“Ini,
tabungan dan deposito yang bisa kau gunakan Vi.” Ayahku. Ayah kandungku sendiri
menyerahkan buku tabungan dan deposito untukku. Ini bukan hadiah ulang tahun
atau hadiah kelulusan atau semacamnya. Dia memberiku itu untuk mengusirku. Yah
mengusirku dari rumah yang selama 24 tahun aku huni bersama keluarga
tercintaku. “aku percaya kau bisa mandiri di luar sana Viona..” aku masih tak
menggubris kata-kata ayah. Aku hanya duduk bersedekap sambil menatap tajam
ayah. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Oh.. ayolah harusnya aku yang
menangis bukannya kau!
Aku mengambil buku tabungan itu dan masuk ke kamar. Ku kemasi semua barang secepat mungkin. Pakaian, make up,
aksesoris dan yang lainnya. Terakhir aku memasukkan foto ibu. Aku memandanginya
sesaat sebelum kumasukan ke dalam koper. “Seandainya saja kau masih ada di sini. Ini semua
tak akan terjadi padaku atau pada ayah..” aku bergumam lirih.
Aku pergi tanpa berpaling lagi. Aku tak mau menyisakan kenangan pada
rumah itu. Rumah yang terletak di perumahan yang cukup asri dimana aku tumbuh
dan dibesarkan oleh dua orang tua yang sangat menyayangiku hingga semuanya
terenggut dariku dalam sekejap. Ibuku meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Itu sudah cukup mengguncang
hidupku. Dia adalah ibu terbaik di dunia, istri peyayang,
peri bagi aku dan ayah yang dikirim oleh Tuhan untuk mengurus kami sekeluarga.
Sampai hari ini aku masih merasa
kehilangan dirinya. Namun itu bukanlah yang terburuk. Ada seorang wanita yang
datang ke kehidupan keluargaku. Ayah memperkenalkannya 4 bulan setelah ibu
meninggal. Hati anak mana yang tak sakit ketika baru saja ibunya meninggal
kemudian ayahnya mengenalkan seorang wanita padanya? Tentu aku langsung tak
setuju dan memberikan tanggapan yang buruk padanya. Sebulan setelahnya dia
menikah dengan ayah. Setelah itu aku tak bicara sepatah katapun pada ‘ibu
baru’ku itu. Rupanya dia juga membalas perlawananku.
Aku tak tahu
kegilaan apa yang terjadi pada hidupku sampai-sampai ia berhasil membujuk ayah untuk mengusirku. Dan
ayah termakan omongannya. Entah kenapa ayah begitu mencintainya. Aku masih tak
mempercayainya. Dia sama sekali tak bisa dibandingkan dengan ibu, seinchipun ia tak
sebanding dengan ibu.
Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Sepertinya aku harus cepat
menemukan tempat tinggal sementara. Aku sudah menduga ini
terjadi karna beberapa hari belakangan perang dingin antara aku dan wanita
sialan itu semakin menjadi. Hanya aku tak menyangka ia berhasil menghasut ayah
secepat ini. Aku belum punya rencana apapun saat ini.
“Hotel
Jullian pak.”
Aku mengintrupsi supir taksi yang kupesan. Tinggal di
hotel untuk sementara waktu, tak ada pilihan lain.
“Baik neng.”
.
.
.
Hotel
Jullian,
21 Juni 2014
Mulai
besok aku akan memulai hidup baru. Aku sudah tak peduli pada masa laluku.
Semuanya sudah berakhir. Jika aku tak ingin gagal, maka secepatnya aku harus
bangkit. Dan hari ini semuanya sudah jelas, di dunia ini tak ada yang namanya
cinta atau kasih sayang, yang ada hanyalah nafsu belaka. Manusia sama sekali
tak punya cinta seperti yang mereka gembar gemborkan. Semuanya hanya berasal dari
nafsu mereka saja.
Kututup buku harian berukuran 20x25 cm yang baru saja kuisi di atas
ranjang salah satu kamar hotel yang untuk sementara aku tinggali. Kemudian
kuletakkan di nakas dekat ranjang yang kini kubaringi. Aku hanya berencana
tinggal di hotel ini selama beberapa hari, mungkin paling lama 5 hari sampai
aku menemukan tempat tinggal dekat kantorku. Aku harus mendapatkan yang paling
dekat karena lalu lintas menuju tempat kerjaku sungguh sangat gila. Setiap pagi
pasti aku harus bergulat dengan kemacetan. Itu hampir membuatku stres. Apalagi
dengan peraturan ketat dari kantorku yang siap memotong gaji tiap menitnya jika
ada yang terlambat. Padahal jam masuknya pukul 8.15.
Aku sudah menghubungi temanku untuk mencarikan
sebuah tempat tinggal. Kalau ada rumah yang disewakan aku sangat bersyukur,
tapi kalau cuman kos-kosan tak apalah. Mungkin aku bisa tinggal selama 1-2
tahun sampai aku bisa mengumpulkan uang dan membeli sebuah rumah. Tujuan
hidupku kedepan adalah uang. Bukan hal lainnya. anggap aku
cewek matre, silahkan, itu terserah kalian. Dengan uang aku bisa melakukan
apapun. Mendapatkan apapun.
Sambil terus memikirkan rencana-rencana masa
depan, mataku mulai tertutup rasa kantuk. Aku sempat melirik jam digital yang
ada di nakas menunjukkan pukul 23.30 sebelum akhirnya aku terlelap.
.
.
.
“Pagi
bu Viona..” sapa salah satu resepsionis bernama Wanda. Aku hanya membalas sapaannya dengan
sebuah senyuman tipis. Aku melangkah menuju lift yang akan mengantarkanku ke
lantai 9 letak ruanganku berada. Aku bekerja sebagai seorang manager pemasaran
di sebuah perusahaan brand yang cukup
punya nama. Cukup berat memang, tapi uang yang kuhasilkan juga lumayan.
“Vi,
kenapa kau mau pindah? Bukankah tempat tinggalmu udah cukup dekat dengan kantor
ini?” aku berpapasan dengan temanku Gio saat masuk lift. Dan dia langsung menanyaiku
perihal bantuan yang kuminta padanya.
“Aku
diusir” ucapku enteng.
“What??
Becanda lo gak lucu.” Cemohnya.
Aku memandangiya dengan wajah datar. “Is it looks like a joke honey???” aku memanggilnya
sayang bukan karena apa-apa, hanya kebiasaan bercanda di tempat kerjaku seperti
itu.
Ting.. lift telah sampai di lantai 9. Aku bergerak ke luar diikuti Gio
meninggalkan beberapa orang di dalam lift yang akan menuju ke lantai bagian
atas.
“Apa kau
hamil??” bisiknya padaku. Tapi beberapa orang mempunyai telinga yang tajam
sehingga langsung menatap pada kami. Spontan aku memukul perutnya dengan
beberapa map yang kubawa.
“Keep
your moth!!”
“Hei..hei..
pagi-pagi pasutri udah berantem aja nih.” Celetuk salah seorang pegawai tanpa
mengalihkan perhatiannya dari layar monitor.
Plak. Satu bogeman mapku juga melayang di kepalanya.
“Kau
juga Fan!
Jangan asal bicara. Pasutri dari mana, bisa-bisa aku dipenggal sama bu direktur
tetangga sebelah.” Yah, Gionino Alamsyah adalah tunangan seorang direktur muda
di perusahaan lain. Aku sering bercanda dengan mengancam akan membunuhnya jika
dia membocorkan rahasia perusahaan kami pada tunangannya
itu. “Kembali bekerja.” Ujarku
pada Fandi.
“Ibu Viona
pikir yang aku lakukan dari tadi itu apa? Nyetrika baju? Yaelah ini juga lagi
kerja ibu managerku tersayang….” Hari kerjaku sepertinya akan berjalan dengan
lancar. Ini cukup melegakan. Karena aku tak mau terbawa emosi hari kemarin. Kesibukan kerja akan cukup menyita seluruh tenaga hingga aku tak lagi
perlu berpikir tentang keluarga memuakkan
Aku memeriksa beberapa dokumen yang masuk di email. Laporan pejualan
minggu lalu, hasil rapat pemegang saham ahh itu nanti saja, emm..data produk
baru. Ini yang langsung kuperiksa.
Tok tok tok.
“Masuk.”
Rupanya Gio.
“Serius
nih lo diusir dari rumah?” sambil menarik kursi di depan mejaku dia langsung
bertanya ingin tahu. “kok bisa gitu sih?”
“Bisalah,
namanya juga manusia.” Aku malas diinterogasi olehnya. Apa
aku harus menceritakan detail memuakkan itu lagi? Tidak!
“Busyet
dah.. kalo lo ga mau ngasih tau alasannya gwe juga males kali mau bantuinnya.” Tangannya bersedekap dan wajahnya ditekuk
“Jalang sialan itu berhasil membujuk ayah gwe untuk mengusir gwe dari rumah, paham?” aku
mediktenya. Sepertinya dia tak enak mendengar jawaban dariku. Wajahnya menunjukkan keprihatinan dan kekikukan, mengusap tengkuknya.
“Ohh..”
setelah beberapa detik dia angkat bicara. “Kok lo gak keliatan sedih atau gimana gitu sih.”
Aku menggeram padanya. “Trus gwe harus nangis-nangis bombay memohon buat
gak diusir gtu? Najis” beri aku satu milyar dan aku akan
menolak jika harus memohon pada si jalang itu.
“Iya..iya… gwe ngerti.” Gio yang mendapatiku mulai
naik darah pun undur diri. “Nanti aku akan hubungin semua kenalan yang bisa
bantu.” Tambahya sebelum keluar ruanganku.
.
.
.
Aku keluar dari mobil yang kuparkirkan di tingkat dua ketika ada sebuah
mobil yang mengklaksonku.
Dinn..din…
Aku melongok mobil siapa. Gio. Kutunggu dia memarkir mobil.
“Pagi Vi!
Mobilmu udah beres ya?”
“Hem..” kepalaku mengangguk pelan. Yah tau deh tuh mobil udah beres
beneran pa enggak, 3 hari nginep di bengkel. Sejak aku beli beberapa bulan lalu
udah masuk bengkel 3 kali lebih. Ah! Aku tak pandai memilih otomotif.
Seharusnya aku tanya seseorang terlebih dulu. Mobil volks wagen bekas berwarna
kuning mencolok. Entah kenapa aku menyukainya saat pertama kali nelihatnya. Dan
tanpa berpikir panjang aku membelinya. Sungguh bodoh. Lebih parahnya aku
membayar dengan harga yang cukup mahal. Sial! “Gimana? Udah 3 hari kau belum kasih kabar apa
ada tempat tinggal murah di daerah sini?” aku gak mau memperlama waktu
tinggalku di hotel, bisa bengkak pengeluaranku nanti.
“Aku
udah nanya semua kenalan dan aku turun tangan sendiri hari minggu kemarin bwat
nyari rumah atau kosan. Tapi ga ada yang kosong.” Keluhnya.
“Aku
juga udah minta bantuan sama yang lain. dan hasilnya juga nihil.” Kecemasanku mulai melanda. Aku nggak mungkin lama-lama tinggal di hotel. Bisa-bisa tabunganku
ambles cuman buat numpang di hotel.
“Kenapa
ga beli apartemen aja?”
“Gajiku setengah tahun bakalan sia-sia!” sergahku. “lagian gwe pengen beli hunian yang
permanen. Bukan yang nyewa 20 tahun doang. Udah bayar mahal-malah cuman
ditinggalin gitu doang, nggak bisa diwarisin pula.” Terserah deh orang mau
anggep kuno atau apa, tapi aku lebih memilih seperti itu. Konvesional kalau aku
bilang, iya kan? Buat apa bayar malah-mahal bahkan sampe milyaran cuman buat
tinggal di sebuah ruangan yang bahkan nggak punya genteng selama 20 tahun doang
trus nggak bisa dimilikin.
“Iya
ya…harga property hari-hari ini sungguh melangit. Jadi pengen buka bisnis
property..hehe.”
“Elu
enak ada yang modalin.” Kami tiba di depan pintu lift yang terbuka lalu masuk ke dalam bersama beberapa karyawan lain.
“Tasku!”
Tiba-tiba aku tersadar tak membawa tas kerjaku. Di mobil!
“Kenapa?”
pertanyaan Gio tak sempat kujawab karna aku langsung menerobos keluar lift
tepat sebelum lift tertutup.
Kupandangi jam yang menggantung di atas pintu lift. 08.09. empat menit
lagi, paling lama 5 menit. Kupercepat ayunan langkah kakiku menuju tempat
parkir. Tapi dasar orang lagi buru-buru ada aja halangannya.
Bruakkk…
Aku menabrak seseorang dengan keras hingga aku sendiri jatuh terjengkang
ke belakang.
“Oh..
maafkan aku!” aku segera bangkit dan membantu seorang laki-laki yang kutubruk.
“Aku
benar-benar minta maaf pak..bapak enggak papa kan?” orang
di belakang laki-laki itu juga membantunya berdiri.
Krek..
Tapi aku menginjak sesuatu. Kakiku kuangkat dan menemukan pena yang
patah jadi dua.
“Eh…”
kupungut pena itu. “saya akan menggantinya pak. Emm.. bapak bisa memberikan
alamat bapak, nanti akan saya kirimi.”
“Tak
usah. Tak apa-apa.” Laki-laki paruh
baya itu menolaknya.
Tapi aku terus memaksanya dan akhirnya dia memberikan alamat rumahnya.
Dengan cepat kuketik di ponselku dan segera kembali menuju mobilku untuk
mengambil tas.
Aku berlari secepat kilat. Aku sempat melirik kembali jam yang ada di
atas lift. 08.14. dengan membabi buta aku memencet tombol lift.
“Ayolah…”
gumamku. Pintu lift terbuka, aku bersyukur tak ada orang. Segera kutekan angka
9. Kuharap waktuku cukup. 3,4,5,6, aku mengambil ancang-ancang, 7,8,9
Ting.
Tap tap tap
Sret
Kusisipkan kertas
absenku pada scaner yang tertempel di tembok dekat lift.
Semua pegawai melihatku lalu berganti memandangi jam digital besar yang
ada di atas mesin absen. 08.14.49. yeah.. jam yang sangat
besar sampe aku bisa melihatnya dari ruanganku yang ada di ujung. Mengingatkan
semua pegawai untuk tepat waktu dalam hal apapun.
“Yeah….!!!!!..”
Suit..suitt..
Tepuk tangan dan siulan menyambutku. Hah.. sungguh memalukan. Tapi aku selamat,
hehe.. seenggaknya tak ada potongan gaji. Sekarang aku akan sangat menghargai
setiap lembaran rupiah yang ada.
“Selamat
bu, anda tepat waktu sekali!” teriak salah seorang di meja paling ujung.
Kubalas dengan senyum sinisku yang mengatakan ‘i know,
just shut up!”
Hampir saja.. Sialan. Aku cukup menanggung malu gara-gara gak mau telat
satu menitpun. Iyalah, satu menit aja gajiku dipotong 10.000 lah kalau telat 10
menit aja 100.000. gila memang peraturannya. Dengan uang
segitu aku bisa makan di warteg lima kali.
“Vi!” seruan Gio membahana ke seluruh ruangan. Dia melambaikan tangan
dengan semangat.
Segera saja kuhampiri Gio yang ada di depan ruanganku. Dia bersama seorang pria, entah siapa. Pakaiannya formal, mungkin
pegawai di perusahaan ini tapi bukan dari divisiku pastinya.
“Ada
apa?” tanyaku saat sampai di depan mereka.
“Kenalin,
ini Rei. Temen futsal gwe.” Gio mengenalkan pria yang ada di sebelahnya.
“Viona. Hm.. sepertinya anda tak asing.” Aku mengangguk pelan.
Kuperhatikan wajahnya. Entah sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Wajahnya
tak asing itu apakah aku udah pernah ketemu sebelumnya atau emang mukanya
pasaran. Ganteng sih, tapi kayak pernah liat dimana gitu,
mungkin ganteng yang pasaran haha.. ups..
Dia agak terkekeh. Sedangkan Gio malah menyikutku. “dia salah satu
direktur kita!” Gio membisikiku sambil menggeram.
Dia mengulurkan tangannya. Rahangku agak terbuka. Oh shit… kenapa aku
gak bisa mengenali direktur sendiri tentu aja aku pernah bertemu dengannya atau berpapasan atau apa yang pasti tentu aku sudah pernah melihat
wajahnya, maksudku yah liat pas seminar,
pengenalan produk dan acara lain misalnya. Stupid! Segera kusambut tangannya
dan menyalaminya. “Raihan.” Ia tersenyum. “Em..” dia membalikan telapak tangannya usai
berjabat tangan.
Jantungku tiba-tiba terpacu dengan cepat. Tangannya menghitam. Kuperiksa
telapak tanganku. Oh tidak tidak tidak… tinta pena tadi. Dengan reflek aku memeriksa
saku dalam jasku. Tintanya menodai kemeja putihku tepat di dada. Argh… kenapa
aku menyimpannya dengan sembarangan. Aku tak berpikir tintanya akan tumpah ruah
seperti ini. Aku berusaha membersihkan kemejaku, tapi..
Aku menangkap pandangan aneh dari dua orang yang ada di depanku. Fix..
aku malah lupa sama mereka dan asyik dengan tinta di
dadaku.
“Maaf..maaf..
emm ini tinta penaku yang rusak.” aku mengambil sapu tangan dari dalam tas
kerjaku. “Maaf
aku tak tahu tanganku terkena tinta..” kuberikan sapu tangan itu.
“Nggak
papa kok.” Raihan menerima sapu tangan itu. “Eh, nanti aku hubungi saja ya, aku ada rapat
beberapa menit lagi” dia pamit pada Gio.
“Ok..”
.
.
.
“Kenapa
tanganmu?” tanya papa Rei. Dia memicingkan matanya heran melihat warna tangan kanan
anaknya.
“Kena
tinta.” Jelasnya sinngkat.
“Kirain kena guna-guna..”
“Papa..”
“Bercanda..haha”
sang papa tertawa ringan sambil menepuk-nepuk pundak anaknya. Rei dan papanya
sedang memimpin jalan menuju ruang rapat para pemegang saham di lantai teratas
gedung Orion.
Tanpa sungkan mereka mengumbar keakraban mereka diantara para direktur lainnya.
“Nanti
kalo ada waktu papa main futsal aja sama Rei dan temen-temen daripada main golf
sendiri.” Pinta Rei.
“Hmm..
yah nanti papa liat-liat dulu ya..” dia berhenti sejenak di depan ruang rapat
menunggu pintu dibukakan.
Main golf kan cuman keluar keringat gara-gara
panasnya doang. Kalo futsal kan kalori papa bener-bener dibakar karena
melakukan banyak gerakan. Pokoknya nanti papa harus ikut” bujuk Rei.
“Tau apa kau soal golf bilang seperti itu. Udah
papa putusin nanti aja.” Ujarnya sambil melenggang menuju kursi terdepan
sementara Rei telah duduk di salah satu kursi dengan papan nama dirinya berada
di meja depannya.
0 Response to "Hopeless Part 1"
Post a Comment