Hopeless Part 3

Jam 04.30 a.m. waktunya bangun .
Aku meraba-raba menggapai ponselku yang terus ngoceh membangunkanku. Mengerjap-ngerjapkan mataku beradaptasi dengan cahaya lampu.
"Hoamm...." Aku masih cukup mengantuk dan menguap. Duduk dan mengumpulkan kesadaranku, aku butuh lebih dari lima menit untk benar-benar sadar. Baru setelah sepenuhnya sadar turun ranjang dan pergi ke kamar mandi.
Sekitar setengah jam aku menyelesaikan aktifitas dan kewajiban pagiku sebelum akhirnya aku keluar kamar.
"Dapurnya mana ya..?" tanyaku. Tapi siapa yang mau jawab orang aku sendirian. Kuputuskan untuk menelusuri lorong di sebelah tangga kiri yang menuju ke ruang dalam.
Sepertinya aku tak salah jalan. Aku menemukan counter dapur yang....ahh.. ini akan menjadi dapur impianku. Kitchen set yang gila abis ini mah, kayak yang chef-chef punya. Perabotan masak yang menggantung di atas counter, kompor listrik, microwave, dan emmm..lemari pendingin yang sangat besar. Aku segera menghampirinya untuk melihat isi di dalamnya. Tapi isinya, berbanding terbalik dengan ukuran benda itu. Hanya ada beberapa bahan makanan di dalamnya
"Nona seharusnya tak disini." Aku terkesiap mendengar suara seorang perempuan.
"Ma..maafkan aku."
"Tak apa, aku Amalia. Kepala pembantu disini. Pangggil aku bibi Ama. Aku baru akan menyiapkan sarapan." Ujar perempuan setengah baya itu. Kulihat warna rambut yang mulai berubah itu disanggul dengan anggun. "Nona tunggu saja sebentar." Syukurlah aku tidak benar-benar tinggal 'berdua' saja dengan Rei. Tentu saja rumah sebsar ini tak mungkin tak memiliki pembantu. Dan mungkin gak hanya seorang saja karna tadi dia bilang kepala pembantu, berarti ada beberapa orang lainnya yang mengurus rumah ini.
"Maaf, tapi bolehkah aku saja yang membuat sarapan?" aku ingin berterima kasih pada Rei dengan membuatkannya sarapan dalam beberapa hari kedepan. tapi yang sebenernya itu aku pengen banget mencoba dapur rumah ini.
"Tapi itu sudah menjadi tugas saya nona. Nona tunggu saja di ruang utama, atau disini juga boleh." Perempuan itu bersikeras.
"Bibi jangan panggil aku nona. Panggil aja aku Viona. Gak papa kok, aku pengen buatin Rei sesuatu."
"Baiklah kalau begitu." Wanita bernama Amelia itu akhirnya mengalah dan undur diri.
Kubuka kembali lemari pendingin tadi dan menimang-nimang, apa yang seharusnya aku buat. Ada Buah tentu saja. Macam-macam minuman . Beberapa sayuran hijau. Tapi dimana bumbunya. Mungkin ada di salah satu rak dapur. Satu per satu kubuka rak atas. Aku menemukan berbagai bentuk piring, gelas cendok dan peralatan makan dan memasak lainnya, makanan kaleng, panci-panci dan wajan, dan yap ketemu bumbunya.
Segera kupanaskan air. Mencuci beberapa jenis sayuran. Dan merebusnya. Menyiapkan kulit pangsit. Mencincang daging dan memanggangnya dengan kecap dan bubuk cabai, memotong apel, melon, pepaya menjadi kotak-kotak. Sayuran setengah matang yang ku rebus ku iris tipis tipis. Bayam dan wortel kuaduk dengan daun bawang dan sedikit daun sledri. Kutambahkan garam, bubuk cabai, kecap asin dan sedikit bubuk lada hitam. Kucampur hingga merata dan adonan itu kubungkus kecil-kecil dengan kulit pangsit. Sambil memanaskan minyak aku menumbuk kentang yang kurebus bersamaan dengan sayuran tadi menambahkan garam dan irisan kecil daun sledri. Cacahan daging telah matang, aku segera mengangkatnya dan mengisikan ke dalam kentang tumbuk dengan bentuk seperti bola-bola dan siap masuk microwave. Minyak telah panas dan pangsitnya kugoreng hingga kecokelatan.
