Epilog Hopeless

Langit hitam bertabur ribuan bintang berkelip membentang indah di atas dataran capadocia. Hawa dingin tak mampu menyurh Rei untuk kembali ke penginapan. Ia suka rasa sunyi ini. Hanya memandang tenang pada langit malam.

Rei sedang menikmati kesendiriannya saat ini. Bahkan cay (teh) dan simmitnya telah mendingin karena udara terbuka malam. Namun ia masih tetap meraih gelas kecil berlekuk itu dan menyesap cay nya. Ia masih merasa rindu meski telah berada di negara kampung halaman ayahnya selama seminggu ini.

“Kau melamun?” sebuah suara selembut beledu membuyarkan  angan-angan Rei.

“Tidak, hanya menikmati pemandangan.” Rei menggeser posisi tubuhnya agar si pemilik suara bisa bergabung bersamanya, berbaring di kursi malas.

“Langit yang indah. Tidak setiap hari kita bisa melihat keindahan seperti ini terutama pada kota yang tak perah tidur.” Dengan nyaman wanita itu menempatkan dirinya di samping Rei dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rei.

“Kau mau kemana setelah ini?”

“Jangan tanya aku. Kau yang lebih mengenal negara ini. Jadi bawalah aku kemanapun kau pergi..” wanita itu menggoda dengan membuat geraka halus di dada bidang Rei dengna jar-jari lentiknya.

“Manis sekali sayang. Kau telah berkeliling Istanbul hampir seminggu ini. Menyusuri Bosparus, mengunjungi hagia sophia dan istana topkapi, berbelanja gila-gilaan di grand bazaar bersama büyükanne (nenek). Hmm.. baru kali ini kau begitu bersemangat menghabiskan uang untuk berbelanja.”

“Itu karna.. entahlah.. nenekmu membuat semangat belanjaku membara. Dia memperlihatkan barang-barang khas Turki yang belum pernah kulihat.”

“Dan bagaimana kita membawa pulang lembaran karpet serta keramik-keramik itu hem??”

“Kita bisa mengirimnya nanti.. aku tak sabar memberikan baju-baju bayi itu untuk Nagita.”

“Cih.. kenapa kau masih memikirkan bayi itu? Kau tak lihat Naya memberikan semua barang branded untuk bayi satu bulan itu? Dia akan jadi bayi sosialita yang manja!”

“Awas saja jika dia tak menerima hadiahku. Akan kupecat suaminya. Nagita tidak akan jadi seperti itu, ia adalah bayi yang manis dan menggemaskan.”

“Sayang.. jangan terlalu kejam. Gio sudah cukup menderita sembilan bulan ini. Meski ia juga membocorkan bahwa selama masa kehamilan Naya jadi ‘liar’. Aku tak sabar menantimu seperti itu..”

“Maksudmu?!” Wanita dalam dekapan Rei beringsut marah.

“Hei.. hei.. sayang.. kau tentu juga mendambakan seorang bayi bukan? Yang manis dan lucu seperti yang kau bilang tadi kan?” Rei mencoba membujuk wanita yang menjauh darinya. Ia mencengkerang kakinya dan menarik pinggang wanita itu.

“Tentu saja! Aku tak sabar menantinya..”

Rei menghela nafas sedih. “Kita akan lebih berusaha..”

“Bukankah kita sedang mengusahakannya?” Wanita itu tersenyum dan merona, menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Rei.

Rei mengusap lembut betis wanita yang menyerukkan kepalanya ke potongan leher dan pundaknya. Ia merasakan benjolan kecil memanjang, membuatnya mengingat kejadian beberapa bulan lalu dan juga rasa bersalahnya. “Kau tidak kedinginan memakai celana pendek seperti ini?”

“Tidak, ini juga tidak terlalu penndek, bahkan di bawah lutut. Kau hanya berdalih ingin menyentuh kakikku kan?”

“Maaf soal luka ini.” Rei menyusuri garis bekas luka yang ada di bagian samping betis wanita dengan rambut sehitam malam di capadocia.

“Berapa kali kau harus meminta maaf Rei.. kau juga sudah menjelaskan alasan kenapa kau menembakku. Tapi aku penasaran, darimana ide gila itu?”

Rei tertawa pelan. “Viona, kau mungkin akan segera membunuhku jika tau darimana aku mendapatkan teori itu.”

“Darimana?”

“Aku adalah penggemar serial detektif conan.” Aku Rei.

“Jadi?” Viona seperti tak sabar dengan penjelasan Rei.

“Dan dalam salah satu film si detektif yang mengecil itu, ibunya Ran pernah disandra oleh seorang tahanan. Saat itu, Mouri suaminya menodongkan pistol ke arah si penjahat. Kau pasti tau kan apa yang selanjutnya terjadi?”

“Menembak istrinya? Seperti kau?”

“100 untukmu sayang.”

“Jadi kau mengikuti teori dalam film itu? Ya Tuhan, Rei!! Aku memang akan membunuhmu!” Viona kembali bangkit dan memukul dada Rei dengan sebal.

Rei menangkap tangan Viona yang memukul dadanya. “Tapi teori itu terbukti kan?” Ia menyeret tangan Viona hingga wanita itu jatuh lagi ke pelukannya. “Penjahat yangk kehilangan sandranya tidak akan bisa melakukan apa-apa dan akan lebih mudah dibekuk. Aku tidak akan bertaruh jika tidak tau aku akan menang Viona. Maaf jika caraku melukaimu. Sudah kujelaskan bukan, jika ada cara lain untuk menyelamatkanmu, maka tak mungkin aku akan melukaimu. Tapi mengingat sifat Keyra, aku lebih memilih sedikit melukaimu daripada harus kehilanganmu. Maaf aku egois, hanya saja.. kehilanganmu sama saja dengan aku mati.”

Viona memeluk Rei dengan erat. “Jangan meminta maaf lagi. Aku tau kau melakukan yang terbaik untukku. Aku malah berterima kasih kau mau datang menyelamatkanku.”

“Tapi kenapa kau tak mau menghilangkan bekas luka ini? Bukankah teknologi medis sudah sangat canggih untuk menghilangkan goresan peluru itu? Memangnya kau tak malu? Bukannya wanita suka jika kaki mereka terlihat mulus dan seksi?”

“Tidak, Aku akan menyimpannya untuk kenang-kenangan. Lagian bekas luka juga akan terlihat seksi kok” ujar Viona.

“Kau ini aneh.”
.
.
.
Langit biru yang tadi siang kukagumi dengan segala keindahan bebatuan di bawahnya saat aku menaiki sebuah balon udara tadi siang telah berubah menjadi warna gulita dengan taburan cahaya dari beribu bintang. Priaku benar, langit ini pantas untuk dikagumi, serta disyukuri. Dan aku juga bersyukur masih berada dalam dekapannya setelah semua yang terjadi. Dan kini waktunya kami menikmati waktu kami. Yah hanya kami. Meski masih ada banyak hal yang harus diluruskan oleh pria yang sedang memelukku ini.

“Dulu sewaktu aku akan pergi dari rumahmu dan pindah ke rumah baru yang sudah kutemukan, apa kau yang membayar dua kali lipat untuk rumah itu?”

“Kenapa kau menanyakan itu?” Entah kenapa aku teringat awal-awal pertemuanku dengan Rei. Dan aku punya firasat bahwa ia melakukan sesuatu untuk tetap menahanku berada di rumahnya.

“Hanya ingin tau. Ayo jawab yang sejujurnya!”

Rei sedikit terkekeh dan aku tau itu memberikan jawaban yang benar atas pertanyaanku. “Yeah, aku tak bisa kehilanganmu Viona. Cukup panik saat kau memberikan cheese cake itu sebagai tanda perpisahan, namun aku punya ide itu tentunya untuk menahanmu. Dan ide-ide lain untuk mengikatmu seumur hidup.” Rei menyeringai dengan cara yang sangat menyebalkan, namun juga terlihat menggoda.

“Huh, tau begitu aku tak akan pamit dan langsung pindah saja.” Gerutuku.

“Kalau kau nekat juga aku akan cari cara lain agar kau tetap tinggal di rumahku. Aku punya seribu ide untuk mengikatmu sayang..” Rei mengecup puncak kepalaku. “Kalau diingat, ide tentang pernikahan palsu itu sangat konyol dan kekanakan, tapi sepertinya itu berhasil meski tak selancar yang kukira.”

“Ya, kau bajingan sialan yang menggunakan papamu sebagai alasan. Bagaimana bisa kau berbohong soal papamu?!” Untuk kelakuan Rei yang satu ini masih tak habis pikir. Darimana ia mendapatkan ide gila itu? Apa juga dari komik yang ia baca?

“Aku buta Viona.” Ha? Apa? “Cinta bisa membutakan jalan pikir seseorang, termasuk aku. Jadi setelah tau sifatmu dari Gio bahwa kamu tidak mempercayai kata yang satu itu, aku menyusun rencana yang tidak akan bisa kamu tolak.”

“Bagaimana kau yakin aku tidak akan menolak?” Seharusnya itu adalah pertanyaan untukku. Kenapa dulu aku tidak menolak rencana palsu gila itu?

“Karna aku tau kau tidak akan menolak seseorang yang meminta tolong padamu. Bahkan kau akan mengajukan diri saat melihat seseorang tengah mengalami kesusahan. Kau membantuku tanpa pamrih mengembalikan file-file yang hilang dan pergi begitu saja sebelum aku sempat berterima kasih.”

“Kau masih ingat peristiwa itu? Aku bahkan sudah melupakannya..”

“Itulah yang membuatku tertarik sekaligus terpesona. Kau bahkan melupakan tindakan baikmu saat semua orang berlomba membanggakan kebaikan dirinya pada orang lain sekecil apapun itu.”

“Aku memang punya ingatan yang buruk, bukannya tidak mau pamer.”

“Sama saja Vio..”

“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada Helena?” Ingatanku melayang pada sosok wanita yang terakhir kali kami bertemu membekapku dan mendorongku ke mobil.

“Tuntutan 5 tahun dalam sel untuk membantu penculikan, namun masih mengajukan banding. Tenang saja, aku tak akan membiarkan dia menyentuhmu  lagi jika ia tak mau mendekan di penjara selamanya.” Tentang Helena memang aku tak mengikuti, aku lebih fokus pada Keyra. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas kasus penculikan, pemalsuan dokumen dan yang lainnya. Kurasa itu waktu yang tidak terlalu lama, meski aku sudah cukup puas ia akan menderita di balik jeruji besi pesakitan. Dia telah menipu keluargaku dengan menikahi ayah, seorang gold digger menjijikkan.

“Kudengar Alex juga ada di Malang waktu Keyra menyanderaku? Seharusnya dia kan ada di Jakarta karna pesawatnya berangkat beberapa menit setelah dia bertemu denganku.”

“Apa sih yang sebenarnya kalian bicarakan?” Rei tak pernah menutup-nutupi kecemburuannya. Ia akan bertanya langsung pada hal yang mengganggunya, dan kadang aku memang suka memancingnya untuk cemburu, sikapnya sungguh menggemaskan saat dia harus menggerutu dan merajuk.

“Hanya menyapa sesama teman, memangnya tidak boleh? Kau kan juga temannya.”

“Jangan pernah dekat-dekat dengannya! Aku menyesal dulu pernah menceritakan rencana yang kubuat untukmu padanya. Dia malah berusaha merebutmu. Teman sialan.”

“Jadi Alex tau seja awal?” sialan.. jadi ia berpura-pura tidak tau menahu dan memerasku dengan mengancam akan membeberkan pada orang-orang. Ya Tuhan, kenapa semuanya diawali dengan tipu muslihat semacam itu.

“Yeah, waktu kau memutuskan untuk pindah karena menemukan tempat yang cocok. Aku gusar dan pergi minum di sebuah club. Kebetulan di sana ada Alex. Aku dan Alex memang tidak seakrab dulu.” Rei berhenti sejenak untuk menghela nafas, entah apa yang membuatnya seperti enggan membahas pertemannannya dengan Alex. “Tapi juga sudah tidak terlalu bermusuhan. Dia menemaniku minum sampai aku sedikit hangover. Disitulah aku kelepasan bicara soal rencanaku. Besoknya aku tau ia berusaha merebutmu. Jangan tanya aku tau dari mana, aku tau betul sikap dan caranya melihat seseorang yang sedang diincarnya.” Jadi alasan kenapa Rei minum saat itu karna rencana kepergianku? Ya ampun.. sebegitu inginnya kah dia menahanku. “Tapi sekarang sepertinya aku sudah bisa sedikit tenang.”

“Kenapa?”

“Karna aku telah mendapatkanmu secara utuh dan kita saling membagi cinta. Aku tau kau tidak akan pergi dari sisiku lagi.” Rei meremas bahuku lembut.

“Narsis sekali Tuan..”

“Memang begitu kan kenyataannya?” Ya.. ya.. mana bisa aku menolak pria setampan dan seromantis Rei? Sungguh wanita gila yang ada. Baru sampai di Turki saja ia telah menyiapkan kejutan-kejutan yang amat manis. Setelah sampai di rumah neneknya yang ada di tepian Bosparus dengan dermaga dan kapal pribadinya. Aku bahkan tak menyangka rumah orang tua Papa menyuguhkan pemandangan Bosparus setiap harinya. Setelah beristirahat sebentar, kami segera menjelajah Bosparus Bridge yang menawarkan berbagai jajanan khas Turki. Aku sendiri menggila dengan membeli ini itu tanpa memperdulikan jika keesokan harinya berat badanku akan bertambah sepuluh kilo. Peduli amat saat kau memandang makanan yang amat menggiurkan. Rei juga mengajakku berkeliling selat Bosparus dengan mengemudikan sendiri kapalnya. Ia juga membawaku ke Maiden Tower yang berdiri di sebuah pulau buatan di tengah laut. Disana, Rei telah menyewa seluruh bagian serambi dari sebuah restoran untuk tempat kami makan malam. Sungguh gila dan romantis, kami menikmati makan malam dan tenggelamnya matahari dengan udara laut yang menyenangkan. Siapa yang tidak jatuh hati pada pria seperti itu?

“Kau belum menjawab pertanyaanku Rei..”

“Yang mana?”

“Tadi, kenapa Alex juga ada di Malang?”

“Oh.. dia ikut membantu mencarimu juga. Yang sebenarnya malah mengganggu saja.”

“Kenapa kau bilang seperti itu. Dia kan berniat baik.”

“Sudah jangan membelanya. Aku tau dia tak akan lagi mengejarmu, karna dia telah menemukan target baru.” Target baru?

“Siapa?”

“Alex.”

“Aku tau, maksudku siapa wanita yang jadi incarannya?”

“Entahlah. Kurasa PA nya, dia seperti seorang pedhofil.”

“Gadis blasteran yang terlihat masih anak-anak?”

“Bagaimana kau tau?”

“Aku pernah melihatnya saat kau mengajakku ke pesta ulang tahun salah satu perusahaan konstruksi.” Rei telihat berpikir sebentar.

“Ya sepertinya itu dia.” Ya Tuhan! Itu Ane, kuharap dia bisa bertahan dengan semua kemesuman Alex.

“Sayang , sebaiknya kita masuk. Tidak baik terlalu lama berada di udara terbuka malam hari. Ini juga sudah terlalu larut, kita tidak ingin kesiangan untuk pergi ke Blue Lagoon dan menikmati pasir putih. Atau kau mau pergi ke Pamukkale untuk berendam air panas di batuan putih?”  Rei bergerak untuk bangkit.

“Terserah kau.. tapi gendong aku sekarang...” kataku manja sambil menjulurkan kedua tanganku padanya. Kami sedang berbulan madu dan aku selalu ingin dimanja.

Rei tertawa mendengar permintaanku namun ia juga segera mengabulkannya. Mengangkatku dengan mudah dan membawaku masuk ke salah satu kamar hotel batu yang ada di Capadoccia. Mari matikan lampu dan membuat bayi!!
.

.
.
End

Related Posts:

Hopeless Part 80


Sepertinya efek bius yang disuntikkan ke pembuluh darah Viona sudah mulai menghilang. Ya, yang berlutut dengan darah kering di sekitar wajahnya itu Rei. Ada dua pria berbaju hitam yang menahan Rei agar tetap berlutut. Seorang pria yang sudah berumur tersembunyi gelap di sudut ruangan, ada aura kelam yang sangat pekat pada orang itu.

“Lepaskan dia! Kalian sudah mendapatkan yang kalian inginkan.” Geram Rei. Meski ia dipaksa untuk tunduk, ia sama sekali tak terintimidasi dengan situasi ini. Ia hanya sedikit mengalah demi keselamatan Viona.

“Tn. Husain yang terhormat, ada yang masih harus anda bayar..” Keyra berbicara dengan sangat halus dan sopan, tapi seringai licik itu tak pernah lepas dari bibirnya. “Kau tentu masih ingat bukan telah melaporkanku ke polisi?”

“Aku akan mencabutnya.” Sepertinya Rei tau kemana arah pembicaraan wanita kejam yang sedang membelai wajah istrinya. Sialan. Darah Rei mendidih melihat Viona yang lemas dan setengah sadar, diikat di sebah kursi kayu. Ingin rasanya ia menerjang Keyra dan membebaskan Viona, tapi itu masih terlalu beresiko.

“Terlambat menantuku sayang..” Keyra memotong tali yang mengikat Viona pada kursi lalu menarik lengan Viona, membuatnya berdiri terhuyung dengan cengkeraman tangan Keyra yang menahannya.

“Apa yang kau lakukan!?” Rei panik ketika melihat Keyra menempelkan pisau lipat yang tadi digunakan Keyra untuk memutus tali yang mengikat Viona ke kursi. “Jalang sialan lepaskan dia!!” Rei bangkit dari posisi berlututnya saat melihat mata pisau yang menempel di leher Viona semakin ditekan dan menggores leher jenjang Viona. Namun langkahnya tertahan oleh dua orang bawahan Keyra yang telah dibuat Rei babak belur tadi. “Lepaskan aku sialan!”

“Ucapkan selamat tinggal pada istrimu tercinta Mr. Husain..” tawa rendah Keyra menggema di dalam ruangan gelap sebelum ia menyeret Viona menuju sebuah pintu yang terhubung ke lorong panjang yang tak kalah gelap.

