Hopeless Part 77


Tidak. Ini lebih rumit. Lebih buruk. Mobil yang kuserahkan pada Viona masih berada di bandara. Dan sampai saat ini wanita itu tak ada rimbanya. Polisi belum bergerak karena menghilangnya Viona belum genap 24 jam. Hell! They must be fucking kidding me.. jelas-jelas ada yang tak beres, mereka masih saja diam!

“Pihak bandara ingin mengkonfirmasi. Ada wanita yang memenuhi ciri-ciri Viona tertangkap kamera cctv. Kuharap kita dapat petunjuk.” Ujar Kia sambil mensejajariku yang setengah berlari menuju ruang monitoring.

Semua orang yang ada ruangan yang penuh dengan monitor dengan berbagai ukuran langsug berdiri ketika aku dan Kia masuk tanpa permisi.

“Maaf.” Kia meminta maaf karena menyadari para staff, polisi bandara dan orang-orang kepercayaanku yang telah tiba lebih dulu terkejut dengan kedatangan kami.

Mereka menangguk mengerti. “Jadi apa kalian menemukan sesuatu?” tidak perlu basa-basi. Hanya info itu.

“Kami perlu konfirmasi sir.” Pria berjins dan jaket hitam yang kuyakini adalah orang kepercayaanku angkat bicara. “Ada seorang yang terindentifikasi mirip istri anda.” Seorang staff bandara menunjukkan sebuah potret agak buram dari cctv yang dipasang agak tinggi. Ada sepasang pria dan wanita dalam gambar tersebut. Si controler menekan  tombol space dan gambar tersebut bergerak, berciuman di tengah lalu lalang orang-orang yang menyeret kopor, dunia serasa milik mereka berdua tak peduli pada orang-orang mengernyit karna perbuatan mereka. Sang itu memakai topi hingga sama sekali tak terlihat wajahnya. Namun aku tau betul siapa pria itu. Aku.

“Ya itu Viona.” jawabku singkat. Pipi dua staff wanita merona melihat adegan itu. Controler agak mempercepat rekaman cctv. Well.. perpisahan kemarin memang sedikit memakan waktu lama. Tak berselang lama sosok Viona hilang tak terjangkau kamera.

“Pindah ke kamera lain.” Perintah salah satu daru staff wanita. Pria pemegang kendali tersebut segera memasukkan cd ke dalam CD ROM. Dan mulai memutarnya, mempercepat ke waktu keberangkatanku kemarin. Dan Viona masih ada. Berpindah pada kaset selanjtnya, ya.. dia masih ada. Kaset ketiga dan seterusnya sampai sosok itu bertemu seseorang. Pria..

Darahku seakan mendidih melihat mereka menuju resto bandara. Sialan! Siapa pria yang membelakangi kamera itu?!

“Apakah ada cctv di tempat makan itu?”

“Kami akan menghubungi pihak resto tersebut.”

Tak berselang lama ada seseorang yang masuk dan menyerahkan beberapa cd box. Dengan cekatan si kontroler memutar cd itu, mencoba mencari sosok Viona.

“Itu mereka, seorang staf menunjuk dengan penanya ke monitor. Ya itu mereka, duduk agak di bagian pojok tapi masih bisa tertangkap kamera dan pria yang bersamanya itu..

“Brengsek!” tanganku mengepal, mengantisipasi untuk memukul seseorang. Monitor didepanku rasanya perlu dilempar palu. Dasar sialan!!

“Tenang Rei. Kau tau siapa orang itu?” Kia menepuk pelan pundakku, menyadarkanku kalau di dalam ruangan itu banyak orang. Sialan. Kalau tidak ada orang mungkin ruangan ini sudah hancur diterpa kemarahanku.

Tanpa mengalihkan pandanganku dari monitor aku mengangguk singkat. Kami terus menantikan adegan selanjutnya sambil berharap-harap cemas. Beberapa saat kemudian Viona terlihat menerima panggilan, meminta ijin pada bajingan itu untuk menjauh dan hilang dari jangkauan cctv. Sialan. Sekarang kemana perginya Viona itu!

Menit-menit berlalu dan Viona belum kembali dari panggilan telfonnya. Pria itu juga beberapa kali menengok jam tangannya. Duduk gelisah dan kepalanya menengok ke arah Viona pergi. Tak ada perubahan berarti controler mempercepat laju videonya. Hingga akhirnya pria itu terlihat mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu kemudian berlalu begitu saja setelah meninggalkan uang di meja.

“Apa tidak ada kamera pada arah Viona pergi?” meski sudah berusaha menutupi kegusaranku, tapi pertanyaan itu sepertinya membuat para anggota staf berjengit.

“Tidak ada sir, itu toilet.” Jawab salah seorang polisi bandara.

“Kami akan memeriksa seluruh rekaman kamera pengawas yang ada di bandara ini segera karna kami sudah bisa mengenali ciri istri anda. Tapi ini sedikit memerlukan waktu.” Telunjuk si controler mengarah pada tumpukan kepingan cd. Yah itu cukup tinggi.

“Baik, kau tau harus kemana menghubungi kan?”

“Ya. Saya akan mengunjungi Pak Darius.” Ia menyebutkan salah satu orangku.

“Bagus, kalau begitu terima kasih atas bantuannya. Kami permisi dulu.” Untung aku masih punya control emosi yang cukup baik untuk sekedar berterima kasih setelah umpatanku tadi.

“Hubungi orangmu yang ada di Jakarta cari dan laporkan orang yang bernama Alexsander Curtiz. Salin rekaman tadi dan jadikan barang bukti. Aku tak peduli pokoknya buat dia bicara dan memberitahu dimana Viona berada.” Perintahku pada Darius setelah kami berada di luar ruang  pengawas.

