"Ini kantor, kalian berdua harus jaga etiket. Seharusnya sebagai atasan kalian ini beri contoh yang baik." Aku tak berani menegakkan kepala, serasa ada gravitasi lebih di lantai tempatku yang menarik kepalaku. Dan suara Pak Salim yang wibawa tampak sedang memerangkeng emosi yang hampir lepas kendali. Sungguh sial. Ketahuan make out dengan Rei oleh Pak Salim sangatlah memalukan. Rasanya ongin oplas biar nggak dikenalin lagi. Mending ketauan sama yang lain. Gio kek, atau Yuni juga boleh. Terserah gosip mau kesebar dimana juga nggak masalah. Lah ini, sama mertua sendiri, big bos nya perusahaan. Mau ditaruh dimana mukan manager pemasaranku ini???
Rei malah tenang-tenag
saja. Ia tampak sama sekali tak tertarik dengan perkataan ayahnya meski
kepalanya menghadap bawah. Sialan. Aku saja gemetaran antara takut
kemarahan papa dan gairah yang bercampur aduk jadi satu. Sungguh
kombinasi absurd yang mengacaukan pikiran.
"Kalian kayak anak ABG
yang lagi kasmaran dan tak bisa menahan nafsu di tempat umum. Apa tidak
ada tempat lain hingga kalian harus menggunakan kantor?!" duh papa nggak
main-main nih marahnya. Rei masih datar-datar aja mukanya kayak nggak
punya dosa aja. "Kalia memang sudah sah menjadi suami istri, tapi bukan
berarti bisa melakukan hal ini dimanapun. Etiket harus terus dijaga.
Apalagi status kalian di perusahaan ini. Kuharap ini yang terakhir."
Kurasa ceramah papa sudah berakhir, dan aku sungguh berharap tidak ada
karyawan sembilan yang mendengar ataupun mengetahui ini. Kalau tidak..
sudah jatuh tertimpa tangga pula T_T
"Rei, ke ruanganku
segera. Ada yang ingin kubicarakan." Perintah papa membuatku sedikit
bisa bernafas lega. Karna itu artinya Rei akan segera angkat kaki dari
sini.
Papa meninggalkan
ruanganku dengan wajah kecewa. Aku telah membuatnya kecewa, padahal
seharusnya aku membuatnya bahagia. Aku? Ini kan gara-gara Rei! Ah!
Sebenarnya kami telah mengecewakannya. Beberapa asisten yang menunggu di
luar ruangan segera berderap mengikuti langkah papa menuju ke lift.
Sementara aku dan Rei? Masih mematung di tempat. Aku bahkan sedikit
menahan nafas meski papa sudah benar-benar menghilang.
"Aku akan mengambil ini
sebagai bayaran atas semalam." Rei melambaikan syalku tepat di depan
mukaku. "Kita akan melanjutkan ini nanti.." ucapnya penuh sumpah.
Sialan.. ini belum selesai rupanya.
Eh tunggu.. syalku!! Rei kurang ajar!! Gimana nasib leherku yang udah kayak kena serangan vampir ini?!?
.
.
.
Salah satu hal yang patut disykuri dari ruanganku walau dengan pintu kaca agak transparan namun masih cukup kedap suara. Jadi kemarahan papa tak akan terdengar oleh para karyawan. Bisa heboh kayak gempa skala 10 skala ritcher kalau mereka tau. Dan malunya itu lo.. ah! Masak kepergok sama mertua sendiri lagi mesum-mesuman dengan suami. Yang pasti sih, nggak ada yang berani mendekat untuk menguping atau setidaknya ngintip dikit karna beberapa asisten papa berdiri di depan pintu.. ruanganku!! Sial! Mereka pasti mendengarnya meski cuman sekelumit perkataan papa. Sudah bener-bener jatuh image ku..
.
.
.
Salah satu hal yang patut disykuri dari ruanganku walau dengan pintu kaca agak transparan namun masih cukup kedap suara. Jadi kemarahan papa tak akan terdengar oleh para karyawan. Bisa heboh kayak gempa skala 10 skala ritcher kalau mereka tau. Dan malunya itu lo.. ah! Masak kepergok sama mertua sendiri lagi mesum-mesuman dengan suami. Yang pasti sih, nggak ada yang berani mendekat untuk menguping atau setidaknya ngintip dikit karna beberapa asisten papa berdiri di depan pintu.. ruanganku!! Sial! Mereka pasti mendengarnya meski cuman sekelumit perkataan papa. Sudah bener-bener jatuh image ku..
"Eng.. Vi? Nggak
biasanya rambut lo digerai gitu?" Aku anti kali menggerai rambut pas di
kantor. Bikin sumpek dan sering amburadul karena aku harus bergerak
cepat meski aku bekera di belakang meja. Kalau nggak gara-gara leher
kena gigit vampir sialan nggak akan deh kayak gini. Iya kalau vampirnya
ganteng kayak si Cullen, gigit tiap hari ikhlas deehh... hehe becanda,
bisa habis darahku kalau disedot tiap hari.
"Hm? Lagi pengen aja."
Selain rambut yang sama sekali tak diikat, kacing teratas white button
down ku juga kupasang. Terasa seperti seorang kutu buku culun yang
kerjanya tiap hari ke perpus. Mungkin itu juga yang membuat Gio masih
terus memandangiku dengan tatapan 'Kau salah makan Vi?'
"Tadi pas keluar lift
gwe liat Rei sama pak Salim keluar dari ruangan lo. Ngapain mereka?" duh
ni anak kayaknya mulai ketularan Yuni deh, ngorek-ngorek info nggak
penting. Penting ding, bagi kelangsungan image ku.
"Tadi Rei cuman mampir
kesini, trus papa nyariin. Dia nyuruh Rei buat ke ruangannya." Aku
jujur. 100% , meski kuakui kurang akurat. Kuharap kau percaya Gi.
"Oh gitu.." Gio tampak
tak akan melanjutkan topik mengerikan barusan. Ia meng-unlock ponselnya
kemudian jarinya terus bergeser pada benda tersebut. Gio membaca sekilas
dan memberitahuku jadwal hari ini "Nanti jam sepuluh ada meeting dengan
semua anak sembilan bahas terusan proyekmu yang kemarin. Ada anggota
perencana juga akan dilibatkan untuk mempermatang proyek ini." Itu
berarti kemungkinan Rama akan ikut. Aku menyukai cara kerja orang itu.
Tanggap, efisien, cepat dan tanpa mengurangi hasil yang memuaskan.
"Baik, kau bisa kembali
dan tolong sampaikan pada yang lain serta minta Keke supaya menagih
laporan dari penjualan bumbu Kuking, aku harus merampungkan laporanku
hari ini juga."
Gio menangguk mengerti.
Sebelum mencapai pintu, ia berbalik kembali. "Well.. Vi, kau sepertinya
butuh foundation yang banyak untuk menutupi perbuatan Rei pagi ini."
Selamat bagi Gio. Karena
sebelum aku sempat melemparnya dengan salah satu heels ku serta
lontaran makian di ujung lidah. Dia sudah berhasil meraih pegangan pintu
dan keluar detik itu juga.
.
.
.
Setelah menerima laporan dari Keke, pekerjaanku segera kusempurnakan. Tepat jam dua tiga sore semua kewajibanku sudah kupenuhi. Aku berencana pulang awal hari ini. Bukan untuk menghindari tatapan aneh karna tanda sialan pada leherku. Itu jadi alasan kuat juga sih. Tapi kepulanganku yang lebih awal dari biasanya ini karna dari kemarin sebenarnya aku ingin mengunjungi suatu tempat. Untuk memastikan sesuatu.
.
.
.
Setelah menerima laporan dari Keke, pekerjaanku segera kusempurnakan. Tepat jam dua tiga sore semua kewajibanku sudah kupenuhi. Aku berencana pulang awal hari ini. Bukan untuk menghindari tatapan aneh karna tanda sialan pada leherku. Itu jadi alasan kuat juga sih. Tapi kepulanganku yang lebih awal dari biasanya ini karna dari kemarin sebenarnya aku ingin mengunjungi suatu tempat. Untuk memastikan sesuatu.
Sebelum aku pergi lebih
jauh, kuputuskan untuk mampir lebih dulu ke sebuah butik. Tidak lain
hanya untuk membeli selembar kain untuk menutupi .. Kalian sudah tau
lah, aku tak perlu menyebutnya lagi. Siang tadi aku sudah jadi bahan
olokkan seluruh dedongkot sembilan. Apalagi pas meeting tadi, pasti
gosip telah menyebar sampai ke bagian perecana. Wajah-wajah mereka saat
berbisik tentang gosip panas sangat kuhapal. Dan itu terjadi selama
pertemuan sesiang tadi. Mereka terus berbisik dan menggumamkan sesuatu.
Meski suhu AC sudah berada di titik terendah yang bisa ditolelir, sial
bagiku malah keringat dingin yang muncul dan tentu saja mengelupas
foundation yang sudah susah-susah aku menempelkannya super tebal. Jarang
sekali sebetulnya aku pakai produk kecantikan yang satu itu kalau nggak
mau ke acara besar yang perlu dandan abis-abisan. Untungnya aku punya
persediaan, tidak menyangka kalau akan digunakan seperti ini.
Hanya untuk selembar
kain saja kartu kreditku harus tergesek dan enam angka nol lenyap begitu
saja. Huh! Andai aku tak terburu-buru nggak perlu banget mending pindah
ke toko pakaian murah aja, atau nggak usah beli aja sekalian.
Ben segera kupacu menuju
ke sebuah ruko yang berjajar dengan bangunan sebangsanya. Sedikit ragu
sebelum turun dan masuk ke dalam. Sudah berapa lama tak kesini? Mungkin
setengah tahunan ada kali ya..
"Mbak Viona??" suara dari salah satu pegawai ayah yang sangat kukenal.
"Sore mas Danu." Aku menyapanya dengan hangat. "Bapak ada?" tanyaku langsung.
"Sore mbak. Bapak ada.. tapi eh itu.." ia tampak ingin mengatakan sesuatu tapi aku segera memotongnya.
"Ok. Makasih mas." Aku
langsung menuju ruangan ayah sementara mas Danu sepertinya meneriakan
entah apa tapi aku sudah terlalu masuk ke dalam untuk mendengar
ucapannya. Tanpa mengetuk pintu lagi aku langsung masuk ke ruangan ayah.
"Ayah aku.."
What the.. apa yang
mereka lakukan disini? Oh tentu aku tau apa yang mereka lakukan!!
Bercumbu sampai lupa daratan. Seorang wanita duduk di pangkuan seorang
pria di sofa tempat ayah biasa menerima tamu mereka, mereka asyik
berciuman dan bercumbu. Bahkan kehadiranku saja sama sekali tak
mempengaruhi mereka, malah mereka tambah intim saja. Suara bibir yang
diadu serta erangan dari keduangan memenuhi ruangan. Uh!! Live show
menjijikkan!! Apa-apaan semua ini!
"SIAPA KAU?!?" gelegar suara kemarahanku rupanya berhasil memperoleh perhatian dari mereka.
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 51"
Post a Comment