Viona tak bisa melawan selain terseok mengikuti langkah Keyra yang mencengkeram kuat lengannya dan menyeretnya. Obat bius itu belum sepenuhnya hilang dan masih menguasai sebagian besar kesadaran Viona.

“Kalian akan membayar mahal semua perbuatan sialan kalian padaku. Kau pikir dengan melaporkanku ke polisi adalah tindakan yang bijak?! Tidak, anak tiriku sayang.. aku tidak takut dengan polisi!! Mereka akan tunduk dengan uang yang telah kudapatkan!” Keyra terus meluapkan kemarahannya saat menggiring Viona menaiki tangga ke lantai atas.

“Apa yang akan kau lakukan Keyra..??” pertanyaan sederhana yang tiba-tiba keluar dari mulut Viona yang lemah itu menghentikan langkah Keyra di beberapa pijakan terakhir menuju lantai atas.

“Diam dan dengarkan sebentar..” Keyra menarik rambut Viona dari belakang lalu mendorongnya merepat ke pegangan tangga. Tubuh Viona terdorong hingga bagian atasnya membungkuk ke bawah, sedikit saja Keyra memberi tekanan maka ia akan terjun bebas ke atas marmer dingin di lantai bawah. “Dengarkan baik-baik sayang.. itu akan menjadi jawaban pertanyaan bodohmu!”

Viona meringis menahan sakit di kepalanya karena jambakan Keyra yang semakin kencang. Ia bingung dengan perkataan Keyra. Mendengarkan apa? Apa yang harus didengarnya untuk mendapat jawaban.  Tapi kebingungan Viona segera terjawab beberapa detik kemudian dengan dua suara letusan senjata api yang menggaung dari ruangan tempat Viona tadi disekap dan menjalar sampai ke lorong hingga bagian atas tempat kini Viona berada.

“Tidak!!!” jantung Viona serasa terenggut. Tidak, itu tidak mungkin seperti yang dipikirkannya kan? “Tidak.. tidak mungkin.. Rei..”

“Ya.. benar sekali sayangku.. itu adalah suamimu. Menantuku yang paling tampan, tapi sungguh malang nasibnya. Tapi kau tak perlu bersedih Viona, karna sebentar kau juga akan menyusulnya.” Keyra menarik rambut Viona lebih keras, membuat tubuh Viona tertarik juga tersentak ke belakang.

Keyra benar. Tidak perlu bersedih atau mengkhawatirkan apapun. Sebentar lagi Viona juga akan mengikuti jejak Rei. Ia akan bertemu dengannya dan tidak akan ada lagi yang akan memisahkan mereka. Dengan begitu, Viona pasrah didorong lagi oleh Keyra menuju lantai atas.
.
.
.
Darius dan anak buahnya di team alpha berhasil melacak ponsel Rei dan mengikuti keberadaan si pemilik ponsel.  Mereka sampai di sebuah rumah di daerah pinggiran yang jauh dari pemukiman ramai. Dari sinilah mereka mendapat titik ponsel milik Rei. Lokasi yang cocok untuk kejahatan.

Darius mengarahkan anak buahnya untuk mengikuti dirinya. Baretta sudah tergenggam erat di tangan Darius, bahkan salah satu anak buahnya berjaga-jaga dengan senapan serbu HK MP. Darius memang seorang perfectionis yang selalu menyiapkan segala hal untuk kemungkinan terburuk. Dengan amat perlahan, orang kepercayaan Rei itu membuka pintu utama rumah yang mereka targetkan sebagai markas penculik Viona. Meneliti dengan cepat keadaan di dalam ruangan dan memastikan semuanya aman, Darius memberikan kode aman pada anggota alpha di belakangnya.

Team alpha mendengar suara gaduh saat mereka telah memasuki ruang depan. “Arah jam sembilan” bisik Darius. Segera seluruh anggotanya berbelok ke arah kiri menuju sumber suara. Darius mengintip dari celah pintu. Dua orang dengan kaos hitam ketat terkapar dengan luka tembak. Masih hidup karena Darius masih bisa melihat gerakan kesakitan mereka. Mata Darius menyisir lebih jauh ke dalam ruangan yang sedang ia amati.

Ada seseorang sedang setengah berbaring di pojok ruangan. Darius memicingkan matanya guna menangkap lebih jelas sosok itu. Dan setelah mengenali sosok itu, Darius mengumpat dalam hati. Itu adalah orang yang memperkerjakannya yang kini sedang berada di ambang maut dengan todongan pistol dari seorang pria yang berdiri tak jauh dari Rei.
.
.
.
Rei berhasil menumbangkan kedua bawahan Keyra dengan revolver yang selalu di bawanya. Beruntung tadi mereka tak memeriksa dirinya hingga senjata itu lolos dan kini beberapa timah panas telah bersarang di dua pria besar. Namun masalahnya, kini senjata itu telah terlempar jauh dari Rei karena pergulatan dengan satu lagi komplotan Keyra yang tangguh.

“Namaku Hans. Ingat itu saat kau terbakar di neraka nak..” pria paruh baya itu menodongkan senjata berwarna silver ke arah kepala Rei.

Rei memejamkan matanya, ia tidak takut untuk mati. Hanya saja.. Viona.. ia tidak bisa membiarkan wanitanya terluka. Sialan sekali ia tak bisa melakukan apapun . Sekian mili detik, suara tembakan menggema di dalam ruangan.  Dan keheningan pekat seketika memenuhi atmosper. Rei menunggu rasa sakit di kepala atau jantungnya. Namun hal itu tak kunjung datang. Apa mati memang tidak menyakitkan? Tidak seperti yang digembar-gemborkan selama ini?

Rei membuka matanya perlahan. Ia mengira akan melihat cahaya putih atau seorang malaikat. Tapi sepertinya ia masih berada di ruangan yang gelap dan pengap. Dan yang berdiri di hadapanyya ini..

“Darius..”

“Sir.. anda tidak apa-apa?” Darius mengulurkan tanganya.

“Ya, terima kasih telah datang.” Rei menyambut uluran tangan Darius. Ia melirik pada pria paruh baya yang tadi menghajarnya dengan buas sampai membuatnya kewalahan. Sekarang pria itu tergeletak tak berdaya dengan luka tembak di kepalanya. Lalu pandangan Rei beralih ke revolvernya.

