Hopeless Part 79

.
.
“Ini pengalihan!” Seru Darius yang mendapati kantong plastik yang tadinya berisi uang hanya berisi lembaran daun kering. “Hubungi Charly! Suruh menyisir tempat tadi!” Darius dengan sigap memberi perintah pada anak buahnya yang langsung dilaksanakan. “Dimana 3 kantung plastik  yang kau ambil dari dekat lift basment hotel tadi?” Darius memasang tampang dinginnya saat menanyai pria berseragam petugas kebersihan yang berlutut dengan kedua tangannya diborgol.

“Saya nggak tau kantung plastik yang Bapak maksud..” Pria yang tergolong masih muda tersebut menjawab takut-takut.

“Jangan pura-pura bodoh atau kau tau akibatnya! Sekali lagi dimana uang itu!”

“U..uang? apa kantung plastik tadi isinya uang? Sial pantas saja tadi berat..” keluh pemuda itu. “Pak! Sumpah saya nggak tau apa-apa. Tadi sata disuruh satpam hotel buat ngambil itu bungkusan trus dituker sama tiga bungkusan yang saya bawa ini di tong sampah belakang gedung.”

“Sersan Edy! Cari satpam yang menyamar dan tiga kantong plastik yang ada di belakang gedung.” Darius segera menghubungi Edi yang masih ada di lokasi sekitar hotel.

“Ehm, Sir.. Mr. Husain menghilang..” berutahu Edi dari seberang, membuat pria yang bahkan amat sangat menjungjung sopan santun itu mengumpat tak karuan.

“Bagaimana bisa!”

“Mr. Curtiz mengatakan beliau menerima panggilan dari ayahnya sebelum pergi ke toilet. Dan beliau langsung menghilang, kami memeriksa cctv dan menemukan bahwa beliau membawa sebuah mobil keluar.”

“Baik. Jalankan perintahku tadi, kami akan melacak Mr. Husain.” Darius memutuskan sambungan telfon dan kembali mengumpat. Ia mengumpulkan anak buahnya dan memberikan sejumlah instruksi.

.
.
.
“Jangan bersikap mencurigakan. Katakan pada yang lain bahwa ini adalah panggilan dari ayahmu dan pergilah ke toilet.” Rei mengernyitkan dahinya saat menerima panggilan dari nomor asing.

“Hallo Pa.. iya Rei masih di Malang. Please, nanti juga akan kujelaskan masalahnya..” Rei menjalankan peran yang diberikan kepada si penelfon. Ia memberitahu pada Alex dan Kia bahwa ia ingin sedikit privasi di kamar kecil untuk berbicara pada papanya.

“Aku sudah di toilet.” Geram Rei. “Katakan dimana Viona, kalian telah mendapatkan uangnya!”

“Tenang Mr. Husain.. kami juga perlu usaha lebih untuk mendapatkan uang itu karna kau menggunakan orang-orang bodoh serta para polisi pecundang itu untuk mengintai uang itu. Jadi sekarang saatnya kau juga berusaha ‘lebih’ keras untuk mendapatkan istrimu.”

“Apa yang kalian inginkan?!” Rei sama sekali tak ingin basa basi. Ia hampir gila membayangkan Viona masih ada dalam sekapan.

“Jemput istrimu sendiri Mr. Husain. Bawa mobil hitam yang ada di bagian belakang gedung. Di dalamnya ada gps yang sudah di set untuk rute menuju tempat istrimu berada. Tapi ingat, sekali lagi anda melibatkan polisi atau orang suruhan anda, maka anda tidak akan pernah lagi melihat wajah cantik Mrs. Husain.” Belum sempat makian Rei tersampaikan lagi-lagi sambungan telah diputus sepihak. Jadilah ia memaki sendirian di dalam toilet.

Rei bergerak cepat, mengendap-endap keluar toilet sambil memperhatikan dan memastikan semua orang tidak melihatnya menuju ke bagian belakang gedung. Mobil yang dimaksudkan sudah terparkir agak tersembunyi terhalang bayangan pohon besar. Pintunya tak terkunci dan Rei bisa leluasa memasuinya. Kuncinya sudah siap menancap bahkan dudukan kemudi masih terasa hangat. Itu berarti baru saja ada orang dalam mobil ini. Tapi Rei tak memperdulikan itu, ia segera menghidupkan gps dan mendorong tuas persneling setelahkan menyalakan mesin mobil. Yang ada dipikirannya hanya Viona dan bagaimana ia bersamanya. Secepat mungkin. Ia tak mau kejadian beberapa tahun silam terulang kembali. Tak bisa menyelamatkan orang yang dikasihinya satu kali saja sudah cukup. Jika ia mengalami hal itu lagi maka ia tak bisa hidup dengan membawa luka yang lebih berat.
.
.
.
Rute yang tertera pada layar gps menuntun mobil yang dikendarai Rei ke sebuah tempat yang jauh dari pemukiman. Pada sebuah rumah cukup besar namun kumuh. Rei menghentikan mobilnya dan segera melompat turun. Memeriksa lingkungan sekitarnya yang benar-benar sepi, tempat sempurna untuk markas penculikan.

Rei masuk melalui pintu utama rumah itu. bunyi derit dari engsel yang tak pernah digunakan memecah kesunyian. Rei baru menginjakkan kakinya selangkah ke dalam rumah dan sebuah kepalan melayang ke arahnya. Tapi ia memiliki reflek yang bagus dan dapat menghindarinya serta menangkap lengan yang melayangkan pukulan, menariknya dan menikngnya ke belakang. Menendang belakang lutut, membuat si penyerang berlutut. Tapi cahaya yang hanya remang-remang membuatnya kecolongan. Rei menerima pukulan tepat di hidungnya dari penyerang lain.

“Sialan..” darah kental keluar dari salah satu lubang hidungnya. Rei mengusapnya kasar lalu bersiaga dengan kuda-kudanya menghadapi dua pria berkaos hitam ketat menampilkan bisep trisepnya yang besar.

Rei tak menunggu mereka menyerang, ia yang maju duluan. Melayangkan tendangan memutarnya,  Rei berhasil mengenai rahang salah satu pria kekar tersebut hingga tersungkur. Sedetik kemudian ia melayangkan pukulannya ke leher pria satunya. Pria pertama yang diserangnya menubruk Rei dan memeganginya. Sedangkan penyerang satunya lagi menyeringai merasa di atas awan karena Rei tak bisa berkutik. Tapi itu salah. Rei menempatkan beban tubuhnya pada orang yang menguncinya dan melayangkan kedua kakinya menendang dengan sekuat dada pria yang bersiap memukulnya. Sedangkan pria yang memegangi Rei terhempas ke belakang dan membentur tembok karena tertekan tubuh Rei.

Rei belum selesai. Ketegangan emosi yang sudah ia tahan beberapa jam terakhir meledak dan menemukan pelampiasannya. Ia menerjang kembali penyerangnya yang mencoba bangkit tanpa menyianyiakan waktu. Menghajarnya habis-habisan sampai sebuah suara berat menghentikannya.

“Cukup Mr, Husain. Aku akui kemampuan anda lumayan juga..” kekehan geli juga licik mengakhiri instrupsi tersebut.

Rei bernafas kasar. Melihat pria sekitar empat puluh tahunan namun masih memiliki tubuh yang tegap dan kekar. “Dimana Viona?!” Rei bertaanya gusar. Ia yakin betul orang inilah yang telah menghubnginya dari awal dan mengarahkan ia kemari.

“Tenang Mr. Husain, kau akan segera bertemu dengannya. Tapi sebelum itu ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda.” Pria paruh baya itu mengirimkan kode pada bawahannya dengan mengedikkan dagunya.

Seketika Rei merasakan hantaman di tengkuknya. Membuatnya terhuyung namun segera ditarik dan diseret mengikti pria tua tadi ke sebah pintu kayu dobel yang nampak kokoh.
.
.
.
Viona mengalami disorientasi pada waktu dan ruang. Efek obat bius yang diberikan Helena melalui sapu tangan juga sesuatu yang disuntikkan pada lengannya membuatnya lemas tak berdaya terikat pada sebuah kursi kayu. Ia hanya mampu menggumamkan kata-kata tak jelas. Umpatan dan juga permohonannya hanya bisa diteriakannya dalam hati. Pandangannya tidak fokus, tidak bisa menganalisa dimana dirinya. Yang pasti ruangan tempatnya berada gelap dan pengap. Suara-suara yang didengarnya juga tidak jelas, tidak ada yang mamp dicernanya kecuali bisikan dan tawa licik dari beberapa pria dan seorang wanita. Tidak ada juga petunjuk sudah berapa lama ia ada di tempat terkutuk ini. Sehari? Dua hari? Seminggu? Sebulan? Ia tak mendapat gambaran apapun.

“Viona!”

Panggilan itu! mungkinkah hanya halusinasi dari keputusasaannya atau memang nyata?

“Viona?!” Viona menajamkan pendengarannya dan seperti menangkap kembali panggilan itu. Apa pria itu benar ada disini? Apa Tuhan telah menjawab doanya? Apa keraguannya telah dihapuskan dengan mendengar suara pria yang telah meluluh lantakan hatinya?

“Sayang kau tidak apa?” Ya ia bisa mendengarnya. Tapi dimana Rei? Kenapa dia tidak segera melepaskannya? Viona menajaman penglihatannya meski gelap mengerumuninya.

“Rei..” satu kata akhirnya berhasil ia ucapkan meski hanya seperti bisikan yang akan langsung ditelan angin. Tapi ia masih ingin berusaha menggapai prianya. “Rei..”

Samar-samar ia melihat dua pria yang berdiri tegap, mengunci seorang pria yang kini tengah berlutut berhadapan tak jauh darinya. Itu Rei! Itu prianya! Ia benar-benar datang.. Viona tak kuasa menahan tangisnya.

“Well, lihat sayang..” seorang wanita mendekati Viona. Ia belum bisa melihat dengan fokus siapa itu tapi sepertinya ia mengenali suaranya. “Lihat siapa yang datang..” jemari dengan kuku-kuku panjang itu menangkup dagu Viona, membuatnya mengernyit akan kukunya yang menancap di kulit wajah Viona. Kini ia bisa menatap dengan jelas siapa pemilik suara itu. “Menantuku yang tampan dan kaya telah datang menyerahkan dirinya..” Dan seringai yang paling Viona benci dalam hidupnya terpampang jelas dihadapannya.
.
.
.
Tbc

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 79"

Post a Comment