman reflek gilamu yang perlu diperiksain kayaknya!
"Emm.. ya lagi dipertimbangin.. udah ah! Ayo cepetan pulang ngapain berenti di tengah jalan gini. Ganggu yang lewat kali cak."
"Jadi kamu kesini buat kabur ya?" Argh.. tuh kan malah disangkain kabur. Aku kan cuman nurutin saran Ayah buat nenangin diri. Tapi malah ketemu makhluk yang dihindari. Hmm.. tapi apa ayah yang kasih tau dia kalau aku disini ya? Tidak, justru ayah yang menyuruhku kemari untuk menenangkan diri dan menjauh sebentar dari Rei.
Aku membenturkan kepalaku ke dashboard dengan pelan. "Tidak bisakah kita berhenti berbicara tentang ini." Kia terdiam. Mungkin heran melihat aksiku yang seperti anak kecil ini. Tapi perduli setan, aku benar-benar muak jika harus membicarakannya saat ini.
"Apa yang dilakukannya padamu?" Kia membuka lagi suaranya setelah ia juga melajukan mobilnya kembali. Sekarang nadanya sudah kembali normal, malah cenderung dingin.
"Hal yang buruk." Jawabku singkat.
"Dia.. memukulmu?" Kia seperti ragu menanyakan itu. Sedang aku malah terkikik dengan pertanyaannya.
"Kalau dia memukulku aku bakal membalasnya, ditambah tendangan mungkin."
"Hmm.. yeah dia tak memiliki wajah psycho. Lalu apa?"
"Hmm.. there is something unforgiven. Ada banyak kebohongan dalam dirinya. Aku sendiri ragu telah mengenalnya.."
"Tak usah diteruskan. Aku mengerti.." Syukurlah kalau Kia mengerti tanpa aku harus menjelaskan detailnya.
"Terima kasih cak.." gumamku.
"Ya.. aku tau kau tidak akan bertindak seperti ini tanpa suatu alasan."
.
.
.
"Siapa Liv yang dateng?" pagi-pagi benar bel rumah budhe lis sudah ditekan.
"Om ganteng." Liv mencomot bakwan jagung yang baru kutiriskan.. ia meringis kepanasan. Yaiyalah, orang itu baru di angkat dari minyak panas.
"Kok pagi-pagi bener udah mertamu ke rumah orang." Cibirku.
"Ngga papa kali kak Vi, kan ganteng." Liv menyambar botol saus untuk ditambahkan pada bakwannya.
"Trus yang ngga ganteng ngga boleh? Apa bedanya coba?" aku melepas apron dan menggantungnya di dekat lemari pendingin.
"Kan kalo ganteng bisa buat cuci mata di pagi hari."
"Ngga sekalian buat cuci muka juga?"
"Boleh juga itu kalo si om mau." Ah.. ni anak malah tambah ngawur.
"Viona? Ada tamu untukmu." Budhe lis muncul dari ruang depan. "Sekalian kamu hidangin minum sama bakwan yang baru kamu buat."
Aku mengambil gelas serta piring untuk menghidangkan bakwan. "Emang siapa budhe?" perasaan aku ngga punya banyak kenalan disini yang terlalu akrab hingga bisa menemuiku sepagi ini. Jika Wira dan putri, mereka bisa menemuiku sebentar lagi di kantor Kia. Lagian Wira juga belum terlalu tua untuk dipanggil Om sama Liv.
"Suamimu." Oh! Hollycrap!
"Suami kak Viona?!" Liv langsung terlonjak dari duduknya.
"Iya, sana temuin. Kok nggak bilang suamimu juga ada di Malang, kan bisa disuruh nginep disini." Tegur budhe. Mana aku tau Rei kemari, kemarin aja dia tiba-tiba nongol di presentasinya Kia. Kalau tau dia mau kesini mah aku ngga akan ke Malang, mending juga ke bulek di Bandung.
"Kok ngga bilang-bilang sih kak punya suami ganteng." Kalau mau ambil saja sana! Rasanya aku ingin berteriak seperti itu pada Liv.
Argh!! Rei sialan.. dia bilang kemarin tak akan menemuiku dulu. Tapi kenapa pagi-pagi kayak gini malah seenak jidatnya nongol di rumah orang.
"Buat siapa Vi?" Kia yang baru keluar kamar menanyakan nampan yang akan kubawa ke ruang depan.
"Tamu." Jawabku singkat.
"Buat suaminya kak Viona tuh cak!!" dasar Liv ember.
"Dia kesini?"
"Iya, suaminya kak Viona ganteng lo cak!"
"Gantengan juga gwe."
"Cie.. ada yang kesaing nih ceritanya.." sindir Liv.
"Bilang apa kamu? Ayok bilang sekali lagi kalau berani." Kia menjepit kepala adiknya debawah ketiaknya. Membat Liv menjerit. Dan kemudian aku mendengar tawa mereka dari ruang tamu.
"..nak Rei kalau masih lama di Malang nginep disini aja. Kan Vionanya juga disini. Anggap saja ini rumah sendiri." Grrr.. budhe..
"Iya, rencana begitu. Saya di Malang juga ada urusan dengan Bapak Kia, jadi sekalian mampir kesini." Huh? Menginap disini? Jangan mimpi!
"Kia? Jadi kamu yang kerja sama dengan Kia?"
"Iya budhe."
"Ehm.." Budhe dan Rei langsung menyadari kehadiranku yang membawa nampan hidangan setelah aku berdehm.
"Eh Viona.. Ayo gabung sini."
Aku duduk di samping budhe setelah menaruh hidangan. Otakku berputar membuat rancangan skenario agar pria di hadapanku ini cepat enyah dari sini. "Kok nggak disambut sih suaminya.. cium sayang tangannya." Budhe apalagi ini.. aku tersenyum kaku dan dengan kikuk pindah ke sampingnya. Tapi belum sempat pantatku menyentuh bantalan kursi, aku sudah terlebih dulu ditarik ke pangkuan Rei. Lalu dengan tampangku yang masih shock dia mencium bibirku sekilas.
"Viona memang suka malu-malu kalau sama saya.." seloroh Rei pada budhe. What The FFFFF.... "Ahh.." Rei memekik tertahan saat pinggang rampingnya kucubit dengan keras.
"Kenapa nak Rei?"
"Ahhahaha.. tidak apa-apa." Aku semakin mengencangkan cubitanku, membuat Rei meringis. "Kita lihat siapa yang akan bertahan Viona.." bisik Rei di telingaku. Aroma parfum serta mint langsung memenuhi indra penciumanku. Dia seperti bau kayu-kayuan di hutan pagi yang segar, sekaligus memabukkan...
.
.
.
Tbc

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 71"

Post a Comment