“Viona bersama Keyra, ibu  tirinya. Ia dalang semua ini.” Rei menggenggam kembali senjatanya.

“Cari wanita yang menahan nyonya Viona. Berpencar dan tetap jaga komunikasi.” Darius menginstruksikan ketiga anak buahnya.

Rei melangkah ke arah lorong dimana tadi Keyra menyeret Viona diikuti oleh Darius. “Aku akan ke atas, kau lurus saja.” Rei memiliki firasat kuat  bahwa Viona ada di atas.

Dengan tak sabaran, Rei berlari ke atas melewati dua anak tangga sekaligus di tiap langkahnya. Menerjang sebah pintu yang ternyata menghubungkannya dengan teras atas rumah ini. Dan feelingnya memang benar, Viona ada disini, berada dalam cengkeraman wanita yang notabenenya adalah ibu mertuanya.

“Viona!”

Viona seperti Tuhan sedang memberinya mukjizat mendengar suara itu memanggilnya. Itu adalah suara yang paling diharapkannya. Bukan gesekkan biola dari sang maestro, atau burung camar atau bahkan suara malaikat sekalipun. Viona bersyukur masih diperdengarkan suara itu.

“Lepaskan Viona. Semua sudah berakhir Keyra, Polisi akan tiba kemari sebentar lagi dan akan membekuk kalian. Kau akan mendapat keringanan bila menyerahkan diri.” Rei mencoba bernegosiasi dengan Keyra.

“Keringanan katamu?” Keyra mendengus keras. “Jangan buat aku mati tertawa Mr. Husain!” Keyra mengetatkan pisaunya pada leher Viona, semakin menekan luka yang telah terbentuk.

“Jangan paksa aku!” geram Rei. Ia tak tahan melihat Viona disakiti. Ia menodongkan revolvernya. Ia harus mengambil keputusan sebelum Keyra bertindak semakin nekat.

“Tembak saja aku maka kau akan melihat istrimu terjun bebas dari sini!” Viona semakin diseret ke arah tepian bangunan. Ia bisa melihat paving keras yang akan meremukkan tulangnya apabila ia jatuh dari sini.

Penglihatan Rei memang memburuk gara-gara pertarungannya dengan Hans tadi dan tidak ada sumber cahaya berarti disini selain dari cahaya bulan. Ia memiliki resiko tinggi mengenai Viona jika tembakannya meleset. Tapi ia juga tidak punya waktu karena Keyra semakin menyeret Viona ke pinggiran. Wanita itu tak pernah main-main dengan kata-katanya.

Dengan terpaksa Rei mengambil Resiko paling besar dalam hidupnya. Ini bukan mempertaruhkan uang, saham atau apapun. Rei mempertaruhkan jiwanya. Dengan satu tarikan dari jari telunjuk kanannya, revolver yang ada di genggaman Rei memuntahkan satu timah panas yang disertai bunyi desingan keras.

Terdengar bunyi roboh dari tubuh seseorang. Tembakan Rei berhasil mengenai seseorang. Seseorang dengan surai hitam bergelombang. Seseorang yang menjadi belahan jiwa Rei.
.
.
.
End?

Related Posts:

Hopeless Part 79

.
.
“Ini pengalihan!” Seru Darius yang mendapati kantong plastik yang tadinya berisi uang hanya berisi lembaran daun kering. “Hubungi Charly! Suruh menyisir tempat tadi!” Darius dengan sigap memberi perintah pada anak buahnya yang langsung dilaksanakan. “Dimana 3 kantung plastik  yang kau ambil dari dekat lift basment hotel tadi?” Darius memasang tampang dinginnya saat menanyai pria berseragam petugas kebersihan yang berlutut dengan kedua tangannya diborgol.

“Saya nggak tau kantung plastik yang Bapak maksud..” Pria yang tergolong masih muda tersebut menjawab takut-takut.

“Jangan pura-pura bodoh atau kau tau akibatnya! Sekali lagi dimana uang itu!”

“U..uang? apa kantung plastik tadi isinya uang? Sial pantas saja tadi berat..” keluh pemuda itu. “Pak! Sumpah saya nggak tau apa-apa. Tadi sata disuruh satpam hotel buat ngambil itu bungkusan trus dituker sama tiga bungkusan yang saya bawa ini di tong sampah belakang gedung.”

“Sersan Edy! Cari satpam yang menyamar dan tiga kantong plastik yang ada di belakang gedung.” Darius segera menghubungi Edi yang masih ada di lokasi sekitar hotel.

“Ehm, Sir.. Mr. Husain menghilang..” berutahu Edi dari seberang, membuat pria yang bahkan amat sangat menjungjung sopan santun itu mengumpat tak karuan.

“Bagaimana bisa!”

“Mr. Curtiz mengatakan beliau menerima panggilan dari ayahnya sebelum pergi ke toilet. Dan beliau langsung menghilang, kami memeriksa cctv dan menemukan bahwa beliau membawa sebuah mobil keluar.”

“Baik. Jalankan perintahku tadi, kami akan melacak Mr. Husain.” Darius memutuskan sambungan telfon dan kembali mengumpat. Ia mengumpulkan anak buahnya dan memberikan sejumlah instruksi.

.
.
.
“Jangan bersikap mencurigakan. Katakan pada yang lain bahwa ini adalah panggilan dari ayahmu dan pergilah ke toilet.” Rei mengernyitkan dahinya saat menerima panggilan dari nomor asing.

“Hallo Pa.. iya Rei masih di Malang. Please, nanti juga akan kujelaskan masalahnya..” Rei menjalankan peran yang diberikan kepada si penelfon. Ia memberitahu pada Alex dan Kia bahwa ia ingin sedikit privasi di kamar kecil untuk berbicara pada papanya.

“Aku sudah di toilet.” Geram Rei. “Katakan dimana Viona, kalian telah mendapatkan uangnya!”

“Tenang Mr. Husain.. kami juga perlu usaha lebih untuk mendapatkan uang itu karna kau menggunakan orang-orang bodoh serta para polisi pecundang itu untuk mengintai uang itu. Jadi sekarang saatnya kau juga berusaha ‘lebih’ keras untuk mendapatkan istrimu.”

“Apa yang kalian inginkan?!” Rei sama sekali tak ingin basa basi. Ia hampir gila membayangkan Viona masih ada dalam sekapan.

“Jemput istrimu sendiri Mr. Husain. Bawa mobil hitam yang ada di bagian belakang gedung. Di dalamnya ada gps yang sudah di set untuk rute menuju tempat istrimu berada. Tapi ingat, sekali lagi anda melibatkan polisi atau orang suruhan anda, maka anda tidak akan pernah lagi melihat wajah cantik Mrs. Husain.” Belum sempat makian Rei tersampaikan lagi-lagi sambungan telah diputus sepihak. Jadilah ia memaki sendirian di dalam toilet.

Rei bergerak cepat, mengendap-endap keluar toilet sambil memperhatikan dan memastikan semua orang tidak melihatnya menuju ke bagian belakang gedung. Mobil yang dimaksudkan sudah terparkir agak tersembunyi terhalang bayangan pohon besar. Pintunya tak terkunci dan Rei bisa leluasa memasuinya. Kuncinya sudah siap menancap bahkan dudukan kemudi masih terasa hangat. Itu berarti baru saja ada orang dalam mobil ini. Tapi Rei tak memperdulikan itu, ia segera menghidupkan gps dan mendorong tuas persneling setelahkan menyalakan mesin mobil. Yang ada dipikirannya hanya Viona dan bagaimana ia bersamanya. Secepat mungkin. Ia tak mau kejadian beberapa tahun silam terulang kembali. Tak bisa menyelamatkan orang yang dikasihinya satu kali saja sudah cukup. Jika ia mengalami hal itu lagi maka ia tak bisa hidup dengan membawa luka yang lebih berat.
.
.
.
Rute yang tertera pada layar gps menuntun mobil yang dikendarai Rei ke sebuah tempat yang jauh dari pemukiman. Pada sebuah rumah cukup besar namun kumuh. Rei menghentikan mobilnya dan segera melompat turun. Memeriksa lingkungan sekitarnya yang benar-benar sepi, tempat sempurna untuk markas penculikan.

Rei masuk melalui pintu utama rumah itu. bunyi derit dari engsel yang tak pernah digunakan memecah kesunyian. Rei baru menginjakkan kakinya selangkah ke dalam rumah dan sebuah kepalan melayang ke arahnya. Tapi ia memiliki reflek yang bagus dan dapat menghindarinya serta menangkap lengan yang melayangkan pukulan, menariknya dan menikngnya ke belakang. Menendang belakang lutut, membuat si penyerang berlutut. Tapi cahaya yang hanya remang-remang membuatnya kecolongan. Rei menerima pukulan tepat di hidungnya dari penyerang lain.

“Sialan..” darah kental keluar dari salah satu lubang hidungnya. Rei mengusapnya kasar lalu bersiaga dengan kuda-kudanya menghadapi dua pria berkaos hitam ketat menampilkan bisep trisepnya yang besar.

Rei tak menunggu mereka menyerang, ia yang maju duluan. Melayangkan tendangan memutarnya,  Rei berhasil mengenai rahang salah satu pria kekar tersebut hingga tersungkur. Sedetik kemudian ia melayangkan pukulannya ke leher pria satunya. Pria pertama yang diserangnya menubruk Rei dan memeganginya. Sedangkan penyerang satunya lagi menyeringai merasa di atas awan karena Rei tak bisa berkutik. Tapi itu salah. Rei menempatkan beban tubuhnya pada orang yang menguncinya dan melayangkan kedua kakinya menendang dengan sekuat dada pria yang bersiap memukulnya. Sedangkan pria yang memegangi Rei terhempas ke belakang dan membentur tembok karena tertekan tubuh Rei.

Rei belum selesai. Ketegangan emosi yang sudah ia tahan beberapa jam terakhir meledak dan menemukan pelampiasannya. Ia menerjang kembali penyerangnya yang mencoba bangkit tanpa menyianyiakan waktu. Menghajarnya habis-habisan sampai sebuah suara berat menghentikannya.

“Cukup Mr, Husain. Aku akui kemampuan anda lumayan juga..” kekehan geli juga licik mengakhiri instrupsi tersebut.

Rei bernafas kasar. Melihat pria sekitar empat puluh tahunan namun masih memiliki tubuh yang tegap dan kekar. “Dimana Viona?!” Rei bertaanya gusar. Ia yakin betul orang inilah yang telah menghubnginya dari awal dan mengarahkan ia kemari.

“Tenang Mr. Husain, kau akan segera bertemu dengannya. Tapi sebelum itu ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda.” Pria paruh baya itu mengirimkan kode pada bawahannya dengan mengedikkan dagunya.

Seketika Rei merasakan hantaman di tengkuknya. Membuatnya terhuyung namun segera ditarik dan diseret mengikti pria tua tadi ke sebah pintu kayu dobel yang nampak kokoh.
.
.
.
Viona mengalami disorientasi pada waktu dan ruang. Efek obat bius yang diberikan Helena melalui sapu tangan juga sesuatu yang disuntikkan pada lengannya membuatnya lemas tak berdaya terikat pada sebuah kursi kayu. Ia hanya mampu menggumamkan kata-kata tak jelas. Umpatan dan juga permohonannya hanya bisa diteriakannya dalam hati. Pandangannya tidak fokus, tidak bisa menganalisa dimana dirinya. Yang pasti ruangan tempatnya berada gelap dan pengap. Suara-suara yang didengarnya juga tidak jelas, tidak ada yang mamp dicernanya kecuali bisikan dan tawa licik dari beberapa pria dan seorang wanita. Tidak ada juga petunjuk sudah berapa lama ia ada di tempat terkutuk ini. Sehari? Dua hari? Seminggu? Sebulan? Ia tak mendapat gambaran apapun.

“Viona!”

Panggilan itu! mungkinkah hanya halusinasi dari keputusasaannya atau memang nyata?

“Viona?!” Viona menajamkan pendengarannya dan seperti menangkap kembali panggilan itu. Apa pria itu benar ada disini? Apa Tuhan telah menjawab doanya? Apa keraguannya telah dihapuskan dengan mendengar suara pria yang telah meluluh lantakan hatinya?

“Sayang kau tidak apa?” Ya ia bisa mendengarnya. Tapi dimana Rei? Kenapa dia tidak segera melepaskannya? Viona menajaman penglihatannya meski gelap mengerumuninya.

“Rei..” satu kata akhirnya berhasil ia ucapkan meski hanya seperti bisikan yang akan langsung ditelan angin. Tapi ia masih ingin berusaha menggapai prianya. “Rei..”

Samar-samar ia melihat dua pria yang berdiri tegap, mengunci seorang pria yang kini tengah berlutut berhadapan tak jauh darinya. Itu Rei! Itu prianya! Ia benar-benar datang.. Viona tak kuasa menahan tangisnya.

“Well, lihat sayang..” seorang wanita mendekati Viona. Ia belum bisa melihat dengan fokus siapa itu tapi sepertinya ia mengenali suaranya. “Lihat siapa yang datang..” jemari dengan kuku-kuku panjang itu menangkup dagu Viona, membuatnya mengernyit akan kukunya yang menancap di kulit wajah Viona. Kini ia bisa menatap dengan jelas siapa pemilik suara itu. “Menantuku yang tampan dan kaya telah datang menyerahkan dirinya..” Dan seringai yang paling Viona benci dalam hidupnya terpampang jelas dihadapannya.
.
.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 78


Helena, wanita itu terlihat menghampiri Viona dan membekapnya dari belakang.

“Toilet tempat makan tersebut rupanya memiliki pintu yang langsung menghubungkan ke area parkir.  Ada kamera di sekitar sana yang berhasil menangkap gambar ini.” Jelas petugas wanita yang tadi menjemput Rei berusaha untuk menjelaskan.

“Nyonya Viona sepertinya menggunakan pintu itu untuk keluar karena instruksi yang disampaikan oleh seseorang. Kamera menangkap visualnya yang masih menggunakan ponsel saat ia dibekap.” Seorang polisi yang ikut menyelidiki mengeluarkan praduganya.

Kejadian selanjutnya adalah mobil box putih yang mendekati Helena dan Viona. Viona didorong masuk ke dalam mobil tersebut.

“Berhenti.” Perintah salah satu petugas bandara. Controler segera menekan tombol space untuk menghentikan laju video.  “Perbesar bagian ini.” Pena petugas tersebut mengarah pada bagian belakang mobil box yang tertampil di monitor. Saat proses zoom sudah selesai, di monitor telah terlihat sederetan angka dan huruf. “Kita dapat nomor polisinya.”

Darius dan semua petugas keamanan dari bandara dan polisi segera mencatat nomor tersebut. Mereka dapat dua petunjuk, Helena Sachi Johnson dan nomor polisi dari mobil yang membawa Viona.

Darius langsung keluar dan menghubungi anak buahnya untuk mencari tahu keberadaan gadis keturunan Johnson  yang kini menjadi tersangka utama. Ia juga menginstruksikan pada bawahannya untuk melacak nopol yang telah berhasil mereka kantongi.

Rei juga bergerak cepat dengan menghubungi Helena. Namun sebuah cekalan tangan menghentikannya saat ibu jarinya akan menekan tombol hijau pada layar ponsel. Tangan itu milik Alex. “Jangan bertindak bodoh. Dia tak akan memberitahu begitu saja dimana Viona ataupun keberadaannya. Jangan memperparah keadaan saat kita sudah memperoleh titik terang. Dia malah akan semakin bersembunyi”

Rei mendengus kesal. Alex benar. Ia tidak boleh gegabah dan malah semakin kehilangan jejak Viona. ia juga kesal karena salah telah menduga Alex yang membawa Viona. Dan sialannya pria itu ikut campur dengan masalahnya. Meski.. sekali lagi.. Alex benar.

“Bisakah kita pulang sekarang. Ibu terus menghubungiku untuk meminta penjelasan. Kau butuh istirahat dan sudah tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini selain menunggu hasil pencarian mobil dan dimana Helena sekarang.” Kia kembali membujuk Rei untuk pulang.

Rei menghela nafas kasar dan mengusap wajahnya. “Ayo..” setelah mengatakan itu Rei berlalu dari ruang pemantauan.
.
.
.
“Helena tidak akan meminta tebusan seperti ini.” Rei menggeleng tak setuju. Ia sedang memberitahukan pada polisi dan orang kepercayaannya perihal pesan singkat yang diterimanya pagi ini. Pesan itu memintanya menyerahkan sejumlah uang yang tidak sedikit. 5 milyar untuk Viona. Bukannya Rei tak sanggup membayar tebusan tersebut, tapi ada yang aneh. Helena bukan wanita yang matrealistis atau apa. Ia sudah memiliki segalanya, dalam artian ia tak kekurangan harta. Johnson bukanlah sembarang orang yang akan menculik istrinya hanya demi mendapat 5 milyar. 5 milyar? Cih.. itu mungkin hanya pajak harta mereka pada negara tiap tahunnya.

“Nomor itu sudah tidak bisa dihubungi.” Darius sudah mencoba menghubungi nomor yang mengirimi Rei pesan tapi tidak tersambung. “Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu pesan selanjutnya.”

“Apa sudah ada yang menemukan dimana Helena berada?” Alex yang entah bagaimana bisa ikut bergabung dalam penyelidikan menyerukan pertanyaannya.

“Anak buahku melaporkan bahwa dia telah meninggalkan negeri ini. Ke Swiss.” Darius menjawab pertanyaan Alex. “Nyonya Viona tak mungkin dibawa kesana. Kami menyimpulkan beliau berada dengan kaki tangan Nona Helena atau mungkin.. orang lain. Seperti yang dikatan Mr. Husain, agak aneh jika motif penculikan ini karena uang jika dilakukan oleh Nona Helena.”

Rei mengerang frustasi. “Tidak adakah yang bisa kita lakukan selain menunggu?!”

“Kami sudah meminta otoritas Swiss untuk menahan Nona Helena.” Bagus, polisi sudah bisa diandalkan. “Benar, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menunggu pesan..” perkataan dari salah satu petugas polisi yang ikut menyelidiki kasus penculikan Viona terpotong oleh dering ponsel Rei.

“Nomor tak dikenal..” Rei memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan sederetan angka tanpa nama.

“Angkat dan ulur waktu Mr. Husain.” Pinta Darius, ia telah memasang sebuah alat pada ponsel Rei untuk melacak si pemanggil. “30 second” ia menambahkan

“Halo. Siapa ini?” Rei mengucapkannya dengan tenang dan pelan, ia tak boleh meledak dan bertindak bodoh hingga pemanggil memutuskan telfonnya.

“Mr. Husain, 5 milyar tunai dalam kantung plastik hitam letakkan di basement hotel anda menginap dekat tong sampah dekat lift jam dua belas siang ini.” Suara berat dan tegas dari seorang pria. Sial. Rei semakin tak tenang mmembayangkan Vionanya berada di tangan laki-laki lain. Ia frustasi membayangkan hal buruk yang terjadi pada istrinya. Dan jika itu sampai benarte
rjadi maka habislah mereka semua. Helena atau siapapun tak akan ia lepaskan begitu saja.

“Bagaimana dengan Viona? bagaimana kalian menyerrahkannya padaku.”

“Uang itu lebih dulu. Kami akan melepaskannya.”

Darius memberi kode agar Rei terus berbicara. “Aku mau dengar suara Viona.”

“Dia baik-baik saja selama anda tidak melibatkan polisi atau siapapun dalam hal ini.”

“Tapi..” belum sempat Rei mengatakan keberatannya, si penelfon telah memutuskan sambungannya. “Bangsat!” ia membanting ponselnya ke lantai hingga memantul dan casingnya terlepas dan layarnya retak. Semua yang ada di ruang tamu rumah budhe Liv menahan nafas sejenak melihat kemurkaan Rei.

“dua puluh delapan detik. Maaf Sir..” ucap Darius lesu tak dapat melacak nomor itu dari komputer jinjingnya. Rei memejamkan matanya untuk menahan emosi.

“Aku akan menyiapkan uang itu. Kau urus yang lain.” Perintah Rei pada Darius sebelum ia menyambar kunci mobil dan keluar ruamah.
.
.
.
Pak Salim menghubungi Rei dan menanyakan masalah apa yang sebenarnya terjadi sampai Rei harus menarik sejumlah uang tunai dalam jumlah besar. Ia telah menerima laporan dari bawahannya bahwa anak laki-lakinya itu menarik dana tunai dari Malang.

“Papa aku sedang berusaha menyelesaikannya. Akan kuberitahu jika sudah berhasil mengatasinya.” Rei segera menutup panggilan papanya tanpa memperdulikan teriakan marah dari pria yang telah membesarkannya. Pandangannya masih terfokus pada tiga bungkusan besar kantung plastik hitam yang ada di dekat lift tempat yang digunakan Rei menginap beberapa waktu lalu. Masih bergeming tak bergerak atau diambil oleh seseorang sejak empat jam yang lalu.

Polisi dan beberapa orang kepercayaan Rei ikut mengintai dari beberapa mobil yang secara sengaja diparkirkan secara acak di basement hotel itu. Rei sendiri diam di balik kemudi mobil SUV hitam bersama dua pria di jok penumpang. Alex dan Kia.

“Kenapa kalian ikut kesini sih!” keluhnya pada dua pria yang juga fokus pada bungkusan uang di dekat lift.

“Karena Viona sepupuku!” seru Kia tertahan, ia takut orang di luar akan mendengarnya dan curiga.

“Karena Viona..” Alex menggantungkan kalimatnya hingga ia mendapat tatapan mematikan dari kaca spion depan. “.. mantanku.” Alex balas menyeringai pada kaca spion.

“Mimpi!” dengus Rei.

“Aku tak tau jika sepupuku yang satu itu diperebutkan oleh orang-orang seperti kalian.” Kia mendesah sebal mendapati aura perselisihan yang hadir kembali antara Rei dan Alex. Mereka harusnya tenang di saat seperti ini dan tidak menimbulkan keributan yang malah akan membongkar pengintaian mereka.

“Dia milikku. Bukan diperebutkan oleh siapapun!” sergah Rei.

“Diam! Lihat itu bodoh!” umpat Alex dari jok belakang.  Ia sedikit memajukan tubuhnya demi melihat seseorang mendekati bungkusan uang yang tertata rapi dalam kantung plastik.

Seorang petugas kebersihan. Mereka bisa tau dari seragamnya. Atau hanya samaran saja. Semua orang waspada dan bersiaga. Saling menghubungi lewat walkie talkie untuk mendiskusikan langkah yang akan mereka ambil.

“Tetap tenang dan perhatikan.” Itu suara Darius, semua mengenalinya meski suaranya tidak terlalu jelas dengan walkie talkie. Ia berada di mobil yang diparkirkan paling dekat dengan lift. Ia yang mengepalai penyelidikan sekaligus pengintaian ini.

Petugas kebersihan itu dengan santai mengambil tiga bungkusan uang tersebut tanpa menaruh curiga apa isi yang ada didalamnya. Atau ia memang sudah tau jika isinya adalah uang? Ia melenggang dari tempat itu tanpa sedikitpun merasa bahwa dirinya sedang diintai.

“Sersan Edi. Ikuti dia.” Perintah Darius. Ia memilih Edi karena dinilai yang paling muda dan sangat melebur dalam penyamaran. Jins dan kaos retro serta tas punggung dan topi untuk menutupi wajahnya dan earphonenya.

“Target keluar dari basement dan berbelok ke belakang gedung.” Hanya darius dan seorang polisi lagi yang mendengar suara sersan Edi melalui headset yang tersambung ke komputer jinjing. Dan darius menginformsikannya ke semua pengintai melalui walkie talkie.

“Target memasukkan paket ke mobil sampah. Sir, tim Ada dan tim Beta harus mengikutinya, mobil sudah bergerak.”

“Tim beta, ikuti mobil sampah yang keluar dari tempat ini. Mr. Husain, anda tetap disini untuk bersiaga jika ada panggilan lagi.” Darius memberikan instruksi singkat sebelum mobil yang ditumpanginya meluncur diikuti satu mobil lagi yang berisi tim Beta.

.
.
Tbc

Related Posts: