"Aku bisa menguncir
bibirmu dengan karet gelang jika kau terus memanyunkan bibirmu seperti
moncong induk bebek yang sedang mencari anaknya."
"Berterima kasihlah pada
tamu bulananmu. Kalau saja tidak, sudah kubuat tak bisa berjalan pagi
ini." Uww.. itu terdengar panas. Aku hanya bisa nyengir, tak semudah
itu. Rei berani berbicara dengan lantang karna lift yang kami gunakan
hanya berisi dua orang saja, kami. "Tunggu sampai tamu sialan itu pergi.
Akan kubuat kau tak turun ranjang seharian." Sangat menjanjikan dan
panas, sial.
"Well, kita liat saja
nanti." Ujarku sebelum keluar dari lift. "Semoga bolamu tak membiru
selama seminggu Sir." Tambahku tepat sebelum pintu lift tertutup.
Sekilas kulihat tatapannya yang keras dan menggelap. Woa..
Pagi ini kami hampir
melewati batas. Hampir. Aku sendiri sudah kehilangan kendali diri. Marah
dan cemburu. Oke aku akui aku cemburu. Sedikit. Pada wanita sialan yang
namanya mirip banget sama mantannya Rei yang meninggal. Ukh! Meski Rei
sudah menjelaskan tentang acara makan malamnya yang ternyata akan
dihadiri oleh rekan-rekan bisnisnya, tetap saja cara bicara wanita itu
terdengar menggoda. Rupanya dia sengaja memanas-manasiku eh?
"Pagi Vi, sudah siap?"
"Pagi, sebentar gwe
ambil berkas dulu Gi." Gio baru pulangdari lombok lusa. Dan selama tiga
hari aku cukup dibuat kelimpungan dengan pengenalan produk hari ini di
Bogor. Untung hari terakhir kemarin Gio membantuku, kalau tidak, entah
pasti acara sudah kacau. Sudah kubilang kan, dia selalu bisa diandalkan.
Di saat terakhir.
Masuk ke ruanganku dan
mengobrak-abrik laci meja. Ah ketemu. Hidupku tiga hari kemarin sungguh
tidak tertata tanpa Gio. "Ayo." Ucapku setelah keluar. Gio mengikutiku
dari belakang.
"Em.. vi? Kurasa kau butuh foundation lagi." Gio berbisik pelan sekali di telingaku.
Sial.
.
.
.
Aku tadi pagi tak begitu memperhatikan penampilan saat berangkat kerja karna sudah hampir kesiangan. Gara-gara Rei, hampir saja aku terlambat dibuatnya. Jadi dengan cepat aku bersiap tanpa memperhatikan bagian leherku yang lagi-lagi.. hell! Dia keterlaluan kali ini!
.
.
.
Aku tadi pagi tak begitu memperhatikan penampilan saat berangkat kerja karna sudah hampir kesiangan. Gara-gara Rei, hampir saja aku terlambat dibuatnya. Jadi dengan cepat aku bersiap tanpa memperhatikan bagian leherku yang lagi-lagi.. hell! Dia keterlaluan kali ini!
"Gi, aku mau mbakso dulu, ikut ya?"
"Bayarin tapi." Seloroh Gio yang duduk di samping kemudi. Di samping pak kusir yang sedang.. Lupakan.
"Iya." Aku sedikit
mendengus. Tak berapa lama aku melihat beberapa tenda penjaja bakso yang
kelihatan.. hangat, spicy,yummi.. segera kutepikan Ben dan turun dari
mobil. Lumayan banyak nih yang jajakin baksonya di pinggir jalan. "Milih
yang mana Gi?"
Bakso sapi, bakso isi telur, keju, isi sambal mercon. Wui....!!! air liurku nyaris menetes hanya dengan membayangkannya saja.
"Gi milih yang mana!"
ditanya dari tadi kok nggak ngrespon. Gio ngliatin apaan sih kok kayak
bengong gitu. Apa dia ngliatin cewek semok? Ato cabe-cabean yang lagi
mangkal? Kuaduin Naya baru tau rasa dia! "Lo liati apaan.." aku
mengikuti arah pandang mata Gio. "..sih.."
"Vi itu.."
Aku tak mempedulikan
perkataan Gio. Tubuhku menegang dan kakiku bergerak pelan ke arah jalan.
Dari pelan, lalu berjalan cepat menyebrang jalan. Perduli setan dengan
klakson serta umpatan pengemudi yang berhenti mendadak karna ulahku.
Berlari dan memanggil seseorang yang berjalan pelan di antara para
pejalan kaki di trotoar.
"Ayah!" teriakanku
menjangkau jarak serta banyaknya orang di sepanjang trotoar. Tidak,
sial. "Ayah!" sekali lagi dan tak ada tanda dia akan menoleh pada
panggilanku. Dengan memaksa aku menerobos gerombolan pekerja yang sedang
berjalan pulang.
"Ayah!" aku menepuk
pundaknya dan langsung memeluknya dari belakang. Tak peduli dengan
tatapan orang-orang yang lalu lalang dengan pandangan aneh pada kami.
Sungguh ya Tuhan.. aku benar-benar merindukan pria tua ini. Aku tak
mungkin kehilangannya lagi.
"Viona.." suara
lembutnya sedikit menyadarkan keberadaan kami dimana. Aku melepas
pelukanku dan ia berbalik. Aku tak tahan untuk tak memeluknya lagi. "Ada
apa sayang? Kau kenapa?" Ayah mengusap punggungku dengan lembut.
Seharusnya aku yang bertanya apa yang terjadi. Kenapa bisa sekacau ini.
Tapi semua pertanyaan itu lenyap, berbayar rasa lega karna telah
menemukannya dalam keadaan sehat.
"Ayah baik-baik saja?"
"Ya. Tentu saja." Hal
terakhir yang paling tak kuinginkan adalah menemukannya dalam keadaan
tak baik. Dan syukurlah itu semua tak terjadi. "Mari kita cari tempat
untuk bicara sayang."
.
.
.
Sudah kubilang, aku bersyukur Rei membeli Ben sebagai kendaraanku. Karna convertible ini punya empat jok, dan sangat bisa di andalkan. Contohnya sekarang ini, karna ayah ikut pulang maka pasti jika hanya dua jok saja Gio sudah kutinggal. Terserah deh dia mau naik apa atau nebeng apa. Tapi berhubung suasana agak beda jadi Gio ngambil alih kemudi sedang aku dan ayah duduk di belakang.
.
.
.
Sudah kubilang, aku bersyukur Rei membeli Ben sebagai kendaraanku. Karna convertible ini punya empat jok, dan sangat bisa di andalkan. Contohnya sekarang ini, karna ayah ikut pulang maka pasti jika hanya dua jok saja Gio sudah kutinggal. Terserah deh dia mau naik apa atau nebeng apa. Tapi berhubung suasana agak beda jadi Gio ngambil alih kemudi sedang aku dan ayah duduk di belakang.
Garis besar cerita sudah
kami beritahukan pada ayah tadi di sebuah kafe yang tak terlalu ramai.
Acara mbakso anget bareng Gio terpaksa ditunda dulu. Ayah sangat
terkejut mendengar cerita kami, dia sama sekali tak tahu menahu soal
rumah serta perusahaannya yang dijual. Ia mengaku sedang dalam perawatan
alternatif untuk mencegah stroke nya berkelanjutan. Keyra mengajaknya
ke kota ini karna mendengar tentang pengobatan alternatif yang katanya
cukup terkenal dan sudah banyak yang membuktikan. Tak pernah terlintas
dalam benak ayah akan rencana picik Keyra. Aku yang tak menyukainya pun
tak berpikir dia akan bertindak sejauh ini.
Setelah mengetahui
perbuatan Keyra sepertinya ayah mulai bersikap tegas. Ia berencana
menggugat cerai setan mak lampir itu. Lebih cepat lebih baik. Tapi
sepertinya ayah tak menyebut untuk menuntut wanita itu. Huh.. Ayah orang
yang terlalu baik.
Rei sudah kukabari
tentang pertemuanku dengan ayah. Ia bersedia menerima ayah di rumahnya
untuk sementara waktu sampai urusan rumah ayah beres dulu. Dia memang
tidak Cuma tampan, tapi juga bisa diandalkan.
Aku dan ayah sampai di
rumah petang menjelang maghrib. Rei sudah pulang dan menyambut kami di
teras. Gio sudah pulang duluan tentunya tadi karna kami lebih dulu
melewati rumahnya.
Rei menciumku singkat lalu menyalami ayah. "Jangan sungkan ayah, anggap saja rumah sendiri."
"Terima kasih nak Rei.
Saya jadi merepotkan, saya sudah dengar ceritanya dari Viona bahwa kamu
telah membayari rumah serta berusaha mengembalikan perusahaan."
"Sudah kewajiban saya.
Tapi maaf sepertinya saya tidak berhasil merebut kembali perusahaan
ayah." Memang terkesan sangat formal percakapan ini. Aku sangat
memakluminya karna mereka baru benar-benar bercapak-cakap secara normal
sekarang ini. Pertemuan sebelum ini hanya saat keluarga Rei melamarku
dan pastinya tak ada percakapan yang bersikap pribadi.
"Ayah istirahat dulu,
nanti kalau makan malam sudah siap akan kupanggil." Aku mengantar ayah
ke kamar tempat dulu aku tinggal di rumah ini pertama kali. Rei telah
memberitahuku bahwa bibi Ama telah membersihkan tempat itu dan
menyiapkan beberapa pakaian Rei yang kira-kira pantas untuk Ayah. Sudah
kubilang dia itu bukan cuman menang tampang doang, sangat bisa di
andalkan dan cekatan.
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 54"
Post a Comment