Hopeless Part 54

"Aku bisa menguncir bibirmu dengan karet gelang jika kau terus memanyunkan bibirmu seperti moncong induk bebek yang sedang mencari anaknya."
"Berterima kasihlah pada tamu bulananmu. Kalau saja tidak, sudah kubuat tak bisa berjalan pagi ini." Uww.. itu terdengar panas. Aku hanya bisa nyengir, tak semudah itu. Rei berani berbicara dengan lantang karna lift yang kami gunakan hanya berisi dua orang saja, kami. "Tunggu sampai tamu sialan itu pergi. Akan kubuat kau tak turun ranjang seharian." Sangat menjanjikan dan panas, sial.
"Well, kita liat saja nanti." Ujarku sebelum keluar dari lift. "Semoga bolamu tak membiru selama seminggu Sir." Tambahku tepat sebelum pintu lift tertutup. Sekilas kulihat tatapannya yang keras dan menggelap. Woa..
Pagi ini kami hampir melewati batas. Hampir. Aku sendiri sudah kehilangan kendali diri. Marah dan cemburu. Oke aku akui aku cemburu. Sedikit. Pada wanita sialan yang namanya mirip banget sama mantannya Rei yang meninggal. Ukh! Meski Rei sudah menjelaskan tentang acara makan malamnya yang ternyata akan dihadiri oleh rekan-rekan bisnisnya, tetap saja cara bicara wanita itu terdengar menggoda. Rupanya dia sengaja memanas-manasiku eh?
"Pagi Vi, sudah siap?"
"Pagi, sebentar gwe ambil berkas dulu Gi." Gio baru pulangdari lombok lusa. Dan selama tiga hari aku cukup dibuat kelimpungan dengan pengenalan produk hari ini di Bogor. Untung hari terakhir kemarin Gio membantuku, kalau tidak, entah pasti acara sudah kacau. Sudah kubilang kan, dia selalu bisa diandalkan. Di saat terakhir.
Masuk ke ruanganku dan mengobrak-abrik laci meja. Ah ketemu. Hidupku tiga hari kemarin sungguh tidak tertata tanpa Gio. "Ayo." Ucapku setelah keluar. Gio mengikutiku dari belakang.
"Em.. vi? Kurasa kau butuh foundation lagi." Gio berbisik pelan sekali di telingaku.
Sial.
.
.
.
Aku tadi pagi tak begitu memperhatikan penampilan saat berangkat kerja karna sudah hampir kesiangan. Gara-gara Rei, hampir saja aku terlambat dibuatnya. Jadi dengan cepat aku bersiap tanpa memperhatikan bagian leherku yang lagi-lagi.. hell! Dia keterlaluan kali ini!
"Gi, aku mau mbakso dulu, ikut ya?"
"Bayarin tapi." Seloroh Gio yang duduk di samping kemudi. Di samping pak kusir yang sedang.. Lupakan.
"Iya." Aku sedikit mendengus. Tak berapa lama aku melihat beberapa tenda penjaja bakso yang kelihatan.. hangat, spicy,yummi.. segera kutepikan Ben dan turun dari mobil. Lumayan banyak nih yang jajakin baksonya di pinggir jalan. "Milih yang mana Gi?"
Bakso sapi, bakso isi telur, keju, isi sambal mercon. Wui....!!! air liurku nyaris menetes hanya dengan membayangkannya saja.
"Gi milih yang mana!" ditanya dari tadi kok nggak ngrespon. Gio ngliatin apaan sih kok kayak bengong gitu. Apa dia ngliatin cewek semok? Ato cabe-cabean yang lagi mangkal? Kuaduin Naya baru tau rasa dia! "Lo liati apaan.." aku mengikuti arah pandang mata Gio. "..sih.."
"Vi itu.."
Aku tak mempedulikan perkataan Gio. Tubuhku menegang dan kakiku bergerak pelan ke arah jalan. Dari pelan, lalu berjalan cepat menyebrang jalan. Perduli setan dengan klakson serta umpatan pengemudi yang berhenti mendadak karna ulahku. Berlari dan memanggil seseorang yang berjalan pelan di antara para pejalan kaki di trotoar.
"Ayah!" teriakanku menjangkau jarak serta banyaknya orang di sepanjang trotoar. Tidak, sial. "Ayah!" sekali lagi dan tak ada tanda dia akan menoleh pada panggilanku. Dengan memaksa aku menerobos gerombolan pekerja yang sedang berjalan pulang.
"Ayah!" aku menepuk pundaknya dan langsung memeluknya dari belakang. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang dengan pandangan aneh pada kami. Sungguh ya Tuhan.. aku benar-benar merindukan pria tua ini. Aku tak mungkin kehilangannya lagi.
"Viona.." suara lembutnya sedikit menyadarkan keberadaan kami dimana. Aku melepas pelukanku dan ia berbalik. Aku tak tahan untuk tak memeluknya lagi. "Ada apa sayang? Kau kenapa?" Ayah mengusap punggungku dengan lembut. Seharusnya aku yang bertanya apa yang terjadi. Kenapa bisa sekacau ini. Tapi semua pertanyaan itu lenyap, berbayar rasa lega karna telah menemukannya dalam keadaan sehat.
"Ayah baik-baik saja?"
"Ya. Tentu saja." Hal terakhir yang paling tak kuinginkan adalah menemukannya dalam keadaan tak baik. Dan syukurlah itu semua tak terjadi. "Mari kita cari tempat untuk bicara sayang."
.
.
.
Sudah kubilang, aku bersyukur Rei membeli Ben sebagai kendaraanku. Karna convertible ini punya empat jok, dan sangat bisa di andalkan. Contohnya sekarang ini, karna ayah ikut pulang maka pasti jika hanya dua jok saja Gio sudah kutinggal. Terserah deh dia mau naik apa atau nebeng apa. Tapi berhubung suasana agak beda jadi Gio ngambil alih kemudi sedang aku dan ayah duduk di belakang.
Garis besar cerita sudah kami beritahukan pada ayah tadi di sebuah kafe yang tak terlalu ramai. Acara mbakso anget bareng Gio terpaksa ditunda dulu. Ayah sangat terkejut mendengar cerita kami, dia sama sekali tak tahu menahu soal rumah serta perusahaannya yang dijual. Ia mengaku sedang dalam perawatan alternatif untuk mencegah stroke nya berkelanjutan. Keyra mengajaknya ke kota ini karna mendengar tentang pengobatan alternatif yang katanya cukup terkenal dan sudah banyak yang membuktikan. Tak pernah terlintas dalam benak ayah akan rencana picik Keyra. Aku yang tak menyukainya pun tak berpikir dia akan bertindak sejauh ini.
Setelah mengetahui perbuatan Keyra sepertinya ayah mulai bersikap tegas. Ia berencana menggugat cerai setan mak lampir itu. Lebih cepat lebih baik. Tapi sepertinya ayah tak menyebut untuk menuntut wanita itu. Huh.. Ayah orang yang terlalu baik.
Rei sudah kukabari tentang pertemuanku dengan ayah. Ia bersedia menerima ayah di rumahnya untuk sementara waktu sampai urusan rumah ayah beres dulu. Dia memang tidak Cuma tampan, tapi juga bisa diandalkan.
Aku dan ayah sampai di rumah petang menjelang maghrib. Rei sudah pulang dan menyambut kami di teras. Gio sudah pulang duluan tentunya tadi karna kami lebih dulu melewati rumahnya.
Rei menciumku singkat lalu menyalami ayah. "Jangan sungkan ayah, anggap saja rumah sendiri."
"Terima kasih nak Rei. Saya jadi merepotkan, saya sudah dengar ceritanya dari Viona bahwa kamu telah membayari rumah serta berusaha mengembalikan perusahaan."
"Sudah kewajiban saya. Tapi maaf sepertinya saya tidak berhasil merebut kembali perusahaan ayah." Memang terkesan sangat formal percakapan ini. Aku sangat memakluminya karna mereka baru benar-benar bercapak-cakap secara normal sekarang ini. Pertemuan sebelum ini hanya saat keluarga Rei melamarku dan pastinya tak ada percakapan yang bersikap pribadi.
"Ayah istirahat dulu, nanti kalau makan malam sudah siap akan kupanggil." Aku mengantar ayah ke kamar tempat dulu aku tinggal di rumah ini pertama kali. Rei telah memberitahuku bahwa bibi Ama telah membersihkan tempat itu dan menyiapkan beberapa pakaian Rei yang kira-kira pantas untuk Ayah. Sudah kubilang dia itu bukan cuman menang tampang doang, sangat bisa di andalkan dan cekatan.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 54"

Post a Comment