Viona masih belum bisa bergerak. Yang barusan terjadi itu.. bagaimana ia bisa bertindak seperti itu.. jemarinya menyentuh bibirnya yang masih kebas dan berdenyut. Degup jantungnya berpacu secara liar. Efek ciuman Rei telah membangkitkan sebuah hasrat yang tak asing dalam diri Viona. Ia memejamkan matanya erat sebelum akhirnya bangun dan keluar dari kamar. Secepatnya Viona harus menjernihkan pikirannya agar tidak korslet.
Setelah kejadian tak terduga pagi tadi. Viona dan Rei tak saling mengucap satu patah katapun. Bahkan saat mereka hanya berdua saja dalam mobil yang melaju ke caffe yang menjadi proyek yang digarap Kia. Caffe tersebut sudah berhasil direkonstruksi dan akan dibuka nanti malam. Viona sebenarnya sudah gatal ingin mengatakan sesuatu, namun ia terlalu gengsi untuk membuka pembicaraan saat situasinya seperti ini.
Viona hanya membuka mulut ingin mengatakan sesuatu kemudian bibirnya tertutup kembali seolah ada bola bekel yang menyumpal tenggorokannya. Hal itu tak luput dari perhatian Rei. Ia geli melihat ekspresi yang ditampilkan Viona sejak kejadian tadi pagi. Viona memang tak marah, tapi terkesan menghindarinya. Bahkan ia tak mengucapkan satu patah katapun saat ia masuk ke dalam mobil hingga sekarang. Rei amat bersyukur karna kejadian tadi pagi, ia jadi tau Viona tidak benar-benar membencinya.
“Kalau mau bicara, katakan saja. Tak perlu buka tutup mulut seperti ikan kelaparan seperti itu.” sindir Rei masih dengan konsentrasi mengemudinya.
“Ikan kelaparan? Kau keledai dungu!” Viona tak menyangka jika Rei akan mengatainya seperti itu. dan Reipun tak menyangka jika Viona akan membalasnya dengan mengatainya apa? Keledai dungu?
Rei tak bisa mencegah tawanya mendengar serentetan umpatan yang mengekori ejekannya. Bagaimana wanita yang tadi hanya diam seolah pita suaranya baru saja putus tiba-tiba meneriakkan kata-kata kasar.
Rei menghentikan tawanya dan berusaha meredakan kekehan kecilnya kala wanita di sampingnya itu berhenti mengumpat dan memasang wajah yang ditekuk. “Ehmm..” satu deheman dan Rei bisa mengontrol suaranya lagi. “Jadi ada yang ingin kau bicarakan?” Rei mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa embel-embel ejekan.
“Antarkan aku cari baju untuk nanti malam.” Walau dengan setengah hati akhirnya Viona mengatakan permintaannya juga. Rei tersenyum penih arti mendengar jawaban dari Viona. Jadi hal itu yang sedari tadi wanita di samping Rei gugup setengah mati. Benar apa yang dikatakan Kia. Ikuti saja permainannya dan kita buat langkah secara perlahan hingga ia tak sadar kita sudah menangkapnya.
“With pleasure my lady..” canda Rei yang dibalas putaran mata oleh Viona.
.
.
.
Grand opening PhiPhi caffe n resto milik Rei berjalan sangat meriah. Acara itu jauh dari kesan formal karena memang menargetkan pengunjung mahasiswa. Kebanyakan pengunjung memakai pakaian kasual yang terkesan santai, tak terkecuali dengan Rei dan Viona. Kemeja dengan lengan setengah dan denim hitam menambah kesan jantan pada Rei. Viona memakai dress one piece putih berlengan panjang.
Kia sedang menemani Rei beserta kolega lainnya menjelaskan detail interior yang ia bangun. Sementara Viona bergabung bersama Liv dan teman-teman kampusnya. Ada seorang yang dari tadi menggandeng tangan Liv. Liv mengenalkan pada Viona lelaki itu sebagai teman dekatnya. Tapi Viona tak langsung mempercayainya. Ada sesuatu yang lebih dari cara lelaki itu memandangi Liv.
“Permisi, bisa pinjam Liv sebentar?” Kia menghampiri Liv di meja bersama teman-temannya serta Viona dan memintanya menemani bertemu kolega. Kia sudah menjanjikan hal itu pada Liv untuk mengenalkan Liv pada beberapa petinggi perusahaan untuk memperkenalkan Liv akan dunia kerja. Gadis itu sebentar lagi akan menjalani sidangnya.
Kia merangkul pinggang Liv, menggiringnya pada beberapa kenalan yang sedang menikmati hidangan. Itu mengingatkan Viona saat resepsi Gio dan Naya, Rei memperkenalkanya pada petinggi bisnis negeri ini.
“Maaf, saya permisi sebentar.” Viona memisahkan diri dari teman-teman Liv. Ia agak canggug dengan orang-orang baru jika bukan karena urusan pekerjaan. Membawa minumannya naik ke rooftop yang juga dijadikan bagian dari cafe outdoor, Viona menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas. Disini suasana agak sepi dan tidak banyak pengunjung yang menempati meja yang telah disiapkan. Mungkin karena cuaca yang dingin, sebagian besar pengunjung memilih berada di dalam.
Pandangan Viona menyapu ribuan titik yang berkelip di atas sana. Entah mengapa ia merasa ada rasa sepi yang tiba-tiba menyusup. Hal itu mungkin karna ia terbawa suasana. Musik romantis yang terdengar sayup-sayup, hawa dingin serta langit malam yang tenang. Dan yang paling membuat Viona merasa sepi karna tentu saja.. tidak ada seseorang di sampingnya.
Sebelah tangannya ia larikan ke perutnya yang rata. Dan perasaan sepi itu seolah semakin mencekiknya. Viona semakin mendongakkan kepalanya, mencegah butiran bening keluar dari matanya. “Apa kau baik-baik saja di sana? Maafkan aku..” Gumam Viona entah pada siapa. Viona masih terus memandangi langit malam sampai sebuah suara menginstrupsinya.
“Kau berusaha untuk bunuh diri dan menghantui caffe baruku ya?” sebuah benda hangat melingkupi tubuh Viona. Itu adalah sebuah jas cokelat tua dengan bau maskulin dari kekayuan.
Viona memejamkan mata dan menggelengkan kepala untuk menyusutkan seluruh emosi yang tiba-tiba menyerangnya tadi.
“Hei.. kau kenapa?” Rei menyadari ada yang aneh pada Viona.
“Aku baik-baik saja.” Tapi suara serak Viona mengkhianati dirinya.
“Apa yang mengganggumu?” Rei menjalankan jari-jarinya di pipi Viona. Viona kembali memejamkan matanya, menikmati sentuhan jemari Rei di kulit wajahnya. Dan saat itulah badai emosi kembali menerjang Viona.
Isakannya lolos begitu saja. Viona sudah tak mampu lagi mengendalikan diri. “Aku..” Rei merengkuh tubuh Viona.
“Viona.. Sayang, katakanlah apa yang mengganggumu?” Rei berusaha menenangkann Viona dengan membelai punggungnya.
“Aku.. maafkan aku..” Isakan Viona semakin kencang, ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Rei. “..maafkan aku..maaf..” Rei semakin mengeratkan pelukannya
“Sstt.. untuk apa kau meminta maaf Viona?”Rei benar-benar bingung pada perubahan emosi Viona. Apa dia sedang PMS? Atau ada yang menganggunya? Rei menebak-nebak dalam hati.
Setelah beberapa saat akhirnya Viona berhasil mengendalikan tangisan hebatnya dan menyusutkan air mata, ia mulai menarik dirinya dari Rei. Tapi Rei tidak membiarkan hal itu.
“Ada apa denganmu hmm??”
“A... aku tidak apa-apa..” seluruh alam semesta juga tau bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Seseorang menangis dengan hebatnya dan dia bilang tidak terjadi apa-apa.
“Teruslah berkata seperti itu dan aku akan memelukmu seperti ini hingga kau mau berkata yang sebenarnya.” Tuntut Rei.
“Aku tau , akulah yang pantas disalahkan untuk semua ini.. biarkan aku pergi Rei..” Viona bisa merasakan tubuh Rei menegang saat mendengar pernyataan Viona.
“Kita sudah sepakat Viona.” Rei berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan emosinya. Jika dia tak bisa mengendalikan dirinya maka kemarahannya akan menghancurkan Viona yang kini sedang rapuh, dan itu akan membuat dirinya semakin jauh dari Viona.
“Maafkan aku..” lagi-lagi Viona meminta maaf, entah untuk apa dan kepada siapa.
“Sayang..” Rei menggunakan kedua telapak tangannya membingkai wajah Viona dan membuatnya mendongak untuk menatapnya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan darimu..”
Viona menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak. Aku telah menuduhmu menjadi pembunuh. Seharusnya.. seharusnya itu aku. Aku yang tidak bisa menjaganya, aku yang ceroboh dan menyebabkan dia menghilang bahkan sebelum dia bisa melihat dunia ini.. aku..” air mata serta isakan Viona kembali menghiasi wajahnya.
Hati Rei serasa teriris mendengar ucapan Viona. Tidak semestinya istrinya berkata seperti itu. Sudah benar bahwa dulu ia dikatakan sebagai pembunuh bayinya sendiri. Itu bukan salah Viona sama sekal. Jika bukan karna Rei yang egois dan mengurung Viona, wanita itu tidak akan memaksa untuk lari dan mengebut di jalanan. “Apa yang membuatmu bisa berpikir seperti itu hmm??” dengan lembut, jemari Rei menyingkirkan air mata yang terus mengalir dari mata cantik Viona. “Sebenarnya kita berdua memang salah. Kita masih mementingkan ego kita masing-masing tanpa mau membicarakannya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberikan dia pada kita saat kita belum bisa menjadi orang tua yang baik, saling berkata jujur tanpa menyembunyikan sesuatu dan yang terpenting adalah menekan jauh ego kita. Maka dari itu, Tuhan memanggilnya untuk mecegah ia tersakiti saat kita masih saling egois. Tuhan ingin memberitahu bahwa kita memang belum pantas untuk mendapatkannya.”
“Aku merindukannya Rei..” Viona kembali menenggelamkan wajahya ke dada bidang Rei. Sekuat tenaga tidak ingin mengeluarkan air matanya lagi.
Rei merogoh dompet dari saku celananya dan mengambil sesuatu. Sebuah potret hitam putih dan dengan gambar abstrak. “Aku menemukan ini.” Rei menyerahkan foto USG pertama Viona. “Ini akan menjadi satu-satunya kenangan dan pengingat untuk kita.”
Viona tersenyum kecil di balik tangisnya. Menatap titip putih kecil sebsar biji kacang yang dalam potret.
“Jadi.. setelah kita belajar untuk tidak saling menjunjung ego masing-masing serta saling jujur dan mengatakan apapun yang terjadi.. bisakah kita tetap seperti sebelumnya? Benar-benar menjadi suami istri yang sesungguhnya?” Rei sedikit bergetar saat mengatakannya. Ini seperti pengajuan lamaran kembali pada Viona.
Viona memandang Rei datar. Membuat jantung Rei berdegup penuh antisipasi akan jawaban Viona. “Bukankah kita suami istri syah dari awal?” beberapa saat setelah hening cukup lama akhirnya Viona menjawabnya.
“10 detik yang membunuhku!” Rei mengerang lalu mencium Viona dalam-dalam.
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 74"
Post a Comment