Epilog Hopeless

Langit hitam bertabur ribuan bintang berkelip membentang indah di atas dataran capadocia. Hawa dingin tak mampu menyurh Rei untuk kembali ke penginapan. Ia suka rasa sunyi ini. Hanya memandang tenang pada langit malam.

Rei sedang menikmati kesendiriannya saat ini. Bahkan cay (teh) dan simmitnya telah mendingin karena udara terbuka malam. Namun ia masih tetap meraih gelas kecil berlekuk itu dan menyesap cay nya. Ia masih merasa rindu meski telah berada di negara kampung halaman ayahnya selama seminggu ini.

“Kau melamun?” sebuah suara selembut beledu membuyarkan  angan-angan Rei.

“Tidak, hanya menikmati pemandangan.” Rei menggeser posisi tubuhnya agar si pemilik suara bisa bergabung bersamanya, berbaring di kursi malas.

“Langit yang indah. Tidak setiap hari kita bisa melihat keindahan seperti ini terutama pada kota yang tak perah tidur.” Dengan nyaman wanita itu menempatkan dirinya di samping Rei dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rei.

“Kau mau kemana setelah ini?”

“Jangan tanya aku. Kau yang lebih mengenal negara ini. Jadi bawalah aku kemanapun kau pergi..” wanita itu menggoda dengan membuat geraka halus di dada bidang Rei dengna jar-jari lentiknya.

“Manis sekali sayang. Kau telah berkeliling Istanbul hampir seminggu ini. Menyusuri Bosparus, mengunjungi hagia sophia dan istana topkapi, berbelanja gila-gilaan di grand bazaar bersama büyükanne (nenek). Hmm.. baru kali ini kau begitu bersemangat menghabiskan uang untuk berbelanja.”

“Itu karna.. entahlah.. nenekmu membuat semangat belanjaku membara. Dia memperlihatkan barang-barang khas Turki yang belum pernah kulihat.”

“Dan bagaimana kita membawa pulang lembaran karpet serta keramik-keramik itu hem??”

“Kita bisa mengirimnya nanti.. aku tak sabar memberikan baju-baju bayi itu untuk Nagita.”

“Cih.. kenapa kau masih memikirkan bayi itu? Kau tak lihat Naya memberikan semua barang branded untuk bayi satu bulan itu? Dia akan jadi bayi sosialita yang manja!”

“Awas saja jika dia tak menerima hadiahku. Akan kupecat suaminya. Nagita tidak akan jadi seperti itu, ia adalah bayi yang manis dan menggemaskan.”

“Sayang.. jangan terlalu kejam. Gio sudah cukup menderita sembilan bulan ini. Meski ia juga membocorkan bahwa selama masa kehamilan Naya jadi ‘liar’. Aku tak sabar menantimu seperti itu..”

“Maksudmu?!” Wanita dalam dekapan Rei beringsut marah.

“Hei.. hei.. sayang.. kau tentu juga mendambakan seorang bayi bukan? Yang manis dan lucu seperti yang kau bilang tadi kan?” Rei mencoba membujuk wanita yang menjauh darinya. Ia mencengkerang kakinya dan menarik pinggang wanita itu.

“Tentu saja! Aku tak sabar menantinya..”

Rei menghela nafas sedih. “Kita akan lebih berusaha..”

“Bukankah kita sedang mengusahakannya?” Wanita itu tersenyum dan merona, menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Rei.

Rei mengusap lembut betis wanita yang menyerukkan kepalanya ke potongan leher dan pundaknya. Ia merasakan benjolan kecil memanjang, membuatnya mengingat kejadian beberapa bulan lalu dan juga rasa bersalahnya. “Kau tidak kedinginan memakai celana pendek seperti ini?”

“Tidak, ini juga tidak terlalu penndek, bahkan di bawah lutut. Kau hanya berdalih ingin menyentuh kakikku kan?”

“Maaf soal luka ini.” Rei menyusuri garis bekas luka yang ada di bagian samping betis wanita dengan rambut sehitam malam di capadocia.

“Berapa kali kau harus meminta maaf Rei.. kau juga sudah menjelaskan alasan kenapa kau menembakku. Tapi aku penasaran, darimana ide gila itu?”

Rei tertawa pelan. “Viona, kau mungkin akan segera membunuhku jika tau darimana aku mendapatkan teori itu.”

“Darimana?”

“Aku adalah penggemar serial detektif conan.” Aku Rei.

“Jadi?” Viona seperti tak sabar dengan penjelasan Rei.

“Dan dalam salah satu film si detektif yang mengecil itu, ibunya Ran pernah disandra oleh seorang tahanan. Saat itu, Mouri suaminya menodongkan pistol ke arah si penjahat. Kau pasti tau kan apa yang selanjutnya terjadi?”

“Menembak istrinya? Seperti kau?”

“100 untukmu sayang.”

“Jadi kau mengikuti teori dalam film itu? Ya Tuhan, Rei!! Aku memang akan membunuhmu!” Viona kembali bangkit dan memukul dada Rei dengan sebal.

Rei menangkap tangan Viona yang memukul dadanya. “Tapi teori itu terbukti kan?” Ia menyeret tangan Viona hingga wanita itu jatuh lagi ke pelukannya. “Penjahat yangk kehilangan sandranya tidak akan bisa melakukan apa-apa dan akan lebih mudah dibekuk. Aku tidak akan bertaruh jika tidak tau aku akan menang Viona. Maaf jika caraku melukaimu. Sudah kujelaskan bukan, jika ada cara lain untuk menyelamatkanmu, maka tak mungkin aku akan melukaimu. Tapi mengingat sifat Keyra, aku lebih memilih sedikit melukaimu daripada harus kehilanganmu. Maaf aku egois, hanya saja.. kehilanganmu sama saja dengan aku mati.”

Viona memeluk Rei dengan erat. “Jangan meminta maaf lagi. Aku tau kau melakukan yang terbaik untukku. Aku malah berterima kasih kau mau datang menyelamatkanku.”

“Tapi kenapa kau tak mau menghilangkan bekas luka ini? Bukankah teknologi medis sudah sangat canggih untuk menghilangkan goresan peluru itu? Memangnya kau tak malu? Bukannya wanita suka jika kaki mereka terlihat mulus dan seksi?”

“Tidak, Aku akan menyimpannya untuk kenang-kenangan. Lagian bekas luka juga akan terlihat seksi kok” ujar Viona.

“Kau ini aneh.”
.
.
.
Langit biru yang tadi siang kukagumi dengan segala keindahan bebatuan di bawahnya saat aku menaiki sebuah balon udara tadi siang telah berubah menjadi warna gulita dengan taburan cahaya dari beribu bintang. Priaku benar, langit ini pantas untuk dikagumi, serta disyukuri. Dan aku juga bersyukur masih berada dalam dekapannya setelah semua yang terjadi. Dan kini waktunya kami menikmati waktu kami. Yah hanya kami. Meski masih ada banyak hal yang harus diluruskan oleh pria yang sedang memelukku ini.

“Dulu sewaktu aku akan pergi dari rumahmu dan pindah ke rumah baru yang sudah kutemukan, apa kau yang membayar dua kali lipat untuk rumah itu?”

“Kenapa kau menanyakan itu?” Entah kenapa aku teringat awal-awal pertemuanku dengan Rei. Dan aku punya firasat bahwa ia melakukan sesuatu untuk tetap menahanku berada di rumahnya.

“Hanya ingin tau. Ayo jawab yang sejujurnya!”

Rei sedikit terkekeh dan aku tau itu memberikan jawaban yang benar atas pertanyaanku. “Yeah, aku tak bisa kehilanganmu Viona. Cukup panik saat kau memberikan cheese cake itu sebagai tanda perpisahan, namun aku punya ide itu tentunya untuk menahanmu. Dan ide-ide lain untuk mengikatmu seumur hidup.” Rei menyeringai dengan cara yang sangat menyebalkan, namun juga terlihat menggoda.

“Huh, tau begitu aku tak akan pamit dan langsung pindah saja.” Gerutuku.

“Kalau kau nekat juga aku akan cari cara lain agar kau tetap tinggal di rumahku. Aku punya seribu ide untuk mengikatmu sayang..” Rei mengecup puncak kepalaku. “Kalau diingat, ide tentang pernikahan palsu itu sangat konyol dan kekanakan, tapi sepertinya itu berhasil meski tak selancar yang kukira.”

“Ya, kau bajingan sialan yang menggunakan papamu sebagai alasan. Bagaimana bisa kau berbohong soal papamu?!” Untuk kelakuan Rei yang satu ini masih tak habis pikir. Darimana ia mendapatkan ide gila itu? Apa juga dari komik yang ia baca?

“Aku buta Viona.” Ha? Apa? “Cinta bisa membutakan jalan pikir seseorang, termasuk aku. Jadi setelah tau sifatmu dari Gio bahwa kamu tidak mempercayai kata yang satu itu, aku menyusun rencana yang tidak akan bisa kamu tolak.”

“Bagaimana kau yakin aku tidak akan menolak?” Seharusnya itu adalah pertanyaan untukku. Kenapa dulu aku tidak menolak rencana palsu gila itu?

“Karna aku tau kau tidak akan menolak seseorang yang meminta tolong padamu. Bahkan kau akan mengajukan diri saat melihat seseorang tengah mengalami kesusahan. Kau membantuku tanpa pamrih mengembalikan file-file yang hilang dan pergi begitu saja sebelum aku sempat berterima kasih.”

“Kau masih ingat peristiwa itu? Aku bahkan sudah melupakannya..”

“Itulah yang membuatku tertarik sekaligus terpesona. Kau bahkan melupakan tindakan baikmu saat semua orang berlomba membanggakan kebaikan dirinya pada orang lain sekecil apapun itu.”

“Aku memang punya ingatan yang buruk, bukannya tidak mau pamer.”

“Sama saja Vio..”

“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada Helena?” Ingatanku melayang pada sosok wanita yang terakhir kali kami bertemu membekapku dan mendorongku ke mobil.

“Tuntutan 5 tahun dalam sel untuk membantu penculikan, namun masih mengajukan banding. Tenang saja, aku tak akan membiarkan dia menyentuhmu  lagi jika ia tak mau mendekan di penjara selamanya.” Tentang Helena memang aku tak mengikuti, aku lebih fokus pada Keyra. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas kasus penculikan, pemalsuan dokumen dan yang lainnya. Kurasa itu waktu yang tidak terlalu lama, meski aku sudah cukup puas ia akan menderita di balik jeruji besi pesakitan. Dia telah menipu keluargaku dengan menikahi ayah, seorang gold digger menjijikkan.

“Kudengar Alex juga ada di Malang waktu Keyra menyanderaku? Seharusnya dia kan ada di Jakarta karna pesawatnya berangkat beberapa menit setelah dia bertemu denganku.”

“Apa sih yang sebenarnya kalian bicarakan?” Rei tak pernah menutup-nutupi kecemburuannya. Ia akan bertanya langsung pada hal yang mengganggunya, dan kadang aku memang suka memancingnya untuk cemburu, sikapnya sungguh menggemaskan saat dia harus menggerutu dan merajuk.

“Hanya menyapa sesama teman, memangnya tidak boleh? Kau kan juga temannya.”

“Jangan pernah dekat-dekat dengannya! Aku menyesal dulu pernah menceritakan rencana yang kubuat untukmu padanya. Dia malah berusaha merebutmu. Teman sialan.”

“Jadi Alex tau seja awal?” sialan.. jadi ia berpura-pura tidak tau menahu dan memerasku dengan mengancam akan membeberkan pada orang-orang. Ya Tuhan, kenapa semuanya diawali dengan tipu muslihat semacam itu.

“Yeah, waktu kau memutuskan untuk pindah karena menemukan tempat yang cocok. Aku gusar dan pergi minum di sebuah club. Kebetulan di sana ada Alex. Aku dan Alex memang tidak seakrab dulu.” Rei berhenti sejenak untuk menghela nafas, entah apa yang membuatnya seperti enggan membahas pertemannannya dengan Alex. “Tapi juga sudah tidak terlalu bermusuhan. Dia menemaniku minum sampai aku sedikit hangover. Disitulah aku kelepasan bicara soal rencanaku. Besoknya aku tau ia berusaha merebutmu. Jangan tanya aku tau dari mana, aku tau betul sikap dan caranya melihat seseorang yang sedang diincarnya.” Jadi alasan kenapa Rei minum saat itu karna rencana kepergianku? Ya ampun.. sebegitu inginnya kah dia menahanku. “Tapi sekarang sepertinya aku sudah bisa sedikit tenang.”

“Kenapa?”

“Karna aku telah mendapatkanmu secara utuh dan kita saling membagi cinta. Aku tau kau tidak akan pergi dari sisiku lagi.” Rei meremas bahuku lembut.

“Narsis sekali Tuan..”

“Memang begitu kan kenyataannya?” Ya.. ya.. mana bisa aku menolak pria setampan dan seromantis Rei? Sungguh wanita gila yang ada. Baru sampai di Turki saja ia telah menyiapkan kejutan-kejutan yang amat manis. Setelah sampai di rumah neneknya yang ada di tepian Bosparus dengan dermaga dan kapal pribadinya. Aku bahkan tak menyangka rumah orang tua Papa menyuguhkan pemandangan Bosparus setiap harinya. Setelah beristirahat sebentar, kami segera menjelajah Bosparus Bridge yang menawarkan berbagai jajanan khas Turki. Aku sendiri menggila dengan membeli ini itu tanpa memperdulikan jika keesokan harinya berat badanku akan bertambah sepuluh kilo. Peduli amat saat kau memandang makanan yang amat menggiurkan. Rei juga mengajakku berkeliling selat Bosparus dengan mengemudikan sendiri kapalnya. Ia juga membawaku ke Maiden Tower yang berdiri di sebuah pulau buatan di tengah laut. Disana, Rei telah menyewa seluruh bagian serambi dari sebuah restoran untuk tempat kami makan malam. Sungguh gila dan romantis, kami menikmati makan malam dan tenggelamnya matahari dengan udara laut yang menyenangkan. Siapa yang tidak jatuh hati pada pria seperti itu?

“Kau belum menjawab pertanyaanku Rei..”

“Yang mana?”

“Tadi, kenapa Alex juga ada di Malang?”

“Oh.. dia ikut membantu mencarimu juga. Yang sebenarnya malah mengganggu saja.”

“Kenapa kau bilang seperti itu. Dia kan berniat baik.”

“Sudah jangan membelanya. Aku tau dia tak akan lagi mengejarmu, karna dia telah menemukan target baru.” Target baru?

“Siapa?”

“Alex.”

“Aku tau, maksudku siapa wanita yang jadi incarannya?”

“Entahlah. Kurasa PA nya, dia seperti seorang pedhofil.”

“Gadis blasteran yang terlihat masih anak-anak?”

“Bagaimana kau tau?”

“Aku pernah melihatnya saat kau mengajakku ke pesta ulang tahun salah satu perusahaan konstruksi.” Rei telihat berpikir sebentar.

“Ya sepertinya itu dia.” Ya Tuhan! Itu Ane, kuharap dia bisa bertahan dengan semua kemesuman Alex.

“Sayang , sebaiknya kita masuk. Tidak baik terlalu lama berada di udara terbuka malam hari. Ini juga sudah terlalu larut, kita tidak ingin kesiangan untuk pergi ke Blue Lagoon dan menikmati pasir putih. Atau kau mau pergi ke Pamukkale untuk berendam air panas di batuan putih?”  Rei bergerak untuk bangkit.

“Terserah kau.. tapi gendong aku sekarang...” kataku manja sambil menjulurkan kedua tanganku padanya. Kami sedang berbulan madu dan aku selalu ingin dimanja.

Rei tertawa mendengar permintaanku namun ia juga segera mengabulkannya. Mengangkatku dengan mudah dan membawaku masuk ke salah satu kamar hotel batu yang ada di Capadoccia. Mari matikan lampu dan membuat bayi!!
.

.
.
End

Related Posts:

0 Response to "Epilog Hopeless"

Post a Comment