Wala semuanya sudah siap, tapi..dari tadi aku mencari susu bubuk tapi tak ada..
"Vio kau sudah bangun? Apa yang kau lakukan disini?"
Vio? Aku belum pernah dipanggil seperti itu. Kalau gak Viona ya Vi. Tapi berhubung yang manggil atasan sendiri mau gimana lagi.
"Rei? Yah aku udah bangun dari tadi, ini aku lagi bikinin sarapan." Wajah Rei tampak masih ngantuk. Kulirik jam yang ada di ponselku. 05.38. apa dia baru bangun? Pemalas sekali.
"Ya ampun, kan ada bibi ama. Kau gak usah repot-repot."
"Repot? Aku yang telah merepotkanmu. Sekarang duduklah." Aku menarikkan kursi untuknya.
Dia menurut dan duduk menghadap meja counter yang telah dipenuhi beberapa menuku. "Wah..wah.. kau benar-benar membuat ini semua?" mata Rei sepertinya agak lebih terbuka dari yang kulihat saat datang ke dapur tadi.
"Tentu saja. Mana ada restoran yang buka di pagi buta kayak gini. Eh tapi apa kau udah mandi, sepertinya kau baru bangun?"
"Aku memang belum mandi tapi bukan berarti aku belum cuci muka dan gosok gigi kan?"
"Ya..kau tampak masih agak kacau. Kalau begitu cobalah." aku membukakan alumunium foil yang menutup kentang daging.
"Emm...ini enak sekali. Benar kau yang membuat ini?" tanya Rei masih tak mempercayaiku.
"Makan saja.." apa sebegitu tak percayanya kalau aku yang membuat semua ini. "Oh ya, semalaman aku memikirkan tentang omonganmu itu. Akhirnya aku ingat. Yah, waktu seminar di Bandung beberapa bulan lalu. Wajahmu agak pucat karna kehilangan data di laptopmu itu kan."
Rei menelan makannnya dan menimpaliku "Ya, itu aku. Aku sudah putus asa waktu itu, data pengembangan berbagai produk ikut terhapus dan aku sama sekali tak punya salinannya. Juga pidatoku hari itu, sungguh membuat kepalaku hampir pecah waktu itu. Kau bisa bayangkan data pengembangan itu sangat berharga."
"Haha.. aku mengerti kau tampak lucu waktu itu. Mondar mandir di depan laptop sambil menggigit jari telunjukmu." Semalam aku telah ingat kejadian itu. Tapi aku lupa kalau itu adalah Rei. Kukira dia adalah pegawai yang mengikuti seminar dan kehilangan beberapa data. Aku melihatnya sekilas karena di sana ada Gio yang sedang menenangkannya. Kutanyakan apa masalahnya dan membantunya. Mengunduh software recovery dan mengembalikan datanya. Walaupun file sdah tak ada di recycle bin tetap bisa dipulihkan dengan software tersebut.
"Aku belum sempat berterima kasih waktu itu karna kau pergi begitu saja. Sebenarnya lusa lalu aku ingat ketika Gio ngenalin lo ke gwe..eh.." Rei tiba-tiba menghentikan perkataannya. "Boleh kan manggilnya lo gwe aja."
"Gak papa kok.. terserah lo aja."
"Emang waktu itu lo pergi kemana? Gwe nyari-nyari kok gak ketemu."
"Waktu itu.. gwe.." yah waktu itu ayah tiba-tiba sakit, dan aku harus segera pulang. "Waktu itu, di rumah ada urusan mendadak." Aku malas menjelaskan hal-hal berkaitan dengan ayah.
"Kemarin waktu Gio ngenalin lo, gwe baru inget kalo gwe masih punya utang sama lo. Dan pas waktu maen futsal bareng kemarin, Gio cerita kalo lo lagi ada masalah. Jadi yah.. gwe harus balik bantu dong. Ngomong-ngomong ini pangsit apaan, kok isinya ijo ijo?"
"Itu bayam."
"What..?huek.." dia memuntahkan isi mulutnya.
"Kenapa?? Lo alergi sama bayam??" aku panik dan memberikan air putih pada Rei.
"Gwe gak suka bayam."
"Ah..elo gak suka bayam kok udah habis tiga sih.."kuhitung sisa pangsit goreng yang ada di piring.
"Gwe gak doyan bayam." Rei menenggak habis air putih yang kuberikan.
"Makan aja..." kesel karna emang dia udah ngabisin tiga pangsit aku menyuapkan satu gumpal pangsit ke dalam mulutnya. Dengan terpaksa Rei mengunyahnya dan menelannya.
"Bayam lo lumayan juga.." ujarnya kemudian.
"Jadi orang tu jangan pilih pilih makanan, kecuali kalo lo emang alergi atau dalam masa pencegahan."
Aku dan ro meneruskan sarapan setelah itu kami bersiap untuk berangkat ke kantor. Kami setuju untuk berangkat bersama, sehari dengan mobil ro, sehari lagi dengan mobilku. Itu untuk menghemat bahan bakar dan yang lainnya. hari ini kami memutuskan untuk memakai mobil Rei. Mobil range rover hitam miliknya.
Hanya butuh waktu sekitar 20 menit menuju gedung orion dari kawasan perumahan Rei. Dan sepanjang 20 menit Rei dan aku mengobrol tentang pekerjaan. Rei banyak lebih banyak bicara daripada diriku. Dia menceritakan secuplik sejarah perusahaan kami. Bermula dari buyut Rei yang punya perusahaan sabun berskala kecil dan terus berkembang pesat dan mulai mengekspansi produk lain seperti makanan, minuman, kecantikan dan yang lainnya hingga menjadi perusahaan brand terkenal.
"Lo bisa ngubungin gwe nanti kalo mau pulang, siniin ponsel lo." Rei mengulurkan tangannya meminta ponselku dan mengetikkan nomornya. "hubungi gwe jika pekerjaan lo dah selesai, oke?" Rei memastikannya.
"Ok." Aku keluar dari mobil dan. Ups.. yuni. Dia membungkukkan badan menyapaku.. atau lebih tepatnya menyapa pada Rei yang juga baru saja keluar mobilnya.. aku membalasnya dengan mengangguk dan dia langsung ngibrit masuk ke gedung. Kuharap dia tak mengatakan pada yang lain kalau aku berangkat dengan pak direktur. Tapi sepertinya harapanku itu akan sia-sia karna denger-denger dia adalah ratu gosip, sial.
"Pagi bu Viona.."
"Pagi bu.."
"Pagi bener bu.."
Orang yang menyapaku terakhir langsung kulirik tajam. Yah ini memang terlalu pagi buatku. Jam 07.30, biasanya aku paling pagi jam 07.45.
"Pagi bu direktur.." celetukan salah seorang karyawan membuat kupingku panas. Secepat itukah si Yuni nyebarin gosip. Aku tak memperdulikan siulan dan tatapan mereka dan langsung masuk ke ruanganku. Aku tahu Gio belum datang karna tak ada berkas yang menumpuk di meja. Jadi aku menyalakan pc dan memeriksa e-mail. Beberapa tawaran produk yang tak penting. Emm.. dari kantor pusat, aku membacanya sekilas..
Sudah di terima?
Ku baca sekali lagi
Senyum puas mengembang di wajahku. Pendanaan untuk produk ramah lingkungan hampir disetujui, yah walaupun masih menunggu uji coba dan yang lainnya. tapi aku senang ini sudah sampai kantor pusat.
"Pagi, Vi!" kepala Gio nongol dari balik pintu kaca.
"Masuk."
Berkas-berkas yang terbungkus map diapit tangan kirinya. Dan yang di tangan kanannya..
"Teh bu direktur??"
Hampir saja tempat pensil melayang ke kepalanya kalau aku tak ingat dia adalah satu-satunya temanku. Gionino adalah satu-satunya 'temen dekatku', itu karna dia sekretarisku juga. Teman kuliah dan sekolahku dulu banyak yang lost contact, paling kami hanya saling sapa di media sosial dan aku bukan tipe orang yang bisa setiap saat bersosmed ria. Sedangkan hubunganku dengan karyawan lainnya hanya sebatas ini itu doang. Paling banter makan siang atau makan malam bareng-bareng.
"Thank's mr. kusuma." Balasku.
"Haha.." dia tergelak hingga teh yang ada di cangkir sedikit tumpah ke tatakan. "Gwe barusan dapet broadcast gosip lo sama si Rei. Gwe kira gosipnya bakalan keluar semingguan lagi, lah ternyata baru sehari aja langsung kecium "
"Itu gara-gara si Yuni liat gwe berangkat bareng sama Rei. Jadi dia broadcast ke semua orang ya, pantesan pas gwe masuk anak-anak udah pada heboh".
"tapi kok wajah lo cerah banget sih? Apa emang gosip itu bener."
Aku sudah mengangkat tempat pensil untuk kulemparkan pada Gio.
"Ah..iya..iya.. becanda sayang..."
"Nih yang bikin gwe happy pagi ini.." kuhadapkan layar monitor pada Gio.
"Wow..serius nih dah sampe pusat. Bagus dong.. tapi kalau diterima siap-siap kerja keras dong.."
"Elo mau bonus enggak??"
"Ya maulah, ok lah moga aja diterima ntar presentasinya. Nih berkas lo, entar abis makan siang adain sidak." Sebelah mata kanan Gio mengerling nakal.
"Beres." Cengiran setanku membalasnya.
Sidak kantor ini bukan seperti artian sidak pada umumnya. Hanya pemeriksaan kerja yang dilakukan seminggu sekali secar acak. Hanya akan ada peringatan-peringatan kecil yang diberikan. Kerja kami harus terstruktur dan rapi tapi juga tak melupakan hiburan untuk melepas stres. Ada ruangan khusus untuk menghilangkan kejenuhan lengkap dengan fasilitas yang menyenangkan di lorong paling pojok lantai 9. Ada game, kursi pijat, ring basket, meja tenis dan bilyard dan ada pantry dengan lemari pendingin dengan isi yang sangat lengkap. Tempat yang nyaman dan sempurna memang untuk bekerja, yah tapi itu sebanding dengan perjuangan sulitnya masuk ke sini. Aku termasuk salah satu orang yang beruntung, dengan pengalaman sebagai manager di sebuah perusahaan elektronik selama dua tahun aku berhasil melamar ke perusahaan ini.
Sidak siang ini agak menyebalkan karna banyak yang menggodaku dengan pertanyaan-pertanyaan murahan seputar kejadian pagi tadi.
"Kok ibu bisa bareng pak Raihan sih? Apa tadi pagi dia jemput ibu dari rumah?" Yuni mengintrogasiku saat aku menyambangi mejanya.
Mungkin kalau aku jawab jujur bakalan jadi bahan gosip paling sexy kali ya haha.. tapi jangan harap Yun!
"Bukan urusanmu, mana nih design kemasan yang kemarin? Katanya udah 80%." Aku mengobrak-abrik isi komputer milik yuni.
"Bentar." Yuni mengambil alih mouse dari tanganku dan mencari file yang kuminta. "Tara... this is it, esspresso candy" ujarnya menirukan gaya salah seorang celebrity chef ketika membuka datanya.
Aku memperhatikan pekerjaan Yuni dengan seksama. Ada dua design, bungkus yang kecil dan yang besar, bungkus yang kecil berwarna cokelat pekat tanpa gambar atau ornamen apapun hanya ada text latin bertuliskan esspresso, sederhana tapi itu yang membuat elegan dan menarik. Sedangkan bungkus yang besar belum sepenuhnya jadi. "Yakin nih besok jadi?"
"Iyalah, kalau engga nanti saya lembur deh."
"Makanya kerjamu jangan cuman broadcast berita-berita gak penting. Selesain dulu nih kerjaan lo."
"Yes ma'am"
Aku beralih pada meja yang lain.
"Hay ren.." menja rendra. "Boleh pinjam komputernya bentar?"
"Oh..eh.. bu manager.." rendra terlihat agak gagap. Aku mengambil alih kursinya dan menggerakkan pointer kesana kemari.
"Well.. aku gak perlu sebutin file-filenya. Tapi aku sudah menghapus semuanya. Jangan diulang lagi yah?"
"Em eh.. iya bu.." rendra menundukkan kepalanya malu-malu.
Aku melanjutkan sidakku ke meja-meja yang lain. memeriksa pekerjaan dan memantau aktiVitas para pegawai. Dan banyak sekali yang menggodaku dengan gosip murahan tadi pagi. Mereka yang menanyaiku kuhadiahi dengan pukulan penggaris yang selalu kubawa saat sidak.
.
.
.
"Bisa kita mampir ke super market dulu? Gwe mau beli sesuatu."
Kupinta Rei mengantarku berbelanja. Aku ingin membeli bahan makanan untuk mengisi lemari es Rei dan tentunya membeli kebutuhanku sendiri.
"Bisa, gwe juga mau beli sesuatu." Rei memutar stir mobilnya ke pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di daerah ini mengamini permintaanku.
Kami hanya membawa satu troli, sebenarnya aku bersikeras untuk tak berbagi troli karna ada barang pribadi yang harus kubeli, tapi Rei kekeh untuk membawa satu troli saja karena katanya dia hanya akan membeli sedikit barang saja.
"Lo suka sayur apa Rei?" Rei dan aku sedang ada di stand-stand sayuran.
"Apa aja" jawabnya.
"Loh katanya gak suka sama bayam."
"Ya abis ntar kalau gwe gak suka lo yang maksain gwe makan lagi." Cibir Rei. Dia menyindirku soal tadi pagi aku yang memaksanya memakan bayam.
"Eh, udah gwe bilang ya, orang yang gak suka masak sih udah abis 3. Lo mungkin cuman berlebihan soal bayam"
"Haha..ok. mungkin gwe suka semuanya asal dimasak dengan enak."
"Jadi, apa sayur favoritmu?" aku mengganti pertanyaanku.
"Apa ya.. tomat mungkin."
"Tomat itu buah. Yang kumaksud sayur hijau"
"Lo ini ribet banget, tomat kan juga sayuran. Bukan cuman yang ijo-ijo doang sayuran itu Vi."
"Ok..ok.. jadi selain tomat apa?"
"Emm..." Rei tampak berpikir
"Brokoli." Jawab Rei pada akhirnya.
"Gwe akan milihin yang bagus nanti."
Banyak sekali sayur mayur yang kuambil, begitu juga buah-buahan. Sepertinya akan cukup untuk persediaan selama seminggu. Akan sangat kunikmati dapur Rei saat aku masih bisa tinggal di rumahnya. Rei pamit ingin mencari barang yang dibutuhkannya, aku mempersilahkannya dan mengambil kesempatan ini untuk mencari kebutuhanku sendiri. Lotion, pelembap, parfume, dan segala tetek bengek cewek.
Brak..!!
Karna terlalu konsentrasi memilih barang aku tak sadar troli yang kudorong menabrak troli orang lain.
"Oh..maafkan aku!"
Yuni!!!!!!!
Entah kenapa hari ini aku punya firasat buruk tentangnya.
"Bu Viona.."
"Yuni?? Kok kamu di sini sih?" yeah pertanyaan gagapku. Emangnya dia gak boleh ada di tempat belanja ini. Ini kan tempat umum.
"Lagi belanja bu, wah belanjaan ibu banyak banget, kayak persedian musim dingin aja." Tatapan mata Yuni mengawat-awati isi keranjang troliku yang emang bener-bener penuh.
"Haha iya, biar gak sekalian bolak balik aja kok Yun." Alasanku emang bener, tapi bukan itu yang sebenernya. Dan aku harus cepat-cepat pergi dari hadapan yuni sebelum dia menanyaiku lebih banyak. "Aku ke kasir duluan ya Yun.."
"Vio..!! Viona!" belum sempat aku menghindar dari yuni. Raihan malah udah nyamperin. "Gwe udah dapet nih, pulang yuk. Dah laper nih, ntar lo aja yang masak makan malamnya"
Tuhan... kenapa Raihan nyerocos kayak gitu. Yuni bakalan posting berita hot nih besok. Dijamin.
"Vio?" lambaian tangan Rei yang tepat di depan mataku mengembalikan pikiranku yang menjelajah karena shock.
"Eh..Rei.."
"Kamu nggak papa kan? Sini aku dorongin." Dengan segera troliku yang masih menempel dengan troli milik Yuni diambil alih oleh Rei.
"Misi mbak." Rei mendorong trolinya melewati yuni sementara aku masih membeku di tempatku sambil memandangi Yuni. Wajah Yuni juga tampak shock dan memandangku dengan err.. entahlah itu pandangan seperti apa. Tapi eh.. tadi rei bilang kamu? Aku?
"Vio? Ayo! Sudah hampir gelap. Kita akan kemalaman sampai rumah." Suara Rei langsung mengintrupsiku. Aku berjalan pelan melewai yuni sambil memberikan tatapan mataku yang paling tajam. Kuharap dia mengerti arti tatapan itu. 'jangan katakan apapun pada yang lain!'
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 3"

Post a Comment