“Yes, sir.” Ia kembali masuk ke ruang pengawas sementara aku berpaling pada Kia.

“Ini sudah dua puluh empat jam kan?”

Kia tampak mengernyit mendengar pertanyaanku, namun sejurus kemudian ia mengangguk. “Ya.”

“Mari kita temui polisi-polisi sialan itu!”
.
.
.
Para polisi baru mau mendengarkan Rei setelah ia memberikan kartu namanya. Ia bahkan dipertemukan langsung oleh kapolda di ruangannya.

“Lakukan apa saja yang bisa bapak lakukan, saya amat menghargai bantuannya.” Rei menyalami pria berkumis tipis dengan pangkat kepala polisi di depannya. Ia masih punya sopan santun untuk orang di hadapannya.

“Kami akan kerahkan segera anak buah kami.”

“Sekali lagi terima kasih.” Rei melepas genggamannya dan berlalu dari ruang pribadi kepala polisi.

“Sebaiknya kita pulang dulu Rei, kau perlu istirahat.” Kia iba melihat wajah Rei yang kuyu.

“Tidak sebelum aku tau dimana istriku!” Rei bersikeras.

“Kau mau tumbang lebih dulu sebelum nemuin Viona? Masih ada orang-orangmu yang berusaha Rei, polisi juga sudah mulai bergerak.” Kia menarik lengan Rei untuk berhenti. Berusaha membuat pria desperate itu untuk mendengarkan sarannya.

“Bagaimana jika ini terjadi pada Liv? Apa kau akan pulang dan beristirahat saat kau sama sekali tidak tau dimana dan bagaimana keadaan Liv?!” pertanyaan Rei telak memukul sasarannya.

Kia melepas tangannya dari lengan Rei. “Yeah.. kau benar.” Gumamnya. “Ayo kita kembali ke bandara dan lihat apa yang sudah mereka dapat.” Ia berjalan mendahului Rei. Kia mungkin akan jauh lepas kendali dari pada Rei jika ia menempati posisi seperti itu. Ia pasti sudah mendatangi satu persatu teman Liv.

Kia mengemudikan mobilnya dengan sigap kembali ke bandara. Disana mereka disambut oleh Darius yang memberitahu mereka bahwa ada yang ingin menemui Rei.

“Mereka ada di tempat parkir. Sedang menyelidiki mobil Nyonya Viona bersama dua polisi yang baru saja datang.” Ternyata polisi telah bergera cepat.

Polisi dan polisi bandara tengah membongkar isi mobil yang Rei sewa semenjak ia berada di Malang. Ada seseorang yang begitu mencolok diantara para petugas tersebut. Ia terlihat serius mengamati jalannya penggeledahan. Rei menghampiri orang tersebut dan langsung melayangkan kepalan tangannya.

“Brengsek!”

Alex yang tak terima dengan perlakuan yang tiba-tiba diberikan oleh Rei balas memukulnya. Dan baku hantam antara dua pria itu tak terelak lagi.

Para petugas menghentikan penyelidikan mereka dan berusaha melerai Rei dan Alex. Kia menahan Rei dan Darius memegangi Alex, mereka dibantu para petugas.

“Bangsat sialan!! Katakan dimana istriku? Brengsek!!” Rei bersikeras untuk melepaskan diri.

“Dasar bodoh! Apa kau letak otakmu itu di pantat hah! Jika aku tau dimana Viona aku tak akan berada disini!” Alex balik memaki. Ia juga berusaha melepaskan cengkraman Darius dan petugas keamanan.

“Kau! Kau yang terakhir kali bersamanya! Kau menemuinya dan menculiknya! Katakan dimana Viona sebelum aku membunhmu dan mengumpankan mayatmu ke anjing jalanan, sialan!!” bahan dengan adanya petugas kepolisisan Rei berani mengancam untuk membunuh orang. Ia sudah menahan segala emosi untuk bisa berfikir jernih saat mengetahui Viona menghilang. Namun kini ia sudah tak bisa membendungnya lagi, meledak seolah ada yang menyiram bensin kedalam api emosinya.

“Aku tidak menyangka kau benar-benar bodoh. Hanya karena video itu kau menuduhku? Apa kau buta? Apa aku terlihat membius Viona dan membawanya kabur?” Elak Alex

Rei sudah akan melontarkan caciannya kembali saat seorang menyelanya.

“Kami berhasil menemukan gambar orang yang membawa Nyonya Viona..” petugas wanita dari ruang controler setengah terengah setelah berlari ke arah keributan.

Rei yang merasa cekalan di lengannya mengendur langsung melepaskan diri dan mengguncang bahu petuga syang baru datang. “Katakan siapa itu?!”

“Kami sedang ingin meminta bantuan bapak untuk mengenalinya.”

Tanpa berkata apapun Rei segera meluncur ke ruang cctv. Alex, Kia dan Darius mengikutinya dari belakang. Di sana sudah ada sebuah video yang terpampang di monitor besar menampilkan sosok Viona yang sedang dibekap oleh seseorang.

Rei menggeram marah dengan tangannya yang sudah terkepal kuat menahan keinginannya untuk memukul sesatu.

“Kenapa wanita murahan itu bisa berada di sana?!” Desis Alex
.
.
.
TBC

Related Posts:

Hopeless Part 76


.
“Kia kemana Liv?” Rei bertaya pada Liv yang sedang menekuni sarapannya di meja makan. Dengan diresmikannya caffe tadi malam maka aku juga sudah resmi berhenti dari pekerjaan sementaraku. Jadi aku tak perlu lagi datang ke kantor Kia.

“Eh? Cak Kia udah berangkat dari tadi..”

Iyalah udah berangkat dari tadi. Ini kan udah jam 8 lebih.  Gara-gara Rei kami jadi keluar kamar jam segini. Untung budhe Lis belum pulang dan hanya ada Liv. “Kamu kenapa Liv kok pucet?” seperti tidak ada darah di wajah Liv.

“Hmm? Ngga kok. Mungkin karna aku tidur kemaleman dan capek gara-gara acara semalam.” Liv tersenyum tipis. Ia memang terlihat lelah. “Maaf kak.. aku ngga masak cuman bikin mie. Kukira kalian nggak pulang.”

Rei menyeringai sedangkan wajahku terasa panas. “Ngga papa Liv. Kamu nggak ada kelas pagi ini?”

“Ada, bentar lagi mau berangkat..” perkataan Liv terpotong  bunyi bel rumah. “Itu temanku, aku akan berangkat dulu ya..” Liv membereskan peralatan makannya lalu segera meluncur ke ruang depan.

“Ada yang aneh dengan Liv.” Ujar Rei tiba. Apa yang aneh dengan dia? “Biasanya ia tampak ceria dan cerewet.”

“Dia bilang sedang lelah tadi. Tidak kau juga dengar kan?” Rei menggumamkan sesuatu tentang Kia dan entah apa itu. Aku mengabaikannya dan memeriksa isi lemari pendingin yang ternyata.. hanya terisi 10% dengan air mineral dan beberapa buah.

“Sepertinya kita harus brunch di luar. Tidak ada apa untuk dimakan.” Kataku lesu.

“Bagus. Kita bisa sambil menunggu waktu tayang Tn. Stark.” Rei melambaikan dua tiketnya.
.
.
.
“Kenapa mereka menambah tokoh baru? Padahal kelompok sebelumnya sudah bagus.” Gerutu Rei dengan mulut penuh. Ya Tuhan, tidak bisakah ia menelan pop cornnya lebih dulu. Aku ragu dia adalah calon tunggal pengganti  Pak Salim jika sifatnya seperti ini.

Ia menenggak minuman soda yang kusodorkan. “Regenerasi Rei. Mereka sudah tua!”

“Merekan kan punya kekuatan super.” Entah mungkin terlalu stress karena tekanan kerja yang terlalu tinggi atau apa, sepertinya otak Rei sedikit bergeser.

“Mereka akan tua dan mati! Itu Cuma akting. Kekuatan super apanya..” geramku. Rei terkekeh mendengar protesku. Ia mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku jaket. Melihatnya dari sudut mataku, Rei tampak asyik membaca pesan yang barusan diterima. “Siapa?”

“Clara, dia bilang salah satu pabrik di Tangerang mengalami kebakaran dan Papa tidak mungkin kesana.”

“Ya Tuhan! Seberapa parah?” Hampir saja aku menjerit jika tak sadar kami sedang berada di bioskop.

“Clara tidak memberitahuku. Hanya saja aku harus cepat mengadakan jumpa pers dan bersiap jika saja ada korban..” Sial. Kuharap tidak separah itu. “Dengarkan aku Vio. Aku tak berniat meninggalkanmu disini sendiri, hanya saja aku harus pergi. Clara telah memesankan tiket untuk sore ini. Aku akan membereskan masalah ini, jika semua sudah selesai baru aku akan menjemputmu.”

Aku menggengam tangannya untuk memberinya kekuatan dan keyakinan bahwa aku mengerti dan akan menunggunya. “Biarkan aku mengantarmu ke bandara.” Tersenyum dan mengecup pipi Rei.

“Tapi aku harus ke Surabaya. Aku bisa sendiri. Sebaiknya kau istirahat saja.” Rei mengusap lembut kepalaku.

“Tidak! Aku tetap akan mengantarmu.”

“Uh.. wanitaku yang keras kepala..” Rei mengacak rambutku.

“Yak!” tak sadar berteriak, penonton di sekitar kami memicing padaku. Sial!
.
.
.
Bersyukur karna kebakaran di salah satu pabrik kosmetik tidak terlalu parah dan tidak memakan korban. Namun proses produksi harus dhentikan sementara waktu. Penyebabnya masih diselidiki pihak berwajib tapi asal api adalah dari ruang mesin. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apapun.

Yang jadi masalah itu..

“Berapa banyak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian ini Pak?”

“Apakah anda sudah tau penyebab kebakaran ini?”

“Apa kebakaran sengaja dipicu oleh pihak luar?”

“Apakah anda akan menutup pabrik tersebut?”

Dan blitz-blitz dari kamera sialan itu seperti mau membutakanku. Tidak bisakah mereka hanya sekali saja mengambil gambarku. Toh dari tadi aku hanya duduk tenang di belakang meja konfrensi pers.

Setelah beberapa orang menenangkan para wartawan dan menghentikan kilat dari para juru kamera aku mulai membuka acara ini. Yeah, semakin cepat dimulai akan semakin cepat pula selesainya. Hanya membacakan lembar yang kuterima beberapa menit yang lalu untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Hell. Aku bahan baru sampai di sini dan buta informasi sama seperti mereka.

Setelah memberikan makan pada para piranha. Maksudku wartawan. Aku memutuskan untuk segera undur diri. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Termasuk memantau harga saham. Kukira investor tentu tidak akan dengan kejadian ini.

Tapi sebelum itu.. aku akan menghubungi wanitaku dulu. Keras kepala sekali ia mengantarku sampai ke bandara padahal aku tau ia lelah. Well.. setelah malam yang hebat serta paginya yang luar biasa, tentu ia lelah bukan?

