Hopeless Part 1



Ini, tabungan dan deposito yang bisa kau gunakan Vi.” Ayahku. Ayah kandungku sendiri menyerahkan buku tabungan dan deposito untukku. Ini bukan hadiah ulang tahun atau hadiah kelulusan atau semacamnya. Dia memberiku itu untuk mengusirku. Yah mengusirku dari rumah yang selama 24 tahun aku huni bersama keluarga tercintaku. “aku percaya kau bisa mandiri di luar sana Viona..” aku masih tak menggubris kata-kata ayah. Aku hanya duduk bersedekap sambil menatap tajam ayah. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Oh.. ayolah harusnya aku yang menangis bukannya kau!

Aku mengambil buku tabungan itu dan masuk ke kamar. Ku kemasi semua  barang secepat mungkin. Pakaian, make up, aksesoris dan yang lainnya. Terakhir aku memasukkan foto ibu. Aku memandanginya sesaat sebelum kumasukan ke dalam koper. “Seandainya saja kau masih ada di sini. Ini semua tak akan terjadi padaku atau pada ayah..” aku bergumam lirih.

Aku pergi tanpa berpaling lagi. Aku tak mau menyisakan kenangan pada rumah itu. Rumah yang terletak di perumahan yang cukup asri dimana aku tumbuh dan dibesarkan oleh dua orang tua yang sangat menyayangiku hingga semuanya terenggut dariku dalam sekejap. Ibuku meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Itu sudah cukup mengguncang hidupku. Dia adalah ibu terbaik di dunia, istri peyayang, peri bagi aku dan ayah yang dikirim oleh Tuhan untuk mengurus kami sekeluarga. Sampai hari ini aku masih merasa kehilangan dirinya. Namun itu bukanlah yang terburuk. Ada seorang wanita yang datang ke kehidupan keluargaku. Ayah memperkenalkannya 4 bulan setelah ibu meninggal. Hati anak mana yang tak sakit ketika baru saja ibunya meninggal kemudian ayahnya mengenalkan seorang wanita padanya? Tentu aku langsung tak setuju dan memberikan tanggapan yang buruk padanya. Sebulan setelahnya dia menikah dengan ayah. Setelah itu aku tak bicara sepatah katapun pada ‘ibu baru’ku itu. Rupanya dia juga membalas perlawananku.

Aku tak tahu kegilaan apa yang terjadi pada hidupku sampai-sampai ia berhasil membujuk ayah untuk mengusirku. Dan ayah termakan omongannya. Entah kenapa ayah begitu mencintainya. Aku masih tak mempercayainya. Dia sama sekali tak bisa dibandingkan dengan ibu, seinchipun ia tak sebanding dengan ibu.

Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Sepertinya aku harus cepat menemukan tempat tinggal sementara. Aku sudah menduga ini terjadi karna beberapa hari belakangan perang dingin antara aku dan wanita sialan itu semakin menjadi. Hanya aku tak menyangka ia berhasil menghasut ayah secepat ini. Aku belum punya rencana apapun saat ini.

Hotel Jullian pak.” Aku mengintrupsi supir taksi yang kupesan. Tinggal di hotel untuk sementara waktu, tak ada pilihan lain.

Baik neng.”
.
.
.

Hotel Jullian, 21 Juni 2014

Mulai besok aku akan memulai hidup baru. Aku sudah tak peduli pada masa laluku. Semuanya sudah berakhir. Jika aku tak ingin gagal, maka secepatnya aku harus bangkit. Dan hari ini semuanya sudah jelas, di dunia ini tak ada yang namanya cinta atau kasih sayang, yang ada hanyalah nafsu belaka. Manusia sama sekali tak punya cinta seperti yang mereka gembar gemborkan. Semuanya hanya berasal dari nafsu mereka saja.

Kututup buku harian berukuran 20x25 cm yang baru saja kuisi di atas ranjang salah satu kamar hotel yang untuk sementara aku tinggali. Kemudian kuletakkan di nakas dekat ranjang yang kini kubaringi. Aku hanya berencana tinggal di hotel ini selama beberapa hari, mungkin paling lama 5 hari sampai aku menemukan tempat tinggal dekat kantorku. Aku harus mendapatkan yang paling dekat karena lalu lintas menuju tempat kerjaku sungguh sangat gila. Setiap pagi pasti aku harus bergulat dengan kemacetan. Itu hampir membuatku stres. Apalagi dengan peraturan ketat dari kantorku yang siap memotong gaji tiap menitnya jika ada yang terlambat. Padahal jam masuknya pukul 8.15.

Aku sudah menghubungi temanku untuk mencarikan sebuah tempat tinggal. Kalau ada rumah yang disewakan aku sangat bersyukur, tapi kalau cuman kos-kosan tak apalah. Mungkin aku bisa tinggal selama 1-2 tahun sampai aku bisa mengumpulkan uang dan membeli sebuah rumah. Tujuan hidupku kedepan adalah uang. Bukan hal lainnya. anggap aku cewek matre, silahkan, itu terserah kalian. Dengan uang aku bisa melakukan apapun. Mendapatkan apapun.

Sambil terus memikirkan rencana-rencana masa depan, mataku mulai tertutup rasa kantuk. Aku sempat melirik jam digital yang ada di nakas menunjukkan pukul 23.30 sebelum akhirnya aku terlelap.
.
.
.

Pagi bu Viona..” sapa salah satu resepsionis bernama Wanda. Aku hanya membalas sapaannya dengan sebuah senyuman tipis. Aku melangkah menuju lift yang akan mengantarkanku ke lantai 9 letak ruanganku berada. Aku bekerja sebagai seorang manager pemasaran di sebuah perusahaan brand  yang cukup punya nama. Cukup berat memang, tapi uang yang kuhasilkan juga lumayan.

Vi, kenapa kau mau pindah? Bukankah tempat tinggalmu udah cukup dekat dengan kantor ini?” aku berpapasan dengan temanku Gio saat masuk lift. Dan dia langsung menanyaiku perihal bantuan yang kuminta padanya.

Aku diusir” ucapku enteng.

What?? Becanda lo gak lucu.” Cemohnya.

Aku memandangiya dengan wajah datar. “Is it looks like a joke honey???” aku memanggilnya sayang bukan karena apa-apa, hanya kebiasaan bercanda di tempat kerjaku seperti itu.

Ting.. lift telah sampai di lantai 9. Aku bergerak ke luar diikuti Gio meninggalkan beberapa orang di dalam lift yang akan menuju ke lantai bagian atas.

Apa kau hamil??” bisiknya padaku. Tapi beberapa orang mempunyai telinga yang tajam sehingga langsung menatap pada kami. Spontan aku memukul perutnya dengan beberapa map yang kubawa.

Keep your moth!!”

Hei..hei.. pagi-pagi pasutri udah berantem aja nih.” Celetuk salah seorang pegawai tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar monitor.

Plak. Satu bogeman mapku juga melayang di kepalanya.

Kau juga Fan! Jangan asal bicara. Pasutri dari mana, bisa-bisa aku dipenggal sama bu direktur tetangga sebelah.” Yah, Gionino Alamsyah adalah tunangan seorang direktur muda di perusahaan lain. Aku sering bercanda dengan mengancam akan membunuhnya jika dia membocorkan rahasia perusahaan kami pada tunangannya itu. “Kembali bekerja.” Ujarku pada Fandi.

Ibu Viona pikir yang aku lakukan dari tadi itu apa? Nyetrika baju? Yaelah ini juga lagi kerja ibu managerku tersayang….” Hari kerjaku sepertinya akan berjalan dengan lancar. Ini cukup melegakan. Karena aku tak mau terbawa emosi hari kemarin. Kesibukan kerja akan cukup menyita seluruh tenaga hingga aku tak lagi perlu berpikir tentang keluarga memuakkan

Aku memeriksa beberapa dokumen yang masuk di email. Laporan pejualan minggu lalu, hasil rapat pemegang saham ahh itu nanti saja, emm..data produk baru. Ini yang langsung kuperiksa.

Tok tok tok.

Masuk.”

Rupanya Gio.

Serius nih lo diusir dari rumah?” sambil menarik kursi di depan mejaku dia langsung bertanya ingin tahu. “kok bisa gitu sih?”

Bisalah, namanya juga manusia.” Aku malas diinterogasi olehnya. Apa aku harus menceritakan detail memuakkan itu lagi? Tidak!

Busyet dah.. kalo lo ga mau ngasih tau alasannya gwe juga males kali mau bantuinnya.” Tangannya bersedekap dan wajahnya ditekuk

Jalang sialan itu berhasil membujuk ayah gwe untuk mengusir gwe dari rumah, paham?” aku mediktenya. Sepertinya dia tak enak mendengar jawaban dariku. Wajahnya menunjukkan keprihatinan dan kekikukan, mengusap tengkuknya.

Ohh..” setelah beberapa detik dia angkat bicara. “Kok lo gak keliatan sedih atau gimana gitu sih.

Aku menggeram padanya. “Trus gwe harus nangis-nangis bombay memohon buat gak diusir gtu? Najis” beri aku satu milyar dan aku akan menolak jika harus memohon pada si jalang itu.

Iya..iya… gwe ngerti.” Gio yang mendapatiku mulai naik darah pun undur diri. “Nanti aku akan hubungin semua kenalan yang bisa bantu.” Tambahya sebelum keluar ruanganku.
.
.
.


Aku keluar dari mobil yang kuparkirkan di tingkat dua ketika ada sebuah mobil yang mengklaksonku.

Dinn..din…

Aku melongok mobil siapa. Gio. Kutunggu dia memarkir mobil.

Pagi Vi! Mobilmu udah beres ya?”

“Hem..” kepalaku mengangguk pelan. Yah tau deh tuh mobil udah beres beneran pa enggak, 3 hari nginep di bengkel. Sejak aku beli beberapa bulan lalu udah masuk bengkel 3 kali lebih. Ah! Aku tak pandai memilih otomotif. Seharusnya aku tanya seseorang terlebih dulu. Mobil volks wagen bekas berwarna kuning mencolok. Entah kenapa aku menyukainya saat pertama kali nelihatnya. Dan tanpa berpikir panjang aku membelinya. Sungguh bodoh. Lebih parahnya aku membayar dengan harga yang cukup mahal. Sial! “Gimana? Udah 3 hari kau belum kasih kabar apa ada tempat tinggal murah di daerah sini?” aku gak mau memperlama waktu tinggalku di hotel, bisa bengkak pengeluaranku nanti.

Aku udah nanya semua kenalan dan aku turun tangan sendiri hari minggu kemarin bwat nyari rumah atau kosan. Tapi ga ada yang kosong.” Keluhnya.

Aku juga udah minta bantuan sama yang lain. dan hasilnya juga nihil.” Kecemasanku mulai melanda. Aku nggak mungkin lama-lama tinggal di hotel. Bisa-bisa tabunganku ambles cuman buat numpang di hotel.

Kenapa ga beli apartemen aja?”

Gajiku setengah tahun bakalan sia-sia!” sergahku. “lagian gwe pengen beli hunian yang permanen. Bukan yang nyewa 20 tahun doang. Udah bayar mahal-malah cuman ditinggalin gitu doang, nggak bisa diwarisin pula.” Terserah deh orang mau anggep kuno atau apa, tapi aku lebih memilih seperti itu. Konvesional kalau aku bilang, iya kan? Buat apa bayar malah-mahal bahkan sampe milyaran cuman buat tinggal di sebuah ruangan yang bahkan nggak punya genteng selama 20 tahun doang trus nggak bisa dimilikin.

Iya ya…harga property hari-hari ini sungguh melangit. Jadi pengen buka bisnis property..hehe.”

Elu enak ada yang modalin.” Kami tiba di depan pintu lift yang terbuka lalu masuk ke dalam bersama beberapa karyawan lain. “Tasku!” Tiba-tiba aku tersadar tak membawa tas kerjaku. Di mobil!

Kenapa?” pertanyaan Gio tak sempat kujawab karna aku langsung menerobos keluar lift tepat sebelum lift tertutup.

Kupandangi jam yang menggantung di atas pintu lift. 08.09. empat menit lagi, paling lama 5 menit. Kupercepat ayunan langkah kakiku menuju tempat parkir. Tapi dasar orang lagi buru-buru ada aja halangannya.

Bruakkk…

Aku menabrak seseorang dengan keras hingga aku sendiri jatuh terjengkang ke belakang.

Oh.. maafkan aku!” aku segera bangkit dan membantu seorang laki-laki yang kutubruk. “Aku benar-benar minta maaf pak..bapak enggak papa kan?” orang di belakang laki-laki itu juga membantunya berdiri.

Krek..

Tapi aku menginjak sesuatu. Kakiku kuangkat dan menemukan pena yang patah jadi dua.

Eh…” kupungut pena itu. “saya akan menggantinya pak. Emm.. bapak bisa memberikan alamat bapak, nanti akan saya kirimi.”

Tak usah. Tak apa-apa.” Laki-laki paruh baya itu menolaknya.

Tapi aku terus memaksanya dan akhirnya dia memberikan alamat rumahnya. Dengan cepat kuketik di ponselku dan segera kembali menuju mobilku untuk mengambil tas.

Aku berlari secepat kilat. Aku sempat melirik kembali jam yang ada di atas lift. 08.14. dengan membabi buta aku memencet tombol lift.

Ayolah…” gumamku. Pintu lift terbuka, aku bersyukur tak ada orang. Segera kutekan angka 9. Kuharap waktuku cukup. 3,4,5,6, aku mengambil ancang-ancang, 7,8,9

Ting.

Tap tap tap

Sret

Kusisipkan kertas absenku pada scaner yang tertempel di tembok dekat lift.

Semua pegawai melihatku lalu berganti memandangi jam digital besar yang ada di atas mesin absen. 08.14.49. yeah.. jam yang sangat besar sampe aku bisa melihatnya dari ruanganku yang ada di ujung. Mengingatkan semua pegawai untuk tepat waktu dalam hal apapun.

Yeah….!!!!!..”

Suit..suitt..

Tepuk tangan dan siulan menyambutku.  Hah.. sungguh memalukan. Tapi aku selamat, hehe.. seenggaknya tak ada potongan gaji. Sekarang aku akan sangat menghargai setiap lembaran rupiah yang ada.

Selamat bu, anda tepat waktu sekali!” teriak salah seorang di meja paling ujung. Kubalas dengan senyum sinisku yang mengatakan ‘i know, just shut up!”

Hampir saja.. Sialan. Aku cukup menanggung malu gara-gara gak mau telat satu menitpun. Iyalah, satu menit aja gajiku dipotong 10.000 lah kalau telat 10 menit aja 100.000. gila memang peraturannya. Dengan uang segitu aku bisa makan di warteg lima kali.

“Vi!” seruan Gio membahana ke seluruh ruangan. Dia melambaikan tangan dengan semangat.

Segera saja kuhampiri Gio yang ada di depan ruanganku. Dia bersama seorang pria, entah siapa. Pakaiannya formal, mungkin pegawai di perusahaan ini tapi bukan dari divisiku pastinya.

Ada apa?” tanyaku saat sampai di depan mereka.

Kenalin, ini Rei. Temen futsal gwe.” Gio mengenalkan pria yang ada di sebelahnya.

“Viona. Hm.. sepertinya anda tak asing.” Aku mengangguk pelan. Kuperhatikan wajahnya. Entah sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Wajahnya tak asing itu apakah aku udah pernah ketemu sebelumnya atau emang mukanya pasaran. Ganteng sih, tapi kayak pernah liat dimana gitu, mungkin ganteng yang pasaran haha.. ups..

Dia agak terkekeh. Sedangkan Gio malah menyikutku. “dia salah satu direktur kita!” Gio membisikiku sambil menggeram.

Dia mengulurkan tangannya. Rahangku agak terbuka. Oh shit… kenapa aku gak bisa mengenali direktur sendiri tentu aja aku pernah bertemu dengannya atau berpapasan atau apa yang pasti tentu aku sudah pernah melihat wajahnya, maksudku yah liat pas seminar, pengenalan produk dan acara lain misalnya. Stupid! Segera kusambut tangannya dan menyalaminya. “Raihan.” Ia tersenyum. “Em..” dia membalikan telapak tangannya usai berjabat tangan.

Jantungku tiba-tiba terpacu dengan cepat. Tangannya menghitam. Kuperiksa telapak tanganku. Oh tidak tidak tidak… tinta pena tadi. Dengan reflek aku memeriksa saku dalam jasku. Tintanya menodai kemeja putihku tepat di dada. Argh… kenapa aku menyimpannya dengan sembarangan. Aku tak berpikir tintanya akan tumpah ruah seperti ini. Aku berusaha membersihkan kemejaku, tapi..

Aku menangkap pandangan aneh dari dua orang yang ada di depanku. Fix.. aku malah lupa sama mereka dan asyik dengan tinta di dadaku.

Maaf..maaf.. emm ini tinta penaku yang rusak.” aku mengambil sapu tangan dari dalam tas kerjaku. “Maaf aku tak tahu tanganku terkena tinta..” kuberikan sapu tangan itu.

Nggak papa kok.” Raihan menerima sapu tangan itu. “Eh, nanti aku hubungi saja ya, aku ada rapat beberapa menit lagi” dia pamit pada Gio.

Ok..”

.
.
.


Kenapa tanganmu?” tanya papa Rei. Dia memicingkan matanya heran melihat warna tangan kanan anaknya.

Kena tinta.” Jelasnya sinngkat.

“Kirain kena guna-guna..”

Papa..”

Bercanda..haha” sang papa tertawa ringan sambil menepuk-nepuk pundak anaknya. Rei dan papanya sedang memimpin jalan menuju ruang rapat para pemegang saham di lantai teratas gedung Orion. Tanpa sungkan mereka mengumbar keakraban mereka diantara para direktur lainnya.

Nanti kalo ada waktu papa main futsal aja sama Rei dan temen-temen daripada main golf sendiri.” Pinta Rei.

Hmm.. yah nanti papa liat-liat dulu ya..” dia berhenti sejenak di depan ruang rapat menunggu pintu dibukakan.

Main golf kan cuman keluar keringat gara-gara panasnya doang. Kalo futsal kan kalori papa bener-bener dibakar karena melakukan banyak gerakan. Pokoknya nanti papa harus ikut” bujuk Rei.

Tau apa kau soal golf bilang seperti itu. Udah papa putusin nanti aja.” Ujarnya sambil melenggang menuju kursi terdepan sementara Rei telah duduk di salah satu kursi dengan papan nama dirinya berada di meja depannya.

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 1"

Post a Comment