"Vi, katanya dia mau makan siang sama kamu. Padahal aku udah nolak dengan halus kalau kamu nggak bisa. Aku tau kamu udah punya suami dan nggak mungkin aku ngumpanin ke pria seperti itu." Bisik Kia dengan amat hati-hati padaku. "Meski kuakui dia lebih ganteng dari gwe. Dikit." Tambah Kia.
Mukaku rasanya merah
padam. Ya Tuhan.. cobaan apalagi ini? Aku tau aku bukan hamba yang taat
banget, tapi kenapa engkau kasih cobaan secara bertubi-tubi kayak
gini... Aku mengerang dalam hati.
Presentasi senin pagi
memang berjalan sangat mulus, semulus jalan tol. Bahkan 'sang pemilik'
caffe menyambut hangat ide-ide kami dan bersedia menggelontorkan dana
lebih. Kia serta seluruh teamnya pastinya amat senang dan bakal antusias
melaksanakan rancangan kerja mereka. Kecuali aku. Iya, aku.
"Tapi dia ngotot, pengen
makan siang bar.. nah tuh orangnya." Mata Kia mengkodeku pada sesosok
pria yang berjalan ke arah kami. "Siang sir.." Sapa Kia usai orang
tersebut berada di hadapan kamu. Orang yang tatapannya selama presentasi
sama sekali tak kugubris meski matanya tak pernah lepas selama
presentasi tersebut berlangsung. Dasar tak tau malu!
"Selamat siang." Pria
tersebut membalas dengan ramah sapaan Kia. Membuatku melengos dalam
hati. "Hallo Viona.. bisa kita bicara sebentar?" Aku sama sekali
mengacuhkan ajakannya.
"Maaf Sir.. tapi.. tapi
Viona tidak bisa. Kami akan segera pulang." Kia terbata-bata menolakkan
ajakan pria dihadapannya. Ya, segera bawa aku pulang sebelum tekanan
darahku naik tak terkendali.
"Kalau begitu saya akan ikut kalian pulang." Dumb Ass!! Sialan banget sih ni orang! Keterlaluan.
"..." Aku hampir mencacinya tapi suara Kia telah mendahuluiku.
"Maaf sir. Kita memang
partner kerja tapi bukan begini caranya. Jika anda tertarik dengan
sepupu saya, saya beritahu sejak sekarang saja agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak kita inginkan nantinya. Viona telah memiliki suami
dan anda tidak berhak untuk mendekatinya." Aku kaget mendengar ketegasan
Kia. Oh Wow.. calm down boy.
"Udah ayo cak kita pulang." Aku sedikit menarik lengan Kia.
"Saya tau Viona sudah
bersuami." Pria tadi menekankan kata terakhirnya. Argh.. apa-apaan sih
ni! Mungkin mukaku sudah melebihi merahnya tomat atau udang rebus.
Jengkel, kesel, malu!
"Jadi kalau begitu
jangan mendekatinya. Atau proyek ini kita batalkan saja." Sepertinya
emosi Kia sudah mulai mendidih. Aduh.. kok jadi salah paham begini.
"Kami sudah dekat Bapak Kia. Viona adalah istri saya.."
DOR!
.
.
.
Sepanjang perjalanan pulang Kia mengomeliku. Marah, ngambek, kesel. Seperti itulah. Ini lebih baik daripada aku harus pergi dengan orang yang notabenenya adalah 'suamiku'. Beruntung aku bisa pulang dengan Kia setelah aku berbicara berdua saja dengan Rei tadi. Tak sampai lima menit. Aku menyuruh Kia menungguku di mobil. And It will make sure that i'll never go anywhere with this fucking person.
.
.
.
Sepanjang perjalanan pulang Kia mengomeliku. Marah, ngambek, kesel. Seperti itulah. Ini lebih baik daripada aku harus pergi dengan orang yang notabenenya adalah 'suamiku'. Beruntung aku bisa pulang dengan Kia setelah aku berbicara berdua saja dengan Rei tadi. Tak sampai lima menit. Aku menyuruh Kia menungguku di mobil. And It will make sure that i'll never go anywhere with this fucking person.
Rei dengan tampang tak
bersalahnya mengatakan bahwa sebuah kebetulan bertemu denganku di sini.
Dan itu merupakan sebuah takdir. Urgh.. it smell like another bullshit
from him. Takdir yang dia bikin maksudnya? Kenapa harus nglibatin proyek
kayak gini? Apa Kia tau juga soal ini jadi dia mengajakku dalam kerja
sama sialan ini? Ah.. tidak mungkin. Jika ya, maka dia tak akan
mempermalukan dirinya seperti tadi. Pfft.. aku hampir tidak bisa menahan
tawa saat mulutnya terbuka dan menutup kembali secara berulang seperti
ikan koi saat Rei memberitahu bahwa aku adalah istrinya. Poor Kia..
Aku menegaskan pada Rei
bahwa aku sedang tak ingin diganggu dan ingin menenangkan diri.
Menenangkan diri yang itu artinya tidak dengan dirinya berada di
sekitarku. Entah bagaimana Rei membiarkanku pergi. Tapi setelah aku
berjalan meninggalkannya menuju ke tempat mobil Kia diparkir dia
berteriak akan menemuiku lagi secepatnya. Damn it! Tidak bisakah aku
beristirahat dengan tenang?
"Kenapa kamu ngga bilang sih Vi dari awal?" Akhirnya pria ganteng di sebelahku ini mau membuka mulutnya.
"Salah sendiri nikahanku
kamu nggak hadir, kan jadinya nggak kenal." Aku berdalih, sebenarnya
aku memang malas mengenalkan merek. Terlebih situasinya seperti ini.
"Aishh... Aku kayak
nggak punya muka lagi deh ketemu suamimu.." Aku terkikik dalam hati. Aku
juga tidak akan pernah berani memunculkan mukaku lagi jika aku jadi
Kia. "Tapi kenapa kamu malah milih pulang bareng aku. Suamimu kemana
emangnya?"
"Udahlah cak.. ngga usah
bahas dia. Aku lagi bt." Sudah cukup hari ini aku dikejutkan oleh
kedatangan Rei yang bikin mood hari senin langsung anjlok ke level
minus. Aku malas jika harus membahasnya lagi.
"Kamu ini aneh. Kamu ngga lagi bertengkar kan Raihan?"
"Aku lagi mintai cerai!"
Seketika menginjak rem secara mendadak. Ups.. kelepasan.. abis Kia
cerewet banget sih pengen tau. Untung jalanan sepi, kalau tidak mungkin
sudah jadi kecelakaan beruntun.
"Apa kamu bilang? Aku
nggak salah denger kan?" nggak kok cak, kamu ngga perlu ngorek
telingamu, masih bisa denger dengan normal. Cuman reflek gilamu yang
perlu diperiksain kayaknya!
"Emm.. ya lagi dipertimbangin.. udah ah! Ayo cepetan pulang ngapain berenti di tengah jalan gini. Ganggu yang lewat kali cak."
"Jadi kamu kesini buat
kabur ya?" Argh.. tuh kan malah disangkain kabur. Aku kan cuman nurutin
saran Ayah buat nenangin diri. Tapi malah ketemu makhluk yang dihindari.
Hmm.. tapi apa ayah yang kasih tau dia kalau aku disini ya? Tidak,
justru ayah yang menyuruhku kemari untuk menenangkan diri dan menjauh
sebentar dari Rei.
Aku membenturkan
kepalaku ke dashboard dengan pelan. "Tidak bisakah kita berhenti
berbicara tentang ini." Kia terdiam. Mungkin heran melihat aksiku yang
seperti anak kecil ini. Tapi perduli setan, aku benar-benar muak jika
harus membicarakannya saat ini.
"Apa yang dilakukannya
padamu?" Kia membuka lagi suaranya setelah ia juga melajukan mobilnya
kembali. Sekarang nadanya sudah kembali normal, malah cenderung dingin.
"Hal yang buruk." Jawabku singkat.
"Dia.. memukulmu?" Kia seperti ragu menanyakan itu. Sedang aku malah terkikik dengan pertanyaannya.
"Kalau dia memukulku aku bakal membalasnya, ditambah tendangan mungkin."
"Hmm.. yeah dia tak memiliki wajah psycho. Lalu apa?"
"Hmm.. there is something unforgiven. Ada banyak kebohongan dalam dirinya. Aku sendiri ragu telah mengenalnya.."
"Tak usah diteruskan. Aku mengerti.." Syukurlah kalau Kia mengerti tanpa aku harus menjelaskan detailnya.
"Terima kasih cak.." gumamku.
"Ya.. aku tau kau tidak akan bertindak seperti ini tanpa suatu alasan."
.
.
.
"Siapa Liv yang dateng?" pagi-pagi benar bel rumah budhe lis sudah ditekan.
.
.
.
"Siapa Liv yang dateng?" pagi-pagi benar bel rumah budhe lis sudah ditekan.
"Om ganteng." Liv
mencomot bakwan jagung yang baru kutiriskan.. ia meringis kepanasan.
Yaiyalah, orang itu baru di angkat dari minyak panas.
"Kok pagi-pagi bener udah mertamu ke rumah orang." Cibirku.
"Ngga papa kali kak Vi, kan ganteng." Liv menyambar botol saus untuk ditambahkan pada bakwannya.
"Trus yang ngga ganteng ngga boleh? Apa bedanya coba?" aku melepas apron dan menggantungnya di dekat lemari pendingin.
"Kan kalo ganteng bisa buat cuci mata di pagi hari."
"Ngga sekalian buat cuci muka juga?"
"Boleh juga itu kalo si om mau." Ah.. ni anak malah tambah ngawur.
"Viona? Ada tamu untukmu." Budhe lis muncul dari ruang depan. "Sekalian kamu hidangin minum sama bakwan yang baru kamu buat."
Aku mengambil gelas
serta piring untuk menghidangkan bakwan. "Emang siapa budhe?" perasaan
aku ngga punya banyak kenalan disini yang terlalu akrab hingga bisa
menemuiku sepagi ini. Jika Wira dan putri, mereka bisa menemuiku
sebentar lagi di kantor Kia. Lagian Wira juga belum terlalu tua untuk
dipanggil Om sama Liv.
"Suamimu." Oh! Hollycrap!
"Suami kak Viona?!" Liv langsung terlonjak dari duduknya.
"Iya, sana temuin. Kok
nggak bilang suamimu juga ada di Malang, kan bisa disuruh nginep
disini." Tegur budhe. Mana aku tau Rei kemari, kemarin aja dia tiba-tiba
nongol di presentasinya Kia. Kalau tau dia mau kesini mah aku ngga akan
ke Malang, mending juga ke bulek di Bandung.
"Kok ngga bilang-bilang
sih kak punya suami ganteng." Kalau mau ambil saja sana! Rasanya aku
ingin berteriak seperti itu pada Liv.
Argh!! Rei sialan.. dia
bilang kemarin tak akan menemuiku dulu. Tapi kenapa pagi-pagi kayak gini
malah seenak jidatnya nongol di rumah orang.
"Buat siapa Vi?" Kia yang baru keluar kamar menanyakan nampan yang akan kubawa ke ruang depan.
"Tamu." Jawabku singkat.
"Buat suaminya kak Viona tuh cak!!" dasar Liv ember.
"Dia kesini?"
"Iya, suaminya kak Viona ganteng lo cak!"
"Gantengan juga gwe."
"Cie.. ada yang kesaing nih ceritanya.." sindir Liv.
"Bilang apa kamu? Ayok
bilang sekali lagi kalau berani." Kia menjepit kepala adiknya debawah
ketiaknya. Membat Liv menjerit. Dan kemudian aku mendengar tawa mereka
dari ruang tamu.
"..nak Rei kalau masih
lama di Malang nginep disini aja. Kan Vionanya juga disini. Anggap saja
ini rumah sendiri." Grrr.. budhe..
"Iya, rencana begitu.
Saya di Malang juga ada urusan dengan Bapak Kia, jadi sekalian mampir
kesini." Huh? Menginap disini? Jangan mimpi!
"Kia? Jadi kamu yang kerja sama dengan Kia?"
"Iya budhe."
"Ehm.." Budhe dan Rei langsung menyadari kehadiranku yang membawa nampan hidangan setelah aku berdehm.
"Eh Viona.. Ayo gabung sini."
Aku duduk di samping
budhe setelah menaruh hidangan. Otakku berputar membuat rancangan
skenario agar pria di hadapanku ini cepat enyah dari sini. "Kok nggak
disambut sih suaminya.. cium sayang tangannya." Budhe apalagi ini.. aku
tersenyum kaku dan dengan kikuk pindah ke sampingnya. Tapi belum sempat
pantatku menyentuh bantalan kursi, aku sudah terlebih dulu ditarik ke
pangkuan Rei. Lalu dengan tampangku yang masih shock dia mencium bibirku
sekilas.
"Viona memang suka
malu-malu kalau sama saya.." seloroh Rei pada budhe. What The FFFFF....
"Ahh.." Rei memekik tertahan saat pinggang rampingnya kucubit dengan
keras.
"Kenapa nak Rei?"
"Ahhahaha.. tidak
apa-apa." Aku semakin mengencangkan cubitanku, membuat Rei meringis.
"Kita lihat siapa yang akan bertahan Viona.." bisik Rei di telingaku.
Aroma parfum serta mint langsung memenuhi indra penciumanku. Dia seperti
bau kayu-kayuan di hutan pagi yang segar, sekaligus memabukkan...
.
.
.
Tbc
.
.
.
Tbc
0 Response to "Hopeless Part 71"
Post a Comment