“Ayah anda telah menghubungi secara pribadi investor serta sebagian pemegang saham utama. Anda tidak perlu khawatir dan bisa langsung pulang.” Salah satu tangan kanan papa yang menjemput dan membawaku ke konferensi pers memberikan info yang sedikit memberiku nafas lega. Lebih baik aku menjawab pertanyaan ganas dari para piranha. Maksudku para wartawan. Dibanding harus berbicara pada kebanyakan investor berkepala batu. Yeah, aku menyadari memang harus ada sikap tegas dari seorang pemimpin. Tapi mereka kadang sangat menyebalkan.

“Terima kasih Pak Andri.” Seulas senyum diberikan oleh asisten papa itu.

“Sama-sama nak Rei. beliau juga nitip pesan kalau anda harus pulang ke kediaman Pak Salim malam ini.”

Ergh.. ya ampun papa.. apa yang diinginkannya sekarang? Hmm.. tapi jika papa ingin bertanya tentang Viona maka aku punya kabar gembira untuknya. “Baik Pak, tolong antarkan saya segera.”

Selama perjalanan ke rumah papa aku mencoba menghubungi Viona tapi tak ada jawaban. Pesanku juga tidak dibaca. Mungkin saja ia sudah tidur. Tapi ini baru jam 8 mala. Ahh.. tentu saja ia kelelahan. Lebih baik besok pagi saja kuhubungi lagi.
.
.
.
“Pagi pagi Pa.”

“Pagi.” Papa sedang menekuni korannya dengan kopi hitam yang mengepul di menja sampingnya. Mama masih mengurusi si bungsu. Memberinya makan dan susu. Entah mengapa kucing gemuk itu jadi kesayangan mama padahal ia kucing pemalas yang hobinya saban hari hanya tidur di singgasananya. Mama masih saja memanjakannya, jadi aku sering menganggap ia adalah anak mama selain aku. “Bagaimana keadaan Viona?” memang tadi malam belum kujelaskan secara terperinci. Aku hanya mengatakan bahwa hubungan kami sudah membaik.

“Dia baik-baik saja. Aku belum membawanya pulang karena kukira kejadiaannya parah. Besok mungkin dia sudah akan pulang.”

“Siapa yang akan pulang Rei?” mama baru keluar dari wilayah kerajaan anak bungsunya a.k.a. Bubu yang suka bobo sapanjang waktu.

“Menantu satu-satunya yang paling cantik Ma..”

“Yang benar?! Mama udah kangen banget sama Viona.. kamu sih lelet banget nyarinya.” Aku hanya bisa meringis mendengar keluhan mama. Tapi ngomong-ngomong, pagi ini aku lupa untuk menghubunginya lagi.

Tepat saat ponsel di meja makan ingin kuraih, ponsel itu berdering. Menampilkan ID caller bernama Kia. Hmm.. aku bahkan belum berpamitan padanya kemarin, dengan budhe juga. Mungkin aku harus menjemput Viona ke Malang dan berpamitan pada mereka.

“Halo?”

“Hallo Raihan. Aku melihat berita pagi ini juga Liv mengatakan kau terpaksa pulang. Err.. apa disana baik-baik saja?”

“Ya, kami bisa mengatasinya. Untunglah tidak terlalu parah. Kenapa kau baru tau dari Liv pagi ini? Apa kau menghindarinya?” Kia jelas menghindari Liv, pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

“Entahlah.. kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Aku juga disuruh budhe untuk menanyakan kabar Viona.” Apa?

“Maksudnya? Bukannya Viona ada disitu?” Shit.. kurasa ada yang tidak salah.

“Lho.. Kami kira Viona menemanimu pulang. Dia tidak ada disini..” sialan.. calm down Rei... sebelum pertanyaanku meluncur kembali dengan emosi yang membara, lebih baik aku pindah ke ruang depan agar Papa dan Mama tidak curiga.

“Tidak. Dia hanya mengantarku sampai bandara dan bilang akan menungguku..” sebenarnya ada apa dengan wanita itu! Bukankah kami sudah sepakat? Bahkan kami melewati hari yang luar biasa kemarin. Tidak mungkin jika Viona ingin lari lagi.

“Apa kalian bertengkar hebat lagi?” tuduh Kia. Aku mengerang mengingat bagaimana kebersamaan kami kemarin.

“Tidak! Ya Tuhan.. bahkan kami kemarin baru berbaikan dan semuanya berjalan lancar. Sangat lancar kalau boleh kubilang.. apakah tidak ada kerabat lain di Malang yang biasanya ia kunjungi?”

“Hanya kami keluarganya disini.. aku tak tau jika ada teman atau siapa. Tenang dulu Rei, kami akan berusaha mencarinya.”

“Oke.. oke.. aku akan segera kesana.”

“Tapi..” Kia seakan ingin protes tapi aku segera memutuskan sambungan. Hollyshit! Apa yang sebenarnya terjadi.

Bahkan ponsel Viona tidak aktif saat kucoba menghubunginya sekarang ini. Pesan yang tadi malam juga belum dibaca.. Sialan...

Kemana kamu.. tidakkah kamu lelah berlari.. bukanah kita sangat bahagia kemarin.. kenapa kau kembali menghilang?!?!
.
.
.

Related Posts:

Hopeless Part 74

Viona masih belum bisa bergerak. Yang barusan terjadi itu.. bagaimana ia bisa bertindak seperti itu.. jemarinya menyentuh bibirnya yang masih kebas dan berdenyut. Degup jantungnya berpacu secara liar. Efek ciuman Rei telah membangkitkan sebuah hasrat yang tak asing dalam diri Viona. Ia memejamkan matanya erat sebelum akhirnya bangun dan keluar dari kamar. Secepatnya Viona harus menjernihkan pikirannya agar tidak korslet.

Setelah kejadian tak terduga pagi tadi. Viona dan Rei tak saling mengucap satu patah katapun. Bahkan saat mereka hanya berdua saja dalam mobil yang melaju ke caffe yang menjadi proyek yang digarap Kia. Caffe tersebut sudah berhasil direkonstruksi dan akan dibuka nanti malam. Viona sebenarnya sudah gatal ingin mengatakan sesuatu, namun ia terlalu gengsi untuk membuka pembicaraan saat situasinya seperti ini.

Viona hanya membuka mulut ingin mengatakan sesuatu kemudian bibirnya tertutup kembali seolah ada bola bekel yang menyumpal tenggorokannya. Hal itu tak luput dari perhatian Rei. Ia geli melihat ekspresi yang ditampilkan Viona sejak kejadian tadi pagi. Viona memang tak marah, tapi terkesan menghindarinya. Bahkan ia tak mengucapkan satu patah katapun saat ia masuk ke dalam mobil hingga sekarang. Rei amat bersyukur karna kejadian tadi pagi, ia jadi tau Viona tidak benar-benar membencinya.

“Kalau mau bicara, katakan saja. Tak perlu buka tutup mulut seperti ikan kelaparan seperti itu.” sindir Rei masih dengan konsentrasi mengemudinya.

“Ikan kelaparan? Kau keledai dungu!” Viona tak menyangka jika Rei akan mengatainya seperti itu. dan Reipun tak menyangka jika Viona akan membalasnya dengan mengatainya apa? Keledai dungu?

Rei tak bisa mencegah tawanya mendengar serentetan umpatan yang mengekori ejekannya. Bagaimana wanita yang tadi hanya diam seolah pita suaranya baru saja putus tiba-tiba meneriakkan kata-kata kasar.

Rei menghentikan tawanya dan berusaha meredakan kekehan kecilnya kala wanita di sampingnya itu berhenti mengumpat dan memasang wajah yang ditekuk. “Ehmm..” satu deheman dan Rei bisa mengontrol suaranya lagi. “Jadi ada yang ingin kau bicarakan?” Rei mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa embel-embel ejekan.

“Antarkan aku cari baju untuk nanti malam.” Walau dengan setengah hati akhirnya Viona mengatakan permintaannya juga. Rei tersenyum penih arti mendengar jawaban dari Viona. Jadi hal itu yang sedari tadi wanita di samping Rei gugup setengah mati. Benar apa yang dikatakan Kia. Ikuti saja permainannya dan kita buat langkah secara perlahan hingga ia tak sadar kita sudah menangkapnya.

“With pleasure my lady..” canda Rei yang dibalas putaran mata oleh Viona.

.
.
.
Grand opening PhiPhi caffe n resto milik Rei berjalan sangat meriah. Acara itu jauh dari kesan formal karena memang menargetkan pengunjung mahasiswa. Kebanyakan pengunjung memakai pakaian kasual yang terkesan santai, tak terkecuali dengan Rei dan Viona. Kemeja dengan lengan setengah dan denim hitam menambah kesan jantan pada Rei. Viona memakai dress one piece putih berlengan panjang.

Kia sedang menemani Rei beserta kolega lainnya menjelaskan detail interior yang ia bangun.  Sementara Viona bergabung bersama Liv dan teman-teman kampusnya. Ada seorang yang dari tadi menggandeng tangan Liv. Liv mengenalkan pada Viona lelaki itu sebagai teman dekatnya. Tapi Viona tak langsung mempercayainya. Ada sesuatu yang lebih dari cara lelaki itu memandangi Liv.

“Permisi, bisa pinjam Liv sebentar?” Kia menghampiri Liv di meja bersama teman-temannya serta Viona dan memintanya menemani bertemu kolega. Kia sudah menjanjikan hal itu pada Liv untuk mengenalkan Liv pada beberapa petinggi perusahaan untuk memperkenalkan Liv akan dunia kerja. Gadis itu sebentar lagi akan menjalani sidangnya.

Kia merangkul pinggang Liv, menggiringnya pada beberapa kenalan yang sedang menikmati hidangan. Itu mengingatkan Viona saat resepsi Gio dan Naya, Rei memperkenalkanya pada petinggi bisnis negeri ini.

“Maaf, saya permisi sebentar.” Viona memisahkan diri dari teman-teman Liv. Ia agak canggug dengan orang-orang baru jika bukan karena urusan pekerjaan. Membawa minumannya naik ke rooftop yang juga dijadikan bagian dari cafe outdoor, Viona menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas. Disini suasana agak sepi dan tidak banyak pengunjung yang menempati meja yang telah disiapkan. Mungkin karena cuaca yang dingin, sebagian besar pengunjung memilih berada di dalam.

Pandangan Viona menyapu ribuan titik yang berkelip di atas sana. Entah mengapa ia merasa ada rasa sepi yang tiba-tiba menyusup. Hal itu mungkin karna ia terbawa suasana. Musik romantis yang terdengar sayup-sayup, hawa dingin serta langit malam yang tenang. Dan yang paling membuat Viona merasa sepi karna tentu saja.. tidak ada seseorang di sampingnya.

Sebelah tangannya ia larikan ke perutnya yang rata. Dan perasaan sepi itu seolah semakin mencekiknya. Viona semakin mendongakkan kepalanya, mencegah butiran bening keluar dari matanya. “Apa kau baik-baik saja di sana? Maafkan aku..” Gumam Viona entah pada siapa. Viona masih terus memandangi langit malam sampai sebuah suara menginstrupsinya.

“Kau berusaha untuk bunuh diri dan menghantui caffe baruku ya?” sebuah benda hangat melingkupi tubuh Viona. Itu adalah sebuah jas cokelat tua dengan bau maskulin dari kekayuan.

Viona memejamkan mata dan menggelengkan kepala untuk menyusutkan seluruh emosi yang tiba-tiba menyerangnya tadi.

“Hei.. kau kenapa?” Rei menyadari ada yang aneh pada Viona.

“Aku baik-baik saja.” Tapi suara serak Viona mengkhianati dirinya.

“Apa yang mengganggumu?” Rei menjalankan jari-jarinya di pipi Viona. Viona kembali memejamkan matanya, menikmati sentuhan jemari Rei di kulit wajahnya. Dan saat itulah badai emosi kembali menerjang Viona.

Isakannya lolos begitu saja. Viona sudah tak mampu lagi mengendalikan diri. “Aku..” Rei merengkuh tubuh Viona.

“Viona.. Sayang, katakanlah apa yang mengganggumu?” Rei berusaha menenangkann Viona dengan membelai punggungnya.

“Aku.. maafkan aku..” Isakan Viona semakin kencang, ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Rei. “..maafkan aku..maaf..” Rei semakin mengeratkan pelukannya

“Sstt.. untuk apa kau meminta maaf Viona?”Rei benar-benar bingung pada perubahan emosi Viona. Apa dia sedang PMS? Atau ada yang menganggunya? Rei menebak-nebak dalam hati.

Setelah beberapa saat akhirnya Viona berhasil mengendalikan tangisan hebatnya dan menyusutkan air mata, ia mulai menarik dirinya dari Rei. Tapi Rei tidak membiarkan hal itu.

“Ada apa denganmu hmm??”

“A... aku tidak apa-apa..” seluruh alam semesta juga tau bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Seseorang menangis dengan hebatnya dan dia bilang tidak terjadi apa-apa.

“Teruslah berkata seperti itu dan aku akan memelukmu seperti ini hingga kau mau berkata yang sebenarnya.” Tuntut Rei.

“Aku tau , akulah yang pantas disalahkan untuk semua ini.. biarkan aku pergi Rei..” Viona bisa merasakan tubuh Rei menegang saat mendengar pernyataan Viona.

“Kita sudah sepakat Viona.” Rei berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan emosinya. Jika dia tak bisa mengendalikan dirinya maka kemarahannya akan menghancurkan Viona yang kini sedang rapuh, dan itu akan membuat dirinya semakin jauh dari Viona.

“Maafkan aku..” lagi-lagi Viona meminta maaf, entah untuk apa dan kepada siapa.

“Sayang..” Rei menggunakan kedua telapak tangannya membingkai wajah Viona dan membuatnya mendongak untuk menatapnya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan darimu..”

Viona menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak. Aku telah menuduhmu menjadi pembunuh. Seharusnya.. seharusnya itu aku. Aku yang tidak bisa menjaganya, aku yang ceroboh dan menyebabkan dia menghilang bahkan sebelum dia bisa melihat dunia ini.. aku..” air mata serta isakan Viona kembali menghiasi wajahnya.

Hati Rei serasa teriris mendengar ucapan Viona. Tidak semestinya istrinya berkata seperti itu. Sudah benar bahwa dulu ia dikatakan sebagai pembunuh bayinya sendiri. Itu bukan salah Viona sama sekal. Jika bukan karna Rei yang egois dan mengurung Viona, wanita itu tidak akan memaksa untuk lari dan mengebut di jalanan. “Apa yang membuatmu bisa berpikir seperti itu hmm??” dengan lembut, jemari Rei menyingkirkan air mata yang terus mengalir dari mata cantik Viona. “Sebenarnya kita berdua memang salah. Kita masih mementingkan ego kita masing-masing tanpa mau membicarakannya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberikan dia pada kita saat kita belum bisa menjadi orang tua yang baik, saling berkata jujur tanpa menyembunyikan sesuatu dan yang terpenting adalah menekan jauh ego kita. Maka dari itu, Tuhan memanggilnya untuk mecegah ia tersakiti saat kita masih saling egois. Tuhan ingin memberitahu bahwa kita memang belum pantas untuk mendapatkannya.”

“Aku merindukannya Rei..” Viona kembali menenggelamkan wajahya ke dada bidang Rei. Sekuat tenaga tidak ingin mengeluarkan air matanya lagi.

Rei merogoh dompet dari saku celananya dan mengambil sesuatu. Sebuah potret hitam putih dan dengan gambar abstrak. “Aku menemukan ini.” Rei menyerahkan foto USG pertama Viona. “Ini akan menjadi satu-satunya kenangan dan pengingat untuk kita.”

Viona tersenyum kecil di balik tangisnya. Menatap titip putih kecil sebsar biji kacang yang dalam potret.

“Jadi.. setelah kita belajar untuk tidak saling menjunjung ego masing-masing serta saling jujur dan mengatakan apapun yang terjadi.. bisakah kita tetap seperti sebelumnya? Benar-benar menjadi suami istri yang sesungguhnya?” Rei sedikit bergetar saat mengatakannya. Ini seperti pengajuan lamaran kembali pada Viona.

Viona memandang Rei datar. Membuat jantung Rei berdegup penuh antisipasi akan jawaban Viona. “Bukankah kita suami istri syah dari awal?” beberapa saat setelah hening cukup lama akhirnya Viona menjawabnya.

“10 detik yang membunuhku!” Rei mengerang lalu mencium Viona dalam-dalam.
.
.
.

TBC

Related Posts:

Hopeless Part 74

Viona masih belum bisa bergerak. Yang barusan terjadi itu.. bagaimana ia bisa bertindak seperti itu.. jemarinya menyentuh bibirnya yang masih kebas dan berdenyut. Degup jantungnya berpacu secara liar. Efek ciuman Rei telah membangkitkan sebuah hasrat yang tak asing dalam diri Viona. Ia memejamkan matanya erat sebelum akhirnya bangun dan keluar dari kamar. Secepatnya Viona harus menjernihkan pikirannya agar tidak korslet.

Setelah kejadian tak terduga pagi tadi. Viona dan Rei tak saling mengucap satu patah katapun. Bahkan saat mereka hanya berdua saja dalam mobil yang melaju ke caffe yang menjadi proyek yang digarap Kia. Caffe tersebut sudah berhasil direkonstruksi dan akan dibuka nanti malam. Viona sebenarnya sudah gatal ingin mengatakan sesuatu, namun ia terlalu gengsi untuk membuka pembicaraan saat situasinya seperti ini.

Viona hanya membuka mulut ingin mengatakan sesuatu kemudian bibirnya tertutup kembali seolah ada bola bekel yang menyumpal tenggorokannya. Hal itu tak luput dari perhatian Rei. Ia geli melihat ekspresi yang ditampilkan Viona sejak kejadian tadi pagi. Viona memang tak marah, tapi terkesan menghindarinya. Bahkan ia tak mengucapkan satu patah katapun saat ia masuk ke dalam mobil hingga sekarang. Rei amat bersyukur karna kejadian tadi pagi, ia jadi tau Viona tidak benar-benar membencinya.

“Kalau mau bicara, katakan saja. Tak perlu buka tutup mulut seperti ikan kelaparan seperti itu.” sindir Rei masih dengan konsentrasi mengemudinya.

“Ikan kelaparan? Kau keledai dungu!” Viona tak menyangka jika Rei akan mengatainya seperti itu. dan Reipun tak menyangka jika Viona akan membalasnya dengan mengatainya apa? Keledai dungu?

Rei tak bisa mencegah tawanya mendengar serentetan umpatan yang mengekori ejekannya. Bagaimana wanita yang tadi hanya diam seolah pita suaranya baru saja putus tiba-tiba meneriakkan kata-kata kasar.

Rei menghentikan tawanya dan berusaha meredakan kekehan kecilnya kala wanita di sampingnya itu berhenti mengumpat dan memasang wajah yang ditekuk. “Ehmm..” satu deheman dan Rei bisa mengontrol suaranya lagi. “Jadi ada yang ingin kau bicarakan?” Rei mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa embel-embel ejekan.

“Antarkan aku cari baju untuk nanti malam.” Walau dengan setengah hati akhirnya Viona mengatakan permintaannya juga. Rei tersenyum penih arti mendengar jawaban dari Viona. Jadi hal itu yang sedari tadi wanita di samping Rei gugup setengah mati. Benar apa yang dikatakan Kia. Ikuti saja permainannya dan kita buat langkah secara perlahan hingga ia tak sadar kita sudah menangkapnya.

“With pleasure my lady..” canda Rei yang dibalas putaran mata oleh Viona.

.
.
.
Grand opening PhiPhi caffe n resto milik Rei berjalan sangat meriah. Acara itu jauh dari kesan formal karena memang menargetkan pengunjung mahasiswa. Kebanyakan pengunjung memakai pakaian kasual yang terkesan santai, tak terkecuali dengan Rei dan Viona. Kemeja dengan lengan setengah dan denim hitam menambah kesan jantan pada Rei. Viona memakai dress one piece putih berlengan panjang.

Kia sedang menemani Rei beserta kolega lainnya menjelaskan detail interior yang ia bangun.  Sementara Viona bergabung bersama Liv dan teman-teman kampusnya. Ada seorang yang dari tadi menggandeng tangan Liv. Liv mengenalkan pada Viona lelaki itu sebagai teman dekatnya. Tapi Viona tak langsung mempercayainya. Ada sesuatu yang lebih dari cara lelaki itu memandangi Liv.

“Permisi, bisa pinjam Liv sebentar?” Kia menghampiri Liv di meja bersama teman-temannya serta Viona dan memintanya menemani bertemu kolega. Kia sudah menjanjikan hal itu pada Liv untuk mengenalkan Liv pada beberapa petinggi perusahaan untuk memperkenalkan Liv akan dunia kerja. Gadis itu sebentar lagi akan menjalani sidangnya.

Kia merangkul pinggang Liv, menggiringnya pada beberapa kenalan yang sedang menikmati hidangan. Itu mengingatkan Viona saat resepsi Gio dan Naya, Rei memperkenalkanya pada petinggi bisnis negeri ini.

“Maaf, saya permisi sebentar.” Viona memisahkan diri dari teman-teman Liv. Ia agak canggug dengan orang-orang baru jika bukan karena urusan pekerjaan. Membawa minumannya naik ke rooftop yang juga dijadikan bagian dari cafe outdoor, Viona menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas. Disini suasana agak sepi dan tidak banyak pengunjung yang menempati meja yang telah disiapkan. Mungkin karena cuaca yang dingin, sebagian besar pengunjung memilih berada di dalam.

Pandangan Viona menyapu ribuan titik yang berkelip di atas sana. Entah mengapa ia merasa ada rasa sepi yang tiba-tiba menyusup. Hal itu mungkin karna ia terbawa suasana. Musik romantis yang terdengar sayup-sayup, hawa dingin serta langit malam yang tenang. Dan yang paling membuat Viona merasa sepi karna tentu saja.. tidak ada seseorang di sampingnya.

Sebelah tangannya ia larikan ke perutnya yang rata. Dan perasaan sepi itu seolah semakin mencekiknya. Viona semakin mendongakkan kepalanya, mencegah butiran bening keluar dari matanya. “Apa kau baik-baik saja di sana? Maafkan aku..” Gumam Viona entah pada siapa. Viona masih terus memandangi langit malam sampai sebuah suara menginstrupsinya.

“Kau berusaha untuk bunuh diri dan menghantui caffe baruku ya?” sebuah benda hangat melingkupi tubuh Viona. Itu adalah sebuah jas cokelat tua dengan bau maskulin dari kekayuan.

Viona memejamkan mata dan menggelengkan kepala untuk menyusutkan seluruh emosi yang tiba-tiba menyerangnya tadi.

“Hei.. kau kenapa?” Rei menyadari ada yang aneh pada Viona.

“Aku baik-baik saja.” Tapi suara serak Viona mengkhianati dirinya.

“Apa yang mengganggumu?” Rei menjalankan jari-jarinya di pipi Viona. Viona kembali memejamkan matanya, menikmati sentuhan jemari Rei di kulit wajahnya. Dan saat itulah badai emosi kembali menerjang Viona.

Isakannya lolos begitu saja. Viona sudah tak mampu lagi mengendalikan diri. “Aku..” Rei merengkuh tubuh Viona.

“Viona.. Sayang, katakanlah apa yang mengganggumu?” Rei berusaha menenangkann Viona dengan membelai punggungnya.

“Aku.. maafkan aku..” Isakan Viona semakin kencang, ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Rei. “..maafkan aku..maaf..” Rei semakin mengeratkan pelukannya

“Sstt.. untuk apa kau meminta maaf Viona?”Rei benar-benar bingung pada perubahan emosi Viona. Apa dia sedang PMS? Atau ada yang menganggunya? Rei menebak-nebak dalam hati.

Setelah beberapa saat akhirnya Viona berhasil mengendalikan tangisan hebatnya dan menyusutkan air mata, ia mulai menarik dirinya dari Rei. Tapi Rei tidak membiarkan hal itu.

“Ada apa denganmu hmm??”

“A... aku tidak apa-apa..” seluruh alam semesta juga tau bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Seseorang menangis dengan hebatnya dan dia bilang tidak terjadi apa-apa.

“Teruslah berkata seperti itu dan aku akan memelukmu seperti ini hingga kau mau berkata yang sebenarnya.” Tuntut Rei.

“Aku tau , akulah yang pantas disalahkan untuk semua ini.. biarkan aku pergi Rei..” Viona bisa merasakan tubuh Rei menegang saat mendengar pernyataan Viona.

“Kita sudah sepakat Viona.” Rei berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan emosinya. Jika dia tak bisa mengendalikan dirinya maka kemarahannya akan menghancurkan Viona yang kini sedang rapuh, dan itu akan membuat dirinya semakin jauh dari Viona.

“Maafkan aku..” lagi-lagi Viona meminta maaf, entah untuk apa dan kepada siapa.

“Sayang..” Rei menggunakan kedua telapak tangannya membingkai wajah Viona dan membuatnya mendongak untuk menatapnya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan darimu..”

Viona menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak. Aku telah menuduhmu menjadi pembunuh. Seharusnya.. seharusnya itu aku. Aku yang tidak bisa menjaganya, aku yang ceroboh dan menyebabkan dia menghilang bahkan sebelum dia bisa melihat dunia ini.. aku..” air mata serta isakan Viona kembali menghiasi wajahnya.

Hati Rei serasa teriris mendengar ucapan Viona. Tidak semestinya istrinya berkata seperti itu. Sudah benar bahwa dulu ia dikatakan sebagai pembunuh bayinya sendiri. Itu bukan salah Viona sama sekal. Jika bukan karna Rei yang egois dan mengurung Viona, wanita itu tidak akan memaksa untuk lari dan mengebut di jalanan. “Apa yang membuatmu bisa berpikir seperti itu hmm??” dengan lembut, jemari Rei menyingkirkan air mata yang terus mengalir dari mata cantik Viona. “Sebenarnya kita berdua memang salah. Kita masih mementingkan ego kita masing-masing tanpa mau membicarakannya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberikan dia pada kita saat kita belum bisa menjadi orang tua yang baik, saling berkata jujur tanpa menyembunyikan sesuatu dan yang terpenting adalah menekan jauh ego kita. Maka dari itu, Tuhan memanggilnya untuk mecegah ia tersakiti saat kita masih saling egois. Tuhan ingin memberitahu bahwa kita memang belum pantas untuk mendapatkannya.”

“Aku merindukannya Rei..” Viona kembali menenggelamkan wajahya ke dada bidang Rei. Sekuat tenaga tidak ingin mengeluarkan air matanya lagi.

Rei merogoh dompet dari saku celananya dan mengambil sesuatu. Sebuah potret hitam putih dan dengan gambar abstrak. “Aku menemukan ini.” Rei menyerahkan foto USG pertama Viona. “Ini akan menjadi satu-satunya kenangan dan pengingat untuk kita.”

Viona tersenyum kecil di balik tangisnya. Menatap titip putih kecil sebsar biji kacang yang dalam potret.

“Jadi.. setelah kita belajar untuk tidak saling menjunjung ego masing-masing serta saling jujur dan mengatakan apapun yang terjadi.. bisakah kita tetap seperti sebelumnya? Benar-benar menjadi suami istri yang sesungguhnya?” Rei sedikit bergetar saat mengatakannya. Ini seperti pengajuan lamaran kembali pada Viona.

Viona memandang Rei datar. Membuat jantung Rei berdegup penuh antisipasi akan jawaban Viona. “Bukankah kita suami istri syah dari awal?” beberapa saat setelah hening cukup lama akhirnya Viona menjawabnya.

“10 detik yang membunuhku!” Rei mengerang lalu mencium Viona dalam-dalam.
.
.
.

TBC

Related Posts: