Epilog Hopeless

Langit hitam bertabur ribuan bintang berkelip membentang indah di atas dataran capadocia. Hawa dingin tak mampu menyurh Rei untuk kembali ke penginapan. Ia suka rasa sunyi ini. Hanya memandang tenang pada langit malam.

Rei sedang menikmati kesendiriannya saat ini. Bahkan cay (teh) dan simmitnya telah mendingin karena udara terbuka malam. Namun ia masih tetap meraih gelas kecil berlekuk itu dan menyesap cay nya. Ia masih merasa rindu meski telah berada di negara kampung halaman ayahnya selama seminggu ini.

“Kau melamun?” sebuah suara selembut beledu membuyarkan  angan-angan Rei.

“Tidak, hanya menikmati pemandangan.” Rei menggeser posisi tubuhnya agar si pemilik suara bisa bergabung bersamanya, berbaring di kursi malas.

“Langit yang indah. Tidak setiap hari kita bisa melihat keindahan seperti ini terutama pada kota yang tak perah tidur.” Dengan nyaman wanita itu menempatkan dirinya di samping Rei dan menyandarkan kepalanya ke bahu Rei.

“Kau mau kemana setelah ini?”

“Jangan tanya aku. Kau yang lebih mengenal negara ini. Jadi bawalah aku kemanapun kau pergi..” wanita itu menggoda dengan membuat geraka halus di dada bidang Rei dengna jar-jari lentiknya.

“Manis sekali sayang. Kau telah berkeliling Istanbul hampir seminggu ini. Menyusuri Bosparus, mengunjungi hagia sophia dan istana topkapi, berbelanja gila-gilaan di grand bazaar bersama büyükanne (nenek). Hmm.. baru kali ini kau begitu bersemangat menghabiskan uang untuk berbelanja.”

“Itu karna.. entahlah.. nenekmu membuat semangat belanjaku membara. Dia memperlihatkan barang-barang khas Turki yang belum pernah kulihat.”

“Dan bagaimana kita membawa pulang lembaran karpet serta keramik-keramik itu hem??”

“Kita bisa mengirimnya nanti.. aku tak sabar memberikan baju-baju bayi itu untuk Nagita.”

“Cih.. kenapa kau masih memikirkan bayi itu? Kau tak lihat Naya memberikan semua barang branded untuk bayi satu bulan itu? Dia akan jadi bayi sosialita yang manja!”

“Awas saja jika dia tak menerima hadiahku. Akan kupecat suaminya. Nagita tidak akan jadi seperti itu, ia adalah bayi yang manis dan menggemaskan.”

“Sayang.. jangan terlalu kejam. Gio sudah cukup menderita sembilan bulan ini. Meski ia juga membocorkan bahwa selama masa kehamilan Naya jadi ‘liar’. Aku tak sabar menantimu seperti itu..”

“Maksudmu?!” Wanita dalam dekapan Rei beringsut marah.

“Hei.. hei.. sayang.. kau tentu juga mendambakan seorang bayi bukan? Yang manis dan lucu seperti yang kau bilang tadi kan?” Rei mencoba membujuk wanita yang menjauh darinya. Ia mencengkerang kakinya dan menarik pinggang wanita itu.

“Tentu saja! Aku tak sabar menantinya..”

Rei menghela nafas sedih. “Kita akan lebih berusaha..”

“Bukankah kita sedang mengusahakannya?” Wanita itu tersenyum dan merona, menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Rei.

Rei mengusap lembut betis wanita yang menyerukkan kepalanya ke potongan leher dan pundaknya. Ia merasakan benjolan kecil memanjang, membuatnya mengingat kejadian beberapa bulan lalu dan juga rasa bersalahnya. “Kau tidak kedinginan memakai celana pendek seperti ini?”

“Tidak, ini juga tidak terlalu penndek, bahkan di bawah lutut. Kau hanya berdalih ingin menyentuh kakikku kan?”

“Maaf soal luka ini.” Rei menyusuri garis bekas luka yang ada di bagian samping betis wanita dengan rambut sehitam malam di capadocia.

“Berapa kali kau harus meminta maaf Rei.. kau juga sudah menjelaskan alasan kenapa kau menembakku. Tapi aku penasaran, darimana ide gila itu?”

Rei tertawa pelan. “Viona, kau mungkin akan segera membunuhku jika tau darimana aku mendapatkan teori itu.”

“Darimana?”

“Aku adalah penggemar serial detektif conan.” Aku Rei.

“Jadi?” Viona seperti tak sabar dengan penjelasan Rei.

“Dan dalam salah satu film si detektif yang mengecil itu, ibunya Ran pernah disandra oleh seorang tahanan. Saat itu, Mouri suaminya menodongkan pistol ke arah si penjahat. Kau pasti tau kan apa yang selanjutnya terjadi?”

“Menembak istrinya? Seperti kau?”

“100 untukmu sayang.”

“Jadi kau mengikuti teori dalam film itu? Ya Tuhan, Rei!! Aku memang akan membunuhmu!” Viona kembali bangkit dan memukul dada Rei dengan sebal.

Rei menangkap tangan Viona yang memukul dadanya. “Tapi teori itu terbukti kan?” Ia menyeret tangan Viona hingga wanita itu jatuh lagi ke pelukannya. “Penjahat yangk kehilangan sandranya tidak akan bisa melakukan apa-apa dan akan lebih mudah dibekuk. Aku tidak akan bertaruh jika tidak tau aku akan menang Viona. Maaf jika caraku melukaimu. Sudah kujelaskan bukan, jika ada cara lain untuk menyelamatkanmu, maka tak mungkin aku akan melukaimu. Tapi mengingat sifat Keyra, aku lebih memilih sedikit melukaimu daripada harus kehilanganmu. Maaf aku egois, hanya saja.. kehilanganmu sama saja dengan aku mati.”

Viona memeluk Rei dengan erat. “Jangan meminta maaf lagi. Aku tau kau melakukan yang terbaik untukku. Aku malah berterima kasih kau mau datang menyelamatkanku.”

“Tapi kenapa kau tak mau menghilangkan bekas luka ini? Bukankah teknologi medis sudah sangat canggih untuk menghilangkan goresan peluru itu? Memangnya kau tak malu? Bukannya wanita suka jika kaki mereka terlihat mulus dan seksi?”

“Tidak, Aku akan menyimpannya untuk kenang-kenangan. Lagian bekas luka juga akan terlihat seksi kok” ujar Viona.

“Kau ini aneh.”
.
.
.
Langit biru yang tadi siang kukagumi dengan segala keindahan bebatuan di bawahnya saat aku menaiki sebuah balon udara tadi siang telah berubah menjadi warna gulita dengan taburan cahaya dari beribu bintang. Priaku benar, langit ini pantas untuk dikagumi, serta disyukuri. Dan aku juga bersyukur masih berada dalam dekapannya setelah semua yang terjadi. Dan kini waktunya kami menikmati waktu kami. Yah hanya kami. Meski masih ada banyak hal yang harus diluruskan oleh pria yang sedang memelukku ini.

“Dulu sewaktu aku akan pergi dari rumahmu dan pindah ke rumah baru yang sudah kutemukan, apa kau yang membayar dua kali lipat untuk rumah itu?”

“Kenapa kau menanyakan itu?” Entah kenapa aku teringat awal-awal pertemuanku dengan Rei. Dan aku punya firasat bahwa ia melakukan sesuatu untuk tetap menahanku berada di rumahnya.

“Hanya ingin tau. Ayo jawab yang sejujurnya!”

Rei sedikit terkekeh dan aku tau itu memberikan jawaban yang benar atas pertanyaanku. “Yeah, aku tak bisa kehilanganmu Viona. Cukup panik saat kau memberikan cheese cake itu sebagai tanda perpisahan, namun aku punya ide itu tentunya untuk menahanmu. Dan ide-ide lain untuk mengikatmu seumur hidup.” Rei menyeringai dengan cara yang sangat menyebalkan, namun juga terlihat menggoda.

“Huh, tau begitu aku tak akan pamit dan langsung pindah saja.” Gerutuku.

“Kalau kau nekat juga aku akan cari cara lain agar kau tetap tinggal di rumahku. Aku punya seribu ide untuk mengikatmu sayang..” Rei mengecup puncak kepalaku. “Kalau diingat, ide tentang pernikahan palsu itu sangat konyol dan kekanakan, tapi sepertinya itu berhasil meski tak selancar yang kukira.”

“Ya, kau bajingan sialan yang menggunakan papamu sebagai alasan. Bagaimana bisa kau berbohong soal papamu?!” Untuk kelakuan Rei yang satu ini masih tak habis pikir. Darimana ia mendapatkan ide gila itu? Apa juga dari komik yang ia baca?

“Aku buta Viona.” Ha? Apa? “Cinta bisa membutakan jalan pikir seseorang, termasuk aku. Jadi setelah tau sifatmu dari Gio bahwa kamu tidak mempercayai kata yang satu itu, aku menyusun rencana yang tidak akan bisa kamu tolak.”

“Bagaimana kau yakin aku tidak akan menolak?” Seharusnya itu adalah pertanyaan untukku. Kenapa dulu aku tidak menolak rencana palsu gila itu?

“Karna aku tau kau tidak akan menolak seseorang yang meminta tolong padamu. Bahkan kau akan mengajukan diri saat melihat seseorang tengah mengalami kesusahan. Kau membantuku tanpa pamrih mengembalikan file-file yang hilang dan pergi begitu saja sebelum aku sempat berterima kasih.”

“Kau masih ingat peristiwa itu? Aku bahkan sudah melupakannya..”

“Itulah yang membuatku tertarik sekaligus terpesona. Kau bahkan melupakan tindakan baikmu saat semua orang berlomba membanggakan kebaikan dirinya pada orang lain sekecil apapun itu.”

“Aku memang punya ingatan yang buruk, bukannya tidak mau pamer.”

“Sama saja Vio..”

“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada Helena?” Ingatanku melayang pada sosok wanita yang terakhir kali kami bertemu membekapku dan mendorongku ke mobil.

“Tuntutan 5 tahun dalam sel untuk membantu penculikan, namun masih mengajukan banding. Tenang saja, aku tak akan membiarkan dia menyentuhmu  lagi jika ia tak mau mendekan di penjara selamanya.” Tentang Helena memang aku tak mengikuti, aku lebih fokus pada Keyra. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas kasus penculikan, pemalsuan dokumen dan yang lainnya. Kurasa itu waktu yang tidak terlalu lama, meski aku sudah cukup puas ia akan menderita di balik jeruji besi pesakitan. Dia telah menipu keluargaku dengan menikahi ayah, seorang gold digger menjijikkan.

“Kudengar Alex juga ada di Malang waktu Keyra menyanderaku? Seharusnya dia kan ada di Jakarta karna pesawatnya berangkat beberapa menit setelah dia bertemu denganku.”

“Apa sih yang sebenarnya kalian bicarakan?” Rei tak pernah menutup-nutupi kecemburuannya. Ia akan bertanya langsung pada hal yang mengganggunya, dan kadang aku memang suka memancingnya untuk cemburu, sikapnya sungguh menggemaskan saat dia harus menggerutu dan merajuk.

“Hanya menyapa sesama teman, memangnya tidak boleh? Kau kan juga temannya.”

“Jangan pernah dekat-dekat dengannya! Aku menyesal dulu pernah menceritakan rencana yang kubuat untukmu padanya. Dia malah berusaha merebutmu. Teman sialan.”

“Jadi Alex tau seja awal?” sialan.. jadi ia berpura-pura tidak tau menahu dan memerasku dengan mengancam akan membeberkan pada orang-orang. Ya Tuhan, kenapa semuanya diawali dengan tipu muslihat semacam itu.

“Yeah, waktu kau memutuskan untuk pindah karena menemukan tempat yang cocok. Aku gusar dan pergi minum di sebuah club. Kebetulan di sana ada Alex. Aku dan Alex memang tidak seakrab dulu.” Rei berhenti sejenak untuk menghela nafas, entah apa yang membuatnya seperti enggan membahas pertemannannya dengan Alex. “Tapi juga sudah tidak terlalu bermusuhan. Dia menemaniku minum sampai aku sedikit hangover. Disitulah aku kelepasan bicara soal rencanaku. Besoknya aku tau ia berusaha merebutmu. Jangan tanya aku tau dari mana, aku tau betul sikap dan caranya melihat seseorang yang sedang diincarnya.” Jadi alasan kenapa Rei minum saat itu karna rencana kepergianku? Ya ampun.. sebegitu inginnya kah dia menahanku. “Tapi sekarang sepertinya aku sudah bisa sedikit tenang.”

“Kenapa?”

“Karna aku telah mendapatkanmu secara utuh dan kita saling membagi cinta. Aku tau kau tidak akan pergi dari sisiku lagi.” Rei meremas bahuku lembut.

“Narsis sekali Tuan..”

“Memang begitu kan kenyataannya?” Ya.. ya.. mana bisa aku menolak pria setampan dan seromantis Rei? Sungguh wanita gila yang ada. Baru sampai di Turki saja ia telah menyiapkan kejutan-kejutan yang amat manis. Setelah sampai di rumah neneknya yang ada di tepian Bosparus dengan dermaga dan kapal pribadinya. Aku bahkan tak menyangka rumah orang tua Papa menyuguhkan pemandangan Bosparus setiap harinya. Setelah beristirahat sebentar, kami segera menjelajah Bosparus Bridge yang menawarkan berbagai jajanan khas Turki. Aku sendiri menggila dengan membeli ini itu tanpa memperdulikan jika keesokan harinya berat badanku akan bertambah sepuluh kilo. Peduli amat saat kau memandang makanan yang amat menggiurkan. Rei juga mengajakku berkeliling selat Bosparus dengan mengemudikan sendiri kapalnya. Ia juga membawaku ke Maiden Tower yang berdiri di sebuah pulau buatan di tengah laut. Disana, Rei telah menyewa seluruh bagian serambi dari sebuah restoran untuk tempat kami makan malam. Sungguh gila dan romantis, kami menikmati makan malam dan tenggelamnya matahari dengan udara laut yang menyenangkan. Siapa yang tidak jatuh hati pada pria seperti itu?

“Kau belum menjawab pertanyaanku Rei..”

“Yang mana?”

“Tadi, kenapa Alex juga ada di Malang?”

“Oh.. dia ikut membantu mencarimu juga. Yang sebenarnya malah mengganggu saja.”

“Kenapa kau bilang seperti itu. Dia kan berniat baik.”

“Sudah jangan membelanya. Aku tau dia tak akan lagi mengejarmu, karna dia telah menemukan target baru.” Target baru?

“Siapa?”

“Alex.”

“Aku tau, maksudku siapa wanita yang jadi incarannya?”

“Entahlah. Kurasa PA nya, dia seperti seorang pedhofil.”

“Gadis blasteran yang terlihat masih anak-anak?”

“Bagaimana kau tau?”

“Aku pernah melihatnya saat kau mengajakku ke pesta ulang tahun salah satu perusahaan konstruksi.” Rei telihat berpikir sebentar.

“Ya sepertinya itu dia.” Ya Tuhan! Itu Ane, kuharap dia bisa bertahan dengan semua kemesuman Alex.

“Sayang , sebaiknya kita masuk. Tidak baik terlalu lama berada di udara terbuka malam hari. Ini juga sudah terlalu larut, kita tidak ingin kesiangan untuk pergi ke Blue Lagoon dan menikmati pasir putih. Atau kau mau pergi ke Pamukkale untuk berendam air panas di batuan putih?”  Rei bergerak untuk bangkit.

“Terserah kau.. tapi gendong aku sekarang...” kataku manja sambil menjulurkan kedua tanganku padanya. Kami sedang berbulan madu dan aku selalu ingin dimanja.

Rei tertawa mendengar permintaanku namun ia juga segera mengabulkannya. Mengangkatku dengan mudah dan membawaku masuk ke salah satu kamar hotel batu yang ada di Capadoccia. Mari matikan lampu dan membuat bayi!!
.

.
.
End

Related Posts:

Hopeless Part 80


Sepertinya efek bius yang disuntikkan ke pembuluh darah Viona sudah mulai menghilang. Ya, yang berlutut dengan darah kering di sekitar wajahnya itu Rei. Ada dua pria berbaju hitam yang menahan Rei agar tetap berlutut. Seorang pria yang sudah berumur tersembunyi gelap di sudut ruangan, ada aura kelam yang sangat pekat pada orang itu.

“Lepaskan dia! Kalian sudah mendapatkan yang kalian inginkan.” Geram Rei. Meski ia dipaksa untuk tunduk, ia sama sekali tak terintimidasi dengan situasi ini. Ia hanya sedikit mengalah demi keselamatan Viona.

“Tn. Husain yang terhormat, ada yang masih harus anda bayar..” Keyra berbicara dengan sangat halus dan sopan, tapi seringai licik itu tak pernah lepas dari bibirnya. “Kau tentu masih ingat bukan telah melaporkanku ke polisi?”

“Aku akan mencabutnya.” Sepertinya Rei tau kemana arah pembicaraan wanita kejam yang sedang membelai wajah istrinya. Sialan. Darah Rei mendidih melihat Viona yang lemas dan setengah sadar, diikat di sebah kursi kayu. Ingin rasanya ia menerjang Keyra dan membebaskan Viona, tapi itu masih terlalu beresiko.

“Terlambat menantuku sayang..” Keyra memotong tali yang mengikat Viona pada kursi lalu menarik lengan Viona, membuatnya berdiri terhuyung dengan cengkeraman tangan Keyra yang menahannya.

“Apa yang kau lakukan!?” Rei panik ketika melihat Keyra menempelkan pisau lipat yang tadi digunakan Keyra untuk memutus tali yang mengikat Viona ke kursi. “Jalang sialan lepaskan dia!!” Rei bangkit dari posisi berlututnya saat melihat mata pisau yang menempel di leher Viona semakin ditekan dan menggores leher jenjang Viona. Namun langkahnya tertahan oleh dua orang bawahan Keyra yang telah dibuat Rei babak belur tadi. “Lepaskan aku sialan!”

“Ucapkan selamat tinggal pada istrimu tercinta Mr. Husain..” tawa rendah Keyra menggema di dalam ruangan gelap sebelum ia menyeret Viona menuju sebuah pintu yang terhubung ke lorong panjang yang tak kalah gelap.

Viona tak bisa melawan selain terseok mengikuti langkah Keyra yang mencengkeram kuat lengannya dan menyeretnya. Obat bius itu belum sepenuhnya hilang dan masih menguasai sebagian besar kesadaran Viona.

“Kalian akan membayar mahal semua perbuatan sialan kalian padaku. Kau pikir dengan melaporkanku ke polisi adalah tindakan yang bijak?! Tidak, anak tiriku sayang.. aku tidak takut dengan polisi!! Mereka akan tunduk dengan uang yang telah kudapatkan!” Keyra terus meluapkan kemarahannya saat menggiring Viona menaiki tangga ke lantai atas.

“Apa yang akan kau lakukan Keyra..??” pertanyaan sederhana yang tiba-tiba keluar dari mulut Viona yang lemah itu menghentikan langkah Keyra di beberapa pijakan terakhir menuju lantai atas.

“Diam dan dengarkan sebentar..” Keyra menarik rambut Viona dari belakang lalu mendorongnya merepat ke pegangan tangga. Tubuh Viona terdorong hingga bagian atasnya membungkuk ke bawah, sedikit saja Keyra memberi tekanan maka ia akan terjun bebas ke atas marmer dingin di lantai bawah. “Dengarkan baik-baik sayang.. itu akan menjadi jawaban pertanyaan bodohmu!”

Viona meringis menahan sakit di kepalanya karena jambakan Keyra yang semakin kencang. Ia bingung dengan perkataan Keyra. Mendengarkan apa? Apa yang harus didengarnya untuk mendapat jawaban.  Tapi kebingungan Viona segera terjawab beberapa detik kemudian dengan dua suara letusan senjata api yang menggaung dari ruangan tempat Viona tadi disekap dan menjalar sampai ke lorong hingga bagian atas tempat kini Viona berada.

“Tidak!!!” jantung Viona serasa terenggut. Tidak, itu tidak mungkin seperti yang dipikirkannya kan? “Tidak.. tidak mungkin.. Rei..”

“Ya.. benar sekali sayangku.. itu adalah suamimu. Menantuku yang paling tampan, tapi sungguh malang nasibnya. Tapi kau tak perlu bersedih Viona, karna sebentar kau juga akan menyusulnya.” Keyra menarik rambut Viona lebih keras, membuat tubuh Viona tertarik juga tersentak ke belakang.

Keyra benar. Tidak perlu bersedih atau mengkhawatirkan apapun. Sebentar lagi Viona juga akan mengikuti jejak Rei. Ia akan bertemu dengannya dan tidak akan ada lagi yang akan memisahkan mereka. Dengan begitu, Viona pasrah didorong lagi oleh Keyra menuju lantai atas.
.
.
.
Darius dan anak buahnya di team alpha berhasil melacak ponsel Rei dan mengikuti keberadaan si pemilik ponsel.  Mereka sampai di sebuah rumah di daerah pinggiran yang jauh dari pemukiman ramai. Dari sinilah mereka mendapat titik ponsel milik Rei. Lokasi yang cocok untuk kejahatan.

Darius mengarahkan anak buahnya untuk mengikuti dirinya. Baretta sudah tergenggam erat di tangan Darius, bahkan salah satu anak buahnya berjaga-jaga dengan senapan serbu HK MP. Darius memang seorang perfectionis yang selalu menyiapkan segala hal untuk kemungkinan terburuk. Dengan amat perlahan, orang kepercayaan Rei itu membuka pintu utama rumah yang mereka targetkan sebagai markas penculik Viona. Meneliti dengan cepat keadaan di dalam ruangan dan memastikan semuanya aman, Darius memberikan kode aman pada anggota alpha di belakangnya.

Team alpha mendengar suara gaduh saat mereka telah memasuki ruang depan. “Arah jam sembilan” bisik Darius. Segera seluruh anggotanya berbelok ke arah kiri menuju sumber suara. Darius mengintip dari celah pintu. Dua orang dengan kaos hitam ketat terkapar dengan luka tembak. Masih hidup karena Darius masih bisa melihat gerakan kesakitan mereka. Mata Darius menyisir lebih jauh ke dalam ruangan yang sedang ia amati.

Ada seseorang sedang setengah berbaring di pojok ruangan. Darius memicingkan matanya guna menangkap lebih jelas sosok itu. Dan setelah mengenali sosok itu, Darius mengumpat dalam hati. Itu adalah orang yang memperkerjakannya yang kini sedang berada di ambang maut dengan todongan pistol dari seorang pria yang berdiri tak jauh dari Rei.
.
.
.
Rei berhasil menumbangkan kedua bawahan Keyra dengan revolver yang selalu di bawanya. Beruntung tadi mereka tak memeriksa dirinya hingga senjata itu lolos dan kini beberapa timah panas telah bersarang di dua pria besar. Namun masalahnya, kini senjata itu telah terlempar jauh dari Rei karena pergulatan dengan satu lagi komplotan Keyra yang tangguh.

“Namaku Hans. Ingat itu saat kau terbakar di neraka nak..” pria paruh baya itu menodongkan senjata berwarna silver ke arah kepala Rei.

Rei memejamkan matanya, ia tidak takut untuk mati. Hanya saja.. Viona.. ia tidak bisa membiarkan wanitanya terluka. Sialan sekali ia tak bisa melakukan apapun . Sekian mili detik, suara tembakan menggema di dalam ruangan.  Dan keheningan pekat seketika memenuhi atmosper. Rei menunggu rasa sakit di kepala atau jantungnya. Namun hal itu tak kunjung datang. Apa mati memang tidak menyakitkan? Tidak seperti yang digembar-gemborkan selama ini?

Rei membuka matanya perlahan. Ia mengira akan melihat cahaya putih atau seorang malaikat. Tapi sepertinya ia masih berada di ruangan yang gelap dan pengap. Dan yang berdiri di hadapanyya ini..

“Darius..”

“Sir.. anda tidak apa-apa?” Darius mengulurkan tanganya.

“Ya, terima kasih telah datang.” Rei menyambut uluran tangan Darius. Ia melirik pada pria paruh baya yang tadi menghajarnya dengan buas sampai membuatnya kewalahan. Sekarang pria itu tergeletak tak berdaya dengan luka tembak di kepalanya. Lalu pandangan Rei beralih ke revolvernya.

“Viona bersama Keyra, ibu  tirinya. Ia dalang semua ini.” Rei menggenggam kembali senjatanya.

“Cari wanita yang menahan nyonya Viona. Berpencar dan tetap jaga komunikasi.” Darius menginstruksikan ketiga anak buahnya.

Rei melangkah ke arah lorong dimana tadi Keyra menyeret Viona diikuti oleh Darius. “Aku akan ke atas, kau lurus saja.” Rei memiliki firasat kuat  bahwa Viona ada di atas.

Dengan tak sabaran, Rei berlari ke atas melewati dua anak tangga sekaligus di tiap langkahnya. Menerjang sebah pintu yang ternyata menghubungkannya dengan teras atas rumah ini. Dan feelingnya memang benar, Viona ada disini, berada dalam cengkeraman wanita yang notabenenya adalah ibu mertuanya.

“Viona!”

Viona seperti Tuhan sedang memberinya mukjizat mendengar suara itu memanggilnya. Itu adalah suara yang paling diharapkannya. Bukan gesekkan biola dari sang maestro, atau burung camar atau bahkan suara malaikat sekalipun. Viona bersyukur masih diperdengarkan suara itu.

“Lepaskan Viona. Semua sudah berakhir Keyra, Polisi akan tiba kemari sebentar lagi dan akan membekuk kalian. Kau akan mendapat keringanan bila menyerahkan diri.” Rei mencoba bernegosiasi dengan Keyra.

“Keringanan katamu?” Keyra mendengus keras. “Jangan buat aku mati tertawa Mr. Husain!” Keyra mengetatkan pisaunya pada leher Viona, semakin menekan luka yang telah terbentuk.

“Jangan paksa aku!” geram Rei. Ia tak tahan melihat Viona disakiti. Ia menodongkan revolvernya. Ia harus mengambil keputusan sebelum Keyra bertindak semakin nekat.

“Tembak saja aku maka kau akan melihat istrimu terjun bebas dari sini!” Viona semakin diseret ke arah tepian bangunan. Ia bisa melihat paving keras yang akan meremukkan tulangnya apabila ia jatuh dari sini.

Penglihatan Rei memang memburuk gara-gara pertarungannya dengan Hans tadi dan tidak ada sumber cahaya berarti disini selain dari cahaya bulan. Ia memiliki resiko tinggi mengenai Viona jika tembakannya meleset. Tapi ia juga tidak punya waktu karena Keyra semakin menyeret Viona ke pinggiran. Wanita itu tak pernah main-main dengan kata-katanya.

Dengan terpaksa Rei mengambil Resiko paling besar dalam hidupnya. Ini bukan mempertaruhkan uang, saham atau apapun. Rei mempertaruhkan jiwanya. Dengan satu tarikan dari jari telunjuk kanannya, revolver yang ada di genggaman Rei memuntahkan satu timah panas yang disertai bunyi desingan keras.

Terdengar bunyi roboh dari tubuh seseorang. Tembakan Rei berhasil mengenai seseorang. Seseorang dengan surai hitam bergelombang. Seseorang yang menjadi belahan jiwa Rei.
.
.
.
End?

Related Posts:

Hopeless Part 79

.
.
“Ini pengalihan!” Seru Darius yang mendapati kantong plastik yang tadinya berisi uang hanya berisi lembaran daun kering. “Hubungi Charly! Suruh menyisir tempat tadi!” Darius dengan sigap memberi perintah pada anak buahnya yang langsung dilaksanakan. “Dimana 3 kantung plastik  yang kau ambil dari dekat lift basment hotel tadi?” Darius memasang tampang dinginnya saat menanyai pria berseragam petugas kebersihan yang berlutut dengan kedua tangannya diborgol.

“Saya nggak tau kantung plastik yang Bapak maksud..” Pria yang tergolong masih muda tersebut menjawab takut-takut.

“Jangan pura-pura bodoh atau kau tau akibatnya! Sekali lagi dimana uang itu!”

“U..uang? apa kantung plastik tadi isinya uang? Sial pantas saja tadi berat..” keluh pemuda itu. “Pak! Sumpah saya nggak tau apa-apa. Tadi sata disuruh satpam hotel buat ngambil itu bungkusan trus dituker sama tiga bungkusan yang saya bawa ini di tong sampah belakang gedung.”

“Sersan Edy! Cari satpam yang menyamar dan tiga kantong plastik yang ada di belakang gedung.” Darius segera menghubungi Edi yang masih ada di lokasi sekitar hotel.

“Ehm, Sir.. Mr. Husain menghilang..” berutahu Edi dari seberang, membuat pria yang bahkan amat sangat menjungjung sopan santun itu mengumpat tak karuan.

“Bagaimana bisa!”

“Mr. Curtiz mengatakan beliau menerima panggilan dari ayahnya sebelum pergi ke toilet. Dan beliau langsung menghilang, kami memeriksa cctv dan menemukan bahwa beliau membawa sebuah mobil keluar.”

“Baik. Jalankan perintahku tadi, kami akan melacak Mr. Husain.” Darius memutuskan sambungan telfon dan kembali mengumpat. Ia mengumpulkan anak buahnya dan memberikan sejumlah instruksi.

.
.
.
“Jangan bersikap mencurigakan. Katakan pada yang lain bahwa ini adalah panggilan dari ayahmu dan pergilah ke toilet.” Rei mengernyitkan dahinya saat menerima panggilan dari nomor asing.

“Hallo Pa.. iya Rei masih di Malang. Please, nanti juga akan kujelaskan masalahnya..” Rei menjalankan peran yang diberikan kepada si penelfon. Ia memberitahu pada Alex dan Kia bahwa ia ingin sedikit privasi di kamar kecil untuk berbicara pada papanya.

“Aku sudah di toilet.” Geram Rei. “Katakan dimana Viona, kalian telah mendapatkan uangnya!”

“Tenang Mr. Husain.. kami juga perlu usaha lebih untuk mendapatkan uang itu karna kau menggunakan orang-orang bodoh serta para polisi pecundang itu untuk mengintai uang itu. Jadi sekarang saatnya kau juga berusaha ‘lebih’ keras untuk mendapatkan istrimu.”

“Apa yang kalian inginkan?!” Rei sama sekali tak ingin basa basi. Ia hampir gila membayangkan Viona masih ada dalam sekapan.

“Jemput istrimu sendiri Mr. Husain. Bawa mobil hitam yang ada di bagian belakang gedung. Di dalamnya ada gps yang sudah di set untuk rute menuju tempat istrimu berada. Tapi ingat, sekali lagi anda melibatkan polisi atau orang suruhan anda, maka anda tidak akan pernah lagi melihat wajah cantik Mrs. Husain.” Belum sempat makian Rei tersampaikan lagi-lagi sambungan telah diputus sepihak. Jadilah ia memaki sendirian di dalam toilet.

Rei bergerak cepat, mengendap-endap keluar toilet sambil memperhatikan dan memastikan semua orang tidak melihatnya menuju ke bagian belakang gedung. Mobil yang dimaksudkan sudah terparkir agak tersembunyi terhalang bayangan pohon besar. Pintunya tak terkunci dan Rei bisa leluasa memasuinya. Kuncinya sudah siap menancap bahkan dudukan kemudi masih terasa hangat. Itu berarti baru saja ada orang dalam mobil ini. Tapi Rei tak memperdulikan itu, ia segera menghidupkan gps dan mendorong tuas persneling setelahkan menyalakan mesin mobil. Yang ada dipikirannya hanya Viona dan bagaimana ia bersamanya. Secepat mungkin. Ia tak mau kejadian beberapa tahun silam terulang kembali. Tak bisa menyelamatkan orang yang dikasihinya satu kali saja sudah cukup. Jika ia mengalami hal itu lagi maka ia tak bisa hidup dengan membawa luka yang lebih berat.
.
.
.
Rute yang tertera pada layar gps menuntun mobil yang dikendarai Rei ke sebuah tempat yang jauh dari pemukiman. Pada sebuah rumah cukup besar namun kumuh. Rei menghentikan mobilnya dan segera melompat turun. Memeriksa lingkungan sekitarnya yang benar-benar sepi, tempat sempurna untuk markas penculikan.

Rei masuk melalui pintu utama rumah itu. bunyi derit dari engsel yang tak pernah digunakan memecah kesunyian. Rei baru menginjakkan kakinya selangkah ke dalam rumah dan sebuah kepalan melayang ke arahnya. Tapi ia memiliki reflek yang bagus dan dapat menghindarinya serta menangkap lengan yang melayangkan pukulan, menariknya dan menikngnya ke belakang. Menendang belakang lutut, membuat si penyerang berlutut. Tapi cahaya yang hanya remang-remang membuatnya kecolongan. Rei menerima pukulan tepat di hidungnya dari penyerang lain.

“Sialan..” darah kental keluar dari salah satu lubang hidungnya. Rei mengusapnya kasar lalu bersiaga dengan kuda-kudanya menghadapi dua pria berkaos hitam ketat menampilkan bisep trisepnya yang besar.

Rei tak menunggu mereka menyerang, ia yang maju duluan. Melayangkan tendangan memutarnya,  Rei berhasil mengenai rahang salah satu pria kekar tersebut hingga tersungkur. Sedetik kemudian ia melayangkan pukulannya ke leher pria satunya. Pria pertama yang diserangnya menubruk Rei dan memeganginya. Sedangkan penyerang satunya lagi menyeringai merasa di atas awan karena Rei tak bisa berkutik. Tapi itu salah. Rei menempatkan beban tubuhnya pada orang yang menguncinya dan melayangkan kedua kakinya menendang dengan sekuat dada pria yang bersiap memukulnya. Sedangkan pria yang memegangi Rei terhempas ke belakang dan membentur tembok karena tertekan tubuh Rei.

Rei belum selesai. Ketegangan emosi yang sudah ia tahan beberapa jam terakhir meledak dan menemukan pelampiasannya. Ia menerjang kembali penyerangnya yang mencoba bangkit tanpa menyianyiakan waktu. Menghajarnya habis-habisan sampai sebuah suara berat menghentikannya.

“Cukup Mr, Husain. Aku akui kemampuan anda lumayan juga..” kekehan geli juga licik mengakhiri instrupsi tersebut.

Rei bernafas kasar. Melihat pria sekitar empat puluh tahunan namun masih memiliki tubuh yang tegap dan kekar. “Dimana Viona?!” Rei bertaanya gusar. Ia yakin betul orang inilah yang telah menghubnginya dari awal dan mengarahkan ia kemari.

“Tenang Mr. Husain, kau akan segera bertemu dengannya. Tapi sebelum itu ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda.” Pria paruh baya itu mengirimkan kode pada bawahannya dengan mengedikkan dagunya.

Seketika Rei merasakan hantaman di tengkuknya. Membuatnya terhuyung namun segera ditarik dan diseret mengikti pria tua tadi ke sebah pintu kayu dobel yang nampak kokoh.
.
.
.
Viona mengalami disorientasi pada waktu dan ruang. Efek obat bius yang diberikan Helena melalui sapu tangan juga sesuatu yang disuntikkan pada lengannya membuatnya lemas tak berdaya terikat pada sebuah kursi kayu. Ia hanya mampu menggumamkan kata-kata tak jelas. Umpatan dan juga permohonannya hanya bisa diteriakannya dalam hati. Pandangannya tidak fokus, tidak bisa menganalisa dimana dirinya. Yang pasti ruangan tempatnya berada gelap dan pengap. Suara-suara yang didengarnya juga tidak jelas, tidak ada yang mamp dicernanya kecuali bisikan dan tawa licik dari beberapa pria dan seorang wanita. Tidak ada juga petunjuk sudah berapa lama ia ada di tempat terkutuk ini. Sehari? Dua hari? Seminggu? Sebulan? Ia tak mendapat gambaran apapun.

“Viona!”

Panggilan itu! mungkinkah hanya halusinasi dari keputusasaannya atau memang nyata?

“Viona?!” Viona menajamkan pendengarannya dan seperti menangkap kembali panggilan itu. Apa pria itu benar ada disini? Apa Tuhan telah menjawab doanya? Apa keraguannya telah dihapuskan dengan mendengar suara pria yang telah meluluh lantakan hatinya?

“Sayang kau tidak apa?” Ya ia bisa mendengarnya. Tapi dimana Rei? Kenapa dia tidak segera melepaskannya? Viona menajaman penglihatannya meski gelap mengerumuninya.

“Rei..” satu kata akhirnya berhasil ia ucapkan meski hanya seperti bisikan yang akan langsung ditelan angin. Tapi ia masih ingin berusaha menggapai prianya. “Rei..”

Samar-samar ia melihat dua pria yang berdiri tegap, mengunci seorang pria yang kini tengah berlutut berhadapan tak jauh darinya. Itu Rei! Itu prianya! Ia benar-benar datang.. Viona tak kuasa menahan tangisnya.

“Well, lihat sayang..” seorang wanita mendekati Viona. Ia belum bisa melihat dengan fokus siapa itu tapi sepertinya ia mengenali suaranya. “Lihat siapa yang datang..” jemari dengan kuku-kuku panjang itu menangkup dagu Viona, membuatnya mengernyit akan kukunya yang menancap di kulit wajah Viona. Kini ia bisa menatap dengan jelas siapa pemilik suara itu. “Menantuku yang tampan dan kaya telah datang menyerahkan dirinya..” Dan seringai yang paling Viona benci dalam hidupnya terpampang jelas dihadapannya.
.
.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 78


Helena, wanita itu terlihat menghampiri Viona dan membekapnya dari belakang.

“Toilet tempat makan tersebut rupanya memiliki pintu yang langsung menghubungkan ke area parkir.  Ada kamera di sekitar sana yang berhasil menangkap gambar ini.” Jelas petugas wanita yang tadi menjemput Rei berusaha untuk menjelaskan.

“Nyonya Viona sepertinya menggunakan pintu itu untuk keluar karena instruksi yang disampaikan oleh seseorang. Kamera menangkap visualnya yang masih menggunakan ponsel saat ia dibekap.” Seorang polisi yang ikut menyelidiki mengeluarkan praduganya.

Kejadian selanjutnya adalah mobil box putih yang mendekati Helena dan Viona. Viona didorong masuk ke dalam mobil tersebut.

“Berhenti.” Perintah salah satu petugas bandara. Controler segera menekan tombol space untuk menghentikan laju video.  “Perbesar bagian ini.” Pena petugas tersebut mengarah pada bagian belakang mobil box yang tertampil di monitor. Saat proses zoom sudah selesai, di monitor telah terlihat sederetan angka dan huruf. “Kita dapat nomor polisinya.”

Darius dan semua petugas keamanan dari bandara dan polisi segera mencatat nomor tersebut. Mereka dapat dua petunjuk, Helena Sachi Johnson dan nomor polisi dari mobil yang membawa Viona.

Darius langsung keluar dan menghubungi anak buahnya untuk mencari tahu keberadaan gadis keturunan Johnson  yang kini menjadi tersangka utama. Ia juga menginstruksikan pada bawahannya untuk melacak nopol yang telah berhasil mereka kantongi.

Rei juga bergerak cepat dengan menghubungi Helena. Namun sebuah cekalan tangan menghentikannya saat ibu jarinya akan menekan tombol hijau pada layar ponsel. Tangan itu milik Alex. “Jangan bertindak bodoh. Dia tak akan memberitahu begitu saja dimana Viona ataupun keberadaannya. Jangan memperparah keadaan saat kita sudah memperoleh titik terang. Dia malah akan semakin bersembunyi”

Rei mendengus kesal. Alex benar. Ia tidak boleh gegabah dan malah semakin kehilangan jejak Viona. ia juga kesal karena salah telah menduga Alex yang membawa Viona. Dan sialannya pria itu ikut campur dengan masalahnya. Meski.. sekali lagi.. Alex benar.

“Bisakah kita pulang sekarang. Ibu terus menghubungiku untuk meminta penjelasan. Kau butuh istirahat dan sudah tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini selain menunggu hasil pencarian mobil dan dimana Helena sekarang.” Kia kembali membujuk Rei untuk pulang.

Rei menghela nafas kasar dan mengusap wajahnya. “Ayo..” setelah mengatakan itu Rei berlalu dari ruang pemantauan.
.
.
.
“Helena tidak akan meminta tebusan seperti ini.” Rei menggeleng tak setuju. Ia sedang memberitahukan pada polisi dan orang kepercayaannya perihal pesan singkat yang diterimanya pagi ini. Pesan itu memintanya menyerahkan sejumlah uang yang tidak sedikit. 5 milyar untuk Viona. Bukannya Rei tak sanggup membayar tebusan tersebut, tapi ada yang aneh. Helena bukan wanita yang matrealistis atau apa. Ia sudah memiliki segalanya, dalam artian ia tak kekurangan harta. Johnson bukanlah sembarang orang yang akan menculik istrinya hanya demi mendapat 5 milyar. 5 milyar? Cih.. itu mungkin hanya pajak harta mereka pada negara tiap tahunnya.

“Nomor itu sudah tidak bisa dihubungi.” Darius sudah mencoba menghubungi nomor yang mengirimi Rei pesan tapi tidak tersambung. “Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu pesan selanjutnya.”

“Apa sudah ada yang menemukan dimana Helena berada?” Alex yang entah bagaimana bisa ikut bergabung dalam penyelidikan menyerukan pertanyaannya.

“Anak buahku melaporkan bahwa dia telah meninggalkan negeri ini. Ke Swiss.” Darius menjawab pertanyaan Alex. “Nyonya Viona tak mungkin dibawa kesana. Kami menyimpulkan beliau berada dengan kaki tangan Nona Helena atau mungkin.. orang lain. Seperti yang dikatan Mr. Husain, agak aneh jika motif penculikan ini karena uang jika dilakukan oleh Nona Helena.”

Rei mengerang frustasi. “Tidak adakah yang bisa kita lakukan selain menunggu?!”

“Kami sudah meminta otoritas Swiss untuk menahan Nona Helena.” Bagus, polisi sudah bisa diandalkan. “Benar, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menunggu pesan..” perkataan dari salah satu petugas polisi yang ikut menyelidiki kasus penculikan Viona terpotong oleh dering ponsel Rei.

“Nomor tak dikenal..” Rei memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan sederetan angka tanpa nama.

“Angkat dan ulur waktu Mr. Husain.” Pinta Darius, ia telah memasang sebuah alat pada ponsel Rei untuk melacak si pemanggil. “30 second” ia menambahkan

“Halo. Siapa ini?” Rei mengucapkannya dengan tenang dan pelan, ia tak boleh meledak dan bertindak bodoh hingga pemanggil memutuskan telfonnya.

“Mr. Husain, 5 milyar tunai dalam kantung plastik hitam letakkan di basement hotel anda menginap dekat tong sampah dekat lift jam dua belas siang ini.” Suara berat dan tegas dari seorang pria. Sial. Rei semakin tak tenang mmembayangkan Vionanya berada di tangan laki-laki lain. Ia frustasi membayangkan hal buruk yang terjadi pada istrinya. Dan jika itu sampai benarte
rjadi maka habislah mereka semua. Helena atau siapapun tak akan ia lepaskan begitu saja.

“Bagaimana dengan Viona? bagaimana kalian menyerrahkannya padaku.”

“Uang itu lebih dulu. Kami akan melepaskannya.”

Darius memberi kode agar Rei terus berbicara. “Aku mau dengar suara Viona.”

“Dia baik-baik saja selama anda tidak melibatkan polisi atau siapapun dalam hal ini.”

“Tapi..” belum sempat Rei mengatakan keberatannya, si penelfon telah memutuskan sambungannya. “Bangsat!” ia membanting ponselnya ke lantai hingga memantul dan casingnya terlepas dan layarnya retak. Semua yang ada di ruang tamu rumah budhe Liv menahan nafas sejenak melihat kemurkaan Rei.

“dua puluh delapan detik. Maaf Sir..” ucap Darius lesu tak dapat melacak nomor itu dari komputer jinjingnya. Rei memejamkan matanya untuk menahan emosi.

“Aku akan menyiapkan uang itu. Kau urus yang lain.” Perintah Rei pada Darius sebelum ia menyambar kunci mobil dan keluar ruamah.
.
.
.
Pak Salim menghubungi Rei dan menanyakan masalah apa yang sebenarnya terjadi sampai Rei harus menarik sejumlah uang tunai dalam jumlah besar. Ia telah menerima laporan dari bawahannya bahwa anak laki-lakinya itu menarik dana tunai dari Malang.

“Papa aku sedang berusaha menyelesaikannya. Akan kuberitahu jika sudah berhasil mengatasinya.” Rei segera menutup panggilan papanya tanpa memperdulikan teriakan marah dari pria yang telah membesarkannya. Pandangannya masih terfokus pada tiga bungkusan besar kantung plastik hitam yang ada di dekat lift tempat yang digunakan Rei menginap beberapa waktu lalu. Masih bergeming tak bergerak atau diambil oleh seseorang sejak empat jam yang lalu.

Polisi dan beberapa orang kepercayaan Rei ikut mengintai dari beberapa mobil yang secara sengaja diparkirkan secara acak di basement hotel itu. Rei sendiri diam di balik kemudi mobil SUV hitam bersama dua pria di jok penumpang. Alex dan Kia.

“Kenapa kalian ikut kesini sih!” keluhnya pada dua pria yang juga fokus pada bungkusan uang di dekat lift.

“Karena Viona sepupuku!” seru Kia tertahan, ia takut orang di luar akan mendengarnya dan curiga.

“Karena Viona..” Alex menggantungkan kalimatnya hingga ia mendapat tatapan mematikan dari kaca spion depan. “.. mantanku.” Alex balas menyeringai pada kaca spion.

“Mimpi!” dengus Rei.

“Aku tak tau jika sepupuku yang satu itu diperebutkan oleh orang-orang seperti kalian.” Kia mendesah sebal mendapati aura perselisihan yang hadir kembali antara Rei dan Alex. Mereka harusnya tenang di saat seperti ini dan tidak menimbulkan keributan yang malah akan membongkar pengintaian mereka.

“Dia milikku. Bukan diperebutkan oleh siapapun!” sergah Rei.

“Diam! Lihat itu bodoh!” umpat Alex dari jok belakang.  Ia sedikit memajukan tubuhnya demi melihat seseorang mendekati bungkusan uang yang tertata rapi dalam kantung plastik.

Seorang petugas kebersihan. Mereka bisa tau dari seragamnya. Atau hanya samaran saja. Semua orang waspada dan bersiaga. Saling menghubungi lewat walkie talkie untuk mendiskusikan langkah yang akan mereka ambil.

“Tetap tenang dan perhatikan.” Itu suara Darius, semua mengenalinya meski suaranya tidak terlalu jelas dengan walkie talkie. Ia berada di mobil yang diparkirkan paling dekat dengan lift. Ia yang mengepalai penyelidikan sekaligus pengintaian ini.

Petugas kebersihan itu dengan santai mengambil tiga bungkusan uang tersebut tanpa menaruh curiga apa isi yang ada didalamnya. Atau ia memang sudah tau jika isinya adalah uang? Ia melenggang dari tempat itu tanpa sedikitpun merasa bahwa dirinya sedang diintai.

“Sersan Edi. Ikuti dia.” Perintah Darius. Ia memilih Edi karena dinilai yang paling muda dan sangat melebur dalam penyamaran. Jins dan kaos retro serta tas punggung dan topi untuk menutupi wajahnya dan earphonenya.

“Target keluar dari basement dan berbelok ke belakang gedung.” Hanya darius dan seorang polisi lagi yang mendengar suara sersan Edi melalui headset yang tersambung ke komputer jinjing. Dan darius menginformsikannya ke semua pengintai melalui walkie talkie.

“Target memasukkan paket ke mobil sampah. Sir, tim Ada dan tim Beta harus mengikutinya, mobil sudah bergerak.”

“Tim beta, ikuti mobil sampah yang keluar dari tempat ini. Mr. Husain, anda tetap disini untuk bersiaga jika ada panggilan lagi.” Darius memberikan instruksi singkat sebelum mobil yang ditumpanginya meluncur diikuti satu mobil lagi yang berisi tim Beta.

.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 77


Tidak. Ini lebih rumit. Lebih buruk. Mobil yang kuserahkan pada Viona masih berada di bandara. Dan sampai saat ini wanita itu tak ada rimbanya. Polisi belum bergerak karena menghilangnya Viona belum genap 24 jam. Hell! They must be fucking kidding me.. jelas-jelas ada yang tak beres, mereka masih saja diam!

“Pihak bandara ingin mengkonfirmasi. Ada wanita yang memenuhi ciri-ciri Viona tertangkap kamera cctv. Kuharap kita dapat petunjuk.” Ujar Kia sambil mensejajariku yang setengah berlari menuju ruang monitoring.

Semua orang yang ada ruangan yang penuh dengan monitor dengan berbagai ukuran langsug berdiri ketika aku dan Kia masuk tanpa permisi.

“Maaf.” Kia meminta maaf karena menyadari para staff, polisi bandara dan orang-orang kepercayaanku yang telah tiba lebih dulu terkejut dengan kedatangan kami.

Mereka menangguk mengerti. “Jadi apa kalian menemukan sesuatu?” tidak perlu basa-basi. Hanya info itu.

“Kami perlu konfirmasi sir.” Pria berjins dan jaket hitam yang kuyakini adalah orang kepercayaanku angkat bicara. “Ada seorang yang terindentifikasi mirip istri anda.” Seorang staff bandara menunjukkan sebuah potret agak buram dari cctv yang dipasang agak tinggi. Ada sepasang pria dan wanita dalam gambar tersebut. Si controler menekan  tombol space dan gambar tersebut bergerak, berciuman di tengah lalu lalang orang-orang yang menyeret kopor, dunia serasa milik mereka berdua tak peduli pada orang-orang mengernyit karna perbuatan mereka. Sang itu memakai topi hingga sama sekali tak terlihat wajahnya. Namun aku tau betul siapa pria itu. Aku.

“Ya itu Viona.” jawabku singkat. Pipi dua staff wanita merona melihat adegan itu. Controler agak mempercepat rekaman cctv. Well.. perpisahan kemarin memang sedikit memakan waktu lama. Tak berselang lama sosok Viona hilang tak terjangkau kamera.

“Pindah ke kamera lain.” Perintah salah satu daru staff wanita. Pria pemegang kendali tersebut segera memasukkan cd ke dalam CD ROM. Dan mulai memutarnya, mempercepat ke waktu keberangkatanku kemarin. Dan Viona masih ada. Berpindah pada kaset selanjtnya, ya.. dia masih ada. Kaset ketiga dan seterusnya sampai sosok itu bertemu seseorang. Pria..

Darahku seakan mendidih melihat mereka menuju resto bandara. Sialan! Siapa pria yang membelakangi kamera itu?!

“Apakah ada cctv di tempat makan itu?”

“Kami akan menghubungi pihak resto tersebut.”

Tak berselang lama ada seseorang yang masuk dan menyerahkan beberapa cd box. Dengan cekatan si kontroler memutar cd itu, mencoba mencari sosok Viona.

“Itu mereka, seorang staf menunjuk dengan penanya ke monitor. Ya itu mereka, duduk agak di bagian pojok tapi masih bisa tertangkap kamera dan pria yang bersamanya itu..

“Brengsek!” tanganku mengepal, mengantisipasi untuk memukul seseorang. Monitor didepanku rasanya perlu dilempar palu. Dasar sialan!!

“Tenang Rei. Kau tau siapa orang itu?” Kia menepuk pelan pundakku, menyadarkanku kalau di dalam ruangan itu banyak orang. Sialan. Kalau tidak ada orang mungkin ruangan ini sudah hancur diterpa kemarahanku.

Tanpa mengalihkan pandanganku dari monitor aku mengangguk singkat. Kami terus menantikan adegan selanjutnya sambil berharap-harap cemas. Beberapa saat kemudian Viona terlihat menerima panggilan, meminta ijin pada bajingan itu untuk menjauh dan hilang dari jangkauan cctv. Sialan. Sekarang kemana perginya Viona itu!

Menit-menit berlalu dan Viona belum kembali dari panggilan telfonnya. Pria itu juga beberapa kali menengok jam tangannya. Duduk gelisah dan kepalanya menengok ke arah Viona pergi. Tak ada perubahan berarti controler mempercepat laju videonya. Hingga akhirnya pria itu terlihat mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu kemudian berlalu begitu saja setelah meninggalkan uang di meja.

“Apa tidak ada kamera pada arah Viona pergi?” meski sudah berusaha menutupi kegusaranku, tapi pertanyaan itu sepertinya membuat para anggota staf berjengit.

“Tidak ada sir, itu toilet.” Jawab salah seorang polisi bandara.

“Kami akan memeriksa seluruh rekaman kamera pengawas yang ada di bandara ini segera karna kami sudah bisa mengenali ciri istri anda. Tapi ini sedikit memerlukan waktu.” Telunjuk si controler mengarah pada tumpukan kepingan cd. Yah itu cukup tinggi.

“Baik, kau tau harus kemana menghubungi kan?”

“Ya. Saya akan mengunjungi Pak Darius.” Ia menyebutkan salah satu orangku.

“Bagus, kalau begitu terima kasih atas bantuannya. Kami permisi dulu.” Untung aku masih punya control emosi yang cukup baik untuk sekedar berterima kasih setelah umpatanku tadi.

“Hubungi orangmu yang ada di Jakarta cari dan laporkan orang yang bernama Alexsander Curtiz. Salin rekaman tadi dan jadikan barang bukti. Aku tak peduli pokoknya buat dia bicara dan memberitahu dimana Viona berada.” Perintahku pada Darius setelah kami berada di luar ruang  pengawas.

“Yes, sir.” Ia kembali masuk ke ruang pengawas sementara aku berpaling pada Kia.

“Ini sudah dua puluh empat jam kan?”

Kia tampak mengernyit mendengar pertanyaanku, namun sejurus kemudian ia mengangguk. “Ya.”

“Mari kita temui polisi-polisi sialan itu!”
.
.
.
Para polisi baru mau mendengarkan Rei setelah ia memberikan kartu namanya. Ia bahkan dipertemukan langsung oleh kapolda di ruangannya.

“Lakukan apa saja yang bisa bapak lakukan, saya amat menghargai bantuannya.” Rei menyalami pria berkumis tipis dengan pangkat kepala polisi di depannya. Ia masih punya sopan santun untuk orang di hadapannya.

“Kami akan kerahkan segera anak buah kami.”

“Sekali lagi terima kasih.” Rei melepas genggamannya dan berlalu dari ruang pribadi kepala polisi.

“Sebaiknya kita pulang dulu Rei, kau perlu istirahat.” Kia iba melihat wajah Rei yang kuyu.

“Tidak sebelum aku tau dimana istriku!” Rei bersikeras.

“Kau mau tumbang lebih dulu sebelum nemuin Viona? Masih ada orang-orangmu yang berusaha Rei, polisi juga sudah mulai bergerak.” Kia menarik lengan Rei untuk berhenti. Berusaha membuat pria desperate itu untuk mendengarkan sarannya.

“Bagaimana jika ini terjadi pada Liv? Apa kau akan pulang dan beristirahat saat kau sama sekali tidak tau dimana dan bagaimana keadaan Liv?!” pertanyaan Rei telak memukul sasarannya.

Kia melepas tangannya dari lengan Rei. “Yeah.. kau benar.” Gumamnya. “Ayo kita kembali ke bandara dan lihat apa yang sudah mereka dapat.” Ia berjalan mendahului Rei. Kia mungkin akan jauh lepas kendali dari pada Rei jika ia menempati posisi seperti itu. Ia pasti sudah mendatangi satu persatu teman Liv.

Kia mengemudikan mobilnya dengan sigap kembali ke bandara. Disana mereka disambut oleh Darius yang memberitahu mereka bahwa ada yang ingin menemui Rei.

“Mereka ada di tempat parkir. Sedang menyelidiki mobil Nyonya Viona bersama dua polisi yang baru saja datang.” Ternyata polisi telah bergera cepat.

Polisi dan polisi bandara tengah membongkar isi mobil yang Rei sewa semenjak ia berada di Malang. Ada seseorang yang begitu mencolok diantara para petugas tersebut. Ia terlihat serius mengamati jalannya penggeledahan. Rei menghampiri orang tersebut dan langsung melayangkan kepalan tangannya.

“Brengsek!”

Alex yang tak terima dengan perlakuan yang tiba-tiba diberikan oleh Rei balas memukulnya. Dan baku hantam antara dua pria itu tak terelak lagi.

Para petugas menghentikan penyelidikan mereka dan berusaha melerai Rei dan Alex. Kia menahan Rei dan Darius memegangi Alex, mereka dibantu para petugas.

“Bangsat sialan!! Katakan dimana istriku? Brengsek!!” Rei bersikeras untuk melepaskan diri.

“Dasar bodoh! Apa kau letak otakmu itu di pantat hah! Jika aku tau dimana Viona aku tak akan berada disini!” Alex balik memaki. Ia juga berusaha melepaskan cengkraman Darius dan petugas keamanan.

“Kau! Kau yang terakhir kali bersamanya! Kau menemuinya dan menculiknya! Katakan dimana Viona sebelum aku membunhmu dan mengumpankan mayatmu ke anjing jalanan, sialan!!” bahan dengan adanya petugas kepolisisan Rei berani mengancam untuk membunuh orang. Ia sudah menahan segala emosi untuk bisa berfikir jernih saat mengetahui Viona menghilang. Namun kini ia sudah tak bisa membendungnya lagi, meledak seolah ada yang menyiram bensin kedalam api emosinya.

“Aku tidak menyangka kau benar-benar bodoh. Hanya karena video itu kau menuduhku? Apa kau buta? Apa aku terlihat membius Viona dan membawanya kabur?” Elak Alex

Rei sudah akan melontarkan caciannya kembali saat seorang menyelanya.

“Kami berhasil menemukan gambar orang yang membawa Nyonya Viona..” petugas wanita dari ruang controler setengah terengah setelah berlari ke arah keributan.

Rei yang merasa cekalan di lengannya mengendur langsung melepaskan diri dan mengguncang bahu petuga syang baru datang. “Katakan siapa itu?!”

“Kami sedang ingin meminta bantuan bapak untuk mengenalinya.”

Tanpa berkata apapun Rei segera meluncur ke ruang cctv. Alex, Kia dan Darius mengikutinya dari belakang. Di sana sudah ada sebuah video yang terpampang di monitor besar menampilkan sosok Viona yang sedang dibekap oleh seseorang.

Rei menggeram marah dengan tangannya yang sudah terkepal kuat menahan keinginannya untuk memukul sesatu.

“Kenapa wanita murahan itu bisa berada di sana?!” Desis Alex
.
.
.
TBC

Related Posts:

Hopeless Part 76


.
“Kia kemana Liv?” Rei bertaya pada Liv yang sedang menekuni sarapannya di meja makan. Dengan diresmikannya caffe tadi malam maka aku juga sudah resmi berhenti dari pekerjaan sementaraku. Jadi aku tak perlu lagi datang ke kantor Kia.

“Eh? Cak Kia udah berangkat dari tadi..”

Iyalah udah berangkat dari tadi. Ini kan udah jam 8 lebih.  Gara-gara Rei kami jadi keluar kamar jam segini. Untung budhe Lis belum pulang dan hanya ada Liv. “Kamu kenapa Liv kok pucet?” seperti tidak ada darah di wajah Liv.

“Hmm? Ngga kok. Mungkin karna aku tidur kemaleman dan capek gara-gara acara semalam.” Liv tersenyum tipis. Ia memang terlihat lelah. “Maaf kak.. aku ngga masak cuman bikin mie. Kukira kalian nggak pulang.”

Rei menyeringai sedangkan wajahku terasa panas. “Ngga papa Liv. Kamu nggak ada kelas pagi ini?”

“Ada, bentar lagi mau berangkat..” perkataan Liv terpotong  bunyi bel rumah. “Itu temanku, aku akan berangkat dulu ya..” Liv membereskan peralatan makannya lalu segera meluncur ke ruang depan.

“Ada yang aneh dengan Liv.” Ujar Rei tiba. Apa yang aneh dengan dia? “Biasanya ia tampak ceria dan cerewet.”

“Dia bilang sedang lelah tadi. Tidak kau juga dengar kan?” Rei menggumamkan sesuatu tentang Kia dan entah apa itu. Aku mengabaikannya dan memeriksa isi lemari pendingin yang ternyata.. hanya terisi 10% dengan air mineral dan beberapa buah.

“Sepertinya kita harus brunch di luar. Tidak ada apa untuk dimakan.” Kataku lesu.

“Bagus. Kita bisa sambil menunggu waktu tayang Tn. Stark.” Rei melambaikan dua tiketnya.
.
.
.
“Kenapa mereka menambah tokoh baru? Padahal kelompok sebelumnya sudah bagus.” Gerutu Rei dengan mulut penuh. Ya Tuhan, tidak bisakah ia menelan pop cornnya lebih dulu. Aku ragu dia adalah calon tunggal pengganti  Pak Salim jika sifatnya seperti ini.

Ia menenggak minuman soda yang kusodorkan. “Regenerasi Rei. Mereka sudah tua!”

“Merekan kan punya kekuatan super.” Entah mungkin terlalu stress karena tekanan kerja yang terlalu tinggi atau apa, sepertinya otak Rei sedikit bergeser.

“Mereka akan tua dan mati! Itu Cuma akting. Kekuatan super apanya..” geramku. Rei terkekeh mendengar protesku. Ia mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku jaket. Melihatnya dari sudut mataku, Rei tampak asyik membaca pesan yang barusan diterima. “Siapa?”

“Clara, dia bilang salah satu pabrik di Tangerang mengalami kebakaran dan Papa tidak mungkin kesana.”

“Ya Tuhan! Seberapa parah?” Hampir saja aku menjerit jika tak sadar kami sedang berada di bioskop.

“Clara tidak memberitahuku. Hanya saja aku harus cepat mengadakan jumpa pers dan bersiap jika saja ada korban..” Sial. Kuharap tidak separah itu. “Dengarkan aku Vio. Aku tak berniat meninggalkanmu disini sendiri, hanya saja aku harus pergi. Clara telah memesankan tiket untuk sore ini. Aku akan membereskan masalah ini, jika semua sudah selesai baru aku akan menjemputmu.”

Aku menggengam tangannya untuk memberinya kekuatan dan keyakinan bahwa aku mengerti dan akan menunggunya. “Biarkan aku mengantarmu ke bandara.” Tersenyum dan mengecup pipi Rei.

“Tapi aku harus ke Surabaya. Aku bisa sendiri. Sebaiknya kau istirahat saja.” Rei mengusap lembut kepalaku.

“Tidak! Aku tetap akan mengantarmu.”

“Uh.. wanitaku yang keras kepala..” Rei mengacak rambutku.

“Yak!” tak sadar berteriak, penonton di sekitar kami memicing padaku. Sial!
.
.
.
Bersyukur karna kebakaran di salah satu pabrik kosmetik tidak terlalu parah dan tidak memakan korban. Namun proses produksi harus dhentikan sementara waktu. Penyebabnya masih diselidiki pihak berwajib tapi asal api adalah dari ruang mesin. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apapun.

Yang jadi masalah itu..

“Berapa banyak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian ini Pak?”

“Apakah anda sudah tau penyebab kebakaran ini?”

“Apa kebakaran sengaja dipicu oleh pihak luar?”

“Apakah anda akan menutup pabrik tersebut?”

Dan blitz-blitz dari kamera sialan itu seperti mau membutakanku. Tidak bisakah mereka hanya sekali saja mengambil gambarku. Toh dari tadi aku hanya duduk tenang di belakang meja konfrensi pers.

Setelah beberapa orang menenangkan para wartawan dan menghentikan kilat dari para juru kamera aku mulai membuka acara ini. Yeah, semakin cepat dimulai akan semakin cepat pula selesainya. Hanya membacakan lembar yang kuterima beberapa menit yang lalu untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Hell. Aku bahan baru sampai di sini dan buta informasi sama seperti mereka.

Setelah memberikan makan pada para piranha. Maksudku wartawan. Aku memutuskan untuk segera undur diri. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Termasuk memantau harga saham. Kukira investor tentu tidak akan dengan kejadian ini.

Tapi sebelum itu.. aku akan menghubungi wanitaku dulu. Keras kepala sekali ia mengantarku sampai ke bandara padahal aku tau ia lelah. Well.. setelah malam yang hebat serta paginya yang luar biasa, tentu ia lelah bukan?

“Ayah anda telah menghubungi secara pribadi investor serta sebagian pemegang saham utama. Anda tidak perlu khawatir dan bisa langsung pulang.” Salah satu tangan kanan papa yang menjemput dan membawaku ke konferensi pers memberikan info yang sedikit memberiku nafas lega. Lebih baik aku menjawab pertanyaan ganas dari para piranha. Maksudku para wartawan. Dibanding harus berbicara pada kebanyakan investor berkepala batu. Yeah, aku menyadari memang harus ada sikap tegas dari seorang pemimpin. Tapi mereka kadang sangat menyebalkan.

“Terima kasih Pak Andri.” Seulas senyum diberikan oleh asisten papa itu.

“Sama-sama nak Rei. beliau juga nitip pesan kalau anda harus pulang ke kediaman Pak Salim malam ini.”

Ergh.. ya ampun papa.. apa yang diinginkannya sekarang? Hmm.. tapi jika papa ingin bertanya tentang Viona maka aku punya kabar gembira untuknya. “Baik Pak, tolong antarkan saya segera.”

Selama perjalanan ke rumah papa aku mencoba menghubungi Viona tapi tak ada jawaban. Pesanku juga tidak dibaca. Mungkin saja ia sudah tidur. Tapi ini baru jam 8 mala. Ahh.. tentu saja ia kelelahan. Lebih baik besok pagi saja kuhubungi lagi.
.
.
.
“Pagi pagi Pa.”

“Pagi.” Papa sedang menekuni korannya dengan kopi hitam yang mengepul di menja sampingnya. Mama masih mengurusi si bungsu. Memberinya makan dan susu. Entah mengapa kucing gemuk itu jadi kesayangan mama padahal ia kucing pemalas yang hobinya saban hari hanya tidur di singgasananya. Mama masih saja memanjakannya, jadi aku sering menganggap ia adalah anak mama selain aku. “Bagaimana keadaan Viona?” memang tadi malam belum kujelaskan secara terperinci. Aku hanya mengatakan bahwa hubungan kami sudah membaik.

“Dia baik-baik saja. Aku belum membawanya pulang karena kukira kejadiaannya parah. Besok mungkin dia sudah akan pulang.”

“Siapa yang akan pulang Rei?” mama baru keluar dari wilayah kerajaan anak bungsunya a.k.a. Bubu yang suka bobo sapanjang waktu.

“Menantu satu-satunya yang paling cantik Ma..”

“Yang benar?! Mama udah kangen banget sama Viona.. kamu sih lelet banget nyarinya.” Aku hanya bisa meringis mendengar keluhan mama. Tapi ngomong-ngomong, pagi ini aku lupa untuk menghubunginya lagi.

Tepat saat ponsel di meja makan ingin kuraih, ponsel itu berdering. Menampilkan ID caller bernama Kia. Hmm.. aku bahkan belum berpamitan padanya kemarin, dengan budhe juga. Mungkin aku harus menjemput Viona ke Malang dan berpamitan pada mereka.

“Halo?”

“Hallo Raihan. Aku melihat berita pagi ini juga Liv mengatakan kau terpaksa pulang. Err.. apa disana baik-baik saja?”

“Ya, kami bisa mengatasinya. Untunglah tidak terlalu parah. Kenapa kau baru tau dari Liv pagi ini? Apa kau menghindarinya?” Kia jelas menghindari Liv, pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

“Entahlah.. kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Aku juga disuruh budhe untuk menanyakan kabar Viona.” Apa?

“Maksudnya? Bukannya Viona ada disitu?” Shit.. kurasa ada yang tidak salah.

“Lho.. Kami kira Viona menemanimu pulang. Dia tidak ada disini..” sialan.. calm down Rei... sebelum pertanyaanku meluncur kembali dengan emosi yang membara, lebih baik aku pindah ke ruang depan agar Papa dan Mama tidak curiga.

“Tidak. Dia hanya mengantarku sampai bandara dan bilang akan menungguku..” sebenarnya ada apa dengan wanita itu! Bukankah kami sudah sepakat? Bahkan kami melewati hari yang luar biasa kemarin. Tidak mungkin jika Viona ingin lari lagi.

“Apa kalian bertengkar hebat lagi?” tuduh Kia. Aku mengerang mengingat bagaimana kebersamaan kami kemarin.

“Tidak! Ya Tuhan.. bahkan kami kemarin baru berbaikan dan semuanya berjalan lancar. Sangat lancar kalau boleh kubilang.. apakah tidak ada kerabat lain di Malang yang biasanya ia kunjungi?”

“Hanya kami keluarganya disini.. aku tak tau jika ada teman atau siapa. Tenang dulu Rei, kami akan berusaha mencarinya.”

“Oke.. oke.. aku akan segera kesana.”

“Tapi..” Kia seakan ingin protes tapi aku segera memutuskan sambungan. Hollyshit! Apa yang sebenarnya terjadi.

Bahkan ponsel Viona tidak aktif saat kucoba menghubunginya sekarang ini. Pesan yang tadi malam juga belum dibaca.. Sialan...

Kemana kamu.. tidakkah kamu lelah berlari.. bukanah kita sangat bahagia kemarin.. kenapa kau kembali menghilang?!?!
.
.
.

Related Posts:

Hopeless Part 74

Viona masih belum bisa bergerak. Yang barusan terjadi itu.. bagaimana ia bisa bertindak seperti itu.. jemarinya menyentuh bibirnya yang masih kebas dan berdenyut. Degup jantungnya berpacu secara liar. Efek ciuman Rei telah membangkitkan sebuah hasrat yang tak asing dalam diri Viona. Ia memejamkan matanya erat sebelum akhirnya bangun dan keluar dari kamar. Secepatnya Viona harus menjernihkan pikirannya agar tidak korslet.

Setelah kejadian tak terduga pagi tadi. Viona dan Rei tak saling mengucap satu patah katapun. Bahkan saat mereka hanya berdua saja dalam mobil yang melaju ke caffe yang menjadi proyek yang digarap Kia. Caffe tersebut sudah berhasil direkonstruksi dan akan dibuka nanti malam. Viona sebenarnya sudah gatal ingin mengatakan sesuatu, namun ia terlalu gengsi untuk membuka pembicaraan saat situasinya seperti ini.

Viona hanya membuka mulut ingin mengatakan sesuatu kemudian bibirnya tertutup kembali seolah ada bola bekel yang menyumpal tenggorokannya. Hal itu tak luput dari perhatian Rei. Ia geli melihat ekspresi yang ditampilkan Viona sejak kejadian tadi pagi. Viona memang tak marah, tapi terkesan menghindarinya. Bahkan ia tak mengucapkan satu patah katapun saat ia masuk ke dalam mobil hingga sekarang. Rei amat bersyukur karna kejadian tadi pagi, ia jadi tau Viona tidak benar-benar membencinya.

“Kalau mau bicara, katakan saja. Tak perlu buka tutup mulut seperti ikan kelaparan seperti itu.” sindir Rei masih dengan konsentrasi mengemudinya.

“Ikan kelaparan? Kau keledai dungu!” Viona tak menyangka jika Rei akan mengatainya seperti itu. dan Reipun tak menyangka jika Viona akan membalasnya dengan mengatainya apa? Keledai dungu?

Rei tak bisa mencegah tawanya mendengar serentetan umpatan yang mengekori ejekannya. Bagaimana wanita yang tadi hanya diam seolah pita suaranya baru saja putus tiba-tiba meneriakkan kata-kata kasar.

Rei menghentikan tawanya dan berusaha meredakan kekehan kecilnya kala wanita di sampingnya itu berhenti mengumpat dan memasang wajah yang ditekuk. “Ehmm..” satu deheman dan Rei bisa mengontrol suaranya lagi. “Jadi ada yang ingin kau bicarakan?” Rei mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa embel-embel ejekan.

“Antarkan aku cari baju untuk nanti malam.” Walau dengan setengah hati akhirnya Viona mengatakan permintaannya juga. Rei tersenyum penih arti mendengar jawaban dari Viona. Jadi hal itu yang sedari tadi wanita di samping Rei gugup setengah mati. Benar apa yang dikatakan Kia. Ikuti saja permainannya dan kita buat langkah secara perlahan hingga ia tak sadar kita sudah menangkapnya.

“With pleasure my lady..” canda Rei yang dibalas putaran mata oleh Viona.

.
.
.
Grand opening PhiPhi caffe n resto milik Rei berjalan sangat meriah. Acara itu jauh dari kesan formal karena memang menargetkan pengunjung mahasiswa. Kebanyakan pengunjung memakai pakaian kasual yang terkesan santai, tak terkecuali dengan Rei dan Viona. Kemeja dengan lengan setengah dan denim hitam menambah kesan jantan pada Rei. Viona memakai dress one piece putih berlengan panjang.

Kia sedang menemani Rei beserta kolega lainnya menjelaskan detail interior yang ia bangun.  Sementara Viona bergabung bersama Liv dan teman-teman kampusnya. Ada seorang yang dari tadi menggandeng tangan Liv. Liv mengenalkan pada Viona lelaki itu sebagai teman dekatnya. Tapi Viona tak langsung mempercayainya. Ada sesuatu yang lebih dari cara lelaki itu memandangi Liv.

“Permisi, bisa pinjam Liv sebentar?” Kia menghampiri Liv di meja bersama teman-temannya serta Viona dan memintanya menemani bertemu kolega. Kia sudah menjanjikan hal itu pada Liv untuk mengenalkan Liv pada beberapa petinggi perusahaan untuk memperkenalkan Liv akan dunia kerja. Gadis itu sebentar lagi akan menjalani sidangnya.

Kia merangkul pinggang Liv, menggiringnya pada beberapa kenalan yang sedang menikmati hidangan. Itu mengingatkan Viona saat resepsi Gio dan Naya, Rei memperkenalkanya pada petinggi bisnis negeri ini.

“Maaf, saya permisi sebentar.” Viona memisahkan diri dari teman-teman Liv. Ia agak canggug dengan orang-orang baru jika bukan karena urusan pekerjaan. Membawa minumannya naik ke rooftop yang juga dijadikan bagian dari cafe outdoor, Viona menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas. Disini suasana agak sepi dan tidak banyak pengunjung yang menempati meja yang telah disiapkan. Mungkin karena cuaca yang dingin, sebagian besar pengunjung memilih berada di dalam.

Pandangan Viona menyapu ribuan titik yang berkelip di atas sana. Entah mengapa ia merasa ada rasa sepi yang tiba-tiba menyusup. Hal itu mungkin karna ia terbawa suasana. Musik romantis yang terdengar sayup-sayup, hawa dingin serta langit malam yang tenang. Dan yang paling membuat Viona merasa sepi karna tentu saja.. tidak ada seseorang di sampingnya.

Sebelah tangannya ia larikan ke perutnya yang rata. Dan perasaan sepi itu seolah semakin mencekiknya. Viona semakin mendongakkan kepalanya, mencegah butiran bening keluar dari matanya. “Apa kau baik-baik saja di sana? Maafkan aku..” Gumam Viona entah pada siapa. Viona masih terus memandangi langit malam sampai sebuah suara menginstrupsinya.

“Kau berusaha untuk bunuh diri dan menghantui caffe baruku ya?” sebuah benda hangat melingkupi tubuh Viona. Itu adalah sebuah jas cokelat tua dengan bau maskulin dari kekayuan.

Viona memejamkan mata dan menggelengkan kepala untuk menyusutkan seluruh emosi yang tiba-tiba menyerangnya tadi.

“Hei.. kau kenapa?” Rei menyadari ada yang aneh pada Viona.

“Aku baik-baik saja.” Tapi suara serak Viona mengkhianati dirinya.

“Apa yang mengganggumu?” Rei menjalankan jari-jarinya di pipi Viona. Viona kembali memejamkan matanya, menikmati sentuhan jemari Rei di kulit wajahnya. Dan saat itulah badai emosi kembali menerjang Viona.

Isakannya lolos begitu saja. Viona sudah tak mampu lagi mengendalikan diri. “Aku..” Rei merengkuh tubuh Viona.

“Viona.. Sayang, katakanlah apa yang mengganggumu?” Rei berusaha menenangkann Viona dengan membelai punggungnya.

“Aku.. maafkan aku..” Isakan Viona semakin kencang, ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Rei. “..maafkan aku..maaf..” Rei semakin mengeratkan pelukannya

“Sstt.. untuk apa kau meminta maaf Viona?”Rei benar-benar bingung pada perubahan emosi Viona. Apa dia sedang PMS? Atau ada yang menganggunya? Rei menebak-nebak dalam hati.

Setelah beberapa saat akhirnya Viona berhasil mengendalikan tangisan hebatnya dan menyusutkan air mata, ia mulai menarik dirinya dari Rei. Tapi Rei tidak membiarkan hal itu.

“Ada apa denganmu hmm??”

“A... aku tidak apa-apa..” seluruh alam semesta juga tau bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Seseorang menangis dengan hebatnya dan dia bilang tidak terjadi apa-apa.

“Teruslah berkata seperti itu dan aku akan memelukmu seperti ini hingga kau mau berkata yang sebenarnya.” Tuntut Rei.

“Aku tau , akulah yang pantas disalahkan untuk semua ini.. biarkan aku pergi Rei..” Viona bisa merasakan tubuh Rei menegang saat mendengar pernyataan Viona.

“Kita sudah sepakat Viona.” Rei berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan emosinya. Jika dia tak bisa mengendalikan dirinya maka kemarahannya akan menghancurkan Viona yang kini sedang rapuh, dan itu akan membuat dirinya semakin jauh dari Viona.

“Maafkan aku..” lagi-lagi Viona meminta maaf, entah untuk apa dan kepada siapa.

“Sayang..” Rei menggunakan kedua telapak tangannya membingkai wajah Viona dan membuatnya mendongak untuk menatapnya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan darimu..”

Viona menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak. Aku telah menuduhmu menjadi pembunuh. Seharusnya.. seharusnya itu aku. Aku yang tidak bisa menjaganya, aku yang ceroboh dan menyebabkan dia menghilang bahkan sebelum dia bisa melihat dunia ini.. aku..” air mata serta isakan Viona kembali menghiasi wajahnya.

Hati Rei serasa teriris mendengar ucapan Viona. Tidak semestinya istrinya berkata seperti itu. Sudah benar bahwa dulu ia dikatakan sebagai pembunuh bayinya sendiri. Itu bukan salah Viona sama sekal. Jika bukan karna Rei yang egois dan mengurung Viona, wanita itu tidak akan memaksa untuk lari dan mengebut di jalanan. “Apa yang membuatmu bisa berpikir seperti itu hmm??” dengan lembut, jemari Rei menyingkirkan air mata yang terus mengalir dari mata cantik Viona. “Sebenarnya kita berdua memang salah. Kita masih mementingkan ego kita masing-masing tanpa mau membicarakannya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberikan dia pada kita saat kita belum bisa menjadi orang tua yang baik, saling berkata jujur tanpa menyembunyikan sesuatu dan yang terpenting adalah menekan jauh ego kita. Maka dari itu, Tuhan memanggilnya untuk mecegah ia tersakiti saat kita masih saling egois. Tuhan ingin memberitahu bahwa kita memang belum pantas untuk mendapatkannya.”

“Aku merindukannya Rei..” Viona kembali menenggelamkan wajahya ke dada bidang Rei. Sekuat tenaga tidak ingin mengeluarkan air matanya lagi.

Rei merogoh dompet dari saku celananya dan mengambil sesuatu. Sebuah potret hitam putih dan dengan gambar abstrak. “Aku menemukan ini.” Rei menyerahkan foto USG pertama Viona. “Ini akan menjadi satu-satunya kenangan dan pengingat untuk kita.”

Viona tersenyum kecil di balik tangisnya. Menatap titip putih kecil sebsar biji kacang yang dalam potret.

“Jadi.. setelah kita belajar untuk tidak saling menjunjung ego masing-masing serta saling jujur dan mengatakan apapun yang terjadi.. bisakah kita tetap seperti sebelumnya? Benar-benar menjadi suami istri yang sesungguhnya?” Rei sedikit bergetar saat mengatakannya. Ini seperti pengajuan lamaran kembali pada Viona.

Viona memandang Rei datar. Membuat jantung Rei berdegup penuh antisipasi akan jawaban Viona. “Bukankah kita suami istri syah dari awal?” beberapa saat setelah hening cukup lama akhirnya Viona menjawabnya.

“10 detik yang membunuhku!” Rei mengerang lalu mencium Viona dalam-dalam.
.
.
.

TBC

Related Posts:

Hopeless Part 74

Viona masih belum bisa bergerak. Yang barusan terjadi itu.. bagaimana ia bisa bertindak seperti itu.. jemarinya menyentuh bibirnya yang masih kebas dan berdenyut. Degup jantungnya berpacu secara liar. Efek ciuman Rei telah membangkitkan sebuah hasrat yang tak asing dalam diri Viona. Ia memejamkan matanya erat sebelum akhirnya bangun dan keluar dari kamar. Secepatnya Viona harus menjernihkan pikirannya agar tidak korslet.

Setelah kejadian tak terduga pagi tadi. Viona dan Rei tak saling mengucap satu patah katapun. Bahkan saat mereka hanya berdua saja dalam mobil yang melaju ke caffe yang menjadi proyek yang digarap Kia. Caffe tersebut sudah berhasil direkonstruksi dan akan dibuka nanti malam. Viona sebenarnya sudah gatal ingin mengatakan sesuatu, namun ia terlalu gengsi untuk membuka pembicaraan saat situasinya seperti ini.

Viona hanya membuka mulut ingin mengatakan sesuatu kemudian bibirnya tertutup kembali seolah ada bola bekel yang menyumpal tenggorokannya. Hal itu tak luput dari perhatian Rei. Ia geli melihat ekspresi yang ditampilkan Viona sejak kejadian tadi pagi. Viona memang tak marah, tapi terkesan menghindarinya. Bahkan ia tak mengucapkan satu patah katapun saat ia masuk ke dalam mobil hingga sekarang. Rei amat bersyukur karna kejadian tadi pagi, ia jadi tau Viona tidak benar-benar membencinya.

“Kalau mau bicara, katakan saja. Tak perlu buka tutup mulut seperti ikan kelaparan seperti itu.” sindir Rei masih dengan konsentrasi mengemudinya.

“Ikan kelaparan? Kau keledai dungu!” Viona tak menyangka jika Rei akan mengatainya seperti itu. dan Reipun tak menyangka jika Viona akan membalasnya dengan mengatainya apa? Keledai dungu?

Rei tak bisa mencegah tawanya mendengar serentetan umpatan yang mengekori ejekannya. Bagaimana wanita yang tadi hanya diam seolah pita suaranya baru saja putus tiba-tiba meneriakkan kata-kata kasar.

Rei menghentikan tawanya dan berusaha meredakan kekehan kecilnya kala wanita di sampingnya itu berhenti mengumpat dan memasang wajah yang ditekuk. “Ehmm..” satu deheman dan Rei bisa mengontrol suaranya lagi. “Jadi ada yang ingin kau bicarakan?” Rei mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa embel-embel ejekan.

“Antarkan aku cari baju untuk nanti malam.” Walau dengan setengah hati akhirnya Viona mengatakan permintaannya juga. Rei tersenyum penih arti mendengar jawaban dari Viona. Jadi hal itu yang sedari tadi wanita di samping Rei gugup setengah mati. Benar apa yang dikatakan Kia. Ikuti saja permainannya dan kita buat langkah secara perlahan hingga ia tak sadar kita sudah menangkapnya.

“With pleasure my lady..” canda Rei yang dibalas putaran mata oleh Viona.

.
.
.
Grand opening PhiPhi caffe n resto milik Rei berjalan sangat meriah. Acara itu jauh dari kesan formal karena memang menargetkan pengunjung mahasiswa. Kebanyakan pengunjung memakai pakaian kasual yang terkesan santai, tak terkecuali dengan Rei dan Viona. Kemeja dengan lengan setengah dan denim hitam menambah kesan jantan pada Rei. Viona memakai dress one piece putih berlengan panjang.

Kia sedang menemani Rei beserta kolega lainnya menjelaskan detail interior yang ia bangun.  Sementara Viona bergabung bersama Liv dan teman-teman kampusnya. Ada seorang yang dari tadi menggandeng tangan Liv. Liv mengenalkan pada Viona lelaki itu sebagai teman dekatnya. Tapi Viona tak langsung mempercayainya. Ada sesuatu yang lebih dari cara lelaki itu memandangi Liv.

“Permisi, bisa pinjam Liv sebentar?” Kia menghampiri Liv di meja bersama teman-temannya serta Viona dan memintanya menemani bertemu kolega. Kia sudah menjanjikan hal itu pada Liv untuk mengenalkan Liv pada beberapa petinggi perusahaan untuk memperkenalkan Liv akan dunia kerja. Gadis itu sebentar lagi akan menjalani sidangnya.

Kia merangkul pinggang Liv, menggiringnya pada beberapa kenalan yang sedang menikmati hidangan. Itu mengingatkan Viona saat resepsi Gio dan Naya, Rei memperkenalkanya pada petinggi bisnis negeri ini.

“Maaf, saya permisi sebentar.” Viona memisahkan diri dari teman-teman Liv. Ia agak canggug dengan orang-orang baru jika bukan karena urusan pekerjaan. Membawa minumannya naik ke rooftop yang juga dijadikan bagian dari cafe outdoor, Viona menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas. Disini suasana agak sepi dan tidak banyak pengunjung yang menempati meja yang telah disiapkan. Mungkin karena cuaca yang dingin, sebagian besar pengunjung memilih berada di dalam.

Pandangan Viona menyapu ribuan titik yang berkelip di atas sana. Entah mengapa ia merasa ada rasa sepi yang tiba-tiba menyusup. Hal itu mungkin karna ia terbawa suasana. Musik romantis yang terdengar sayup-sayup, hawa dingin serta langit malam yang tenang. Dan yang paling membuat Viona merasa sepi karna tentu saja.. tidak ada seseorang di sampingnya.

Sebelah tangannya ia larikan ke perutnya yang rata. Dan perasaan sepi itu seolah semakin mencekiknya. Viona semakin mendongakkan kepalanya, mencegah butiran bening keluar dari matanya. “Apa kau baik-baik saja di sana? Maafkan aku..” Gumam Viona entah pada siapa. Viona masih terus memandangi langit malam sampai sebuah suara menginstrupsinya.

“Kau berusaha untuk bunuh diri dan menghantui caffe baruku ya?” sebuah benda hangat melingkupi tubuh Viona. Itu adalah sebuah jas cokelat tua dengan bau maskulin dari kekayuan.

Viona memejamkan mata dan menggelengkan kepala untuk menyusutkan seluruh emosi yang tiba-tiba menyerangnya tadi.

“Hei.. kau kenapa?” Rei menyadari ada yang aneh pada Viona.

“Aku baik-baik saja.” Tapi suara serak Viona mengkhianati dirinya.

“Apa yang mengganggumu?” Rei menjalankan jari-jarinya di pipi Viona. Viona kembali memejamkan matanya, menikmati sentuhan jemari Rei di kulit wajahnya. Dan saat itulah badai emosi kembali menerjang Viona.

Isakannya lolos begitu saja. Viona sudah tak mampu lagi mengendalikan diri. “Aku..” Rei merengkuh tubuh Viona.

“Viona.. Sayang, katakanlah apa yang mengganggumu?” Rei berusaha menenangkann Viona dengan membelai punggungnya.

“Aku.. maafkan aku..” Isakan Viona semakin kencang, ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Rei. “..maafkan aku..maaf..” Rei semakin mengeratkan pelukannya

“Sstt.. untuk apa kau meminta maaf Viona?”Rei benar-benar bingung pada perubahan emosi Viona. Apa dia sedang PMS? Atau ada yang menganggunya? Rei menebak-nebak dalam hati.

Setelah beberapa saat akhirnya Viona berhasil mengendalikan tangisan hebatnya dan menyusutkan air mata, ia mulai menarik dirinya dari Rei. Tapi Rei tidak membiarkan hal itu.

“Ada apa denganmu hmm??”

“A... aku tidak apa-apa..” seluruh alam semesta juga tau bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Seseorang menangis dengan hebatnya dan dia bilang tidak terjadi apa-apa.

“Teruslah berkata seperti itu dan aku akan memelukmu seperti ini hingga kau mau berkata yang sebenarnya.” Tuntut Rei.

“Aku tau , akulah yang pantas disalahkan untuk semua ini.. biarkan aku pergi Rei..” Viona bisa merasakan tubuh Rei menegang saat mendengar pernyataan Viona.

“Kita sudah sepakat Viona.” Rei berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan emosinya. Jika dia tak bisa mengendalikan dirinya maka kemarahannya akan menghancurkan Viona yang kini sedang rapuh, dan itu akan membuat dirinya semakin jauh dari Viona.

“Maafkan aku..” lagi-lagi Viona meminta maaf, entah untuk apa dan kepada siapa.

“Sayang..” Rei menggunakan kedua telapak tangannya membingkai wajah Viona dan membuatnya mendongak untuk menatapnya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan darimu..”

Viona menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak. Aku telah menuduhmu menjadi pembunuh. Seharusnya.. seharusnya itu aku. Aku yang tidak bisa menjaganya, aku yang ceroboh dan menyebabkan dia menghilang bahkan sebelum dia bisa melihat dunia ini.. aku..” air mata serta isakan Viona kembali menghiasi wajahnya.

Hati Rei serasa teriris mendengar ucapan Viona. Tidak semestinya istrinya berkata seperti itu. Sudah benar bahwa dulu ia dikatakan sebagai pembunuh bayinya sendiri. Itu bukan salah Viona sama sekal. Jika bukan karna Rei yang egois dan mengurung Viona, wanita itu tidak akan memaksa untuk lari dan mengebut di jalanan. “Apa yang membuatmu bisa berpikir seperti itu hmm??” dengan lembut, jemari Rei menyingkirkan air mata yang terus mengalir dari mata cantik Viona. “Sebenarnya kita berdua memang salah. Kita masih mementingkan ego kita masing-masing tanpa mau membicarakannya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberikan dia pada kita saat kita belum bisa menjadi orang tua yang baik, saling berkata jujur tanpa menyembunyikan sesuatu dan yang terpenting adalah menekan jauh ego kita. Maka dari itu, Tuhan memanggilnya untuk mecegah ia tersakiti saat kita masih saling egois. Tuhan ingin memberitahu bahwa kita memang belum pantas untuk mendapatkannya.”

“Aku merindukannya Rei..” Viona kembali menenggelamkan wajahya ke dada bidang Rei. Sekuat tenaga tidak ingin mengeluarkan air matanya lagi.

Rei merogoh dompet dari saku celananya dan mengambil sesuatu. Sebuah potret hitam putih dan dengan gambar abstrak. “Aku menemukan ini.” Rei menyerahkan foto USG pertama Viona. “Ini akan menjadi satu-satunya kenangan dan pengingat untuk kita.”

Viona tersenyum kecil di balik tangisnya. Menatap titip putih kecil sebsar biji kacang yang dalam potret.

“Jadi.. setelah kita belajar untuk tidak saling menjunjung ego masing-masing serta saling jujur dan mengatakan apapun yang terjadi.. bisakah kita tetap seperti sebelumnya? Benar-benar menjadi suami istri yang sesungguhnya?” Rei sedikit bergetar saat mengatakannya. Ini seperti pengajuan lamaran kembali pada Viona.

Viona memandang Rei datar. Membuat jantung Rei berdegup penuh antisipasi akan jawaban Viona. “Bukankah kita suami istri syah dari awal?” beberapa saat setelah hening cukup lama akhirnya Viona menjawabnya.

“10 detik yang membunuhku!” Rei mengerang lalu mencium Viona dalam-dalam.
.
.
.

TBC

Related Posts:

Hopeless Part 73


.
Bangun dengan perasaan kehilangan sesuatu yang tidak diketahui itu menjengkelkan. Seperti perasaan kosong yang tiba-tiba saja menggerogoti hati. Memang apa yang hilang? Apa yang kurang? Malah aku dapet selimut. Selimut? Bukannya tadi malam aku melempar selimut ini ke lantai? Lalu Rei tadi malam tidur pakai apa? Ah.. sempat-sempatnya aku mengkhawatirkan pria itu.
Lebih baik aku cepat bangun dan nebeng Kia ke kantor. Aku akan mengancam mogok kerja kalau dia menolakku. Pokoknya aku nggak mau bareng Rei lagi. Bisa-bisa moodku meluncur bebas seharian. Dan itu sudah terjadi kemarin, menyebabkan pekerjaanku kacau. Tak fokus saat Wira menyuruhku memilih font mana yang harus diterapkan pada buku menu. Atau saat Putri memanggilku untuk mengikuti jalannya proses pemotretan makanan, tanpa sadar aku malah nyasar ke ruangan Kia dan berakhir ditertawainya. Sialan.
"Cak ntar aku bareng ya ke kantornya." Bisikku ketika kami berdua sudah siap di meja makan bersama budhe. Liv belum kelihatan batang hidungnya begitu juga Rei.
"Suruh anter suamimu aja. Liv nyuruh aku nganterin dia ke kampus, katanya temennya ngga bisa jemput."
"Ya nggak papa aku ikut nganterin juga." Aku mengambil nasi beserta lauk pauknya. Kata budhe itu kalau belum makan nasi namanya belum makan, jadi ya setiap saat pasti makanan pokoknya nasi. Jangan harap ada roti atau kentang. "Sekalian liat gimana tempat kuliahnya Liv."
"Cak nanti jadi nganterin Liv? Kalau jadi aku mau sms temen suruh ngga usah datang kesini jemput Liv." Liv tiba-tiba muncul dari kamarnya, lengkap dengan tas punggung serta beberapa map di tangannya. Sedangkan Kia langsung tersedak nasi gorengnya. Aku segera meraih air putih yang ada di dekatnya dan memberinya tatapan mengancam. Kia berusaha merebut gelas yang tadi kusambar. Haha! Rasakan tersedak dengan nasi goreng dua puluh cabe setan!
Kia menyerah dan segera berlari mengambil botol minuman di kulkas lalu menenggak isinya dalam hitungan beberapa detik. Liv hanya tertawa cekikikan melihat tingkah kakaknya. "Kamu nggak nyuruh cak Kia ngaterin kamu Liv?" aku mengalihkan perhatianku pada Liv yang masih berusaha meredakan tawanya.
"Hm? Enggak, orang malah cak Kia yang tiba-tiba nawarin tumpangan. Memang kenapa?"
"Salahin aja Rei, dia yang memaksaku!" sungut Kia. "Kau hampir membuatku mati tersedak tau! Kau mau aku jadi anak negro ke delapan? Sumpah tadi itu sakit banget." Muka Kia masih merah padam akibat kejadian tadi. Biarin, siapa suruh bohong? Kena karma kan!
"Karma is a bitch. Kau seharusnya sudah tau Cak." Ledekku. "Memang Rei kenapa? Rei ngancem kakak buat berhentiin proyek? Ya ampun.. masa gitu aja takut."
"Dia ngancem pake yang lain." Gumam Kia masih bisa kudengar.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Sesuatu."
"Apa?" Yang bertanya bukan aku melainkan Liv. Dia ikutan kepo ternyata.
"Ah! Pokoknya ada. Aku nggak mungkin belain kamu lagi Vi. Udah ntar bareng suamimu aja!" Kia meninggalkan sisa nasi gorengnya yang belum tandas.
"Emang kak Viona lagi marahan sama Om Rei ya?" Tuhkan, sekarang kepo ke aku Liv nya.
"Dia belum tua ngapain kamu panggil Om?" Kenapa aku belain Rei??
"Iya.. Emang Kak Viona sama Rei lagi berantem?" Liv mengulangi pertanyaannya.
"Yang sopan kamu sama yang tua kok nyebut nama doang." Kenapa harus belain si brengsek itu lagi sih mulutku ini!!
"Ihh..." Liv mulai jengah dengan koreksi yang kulakukan. "Memangnya Kak Viona lagi berselisih paham?"
"Mau tau aja kepo kamu!" aku membawa piring serta gelas air mineral milik Kia ke halaman belakang demi meghindar dari pertanyaan Liv.
.
.
.
"Kamu ngancem Kia pake apa?" tanyaku to the point setelah Rei menyentuhkan bokongnya ke jok kemudi.
"Aku tidak mengancam siapapun." Jawab Rei acuh. Cih.. kenapa makhluk satu ini selalu berbohong sih. "Aku nggak bohong ya!" Ha? Bagaimana dia tau apa yang kupikirkan. "Jangan menuduhku dengan tatapan seperti itu. Aku cuman tau sesuatu tentang Kia itu saja." Ia tersenyum seperti setan. Sialan. Apa yang dia tau sampai Kia bertekuk lutut begitu? Bahkan tanpa mengancam? Yang benar saja...
"Tak perduli kau mengancam Kia atau tidak. Kau tetap memperalatnya."
"Kia sendiri yang menawarkan bantuan. Yeah, sebagai sesama pria tentu aku tak bisa menolaknya. Sudah jangan cemberut seperti itu atau akan kucium bibirmu itu." Aku segera menarik mundur bibir bawah yang kumajukan entah sejak kapan. Mungkin sejak kedatangan Rei ke Malang. "Dengar Vio.. aku telah mempertimbangkan tawaranmu soal kita dan kontrak itu lagi." Tiba-tiba Rei berubah jadi serius.
Aku menjadi tak tenang, gelisah penuh antisipasi mendengar kelanjutan dari perkataan Rei. "Ja..jadi apa keputusanmu?" Aku jadi tergagap dan tidak sabar karena Rei tak kunjung membuka mulut sialannya. Apa dia berusaha menggodaku?
"Ya, kita akan tetap pada jalur awal. Menjalankan kontrak itu. Setelah itu kau bisa pergi kemanapun kau suka. Dan aku tetap akan memenuhi janjiku soal pemberian saham yang sudah kita sepakati." Aku sedikit terhenyak mendengar keputusannya. Ada nada keputus asaan saat dia menyampaikannya dan entah bagaimana mengusikku.
Tak ada lagii percakapan tentang apapun sampai kami tiba di parkiran kantor Kia. Bahkan penyiar radio yang biasanya ngoceh tanpa jeda juga tak diperdengarkan oleh Rei, pun irama dari music player nya.
Rei mematikan mesin mobilnya usai memarkirkan mobilnya di tempat paling sudut. Ia menghela nafas panjang sebelum berujar. "Keluar dari mobil ini kita akan memulai segalanya kembali." Ia berpaling memandangku dengan senyumnya yang lebar. Tapi aku sangat tau itu jenis senyum seperti apa. Itu sama seperti ketika aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat kehilangan bayiku. Senyum yang sama sekali tak menyentuh ke matanya. Rei keluar dan segera memutari mobilnya menunju pintu penumpang yang ada di sebelahku. Ia membukanya dan mengulurkan sebelah tangannya padaku.
Sejenak aku ragu apakah aku harus menyambutnya atau tidak. Tapi melihat tatapan pengharapan dari mata birunya yang meredup membuatku segera menautkan tanganku pada uluran tangannya. Dan Reipun tersenyum manis. Senyum yang.. mungkin sedikit kurindukan.
Rei segera menarikku mendekat dan melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku. Awalnya aku merasa kaku dan kemudian merileks saat ia berbisik menyuruhku untuk menganggap ini semua hanya akting.
Beberapa karyawan yang mungkin telah mengenalku dan tahu siapa Rei, melihatku dan Rei dengan tatapan tak percaya. Bahkan Wira sampai tersandung kakinya sendiri dan Putri menjatuhkan seluruh barang bawaannya papan board, buku design nya serta beberapa map.
Rei melepas lengannya saat sampai di depan ruang design grafis. Melihat Rei tanpa setelan kerjanya di sebuah kantor adalah pemandangan yang amat janggal. Kaos oblong, celana jogger tiga perempat dan sendal jepit sudah merusak citra calon presdir Xeon. Tapi Rei sepertinya tak ambil pusing dengan itu dan tetap percaya diri.
"Aku akan menjemputmu nanti." Sebuah sentuhan hangat mampir di dahiku sebelum Rei melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Oh Tuhan.. bernafas Viona...
"Ehem..." suara deheman segera membuatku berbalik ke arah dalam ruang design grafis. Diasana sudah ada Wira , Putri dan yang lainnya. Damn! Mereka pasti menjadi saksi hidup saat Rei menciumku barusan.
"Ha..Hai.. Selamat pagi.." Aku menyunggingkan senyum kaku. Beberapa karyawan menyapaku balik dan beberapa lagi hanya mengangguk.
"Ikut aku!" Putri tiba-tiba menyeret lenganku. Hei apa-apaan ini! Ia menyudutkanku di dekat lift bersama Wira.
"Kalian kenapa?" tanyaku sebal. Bagaimana tak sebal pagi-pagi udah diseret dan dibentak.
"Kami menyayangimu Vi jadi kami harus memperingatanmu." Tukas Wira.
"Dan tentang apa itu?" aku memicing curiga pada mereka berdua.
"Kau harus tau kalau Mr. Husain itu sudah beristri!" guess what?? Yeap! Aku hampir meledakkan tawaku mendengar peringatan Putri. Dia persis Kia saat memberitahukan kebeneran bahwa clien mereka sudah bersuami. Mungkin aku harus sedikit mengikuti permainan mereka.
"Lalu kenapa kalau Rei sudah bersuami." Aku sengaja memanggilnya dengan nama depan.
Wira dan Putri langsung terbelalak kaget mendengar kelancanganku memanggil clien dengan nama depan bahkan tanpa embel-embel apapun.
"Kalian sedang apa disitu?" Si pengkhianat baru sampai rupanya.
"Kami baru memberitahu Viona kalau Mr. Husain sudah bersuami." Putri memberitahu secara menggebu pada Kia.
"Lalu?" dengan tanpa oonnya Kia tampak bingung ke mana arah pembicaraan mereka.
"Kami mengerti kalau Viona masih sepupumu, tapi kami tidak bisa membiarkan dia menggoda klien kita!" tambah Wira tak kalah menggebu.
Sepertinya Kia mulai mengerti apa yang terjadi karna ia tersenyum geli. "Jangan bermain-main Viona, beritahu mereka apa hubunganmu dengan Mr. Husain itu." perintah Kia. Huh.. aku tidak bisa bermain-main lagi.
Wira dan Putri tampak bingung dengan tanggapan Kia. "Memangnya mereka punya hubungan seperti apa?" Putri sudah berada di tingkat penasaran akhir.
"Yang sedang kalian pojokin itu istrinya Mr. Husain."
.
.
.
Wira dan Putra segera bertukar pandang dan kehilangan saraf motorik untuk menggerakkan lidah mereka. Mereka memandang pucat pada Viona yang masih berdiri diam dengan senyum geli yang juga nampak pada Kia.
"Ma..Maafkan kami. Kami tidak tau kalau Anda adalah Mrs. Husain..." Wiralah yang pertama berhasil menemukan suaranya. Sedangkan Putri masih menunduk, ia telah benar-benar kehilangan mukanya.
Situasi ini persis seperti saat Kia mengalami akward moment dengan Rei sendiri. Jadi Viona merasa kasian dan segera menengahi. "Sudah tak apa, lagian aku juga tadi kelewat bercanda dengan membiarkan kalian salah paham. Kia sendiri awalnya juga sempat salah paham kok.."
"Itu karna kau telat menjelaskannya Vi. Sudah sana kalian kerja jangan mojok disini. Kia masuk lift untuk naik ke ruangannya yang ada di lantai lima.
"Maafkan kami.. Kami bodoh karena tidak mengenali anda." Putri memohon sambil menggenggam tangan Viona dan memberikan tatapan berkaca-kacanya.
"Ya ampu putri.." Viona merasa kasihan karena tampang melas yang seolah memohon diampuni dari hukum pancung. "Nggak papa kok lagian kalian juga tidak sengaja dan malah ingin menasehatiku baik-baik. Dan kamu Wira!"
Wira yang tiba-tiba ditunjuk oleh Viona gelagapan bukan main. "Yes Mam?"
"Jangan panggil aku seperti itu. tidak Mrs. Husain atau apapun kecuali Viona saja. Seperti kalian memanggilku sebelumnya."
"Um..uh.. ya Viona.."
Berita tentang status Viona yang bukan hanya sepupu Kia namun juga istri Raihan menjadi trending topic di kantor Kia sepanjang hari. Sebagai permintaan maaf Putri dan Wira, mereka mentraktir makan siang. Tentu saja Viona menerimanya dengan senang hati.
Sesuai janjinya, Rei menjemput Viona sore harinya. Masih mengenakan pakaian santainya entah apa yang ia lakukan seharian di rumah. Viona heran kenapa Rei masih berada di Malang padahal seharusnya ia sudah kembali sejak kemarin setelah melihat presentasi Kia. Tapi tentu saja hal itu karena Viona. Ia menyuruh Clara untuk mengalihkan sebagian pekerjaannya pada Papa dan sebagian lagi pada salah seorang kepercayaan Rei. Awalnya Mr. Salim marah karna anaknya tiba-tiba mengambil 'cuti' tak terbatas saat berada di Malang. Namun setelah Rei menjelaskan alasan dirinya tertahan - atau memilih tinggal - di Malang demi Viona, Mr. Salim justru mendukung bahkan mewanti-wanti pada Rei untuk pulang dengan membawa Viona.
Keadaan antara Rei dan Viona sudah jauh lebih baik. Viona bahkan telah mengijinkan Rei untuk tidur seranjang. Namun tentu saja tidak ada 'main course'. Seperti di perjanjian awal. Itu saja sudah membuat Rei bersyukur. Ia bisa diam-diam memeluk Viona saat tengah malam dan Viona telah jauh tenggelam dalam tidur lelapnya. Yah, meski ia harus bangun amat pagi dan tak rela melepas dekapan hangatnya pada tubuh Viona agar ia tak dijadikan menu santap pagi olehnya.
Tapi ada yang beda pagi ini. Karena tadi malam Rei mengobrol dengan Kia semalam suntuk dan baru bisa tidur larut. Viona hendak bangun dan menemukan dirinya dipeluk dari belakang oleh lengan kekar yang tak lain adalah milik Rei. Ia berusaha melepaskan lilitannya tanpa ingin mengganggu tidur Rei.
Namun sial. Bukannya terlepas malah lengan itu melilit lebih erat dan kepala si empu menelusup di antara bahu dan leher Viona. "Rei.." Suara Viona bergetar serta tubuhnya merinding kala bibir Rei menyentuh hangat lehernya dan memberikan kecupan-kecupan lembut. Menghirup aroma manis dari leher istrnya.
Dengan mata yang masih tertutup, Rei membalik tubuh Viona dan langsung menindihnya, menahan kedua tangan Viona yang memberontak ke atas kepalanya. Bibir Rei menyusuri dagu lancip milik Viona berkelana mencari pasangannya untuk kemudian dikecupnya dengan rakus.
Rei pasti sedang bermimpi karna ia merasakan bahwa Viona membalas lumatannya. Sebenarnya, tak bisa dipungkiri bahwa Viona juga merindukan ciuman ini. Sebagian hati Viona masih tersimpan untuk Rei. Itulah mengapa ia memberi kesempatan pada pria yang telah membohonginya. Dan kerinduan yang selama ini ia pendam mati-matian akhirnya pecah berkeping-keping saat menerima serangan tak terduga seperti ini. Ia hanya mampu membalasnya dengan putus asa.
Viona menepuk-nepuk pipi Rei saat ia telah kehabisan nafasnya. Namun Rei masih belum sadar dan menciuminya dengan liar. Akhirnya dengan satu tepukan yang cukup kuat - tamparan -. Mata Rei terbuka dan mendapati Viona berada di bawahnya dengan napas tersengal dan bibir yang membengkak berantakan seperti terkena badai katrina. Wajah serta leher Viona merah merona dengan mata sayu.
"Sial! Maafkan aku Viona." Rei segera bangkit dari tubuh Viona dan berjalan ke kamar mandi dengan terhuyung. Ia kira tadi itu hanya mimpi saja saat dirinya mencumbui istrinya.
.
.
.
Tbc

Related Posts: