Helena, wanita itu terlihat menghampiri Viona dan membekapnya dari belakang.
“Toilet tempat makan tersebut rupanya memiliki pintu yang langsung menghubungkan ke area parkir. Ada kamera di sekitar sana yang berhasil menangkap gambar ini.” Jelas petugas wanita yang tadi menjemput Rei berusaha untuk menjelaskan.
“Nyonya Viona sepertinya menggunakan pintu itu untuk keluar karena instruksi yang disampaikan oleh seseorang. Kamera menangkap visualnya yang masih menggunakan ponsel saat ia dibekap.” Seorang polisi yang ikut menyelidiki mengeluarkan praduganya.
Kejadian selanjutnya adalah mobil box putih yang mendekati Helena dan Viona. Viona didorong masuk ke dalam mobil tersebut.
“Berhenti.” Perintah salah satu petugas bandara. Controler segera menekan tombol space untuk menghentikan laju video. “Perbesar bagian ini.” Pena petugas tersebut mengarah pada bagian belakang mobil box yang tertampil di monitor. Saat proses zoom sudah selesai, di monitor telah terlihat sederetan angka dan huruf. “Kita dapat nomor polisinya.”
Darius dan semua petugas keamanan dari bandara dan polisi segera mencatat nomor tersebut. Mereka dapat dua petunjuk, Helena Sachi Johnson dan nomor polisi dari mobil yang membawa Viona.
Darius langsung keluar dan menghubungi anak buahnya untuk mencari tahu keberadaan gadis keturunan Johnson yang kini menjadi tersangka utama. Ia juga menginstruksikan pada bawahannya untuk melacak nopol yang telah berhasil mereka kantongi.
Rei juga bergerak cepat dengan menghubungi Helena. Namun sebuah cekalan tangan menghentikannya saat ibu jarinya akan menekan tombol hijau pada layar ponsel. Tangan itu milik Alex. “Jangan bertindak bodoh. Dia tak akan memberitahu begitu saja dimana Viona ataupun keberadaannya. Jangan memperparah keadaan saat kita sudah memperoleh titik terang. Dia malah akan semakin bersembunyi”
Rei mendengus kesal. Alex benar. Ia tidak boleh gegabah dan malah semakin kehilangan jejak Viona. ia juga kesal karena salah telah menduga Alex yang membawa Viona. Dan sialannya pria itu ikut campur dengan masalahnya. Meski.. sekali lagi.. Alex benar.
“Bisakah kita pulang sekarang. Ibu terus menghubungiku untuk meminta penjelasan. Kau butuh istirahat dan sudah tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini selain menunggu hasil pencarian mobil dan dimana Helena sekarang.” Kia kembali membujuk Rei untuk pulang.
Rei menghela nafas kasar dan mengusap wajahnya. “Ayo..” setelah mengatakan itu Rei berlalu dari ruang pemantauan.
.
.
.
“Helena tidak akan meminta tebusan seperti ini.” Rei menggeleng tak setuju. Ia sedang memberitahukan pada polisi dan orang kepercayaannya perihal pesan singkat yang diterimanya pagi ini. Pesan itu memintanya menyerahkan sejumlah uang yang tidak sedikit. 5 milyar untuk Viona. Bukannya Rei tak sanggup membayar tebusan tersebut, tapi ada yang aneh. Helena bukan wanita yang matrealistis atau apa. Ia sudah memiliki segalanya, dalam artian ia tak kekurangan harta. Johnson bukanlah sembarang orang yang akan menculik istrinya hanya demi mendapat 5 milyar. 5 milyar? Cih.. itu mungkin hanya pajak harta mereka pada negara tiap tahunnya.
“Nomor itu sudah tidak bisa dihubungi.” Darius sudah mencoba menghubungi nomor yang mengirimi Rei pesan tapi tidak tersambung. “Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu pesan selanjutnya.”
“Apa sudah ada yang menemukan dimana Helena berada?” Alex yang entah bagaimana bisa ikut bergabung dalam penyelidikan menyerukan pertanyaannya.
“Anak buahku melaporkan bahwa dia telah meninggalkan negeri ini. Ke Swiss.” Darius menjawab pertanyaan Alex. “Nyonya Viona tak mungkin dibawa kesana. Kami menyimpulkan beliau berada dengan kaki tangan Nona Helena atau mungkin.. orang lain. Seperti yang dikatan Mr. Husain, agak aneh jika motif penculikan ini karena uang jika dilakukan oleh Nona Helena.”
Rei mengerang frustasi. “Tidak adakah yang bisa kita lakukan selain menunggu?!”
“Kami sudah meminta otoritas Swiss untuk menahan Nona Helena.” Bagus, polisi sudah bisa diandalkan. “Benar, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menunggu pesan..” perkataan dari salah satu petugas polisi yang ikut menyelidiki kasus penculikan Viona terpotong oleh dering ponsel Rei.
“Nomor tak dikenal..” Rei memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan sederetan angka tanpa nama.
“Angkat dan ulur waktu Mr. Husain.” Pinta Darius, ia telah memasang sebuah alat pada ponsel Rei untuk melacak si pemanggil. “30 second” ia menambahkan
“Halo. Siapa ini?” Rei mengucapkannya dengan tenang dan pelan, ia tak boleh meledak dan bertindak bodoh hingga pemanggil memutuskan telfonnya.
“Mr. Husain, 5 milyar tunai dalam kantung plastik hitam letakkan di basement hotel anda menginap dekat tong sampah dekat lift jam dua belas siang ini.” Suara berat dan tegas dari seorang pria. Sial. Rei semakin tak tenang mmembayangkan Vionanya berada di tangan laki-laki lain. Ia frustasi membayangkan hal buruk yang terjadi pada istrinya. Dan jika itu sampai benarte
rjadi maka habislah mereka semua. Helena atau siapapun tak akan ia lepaskan begitu saja.
“Bagaimana dengan Viona? bagaimana kalian menyerrahkannya padaku.”
“Uang itu lebih dulu. Kami akan melepaskannya.”
Darius memberi kode agar Rei terus berbicara. “Aku mau dengar suara Viona.”
“Dia baik-baik saja selama anda tidak melibatkan polisi atau siapapun dalam hal ini.”
“Tapi..” belum sempat Rei mengatakan keberatannya, si penelfon telah memutuskan sambungannya. “Bangsat!” ia membanting ponselnya ke lantai hingga memantul dan casingnya terlepas dan layarnya retak. Semua yang ada di ruang tamu rumah budhe Liv menahan nafas sejenak melihat kemurkaan Rei.
“dua puluh delapan detik. Maaf Sir..” ucap Darius lesu tak dapat melacak nomor itu dari komputer jinjingnya. Rei memejamkan matanya untuk menahan emosi.
“Aku akan menyiapkan uang itu. Kau urus yang lain.” Perintah Rei pada Darius sebelum ia menyambar kunci mobil dan keluar ruamah.
.
.
.
Pak Salim menghubungi Rei dan menanyakan masalah apa yang sebenarnya terjadi sampai Rei harus menarik sejumlah uang tunai dalam jumlah besar. Ia telah menerima laporan dari bawahannya bahwa anak laki-lakinya itu menarik dana tunai dari Malang.
“Papa aku sedang berusaha menyelesaikannya. Akan kuberitahu jika sudah berhasil mengatasinya.” Rei segera menutup panggilan papanya tanpa memperdulikan teriakan marah dari pria yang telah membesarkannya. Pandangannya masih terfokus pada tiga bungkusan besar kantung plastik hitam yang ada di dekat lift tempat yang digunakan Rei menginap beberapa waktu lalu. Masih bergeming tak bergerak atau diambil oleh seseorang sejak empat jam yang lalu.
Polisi dan beberapa orang kepercayaan Rei ikut mengintai dari beberapa mobil yang secara sengaja diparkirkan secara acak di basement hotel itu. Rei sendiri diam di balik kemudi mobil SUV hitam bersama dua pria di jok penumpang. Alex dan Kia.
“Kenapa kalian ikut kesini sih!” keluhnya pada dua pria yang juga fokus pada bungkusan uang di dekat lift.
“Karena Viona sepupuku!” seru Kia tertahan, ia takut orang di luar akan mendengarnya dan curiga.
“Karena Viona..” Alex menggantungkan kalimatnya hingga ia mendapat tatapan mematikan dari kaca spion depan. “.. mantanku.” Alex balas menyeringai pada kaca spion.
“Mimpi!” dengus Rei.
“Aku tak tau jika sepupuku yang satu itu diperebutkan oleh orang-orang seperti kalian.” Kia mendesah sebal mendapati aura perselisihan yang hadir kembali antara Rei dan Alex. Mereka harusnya tenang di saat seperti ini dan tidak menimbulkan keributan yang malah akan membongkar pengintaian mereka.
“Dia milikku. Bukan diperebutkan oleh siapapun!” sergah Rei.
“Diam! Lihat itu bodoh!” umpat Alex dari jok belakang. Ia sedikit memajukan tubuhnya demi melihat seseorang mendekati bungkusan uang yang tertata rapi dalam kantung plastik.
Seorang petugas kebersihan. Mereka bisa tau dari seragamnya. Atau hanya samaran saja. Semua orang waspada dan bersiaga. Saling menghubungi lewat walkie talkie untuk mendiskusikan langkah yang akan mereka ambil.
“Tetap tenang dan perhatikan.” Itu suara Darius, semua mengenalinya meski suaranya tidak terlalu jelas dengan walkie talkie. Ia berada di mobil yang diparkirkan paling dekat dengan lift. Ia yang mengepalai penyelidikan sekaligus pengintaian ini.
Petugas kebersihan itu dengan santai mengambil tiga bungkusan uang tersebut tanpa menaruh curiga apa isi yang ada didalamnya. Atau ia memang sudah tau jika isinya adalah uang? Ia melenggang dari tempat itu tanpa sedikitpun merasa bahwa dirinya sedang diintai.
“Sersan Edi. Ikuti dia.” Perintah Darius. Ia memilih Edi karena dinilai yang paling muda dan sangat melebur dalam penyamaran. Jins dan kaos retro serta tas punggung dan topi untuk menutupi wajahnya dan earphonenya.
“Target keluar dari basement dan berbelok ke belakang gedung.” Hanya darius dan seorang polisi lagi yang mendengar suara sersan Edi melalui headset yang tersambung ke komputer jinjing. Dan darius menginformsikannya ke semua pengintai melalui walkie talkie.
“Target memasukkan paket ke mobil sampah. Sir, tim Ada dan tim Beta harus mengikutinya, mobil sudah bergerak.”
“Tim beta, ikuti mobil sampah yang keluar dari tempat ini. Mr. Husain, anda tetap disini untuk bersiaga jika ada panggilan lagi.” Darius memberikan instruksi singkat sebelum mobil yang ditumpanginya meluncur diikuti satu mobil lagi yang berisi tim Beta.
.
.
Tbc
0 Response to "Hopeless Part 78"
Post a Comment