Hopeless Part 73


.
Bangun dengan perasaan kehilangan sesuatu yang tidak diketahui itu menjengkelkan. Seperti perasaan kosong yang tiba-tiba saja menggerogoti hati. Memang apa yang hilang? Apa yang kurang? Malah aku dapet selimut. Selimut? Bukannya tadi malam aku melempar selimut ini ke lantai? Lalu Rei tadi malam tidur pakai apa? Ah.. sempat-sempatnya aku mengkhawatirkan pria itu.
Lebih baik aku cepat bangun dan nebeng Kia ke kantor. Aku akan mengancam mogok kerja kalau dia menolakku. Pokoknya aku nggak mau bareng Rei lagi. Bisa-bisa moodku meluncur bebas seharian. Dan itu sudah terjadi kemarin, menyebabkan pekerjaanku kacau. Tak fokus saat Wira menyuruhku memilih font mana yang harus diterapkan pada buku menu. Atau saat Putri memanggilku untuk mengikuti jalannya proses pemotretan makanan, tanpa sadar aku malah nyasar ke ruangan Kia dan berakhir ditertawainya. Sialan.
"Cak ntar aku bareng ya ke kantornya." Bisikku ketika kami berdua sudah siap di meja makan bersama budhe. Liv belum kelihatan batang hidungnya begitu juga Rei.
"Suruh anter suamimu aja. Liv nyuruh aku nganterin dia ke kampus, katanya temennya ngga bisa jemput."
"Ya nggak papa aku ikut nganterin juga." Aku mengambil nasi beserta lauk pauknya. Kata budhe itu kalau belum makan nasi namanya belum makan, jadi ya setiap saat pasti makanan pokoknya nasi. Jangan harap ada roti atau kentang. "Sekalian liat gimana tempat kuliahnya Liv."
"Cak nanti jadi nganterin Liv? Kalau jadi aku mau sms temen suruh ngga usah datang kesini jemput Liv." Liv tiba-tiba muncul dari kamarnya, lengkap dengan tas punggung serta beberapa map di tangannya. Sedangkan Kia langsung tersedak nasi gorengnya. Aku segera meraih air putih yang ada di dekatnya dan memberinya tatapan mengancam. Kia berusaha merebut gelas yang tadi kusambar. Haha! Rasakan tersedak dengan nasi goreng dua puluh cabe setan!
Kia menyerah dan segera berlari mengambil botol minuman di kulkas lalu menenggak isinya dalam hitungan beberapa detik. Liv hanya tertawa cekikikan melihat tingkah kakaknya. "Kamu nggak nyuruh cak Kia ngaterin kamu Liv?" aku mengalihkan perhatianku pada Liv yang masih berusaha meredakan tawanya.
"Hm? Enggak, orang malah cak Kia yang tiba-tiba nawarin tumpangan. Memang kenapa?"
"Salahin aja Rei, dia yang memaksaku!" sungut Kia. "Kau hampir membuatku mati tersedak tau! Kau mau aku jadi anak negro ke delapan? Sumpah tadi itu sakit banget." Muka Kia masih merah padam akibat kejadian tadi. Biarin, siapa suruh bohong? Kena karma kan!
"Karma is a bitch. Kau seharusnya sudah tau Cak." Ledekku. "Memang Rei kenapa? Rei ngancem kakak buat berhentiin proyek? Ya ampun.. masa gitu aja takut."
"Dia ngancem pake yang lain." Gumam Kia masih bisa kudengar.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Sesuatu."
"Apa?" Yang bertanya bukan aku melainkan Liv. Dia ikutan kepo ternyata.
"Ah! Pokoknya ada. Aku nggak mungkin belain kamu lagi Vi. Udah ntar bareng suamimu aja!" Kia meninggalkan sisa nasi gorengnya yang belum tandas.
"Emang kak Viona lagi marahan sama Om Rei ya?" Tuhkan, sekarang kepo ke aku Liv nya.
"Dia belum tua ngapain kamu panggil Om?" Kenapa aku belain Rei??
"Iya.. Emang Kak Viona sama Rei lagi berantem?" Liv mengulangi pertanyaannya.
"Yang sopan kamu sama yang tua kok nyebut nama doang." Kenapa harus belain si brengsek itu lagi sih mulutku ini!!
"Ihh..." Liv mulai jengah dengan koreksi yang kulakukan. "Memangnya Kak Viona lagi berselisih paham?"
"Mau tau aja kepo kamu!" aku membawa piring serta gelas air mineral milik Kia ke halaman belakang demi meghindar dari pertanyaan Liv.
.
.
.
"Kamu ngancem Kia pake apa?" tanyaku to the point setelah Rei menyentuhkan bokongnya ke jok kemudi.
"Aku tidak mengancam siapapun." Jawab Rei acuh. Cih.. kenapa makhluk satu ini selalu berbohong sih. "Aku nggak bohong ya!" Ha? Bagaimana dia tau apa yang kupikirkan. "Jangan menuduhku dengan tatapan seperti itu. Aku cuman tau sesuatu tentang Kia itu saja." Ia tersenyum seperti setan. Sialan. Apa yang dia tau sampai Kia bertekuk lutut begitu? Bahkan tanpa mengancam? Yang benar saja...
"Tak perduli kau mengancam Kia atau tidak. Kau tetap memperalatnya."
"Kia sendiri yang menawarkan bantuan. Yeah, sebagai sesama pria tentu aku tak bisa menolaknya. Sudah jangan cemberut seperti itu atau akan kucium bibirmu itu." Aku segera menarik mundur bibir bawah yang kumajukan entah sejak kapan. Mungkin sejak kedatangan Rei ke Malang. "Dengar Vio.. aku telah mempertimbangkan tawaranmu soal kita dan kontrak itu lagi." Tiba-tiba Rei berubah jadi serius.
Aku menjadi tak tenang, gelisah penuh antisipasi mendengar kelanjutan dari perkataan Rei. "Ja..jadi apa keputusanmu?" Aku jadi tergagap dan tidak sabar karena Rei tak kunjung membuka mulut sialannya. Apa dia berusaha menggodaku?
"Ya, kita akan tetap pada jalur awal. Menjalankan kontrak itu. Setelah itu kau bisa pergi kemanapun kau suka. Dan aku tetap akan memenuhi janjiku soal pemberian saham yang sudah kita sepakati." Aku sedikit terhenyak mendengar keputusannya. Ada nada keputus asaan saat dia menyampaikannya dan entah bagaimana mengusikku.
Tak ada lagii percakapan tentang apapun sampai kami tiba di parkiran kantor Kia. Bahkan penyiar radio yang biasanya ngoceh tanpa jeda juga tak diperdengarkan oleh Rei, pun irama dari music player nya.
Rei mematikan mesin mobilnya usai memarkirkan mobilnya di tempat paling sudut. Ia menghela nafas panjang sebelum berujar. "Keluar dari mobil ini kita akan memulai segalanya kembali." Ia berpaling memandangku dengan senyumnya yang lebar. Tapi aku sangat tau itu jenis senyum seperti apa. Itu sama seperti ketika aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat kehilangan bayiku. Senyum yang sama sekali tak menyentuh ke matanya. Rei keluar dan segera memutari mobilnya menunju pintu penumpang yang ada di sebelahku. Ia membukanya dan mengulurkan sebelah tangannya padaku.
Sejenak aku ragu apakah aku harus menyambutnya atau tidak. Tapi melihat tatapan pengharapan dari mata birunya yang meredup membuatku segera menautkan tanganku pada uluran tangannya. Dan Reipun tersenyum manis. Senyum yang.. mungkin sedikit kurindukan.
Rei segera menarikku mendekat dan melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku. Awalnya aku merasa kaku dan kemudian merileks saat ia berbisik menyuruhku untuk menganggap ini semua hanya akting.
Beberapa karyawan yang mungkin telah mengenalku dan tahu siapa Rei, melihatku dan Rei dengan tatapan tak percaya. Bahkan Wira sampai tersandung kakinya sendiri dan Putri menjatuhkan seluruh barang bawaannya papan board, buku design nya serta beberapa map.
Rei melepas lengannya saat sampai di depan ruang design grafis. Melihat Rei tanpa setelan kerjanya di sebuah kantor adalah pemandangan yang amat janggal. Kaos oblong, celana jogger tiga perempat dan sendal jepit sudah merusak citra calon presdir Xeon. Tapi Rei sepertinya tak ambil pusing dengan itu dan tetap percaya diri.
"Aku akan menjemputmu nanti." Sebuah sentuhan hangat mampir di dahiku sebelum Rei melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Oh Tuhan.. bernafas Viona...
"Ehem..." suara deheman segera membuatku berbalik ke arah dalam ruang design grafis. Diasana sudah ada Wira , Putri dan yang lainnya. Damn! Mereka pasti menjadi saksi hidup saat Rei menciumku barusan.
"Ha..Hai.. Selamat pagi.." Aku menyunggingkan senyum kaku. Beberapa karyawan menyapaku balik dan beberapa lagi hanya mengangguk.
"Ikut aku!" Putri tiba-tiba menyeret lenganku. Hei apa-apaan ini! Ia menyudutkanku di dekat lift bersama Wira.
"Kalian kenapa?" tanyaku sebal. Bagaimana tak sebal pagi-pagi udah diseret dan dibentak.
"Kami menyayangimu Vi jadi kami harus memperingatanmu." Tukas Wira.
"Dan tentang apa itu?" aku memicing curiga pada mereka berdua.
"Kau harus tau kalau Mr. Husain itu sudah beristri!" guess what?? Yeap! Aku hampir meledakkan tawaku mendengar peringatan Putri. Dia persis Kia saat memberitahukan kebeneran bahwa clien mereka sudah bersuami. Mungkin aku harus sedikit mengikuti permainan mereka.
"Lalu kenapa kalau Rei sudah bersuami." Aku sengaja memanggilnya dengan nama depan.
Wira dan Putri langsung terbelalak kaget mendengar kelancanganku memanggil clien dengan nama depan bahkan tanpa embel-embel apapun.
"Kalian sedang apa disitu?" Si pengkhianat baru sampai rupanya.
"Kami baru memberitahu Viona kalau Mr. Husain sudah bersuami." Putri memberitahu secara menggebu pada Kia.
"Lalu?" dengan tanpa oonnya Kia tampak bingung ke mana arah pembicaraan mereka.
"Kami mengerti kalau Viona masih sepupumu, tapi kami tidak bisa membiarkan dia menggoda klien kita!" tambah Wira tak kalah menggebu.
Sepertinya Kia mulai mengerti apa yang terjadi karna ia tersenyum geli. "Jangan bermain-main Viona, beritahu mereka apa hubunganmu dengan Mr. Husain itu." perintah Kia. Huh.. aku tidak bisa bermain-main lagi.
Wira dan Putri tampak bingung dengan tanggapan Kia. "Memangnya mereka punya hubungan seperti apa?" Putri sudah berada di tingkat penasaran akhir.
"Yang sedang kalian pojokin itu istrinya Mr. Husain."
.
.
.
Wira dan Putra segera bertukar pandang dan kehilangan saraf motorik untuk menggerakkan lidah mereka. Mereka memandang pucat pada Viona yang masih berdiri diam dengan senyum geli yang juga nampak pada Kia.
"Ma..Maafkan kami. Kami tidak tau kalau Anda adalah Mrs. Husain..." Wiralah yang pertama berhasil menemukan suaranya. Sedangkan Putri masih menunduk, ia telah benar-benar kehilangan mukanya.
Situasi ini persis seperti saat Kia mengalami akward moment dengan Rei sendiri. Jadi Viona merasa kasian dan segera menengahi. "Sudah tak apa, lagian aku juga tadi kelewat bercanda dengan membiarkan kalian salah paham. Kia sendiri awalnya juga sempat salah paham kok.."
"Itu karna kau telat menjelaskannya Vi. Sudah sana kalian kerja jangan mojok disini. Kia masuk lift untuk naik ke ruangannya yang ada di lantai lima.
"Maafkan kami.. Kami bodoh karena tidak mengenali anda." Putri memohon sambil menggenggam tangan Viona dan memberikan tatapan berkaca-kacanya.
"Ya ampu putri.." Viona merasa kasihan karena tampang melas yang seolah memohon diampuni dari hukum pancung. "Nggak papa kok lagian kalian juga tidak sengaja dan malah ingin menasehatiku baik-baik. Dan kamu Wira!"
Wira yang tiba-tiba ditunjuk oleh Viona gelagapan bukan main. "Yes Mam?"
"Jangan panggil aku seperti itu. tidak Mrs. Husain atau apapun kecuali Viona saja. Seperti kalian memanggilku sebelumnya."
"Um..uh.. ya Viona.."
Berita tentang status Viona yang bukan hanya sepupu Kia namun juga istri Raihan menjadi trending topic di kantor Kia sepanjang hari. Sebagai permintaan maaf Putri dan Wira, mereka mentraktir makan siang. Tentu saja Viona menerimanya dengan senang hati.
Sesuai janjinya, Rei menjemput Viona sore harinya. Masih mengenakan pakaian santainya entah apa yang ia lakukan seharian di rumah. Viona heran kenapa Rei masih berada di Malang padahal seharusnya ia sudah kembali sejak kemarin setelah melihat presentasi Kia. Tapi tentu saja hal itu karena Viona. Ia menyuruh Clara untuk mengalihkan sebagian pekerjaannya pada Papa dan sebagian lagi pada salah seorang kepercayaan Rei. Awalnya Mr. Salim marah karna anaknya tiba-tiba mengambil 'cuti' tak terbatas saat berada di Malang. Namun setelah Rei menjelaskan alasan dirinya tertahan - atau memilih tinggal - di Malang demi Viona, Mr. Salim justru mendukung bahkan mewanti-wanti pada Rei untuk pulang dengan membawa Viona.
Keadaan antara Rei dan Viona sudah jauh lebih baik. Viona bahkan telah mengijinkan Rei untuk tidur seranjang. Namun tentu saja tidak ada 'main course'. Seperti di perjanjian awal. Itu saja sudah membuat Rei bersyukur. Ia bisa diam-diam memeluk Viona saat tengah malam dan Viona telah jauh tenggelam dalam tidur lelapnya. Yah, meski ia harus bangun amat pagi dan tak rela melepas dekapan hangatnya pada tubuh Viona agar ia tak dijadikan menu santap pagi olehnya.
Tapi ada yang beda pagi ini. Karena tadi malam Rei mengobrol dengan Kia semalam suntuk dan baru bisa tidur larut. Viona hendak bangun dan menemukan dirinya dipeluk dari belakang oleh lengan kekar yang tak lain adalah milik Rei. Ia berusaha melepaskan lilitannya tanpa ingin mengganggu tidur Rei.
Namun sial. Bukannya terlepas malah lengan itu melilit lebih erat dan kepala si empu menelusup di antara bahu dan leher Viona. "Rei.." Suara Viona bergetar serta tubuhnya merinding kala bibir Rei menyentuh hangat lehernya dan memberikan kecupan-kecupan lembut. Menghirup aroma manis dari leher istrnya.
Dengan mata yang masih tertutup, Rei membalik tubuh Viona dan langsung menindihnya, menahan kedua tangan Viona yang memberontak ke atas kepalanya. Bibir Rei menyusuri dagu lancip milik Viona berkelana mencari pasangannya untuk kemudian dikecupnya dengan rakus.
Rei pasti sedang bermimpi karna ia merasakan bahwa Viona membalas lumatannya. Sebenarnya, tak bisa dipungkiri bahwa Viona juga merindukan ciuman ini. Sebagian hati Viona masih tersimpan untuk Rei. Itulah mengapa ia memberi kesempatan pada pria yang telah membohonginya. Dan kerinduan yang selama ini ia pendam mati-matian akhirnya pecah berkeping-keping saat menerima serangan tak terduga seperti ini. Ia hanya mampu membalasnya dengan putus asa.
Viona menepuk-nepuk pipi Rei saat ia telah kehabisan nafasnya. Namun Rei masih belum sadar dan menciuminya dengan liar. Akhirnya dengan satu tepukan yang cukup kuat - tamparan -. Mata Rei terbuka dan mendapati Viona berada di bawahnya dengan napas tersengal dan bibir yang membengkak berantakan seperti terkena badai katrina. Wajah serta leher Viona merah merona dengan mata sayu.
"Sial! Maafkan aku Viona." Rei segera bangkit dari tubuh Viona dan berjalan ke kamar mandi dengan terhuyung. Ia kira tadi itu hanya mimpi saja saat dirinya mencumbui istrinya.
.
.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 72

.
Aku tidak menyangka, jadwal kunjunganku ke Malang akan mempertemukanku dengan Viona. Dua hari yang lalu Clara mengingatkanku soal proyek Caffe yang dipindah dari Surabaya ke Malang. Dan sama sekali tak kusangka kalau wanitaku malah menjadi salah satu anggota desain yang mengurusi caffe di Malang. Mungkin ini yang dinamakan takdir Tuhan. Meski Viona masih tak mau mempercayai bahwa ini sebuah kebetulan. Aku tau dia masih marah dan kepercayaannya padaku belum pulih sama sekali. Aku memang pantas mendapatkan itu.
Tapi ini memang takdir Tuhan. Tuhan terlalu murah hati padaku setelah semua yang terjadi. Dan aku tidak akan menyianyiakan kemurahanNya kali ini. Akan kudapatkan kembali Viona..
"Lepaskan aku sekarang!" Ia menggeram di telingaku. Aku melepas lenganku yang melingkar di pinggangnya dan dengan sigap ia pindah ke kursi di sebelahku. Rasanya aku rela memberikan seluruh sahamku agar bisa melihat ekspresi telah kembali ke wajah cantiknya. Meski itu hanya ekspresi kejengkelannya seperti sekarang ini.
"Viona memang suka malu-malu kalau sama saya.." Yeah.. sangat kebalikan dirinya. Sebenarnya dia menyukai perlakuan romantis. Darimana aku tau itu? Aku harusnya berterima kasih pada buku kecil berwarna biru yang ditinggalkan Viona. Tak sengaja kutemukan di salah satu laci walk in closet. Awalnya hanya rasa penasaran karena sepertinya itu bukan bukuku, lagipula saat itu aku hampir gila karena kepergian Viona dan berharap ada suatu petunjuk di dalam buku itu. Tak ada suatu petunjuk apapun dalam buku itu namun setelah membacanya aku merasa cukup lega. Ternyata itu adalah buku harian Viona. Manis sekali istriku ini masih suka menulis buku harian. Melalui buku harian itulah aku tau bahwa Viona benar-benar mencintaiku dan aku tau cinta itu tidak akan hilang begitu saja. Jadi aku aku akan memperjuangkannya apapun yang terjadi. Apapun. Hey! Jangan tatap aku seperti itu karna membaca buku harian milik orang lain! Salah sendiri dia meninggalkannya, akukan hanya pria malang yang sedang putus asa mencari petunjuk keberadaan istrinya.
"Nggak nyangka Viona bisa malu-malu. Padahal biasanya malu-malui." Kalimat terakhir budhe Lis membuat Viona melotot, membuat kami yang melihatnya jadi tergelak.
"Ahh.." Viona menghentikan tawaku setelah dia memberikan serangan cubitannya di pinggangku. Ah andaikan serangan itu dilakukan pada bagian lain aku pasti dengan senang hati menerimanya.
"Kenapa nak Rei?" Budhe sepertinya menyadari ada yang tak beres denganku karna aku tiba-tiba saa berhenti tertawa.
"Ahhahaha.. tidak apa-apa." Viona semakin mengencangkan cubitan kecilnya. Sial! Jika saja aku tak mencintai wanita di sampingku ini! "Kita lihat siapa yang akan bertahan Viona.." Tantangku usai Viona melepaskan tangannya dari pinggangku. Sengaja aku membisikinya tepat di telinga dengan sedikit menghembuskan nafasku. Aku tau ini akan bereaksi padanya, setiap wanita menyukainya bukan? Tapi beberapa detik kemudian dia menatapku sambil menyeringai! Huh.. tidak mau mengalah begitu saja rupanya.
"Nak Rei nginep disini aja. Tadikan kamu bilang ada kerja sama dengan Kia, jadi kalian bisa mudah komunikasinya kalau nak Rei mau disni." Kakak dari Ayah Viona masih membujukku untuk tinggal di rumahnya. Itu memang ide yang tidak buruk, karna aku bisa mendekati Viona kembali.
"Nanti saya akan membawa pakaian saya yang ada di hotel." Aku bisa merasakan tajamnya picingan mata Viona serta bibirnya yang mengerucut tak senang padaku. Aku tak pernah melihat ekspresi jengkelnya yang seperti ini. Tapi ia malah jadi terlihat imut jika seperti ini.
"Tapi maaf ya kalau rumah kami tidak semewah hotel yang nak Rei tempati."
"Tidak apa budhe. Dimana Viona berada disitu sudah menjadi rumah bagi saya." Wajahnya yang sudah pulih dari rona kembali memerah. Berterima kasih pada buku harian biru yang ditinggalkan si pemilik. Aku jadi tau Viona menyukai hal-hal romantis. Meski tak dipungkiri akan sulit sekali membuka hatinya kembali.
"Kalau begitu tunggu apa lagi Viona? Sana bantu suamimu pindahin barangnya dari hotel."
"Tapi Viona harus ke kantornya cak Kia budhe." Huh.. alasan.
"Biar nanti sore saja saya kemari. Sekarang saya akan mengantar Viona."
Viona hendak membuka mulutnya untuk protes kembali namun segera diurungkannya. Ia tau tak akan ada alasan untuk menolak ini. Dan aku memenangkan babak pertama.
.
.
.
"Bagus sekali Rei. Baru kemarin kau bilang tida akan menggangguku dan sekarang apa?" Viona mulai menyerangku saat kami sudah berada di luar jangkauan pengamatan budhe. Setelah ajakan sarapan budhe yang segera kuiyakan, aku dan Viona segera beranjak dari kediaman budhe untuk mengantar Viona ke kantor milik Kia. Kia.. ngomong-ngomong soal sepupunya Viona itu tadi sewaktu sarapan meberiku tatapan sinis. Bukankah seharusnya dia malu padaku setelah kejadian kemarin? Atau.. mungkin saja Viona sudah memberitahunya soal permasalahan kami.
"Aku juga bilang bahwa akan menemuimu secepatnya. Kau tentu mendengarnya kan kemarin?" Aku membalasnya seraya memutar mobil ke arah jalan besar.
"Kau pikir ini lucu?" Lihat? Sekarang dia berani berteriak dan melotot marah padaku. Jika dalam kadaan normal mungkin aku akan senang sekali menertawainya. Tapi untuk saat ini aku harus berusaha mati-matian menahan tawa.
"Yeah terserah kalau kau menganggap ini lucu, tapi aku tidak." Bohong. "Jam berapa nanti kau pulang?"
"Aku akan pulang dengan Kia." Jawab Viona acuh, ia telah mengalihkan pandangannya pada pepohonan di luar kaca mobil.
"Baiklah aku akan berkemas sendiri nanti dari.."
"Jam empat! Aku pulang jam empat!" Akhirnya menyerah juga.
"Nanti akan kujemput."
Tidak ada bantahan dari Viona, Tapi aku tau dia menahan kesal setengah mati dengan mukanya yang ditekuk. Sampai di kantor Kia pun raut wajah Viona tak menunjukkan perubaham, cemberut dan selalu membuang muka. Aku tau ini tidak akan mudah, tapi setidaknya tidak ada penolakan dari Viona. Tidak ada kekosongan pada matanya, atau tatapan hampanya yang sering membuatku tersiksa karena rasa bersalah. Tidak ada kekosongan pada matanya, atau tatapan hampanya yang sering membuatku tersiksa karena rasa bersalah.
.
.
.
"Itu selimut dan bantal. Terserah kau mau tidur di lantai atau di luar tapi jangan sentuh ranjangku!" Viona melempar slimut tebal serta sebuah bantal ke lantai tempatku berpijak. Ohh.. ini sudah mulai melewati batas.
"Jika aku menolak tidur di sini dan memilih di luar, kau mau budhe tau kita ada masalah?" aku mencoba mengancamnya. Ayolah.. aku sudah sampai di sini dan dia tak mengijinkanku tidur di ranjangnya?
"Aku sudah memikirkannya Rei. Kita tetap pada rencana awal. Tetap jalani kontrak itu." Kontrak sialan..
"Kau sudah tau kan kontrak itu hanya akal-akalanku untukmendapatkanmu. Jadi itu sama sekali tidak valid. Kau istriku Viona. Perlu kau tau aku melakukan janji itu sepenuh hatiku, tak ada kontrak apapun dalam hal sesakral itu. Jadi aku masih suami syahmu sampai detik ini..!!" rasanya ada yang menyulut sumbu emosiku jika ada Viona membahas tentang kontrak bodoh itu. I know i was be the person behind that fucking contract. Tapi aku sudah mengakuinya bahwa aku melakukan hal itu untuk mendapatkan Viona.
"Jadi ceraikan saja aku sekarang jika kau tak mau menjalani kontrak itu!" Viona balas berteriak padaku. "Jangan mempersulit semuanya.." tambah Viona.
"Kau yang mempersulit ini." Desisku sebelum keluar dan membanting pintu kamar. Siapa yang mempersulit siapa?
"Hei Rei.. tidak bisa tidur?" Kia sedang membuat sesuatu di dapur saat aku berjalan menuju teras belakang.
"Yah begitulah." Tidak bisa tidur seranjang dengan Viona maksudku.
"Mau kubuatkan mie instan?" tawarnya.
"Boleh." Sudah berapa lama aku tidak makan mie instan? Lidahku sudah lupa rasanya.
"Kau sedang ada masalah kan dengan Viona?" tembakan langsung tepat ke sasaran.
"Terlihat jelas ya?"
"Tidak juga. Viona yang memberitahuku, hanya garis besarnya saja." Aku tersenyum miris.
"Kau tau kan para wanita. Mereka begitu sensitif, selalu bertindak dengan berdasar emosi. Kita harus berhati-hati dan harus sangat pelan menghadapi mereka. Dibalik sifat mereka yang kadang sekeras batu, mereka sedang menyembunyikan suatu kerapuhan yang tak ingin dilihat oleh kita para lelaki."
"Kenapa mereka selalu harus dimengerti?" dengusku. Aku tau.. aku tau.. bukannya aku langsung menyerah setelah bertekad untuk memperjuangkan Viona apapun yang terjadi. Tapi kata kontrak dan perceraian itu yang membuat darahku mendidik tak karuan.
"Karna itulah sifat dari makhluk yang bernama wanita. Kalau kau terus memasanya, batu itu memang akan lenyap karena kau menghancurkannya, tapi mereka juga akan ikut hancur bersama topeng yang selalu mereka gunakan untuk melindungi kerapuhannya. Kau mengerti kan maksudku?" Kia bicara panjang lebar sambil tetap bekerja di depan kompornya.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Aku bertanya seperti orang bodoh. Bodoh karena putus asa. Sebelumnya aku tak pernah menghadapi wanita yang merajuk marah sampai seperti ini. Tidak tak pernah sama sekali.
Kia mematikan kompor lalu menghidangkan mie yang dimasaknya ke dalam dua mangkuk. "Pindahkan topeng atau batu itu secara perlahan. Bukan menghancurkannya." Kata Kia bija sambil menyerahkan satu mangkuk berisi mie instan dengan kuahnya yang mengeluarkan kepulan panas. Aku yakin ini akan enak karena cuacanya yang sungguh dingin. "Turuti apa yang dimaui mereka." Tambah Kia kemudian.
"Jadi aku harus menurutinya yang minta cerai?"
Kia yang duduk di seberangku langsung tersedak pada suapan pertama. Mungkin kaget karena pertanyaanku. Ia ingin berbicara sesuatu tapi sepertnya batuknya masih enggan meninggalkan ia. Kia lalu mengambil air mineral dan menenggaknya. "Kau membuatku hampir mati tersedak." Ia berhasil mengatasi juga batuk tersedaknya. Sebenarnya aku ingin tertawa tapi kurasa Kia akan tersinggung dan tak jadi memberikanku solusi. "Ulur waktunya Rei, dan selama itu rebut hatinya."
Diam-diam aku membenarkan apa yang dikatakan Kia. Lagipula sebenarnya Viona tadi menawarkan kesepakatan tentang kembali menjalankan kontrak itu. Jadi aku masih punya waktu sekitar satu setengah tahun lagi. Waktu yang lumayan banyak untuk mendapatkan hatinya kembali. Kenapa aku tadi tidak berpikiran seperti itu? Sudah kubilang aku akan menjadi bodoh jika mendengar kata kontrak dan cerai dari mulut wanita yang paling kupuja itu.
Aku memikirkan rencana yang akan kulancarkan sambil menikmati mie yang dibuatkan Kia. Kenapa rasa mie instan jadi seenak ini? Apa aku sudah terlalu lama tidak memakannya dan tidak tau ada varian baru?
"Aku ke kamar dulu Ki. Thank's sudah menemaniku ngobrol dan memberi masukan."
"Never mind sir."
Sesampainya di kamar, Viona terlihat seperti sudah pulas dengan tidurnya yang memunggungi pintu kamar. Selimut dan sebuah bantal masih teronggok di lantai. "Ya ampun.. keras kepala sekali wanita ini.." Aku saja yang memakai sweater tebal masih kedinginan apalagi dia yang hanya memakai kaos oblong? Dia biasanya memakai piyama atau kamisol. Ohh.. hell.. aku merindukan kamisol linen itu, serta bagaimana tali kamisol turun melewati bahu jenjangnya.
Kuselimuti tubuh mungil wanitaku sekaligus bergabung dengannya. Viona membalikkan badannya. Kukira dia akan bangun namun ia hanya bergumam dan malah memelukku dan menelusupkan wajahnya ke dadaku. Lengannya terasa dingin menembus kaosk yang kupakai. Dasar keras kepala.. sudah tau dingin tapi kekeh tak mau memakai selimut. "Hey sweetheart.." aku bisa melihat bekas air mata yang telah mengering di pipinya, hatiku mencelos seketika. "Maafkan aku sayang.." kuuelus lembut pipinya dan memberinya kecupan di keningnya. "Maaf.."
.
.
.
TBC
.
.
.

Related Posts:

Hopeless Part 71

.
"Vi, katanya dia mau makan siang sama kamu. Padahal aku udah nolak dengan halus kalau kamu nggak bisa. Aku tau kamu udah punya suami dan nggak mungkin aku ngumpanin ke pria seperti itu." Bisik Kia dengan amat hati-hati padaku. "Meski kuakui dia lebih ganteng dari gwe. Dikit." Tambah Kia.
Mukaku rasanya merah padam. Ya Tuhan.. cobaan apalagi ini? Aku tau aku bukan hamba yang taat banget, tapi kenapa engkau kasih cobaan secara bertubi-tubi kayak gini... Aku mengerang dalam hati.
Presentasi senin pagi memang berjalan sangat mulus, semulus jalan tol. Bahkan 'sang pemilik' caffe menyambut hangat ide-ide kami dan bersedia menggelontorkan dana lebih. Kia serta seluruh teamnya pastinya amat senang dan bakal antusias melaksanakan rancangan kerja mereka. Kecuali aku. Iya, aku.
"Tapi dia ngotot, pengen makan siang bar.. nah tuh orangnya." Mata Kia mengkodeku pada sesosok pria yang berjalan ke arah kami. "Siang sir.." Sapa Kia usai orang tersebut berada di hadapan kamu. Orang yang tatapannya selama presentasi sama sekali tak kugubris meski matanya tak pernah lepas selama presentasi tersebut berlangsung. Dasar tak tau malu!
"Selamat siang." Pria tersebut membalas dengan ramah sapaan Kia. Membuatku melengos dalam hati. "Hallo Viona.. bisa kita bicara sebentar?" Aku sama sekali mengacuhkan ajakannya.
"Maaf Sir.. tapi.. tapi Viona tidak bisa. Kami akan segera pulang." Kia terbata-bata menolakkan ajakan pria dihadapannya. Ya, segera bawa aku pulang sebelum tekanan darahku naik tak terkendali.
"Kalau begitu saya akan ikut kalian pulang." Dumb Ass!! Sialan banget sih ni orang! Keterlaluan.
"..." Aku hampir mencacinya tapi suara Kia telah mendahuluiku.
"Maaf sir. Kita memang partner kerja tapi bukan begini caranya. Jika anda tertarik dengan sepupu saya, saya beritahu sejak sekarang saja agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan nantinya. Viona telah memiliki suami dan anda tidak berhak untuk mendekatinya." Aku kaget mendengar ketegasan Kia. Oh Wow.. calm down boy.
"Udah ayo cak kita pulang." Aku sedikit menarik lengan Kia.
"Saya tau Viona sudah bersuami." Pria tadi menekankan kata terakhirnya. Argh.. apa-apaan sih ni! Mungkin mukaku sudah melebihi merahnya tomat atau udang rebus. Jengkel, kesel, malu!
"Jadi kalau begitu jangan mendekatinya. Atau proyek ini kita batalkan saja." Sepertinya emosi Kia sudah mulai mendidih. Aduh.. kok jadi salah paham begini.
"Kami sudah dekat Bapak Kia. Viona adalah istri saya.."
DOR!
.
.
.
Sepanjang perjalanan pulang Kia mengomeliku. Marah, ngambek, kesel. Seperti itulah. Ini lebih baik daripada aku harus pergi dengan orang yang notabenenya adalah 'suamiku'. Beruntung aku bisa pulang dengan Kia setelah aku berbicara berdua saja dengan Rei tadi. Tak sampai lima menit. Aku menyuruh Kia menungguku di mobil. And It will make sure that i'll never go anywhere with this fucking person.
Rei dengan tampang tak bersalahnya mengatakan bahwa sebuah kebetulan bertemu denganku di sini. Dan itu merupakan sebuah takdir. Urgh.. it smell like another bullshit from him. Takdir yang dia bikin maksudnya? Kenapa harus nglibatin proyek kayak gini? Apa Kia tau juga soal ini jadi dia mengajakku dalam kerja sama sialan ini? Ah.. tidak mungkin. Jika ya, maka dia tak akan mempermalukan dirinya seperti tadi. Pfft.. aku hampir tidak bisa menahan tawa saat mulutnya terbuka dan menutup kembali secara berulang seperti ikan koi saat Rei memberitahu bahwa aku adalah istrinya. Poor Kia..
Aku menegaskan pada Rei bahwa aku sedang tak ingin diganggu dan ingin menenangkan diri. Menenangkan diri yang itu artinya tidak dengan dirinya berada di sekitarku. Entah bagaimana Rei membiarkanku pergi. Tapi setelah aku berjalan meninggalkannya menuju ke tempat mobil Kia diparkir dia berteriak akan menemuiku lagi secepatnya. Damn it! Tidak bisakah aku beristirahat dengan tenang?
"Kenapa kamu ngga bilang sih Vi dari awal?" Akhirnya pria ganteng di sebelahku ini mau membuka mulutnya.
"Salah sendiri nikahanku kamu nggak hadir, kan jadinya nggak kenal." Aku berdalih, sebenarnya aku memang malas mengenalkan merek. Terlebih situasinya seperti ini.
"Aishh... Aku kayak nggak punya muka lagi deh ketemu suamimu.." Aku terkikik dalam hati. Aku juga tidak akan pernah berani memunculkan mukaku lagi jika aku jadi Kia. "Tapi kenapa kamu malah milih pulang bareng aku. Suamimu kemana emangnya?"
"Udahlah cak.. ngga usah bahas dia. Aku lagi bt." Sudah cukup hari ini aku dikejutkan oleh kedatangan Rei yang bikin mood hari senin langsung anjlok ke level minus. Aku malas jika harus membahasnya lagi.
"Kamu ini aneh. Kamu ngga lagi bertengkar kan Raihan?"
"Aku lagi mintai cerai!" Seketika menginjak rem secara mendadak. Ups.. kelepasan.. abis Kia cerewet banget sih pengen tau. Untung jalanan sepi, kalau tidak mungkin sudah jadi kecelakaan beruntun.
"Apa kamu bilang? Aku nggak salah denger kan?" nggak kok cak, kamu ngga perlu ngorek telingamu, masih bisa denger dengan normal. Cuman reflek gilamu yang perlu diperiksain kayaknya!
"Emm.. ya lagi dipertimbangin.. udah ah! Ayo cepetan pulang ngapain berenti di tengah jalan gini. Ganggu yang lewat kali cak."
"Jadi kamu kesini buat kabur ya?" Argh.. tuh kan malah disangkain kabur. Aku kan cuman nurutin saran Ayah buat nenangin diri. Tapi malah ketemu makhluk yang dihindari. Hmm.. tapi apa ayah yang kasih tau dia kalau aku disini ya? Tidak, justru ayah yang menyuruhku kemari untuk menenangkan diri dan menjauh sebentar dari Rei.
Aku membenturkan kepalaku ke dashboard dengan pelan. "Tidak bisakah kita berhenti berbicara tentang ini." Kia terdiam. Mungkin heran melihat aksiku yang seperti anak kecil ini. Tapi perduli setan, aku benar-benar muak jika harus membicarakannya saat ini.
"Apa yang dilakukannya padamu?" Kia membuka lagi suaranya setelah ia juga melajukan mobilnya kembali. Sekarang nadanya sudah kembali normal, malah cenderung dingin.
"Hal yang buruk." Jawabku singkat.
"Dia.. memukulmu?" Kia seperti ragu menanyakan itu. Sedang aku malah terkikik dengan pertanyaannya.
"Kalau dia memukulku aku bakal membalasnya, ditambah tendangan mungkin."
"Hmm.. yeah dia tak memiliki wajah psycho. Lalu apa?"
"Hmm.. there is something unforgiven. Ada banyak kebohongan dalam dirinya. Aku sendiri ragu telah mengenalnya.."
"Tak usah diteruskan. Aku mengerti.." Syukurlah kalau Kia mengerti tanpa aku harus menjelaskan detailnya.
"Terima kasih cak.." gumamku.
"Ya.. aku tau kau tidak akan bertindak seperti ini tanpa suatu alasan."
.
.
.
"Siapa Liv yang dateng?" pagi-pagi benar bel rumah budhe lis sudah ditekan.
"Om ganteng." Liv mencomot bakwan jagung yang baru kutiriskan.. ia meringis kepanasan. Yaiyalah, orang itu baru di angkat dari minyak panas.
"Kok pagi-pagi bener udah mertamu ke rumah orang." Cibirku.
"Ngga papa kali kak Vi, kan ganteng." Liv menyambar botol saus untuk ditambahkan pada bakwannya.
"Trus yang ngga ganteng ngga boleh? Apa bedanya coba?" aku melepas apron dan menggantungnya di dekat lemari pendingin.
"Kan kalo ganteng bisa buat cuci mata di pagi hari."
"Ngga sekalian buat cuci muka juga?"
"Boleh juga itu kalo si om mau." Ah.. ni anak malah tambah ngawur.
"Viona? Ada tamu untukmu." Budhe lis muncul dari ruang depan. "Sekalian kamu hidangin minum sama bakwan yang baru kamu buat."
Aku mengambil gelas serta piring untuk menghidangkan bakwan. "Emang siapa budhe?" perasaan aku ngga punya banyak kenalan disini yang terlalu akrab hingga bisa menemuiku sepagi ini. Jika Wira dan putri, mereka bisa menemuiku sebentar lagi di kantor Kia. Lagian Wira juga belum terlalu tua untuk dipanggil Om sama Liv.
"Suamimu." Oh! Hollycrap!
"Suami kak Viona?!" Liv langsung terlonjak dari duduknya.
"Iya, sana temuin. Kok nggak bilang suamimu juga ada di Malang, kan bisa disuruh nginep disini." Tegur budhe. Mana aku tau Rei kemari, kemarin aja dia tiba-tiba nongol di presentasinya Kia. Kalau tau dia mau kesini mah aku ngga akan ke Malang, mending juga ke bulek di Bandung.
"Kok ngga bilang-bilang sih kak punya suami ganteng." Kalau mau ambil saja sana! Rasanya aku ingin berteriak seperti itu pada Liv.
Argh!! Rei sialan.. dia bilang kemarin tak akan menemuiku dulu. Tapi kenapa pagi-pagi kayak gini malah seenak jidatnya nongol di rumah orang.
"Buat siapa Vi?" Kia yang baru keluar kamar menanyakan nampan yang akan kubawa ke ruang depan.
"Tamu." Jawabku singkat.
"Buat suaminya kak Viona tuh cak!!" dasar Liv ember.
"Dia kesini?"
"Iya, suaminya kak Viona ganteng lo cak!"
"Gantengan juga gwe."
"Cie.. ada yang kesaing nih ceritanya.." sindir Liv.
"Bilang apa kamu? Ayok bilang sekali lagi kalau berani." Kia menjepit kepala adiknya debawah ketiaknya. Membat Liv menjerit. Dan kemudian aku mendengar tawa mereka dari ruang tamu.
"..nak Rei kalau masih lama di Malang nginep disini aja. Kan Vionanya juga disini. Anggap saja ini rumah sendiri." Grrr.. budhe..
"Iya, rencana begitu. Saya di Malang juga ada urusan dengan Bapak Kia, jadi sekalian mampir kesini." Huh? Menginap disini? Jangan mimpi!
"Kia? Jadi kamu yang kerja sama dengan Kia?"
"Iya budhe."
"Ehm.." Budhe dan Rei langsung menyadari kehadiranku yang membawa nampan hidangan setelah aku berdehm.
"Eh Viona.. Ayo gabung sini."
Aku duduk di samping budhe setelah menaruh hidangan. Otakku berputar membuat rancangan skenario agar pria di hadapanku ini cepat enyah dari sini. "Kok nggak disambut sih suaminya.. cium sayang tangannya." Budhe apalagi ini.. aku tersenyum kaku dan dengan kikuk pindah ke sampingnya. Tapi belum sempat pantatku menyentuh bantalan kursi, aku sudah terlebih dulu ditarik ke pangkuan Rei. Lalu dengan tampangku yang masih shock dia mencium bibirku sekilas.
"Viona memang suka malu-malu kalau sama saya.." seloroh Rei pada budhe. What The FFFFF.... "Ahh.." Rei memekik tertahan saat pinggang rampingnya kucubit dengan keras.
"Kenapa nak Rei?"
"Ahhahaha.. tidak apa-apa." Aku semakin mengencangkan cubitanku, membuat Rei meringis. "Kita lihat siapa yang akan bertahan Viona.." bisik Rei di telingaku. Aroma parfum serta mint langsung memenuhi indra penciumanku. Dia seperti bau kayu-kayuan di hutan pagi yang segar, sekaligus memabukkan...
.
.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 70


"Aku menyuruhnya menenangkan diri. Di tempat yang tidak ada gangguannya tentu saja." Ayah Viona memberitahuku kalau Viona sedang tidak ada di rumah. Yang kutangkap dari ekspresi Ayah adalah dia sudah mengetahui segalanya dari Viona. "Tenang saja, dia akan segera kembali dan menyelesaikan semuanya. Viona juga sudah kusarankan untuk mencabut gugatannya dan mau untuk mempertimbangkan itu." Kabar dari Ayah sungguh sangat membuatku lega. Meski bukan Viona sendiri yang mengatakannya, tapi ada celah untuk memperbaiki masalah ini.
"Terima kasih Ayah, sampaikan salamku untuk Vio dimanapun ia berada." Setelah menyampaikan salamku aku pamit pada Ayah. Sebenarnya sudah banyak sekali pekerjaan di kantor yang sudah kuterlantarkan gara-gara masalah ini. Untung Papa masih mau membantuku setelah tau perbuatanku. Yeah, beliau amat murka sampai merutukiku hingga beberapa hari pasca Viona keguguran. Orang tua mana yang mau digunakan sebagai senjata pemikat wanita hanya karena akal-akalan sakit bohongan. Mama juga menyayangkan perbuatanku. Tapi mau apa dikata semuanya sudah terlanjur, aku terpaksa membuat semua sandiwara ini. Ini karna wanita keras kepala itu. Sejak pertemuan pertama kami saat dia menolongku. Ada sesuatu yang beda darinya. Caranya menatap tidak seperti para gadis yang selalu berkedip menatapku seolah 'hei kau sangat tampan'. Tapi memang aku mengakui jika aku tampan. Atau para wanita yang 'hei, lihat kemari sayang. Aku menginginkanmu. Di ranjang. Tidak. Dia tidak menatapku seperti itu. Tatapannya langsung ke mataku dan itu hanyalah tatapan formal pada orang asing dan tak berniat mengakrabkan diri. Dia hanya membantuku mengembalikan file-file itu. Lalu pergi. Tanpa memberiku kesempatan untuk berterima kasih. Atau menanyakan namanya.
Aku semkakin gelisah ketika tau dari Gio bahwa Viona sangat sulit ditaklukan bahkan ia tak mempercayai cinta. Hell! Wanita mana yang tidak percaya yang namanya cinta? Biasanya mereka malah mengagung-agungkan nama itu tanpa tau artinya. Sedangkan Viona.. Setelah mengenalnya lebih dekat aku tau apa yang dimaksud Gio.
"Clara, apa jadwalku hari ini?" aku menghubungi Sekretarisku yang akhir-akhir ini juga ikut kalang kabut menghadapi para mitra usaha, jadwal, serta dokumen-dokumen yang terlantar gara-gara sering kutinggal dengan seenaknya sendiri. Mungkin aku akan memberinya kenaikan gaji karena masih mau bertahan dengan kelakuan boss nya yang gila.
Clara menyebutkan beberapa rincian jadwal hari ini dengan suaranya yang datar. Aku heran, sebenarnya Clara memiliki tubuh yang bagus dan dia malah memilih bekerja sebagai sekretaris dibandingkan bekerja sebagai model. Orang mungkin akan mati-matian untuk membentuk badannya agar bisa menjadi seperti dia untuk menjadi model, tapi Clara malah menyimpan tubuh indahnya itu dibalik pakaian kerjanya. Bukannya aku mengagumi postur tubuh Clara, tapi begitulah yang pernah diungkap oleh Viona. Aku bahkan dulunya tak pernah memperhatikan kalau Clara itu memang benar-benar tinggi sampai Viona yang bilang seperti itu.
Ah.. wanita itu.. kemana sebenarnya dia menenangkan diri?
.
.
.
"Maaf, dulu budhe ngga sempet dateng ke nikahanmu. Habis nikahnya cepet banget, budhe ngga ada yang nganter karna cak-mu itu lagi sibuk banget."
"Ngga papa budhe, nikannya engga gede banget kok." Aku dan budhe Lis sedang berbincang sambil menikmati sari apel hangat di teras rumahnya.
"Ngga gede gimana, orang diberitain dimana-mana kok." Aku hanya bisa meringis membenarkan sindiran budhe. Aku nggak terlalu tau kalau ada pemberitaan tentang pernikahan itu karna waktu itu aku langsung terbang ke Bali dengan Rei. Ah kenapa aku jadi mikirin pria brengsek itu.
"Kia kemarin bilang sama budhe buat nyuruh kamu bantuin dia buat sesuatu."
"Buat apa budhe? Cak Kia mau dibikinin masakan apa?" Moodku tiba-tiba bertambah karena sejak tiba disini budhe melarangku menyentuh dapur. Katanya biar aku seneng-seneng aja disini, padahal aku sudah menjelaskan kalau memasak itu bagian dari hobbyku. Tapi tetap saja budhe kekeh aku tidak boleh menyentuh dapur.
"Bukan buat makanan, nggak tau apa tapi masalah pekerjaannya."
"Oh.." Moodku kembali turun.
"Nah, itu Kia baru pulang. Dia akan menjelaskannya nanti." Kia, anak sulung budhe Lis baru saja memarkirkan sedan putihnya di halaman rumah yang membentang luas lalu turun dan menghampiri kami.
"Sore Ibu." Kia memeluk budhe Lis lalu menyapaku. "Sore, Vi."
"Sore, Cak."
"Liv dimana Bu? Kok ngga kelihatan?" Kia menanyakan adik perempuannya, dan itu adalah si bungsu di keluarga ini.
"Katanya lagi bikin tugas sama temen-temen kuliahnya."
"Bikin tugas kok sampe sore gini belum pulang." Dengus Kia. Bukannya mahasiswa itu emang kerjaannya seambrek? Mending sore, dulu aku sampai nginep di kosan temen hanya demi mengerjakan tugas kelompok waktu itu.
"Ya kayak kamu belum pernah kuliah aja Ki. Sudah sana mandi dulu, ngobrolnya nanti saja." Kia nyengir dan langsung masuk ke dalam rumah.
.
.
.
Ternyata Kia ingin aku membantunya mendesain sebuah proyek caffe yang sedang digarapnya. "Aku nggak bisa desain caffe cak. Dulu aku belajarnya desain grafis bukan interior." Dulu aku pernah belajar desain grafis beberapa bulan dalam sebuah komunitas yang aku iseng untuk masuki. Dan itu sangat bermanfaat sekali saat aku mejabat manager pemasaran untuk menilai kemasan mana yang menarik masyarakat atau tidak. Uh.. apa kabarnya divisiku sekarang ini. Aku jadi teringat belum mengabari Gio sama sekali setelah aku menyatakan keputusan gilaku itu padanya.
"Ya nggak papa Vi. Cuman bantuin aja daripada kamu bosan disini. Aku tau kamu kebosanan karna disuruh Ibu nggak ngapa-ngapain kan disini?" Kia tau banget aku hampir mati bosan hanya bisa berjalan-jalan atau belanja selama beberapa hari disini.
"Iya, aku hampir mati kebosanan." Bisikku supaya tidak terdengar oleh budhe. "Tapi aku bisa bantuin apa dong?" Aku membenarkan posisi dudukku di sofa ruang keluarga karena mulai tertarik dengan tawaran Kia. Tidak bekerja sama sekali rasa-rasanya otakku mau tumpul.
"Banyak Vi. Kamu bisa desainin plakat, paper bag, sampai ke brosur sekalian juga nggak papa. Tenang aja, nggak gratis kok. Mau ya? Daripada kam ndekem disini aja, kayak kucing lagi hibernasi."
Aku memukul kepala Kia pelan. "Yang hibernasi tu beruang." Kia tertawa mendengar perkataanku. "Okelah, aku bantuin. Mulainya kapan?" Tanyaku serius.
"Secepatnya kalau bisa. Kita udah dikejar waktu soalnya, kemarin aja sudah minta tenggat dan untungnya masih diberi waktu. Besok kuantar ke lokasinya supaya kamu bisa cari bahan desainnya."
Aku menyanggupi permintaan Kia. Bahkan mulai malam itu aku mencari refensi desain caffe. Meski aku tidak akan ikut ambil bagian pada interiornya, tapi setidaknya dengan melihat gambar-gabar itu aku akan mendapat inspirasi untuk membuat sentuhan grafis pada caffe.
.
.
.
Kia benar-benar langsung mengajakku ke tempat kerjanya esok hari setelahnya. Aku diikutkan rapat semi formal dengan teamnya dan aku bergabung dengan dua orang lainnya yang akan mengurusi desain grafis caffe.
Aku, Wira dan Putri membentuk kelompok diskusi sendiri setelah rapat selesai di outdoor caffe. Mereka yang akan menjadi partner kerjaku kali ini. Sesuai dengan tema yang diangkat, kami mulai mendiskusikan desain apa yang akan kami terapkan.
"Sekarang lagi heboh sama flat design, sepertinya itu juga cocok dengan tempat ini." Wira mulai mengemukakan pendapatnya.
"Jangan lupakan typografi untuk poster serta papan board untuk quote." Tambahku. Putri mulai menjelaskan spot mana saja yang akan di taruh papan board serta membeberkan bahan tag line yang akan kami design dalam poster maupun bosur. Ia juga menyalinkan foto-foto makanan serta minuman untuk menu.
"Mbak Viona nggak papa nih mulai kerja langsung lembur?"
"Jangan khawatir, aku biasa lembur kok." Meski udah lama ngga pernah lembur, ngga kerja malah.
"Iya, kan kamu disini lagi liburan Vi." Timpal Wira.
"Aku bosan jalan-jalan mulu sama blanja ngga jelas. Aku suka kok berkegiatan kayak gini." Malah rindu banget kerja team seperti ini. Berdiskusi dan saling melempar ide. Gio, Yuni biang gosip, si mesum Rendi, Keke.. Ah.. aku menggelengkan kepala menyingkirkan wajah-wajah yang kurindukan.
"Kita sudahi saja diskusinya, nanti kita share kerjaan lewat email. Sudah tau kan email masing-masing?" Wira memberesi dokumen serta komputer jinjingnya. Aku dan Putri mengangguk mengiyakan dan ikut memberesi dokumen milikku.
"Vi udah selesai?" Kia muncul dari bagian dalam caffe dengan tas ranselnya. Ya ampun.. kayak anak kuliahan aja padahal umur udah mau kepala tiga. Tapi Kia emang awet muda sih.. masih kelihatan awal dua puluhan malah.
"Udah cak. Mau pulang atau kemana dulu?" Aku mengekori Kia menuju mobilnya.
"Kamu mau kemana dulu?" Tawar Kia.
"Pulang aja cak. Aku mau bantu budhe nyiapin makan malam."
"Emang boleh?" sindirnya sambil memasang sabuk pengaman.Huh! Iya, budhe belum bolehin aku nyentuh dapur selama berada disini. "Jangan manyun gitu.. Ibu cuman ngga mau kamu repot padahal disini kamu liburan."
"Aku nggak repot cak.. aku suka kok masak. Rasanya aku gatel banget nggak masak padahal dapur gede."
"Maaf, cak mu yang malah bikin kamu repot bantuan kerjaan cak."
"Kan kemarin juga cak yang nawarin kalau aku bosen di rumah, dan emang aku bosen pengen ngelakuin sesuatu.."
"Iya, iya. Nanti aku coba bantu ngomong ke Ibu agar kamu dibolehin masak."
"Makasih cak."
.
.
.
Olivia meminjamiku mac nya untuk membantu pekerjaan Kia. Untung di mac nya ada software yang kubutuhkan, kalau nggak ada dan harus beli dulu yang ori kan mahal. Sesekali aku mengikuti Kia ke tempat kerja untuk mendiskusikan hasil kerja dengan partner satu teamku, Wira dan Putri. Selebihnya aku hanya mengerjakannya di rumah.
"Kak Vi, Tungguin Liv!" Olivia berusaha menyusulku dengan nafas ngos-ngosan. Kami sedang lari pagi menyusuri kebun apel karna ini adalah minggu pagi. Minggu pagi yang sangat . Tadi dia bersemangat mau menemanik jogging, tapi sekarang malah bersungut-sungut. "Balik aja yuk kak? Dah keringetan nih.." Keluh Liv.
"Sama aja kalo kita muter lagi atau balik. Udah terusin aja ayo!" Aku menyeret tangan Liv agar lebih cepat.
Besok adalah presentasi proyeknya Kia dan aku disuruh mengikutinya. Sebenarnya sempat kutolak karena aku cuman anak bawang, tapi Kia memaksaku. Katanya semua anggota team harus hadir secara lengkap.
"Liv kamu kenapa? Ngos-ngosan gitu?"
"Nemenin kak Vi jogging cak..." Liv yang mukanya sudah merah padam membaringkan tubuhnya di rerumputan pendek depan rumah.
"Nemenin jogging kok kayak orang mau lairan gitu." Ejek Kia.
"Lairan anak kodok nih!" Liv mencabut rumput di sekitarnya dan melemparnya pada Kia. Tapi terlambat karna Kia sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Aku tertawa melihat keakraban adik kakak ini. Walau mereka saudara tiri.
Malam sebelum Kia mengajukan presentasi proyeknya, ia memintaku untuk menemaninya berlatih, Ini mengingatkanku saat berlatih presentasi juga bersama Rei. Dia mengkritikku disana sini. Ahh.. kenapa aku harus mengingat orang itu lagi!
Dan senin pagi yang membuat seluruh anggota team, tak terkecuali aku, merasa berdebar pun tiba. Hari senin yang identik dengan kemalasan harus kami taklukan. Entah kenapa aku jadi amat bersemangan dengan proyek sepupuku ini. Tapi hari senin ini juga membuktikan padaku bahwa peribahsa 'dunia tak selebar daun kelor' itu salah. Malah rasanya dunia itu tak lebih besar dari daun cabai..
.
.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 69

.
.
Rei masih bisa menerima jika Viona untuk sementara tinggal di rumah ayahnya untuk menenangkan diri. Tapi kiriman surat pagi ini di kantornya sudah melewati batas ambang kesabarannya. Dengan cepat ia merobek surat gugatan yang telah ditandatangani oleh istrinya. Suara bantingan pintu membuat Clara terlonjak seiring dengan aura kelam yang terpancar dari si boss yang keluar dari ruangannya.
“Ms. Antonio tolong kosongkan jadwal hari ini dan sesuaikan untuk besok. Saya tidak akan berada di kantor hari ini.” Perintah itu dilontarkan sambil lalu tanpa menoleh sedikitpun pada Clara. Sekretarisnya itu sangat tau jika Rei memanggil marganya maka dia sedang tak ingin bercanda atau dalam keadaan santai sama sekali.
“Yes, Sir.” Clara segera mengendalikan degupan jantungnya yang memburu gara-gara Rei yang seenak jidatnya membanting pintu dan memberinya perintah sambil lalu.
Satu-satunya tujuan Rei hari ini adalah menemui wanita yang sudah menghancurkan mood pagi harinya di kantor. Surat sialan itu. Sampai mati dia tak akan menyetujuinya.
“Jangan terlalu memaksanya. Aku tau kalian sedang ada masalah walau Viona tak mau membicarakannya denganku. Hanya.. dia sedang terguncang.”
“Baik, ayah.” Rei mengamini permintaan mertuanya. Justru Vionalah yang memaksa dirinya. Hingga sampai pada titik didihnya. Rei segera melangkahkan kakinya ke arah dapur karna menurut ayah mertuanya, Viona sedang berkutat di ruangan itu.
Rei bisa mencium bau manis yang menguar dari ruang yang tak begitu luas itu. Viona tampaknya tak menyadari kegiatannya membuat adonan tengah diperhatikan oleh sepasang mata biru yang menawan. Ah, andai saja semua masalah ini tak pernah ada pastinya Rei akan langsung memeluknya dari belakang dan memberikan kecupan hangat di tengkuknya.
“Kau sedang membuat apa?” Sejenak Rei melupakan amarah yang menyeretnya hingga sampai disini. Ia hanya sangat merindukan wanitanya.
Viona hampir menumpahkan saus strawberry panas yang baru saja sekesai dibuatnya karena suara dari orang yang tak akan disangkanya akan datang kemari. Ok, Viona memang tau Rei pasti akan datang menemuinya, tapi tidak secepat ini setelah baru tadi pagi ia mengiriminya surat itu. Dan ia belum siap untuk menghadapinya. Tidak dengan apron dan adonan serta panci yang penuh saus starwberry.
“Sedang apa kau disini?!” Tentu saja karena surat itu. Itu hanya pertanyaan bodoh yang reflek diutarakan Viona saking terkejutnya.
Viona meletakkan pancinya sebelum amarah menguasainya dan melempar isi panci itu ke wajah tampat Rei. Ia melepas apronnya dan mencuci tangannya. Tapi yang tidak disadari Viona adalah bubuk tepung yang menempel di sekitar pipi dan dahinya. Ingin sekali Rei membersihkan tepung itu. Dengan lidahnya.
“Tentu kau tau kenapa aku kemari.” Rei kembali memasang muka ‘kau sudah gila’ nya sama ketika ia membaca surat gugatan yang dikirim Viona pagi ini.
“Tentu kau juga tau maksud dari kirimanku. Kenapa kau masih kemari.” Saling melempar sarkasme seperti tak terhindarkan kali ini. Selain amarah, sebenarnya Rei juga sedikit bersyukur karna istrinya sudah mau beraktifitas serta membalas perkataannya, tidak hanya mengurung diri di kamar seperti orang pesakitan.
“Aku tidak main-main soal tidak akan ada perceraian sampai kita mati Viona.” Rei menghempaskan tubuhnya di kursi santai dekan kolam belakang rumah.
“Aku juga tidak main-main dengan gugatan itu.” lagi-lagi kekeras kepalaan mereka membuat saling membalik kata.
“Seharusnya kamu realistis. Kau tak akan memenangkan gugatan itu. Aku bisa menyewa puluhan pengacara handal bahkan jika perlu jaksapun akan kubeli.” Tanpa tedeng aling-aling Rei mengutarakan kelicikannya jika wanita disampingnya itu masih kekeh ingin melanjutkan gugatan perceraian.
Meski tau Rei akan menggunakan cara apapun untuk menggagalkan rencana Viona seperti cara Rei mendapatkannya. Viona masih kaget dengan keterus terangan Rei barusan. Rei.. pria yang selama ini dikenalnya lembut, penuh perhatian dan selalu membuat hatinya menghangat. Kini jadi seperti orang asing yang penuh obsesi. Obsesi untuk mengikat Viona.
“Kau masih saja egois setelah semua ini.” Lirih Viona. Ada getaran dalam suara kecilnya. “Kau sudah mendapatkan aku bukan? Kau berhasil mengelabuhiku dengan mudah. Pasti kau menertawai kebodohanku yang sangat mudah kau tipu. Dan setelah kau puas denganku, dengan mudahnya kau berpaling pada..”
“Aku tidak pernah bersama siapapun selain dirimu.”Rei dengan cepat memotong perkataan Viona. Otot rahangnya mengeras tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Viona.
Viona tersenyum sinis. Hanya senyum inilah yang mampu ia tampilkan selain senyum tipis yang tak sampai mata selama beberapa hari terakhhir. “Lalu apa namanya ketika kau pulang dalam keadaan mabuk berat dengan seorang wanita?”
“Berapa kali harus kubilang tidak terjadi apa-apa antara aku dan Helena malam itu?!” Rei benar-benar gusar jika harus kembali membicarakan malam sialan itu. Ia lengah saat itu dan membiarkan waita ular itu memperdayanya.
“Terus saja menyangkal tapi tanda itu tak akan mampu berbohong Rei. Seharusnya kau sudah melepaskanku karena sudah mendapatkan apa yang kau mau.” Viona mengatakan kalimat terakhirnya sambil memalingkan wajahnya dari Rei.
“Hanya kau yang kuinginkan Viona.. harus bagaimana lagi aku menjelaskan padamu agar kau mengerti?”
“Seandainya kau mau melepasku dan tak mengejarku waktu itu.. sekarang aku pasti masih memiliki dia dan mungkin aku bisa mempertimbangkan semua ini.” Viona masih tak mau menatap wajah Rei. Ia menyembunyikan sesuatu yang mendesak di sudut-sudut matanya.
Rei teringat perkataan mertuanya. ‘jangan terlalu memaksanya’. Rei sendiri sangat tau kondisi mental istrinya yang sedang sangat rapuh. Maka dari itu, ia tak mau memilih memaksa dan menyerangnya sekarang. Jadi ketika Viona pergi meninggalkan teras belakang tanpa menatap sekalipun padanya, Rei tak mengejarnya.
Rei sudah cukup menyampaikan maksud kedatangannya untuk menolak segala bentuk perceraian, perpisahan apapun itu namanya.
.
.
.
Aku tau Rei tidak akan begitu saja menyetujui permintaan gugatanku itu. Buktinya beberapa detik setelah menerima surat dari pengadilan agama tadi pagi dia langsung mendatangiku. Bahkan dia mengancamku..
Tidak adakah jalan untukku agar bisa lepas darinya? Kenapa dia belum mau melepasku? Apa.. apa dia belum puas bermain-main denganku? Bulu kudukku langsung meremang. Dia kan sudah punya Helena.
“Vi, Ayah tau kau dan Raihan sedang ada masalah. Tapi tidak baik kalau kamu membiarkan masalah ini berlarut dan melarikan dirimu disini. Walau bagaimanapun Rei tetap suamimu, dan tidak seharusnya kamu meninggalkan suamimu.”
Ayah menarikku dari lamunan dan menghadapkanku kembali pada cake yang telah jadi
“Ayah..” Aku memeluk Ayah penuh sayang. Dia membelai lembut rambutku. Tentu aku tidak bisa bercerita masalahku pada Ayah. Masalah Ayah dengan si nenek sihir saja belum selesai betul, mana mungkin kubebani lagi dengan masalahku yang pelik.
“Jangan berpikir bahwa masalahmu akan membebani Ayah. Justru Ayah tak mau jika putri satu-satunya memendam sendiri bebannya. Berbagilah..” Aku semakin mengeratkan pelukanku dan tanpa bisa kuhindari lagi air mata yang sedari tadi kutahan sejak kedatangan Rei tumpah ruah membasahi kemeja Ayah.
Dengan terbata-bata aku menumpahkan semuanya pada Ayah. Mulai dari kebohongan Rei soal papa, oh.. haruskah aku memanggilnya dengan sebutan papa? Aku tau Pak Salim sama sekali tidak terlibat dalam permainan bodoh Rei, tapi rasanya aku tak pantas lagi memanggilnya papa. Bukan aku benci padanya, tapi lebih pada karena pernikahan mainan sialan ini.
Ayah mau mengerti aku dan menyerahkan semuanya padaku. Dia hanya berpesan agar aku tidak melulu menggunakan emosi jika menghadapinya, melihat melalui perspektif berbeda pada semua masalah yang ada dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ayah juga menegurku soal gugatan yang kulayangkan. Aku meringis mendengar nasihatnya.
“Kamu berhak menenangkan diri. Jika perlu pergilah ke rumah budemu selama yang kau perlukan. Tapi ingat segera kembali untuk menyelesaikan semua ini.”
“Emang budhe nggak papa aku numpang disana?”
“Nanti Ayah bilangin. Sudah hapus air matamu. Air mata dan tepung adonan, mau jadi apa pipimu ini.” Ayah mengusap air mata di pipiku. Tapi.. tepung? Jadi sejak tadi ada tepung di wajahku? Sial! Rei pasti menertawaiku.
Aku mengamini saran Ayah. Malam itu juga aku berkemas dan memesan tiket pesawat. Aku perlu udara segar yang tak terkontaminasi polusi. Juga kondisi yang tidak terkontaminasi pengaruh Rei.
.
.
TBC

Related Posts:

Hopeless Part 68

.
Seketika Viona menginjak pedal gasnya dan membelok kemudinya ke arah jalan raya. Beruntung lalu lintas tak terlalu sibuk. Tapi sepertinya Rei tak mau membiarkan Viona lolos begitu saja. Dengan sigap pula ia membalikkan arah laju mobilnya kembali ke jalan besar mengikuti jejak Viona.
Viona bisa melihat dari kaca spion kalau mobil hitam itu mengikutinya dan masih setia dengan bunyi klakson yang dipukul secara marah, menyuruhnya untuk berhenti. Jangan harap. Jikapun ingin bermain kejar-kejaran Viona tak takut. Ia cukup ahli dengan mobil ini dan sangat mengenal traffic kota ini yang sangat gila. Ia dengan lihai menyalip beberapa kendaraan. Huh, bukan kau saja yang bisa mengemudi gila-gilaan. Batin Viona.
Rei terus saja mengumpati tindakan ceroboh Viona dari balik kemudi escaladenya. Jantungnya berdesir tak karuan saat melihat istrinya membawa mobil secara brutal dan mencoba terus mendahului kendaraan di depannya. Kali ini dia menyesal memilihkan Viona mobil seperti itu. Mungkin akan lebih aman jika ia memilihkan SUV atau matic.
Namun kadang, keahlian seseorang menjadi tak berarti saat memang Tuhan tak menghendaki. Begitupun saat Viona hendak mengambil belokan ke kiri, tibatiba ada sebuah motor yang menyerobot jalurnya. Kejutan itu membuat reflek Viona membanting stir ke kiri demi menghindari si pengendara ceroboh. Sayangnya, mobil Viona dengan keras malah menghajar pembatas jalan.
Kejadian itu terasa seperti adegan lambat yang menyentakkan jantungnya. "Viona!!" Demi apapun Rei ingin melompat dan menghentikan moil itu. Tapi apalah daya, ia hanya manusia biasa. Mobil Viona masih melaju sampai akhirnya sebuah pohon yang menghentikannya. Suara benturan antara logam dan kayu memekin mengundang seluruh pasang mata yang ada di jalan raya. Lidah Rei terasa kelu bahkan hanya untuk menyebut nama yang paling ia cintai.
Rei segera menghentikan mobilnya, ia bahkan tak menepi. Ia hanya fokus pada sebuah convertibel yang ringsek menghantam batang pohon. Orang-orang mulai berdatangan dan berkerumun. Beberapa mencoba mendekat untuk melihat kondisi si penumpang.
Rei dengan panik menerobos kerumunan dan langsung menuju pintu kemudi. "Viona.." suaranya bergetar menahan kengerian. Ia bisa melihat tubuh mungil wanitanya terhimpit antara bantalan pengaman dan pintu. Yang membuat tulang-tulang di kakinya seperti meleleh adalah warna merah kental yang menghiasi kaca mobil di depannya.
Dengan menguatkan diri sendiri, Rei mencoba untuk membuka pintu Ben. Masih terkunci dengan rapat. Ia tak punya pilihan selain memecah kaca jendelanya. Rei harus sangat berhati-hati agar serpihan kacanya tak melukai Viona. Satu pukulan berhasil meretakkan kaca film, dan pukulan selanjutnya jendela itu ringsek sebagian. Kaca yang menjadi sandaran kepala Viona tetap utuh. Tangan kanan Rei terjulur ke bagian dalam mobil mencoba untuk menonaktifkan kunci lalu membuka pintu dengan amat hati-hati. Mengeluarkan tubuh Viona dan membaringkannya di atas tanah.
"Bangun sayang.." Rei mengguncang dengan lembut tubuh rapuh dalam dekapannya. Jika darah yang masih basah di pelipis Viona membuat seluruh alat geraknya seperti lumpuh, maka darah yang mengalir di antara paha dan sela-sela dress one piece yang dipakai istrinya mampu membuat jantungnya seperti teriris belati berkarat. "Ya Tuhan! Viona, kau.."
"Pak, lebih baik istrinya dibawa ke rumah sakit." Suara salah seorang warga yang mengerumuni tempat kecelakaan menyadarkan Rei. Ya, dia harus segera membawa Viona ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Tanpa menunggu apa-apa lagi, kedua lengan Rei menelusup anatar bawah lutut dan bahu Viona. mengangkatnya dengan sangat hati-hati seolah Viona adalah kaca tipis yang jika berguncang sedikit saja akan pecah.
Rei masih punya harapan. Ya.. sekali ini saja ia memohon. Apapun akan ia lakukan untuk Viona, memberikan seluruh hidupnya pun akan ia lakukan. "Bertahanlah sayang.." Rei mengemudi sambil sesekali melirik ke jok belakang dimana wanitanya masih terkulai tak bergerak. "Kumohon selamatkan dia ya Tuhan.. selamatkan mereka.." Entahlah, Rei merasakan sesuatu. Ia punya firasat tak mengenakkan mengenai ini.
.
.
.
Ada rasa perih pada sudut bibir Viona saat ia ingin mengucap sesuatu. Juga nyeri di daerah kepalanya. Tapi yang paling menyentak kesadarannya adalah rasa sakit yang teramat pada perutnya. Matanya terbuka lebar dan mendapati Rei sedang mengecupi punggung tangannya yang bebas jarum infus.
"Hey.." sapa Rei serak. Ia seperti orang yang tak mandi selama seminggu, acak-acakan dengan masih mengenakan piyama merah mudanya. Tatapan sendunya sedikit menohok hati Viona.
"Bayiku?!" tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut Viona. Ia tak perduli jika Rei bertanya tentang kehamilannya. Ia hanya ingin tahu soal keadaan bayi di dalam rahimnya.
Rei tertegun mendengar pertanyaan Viona, sedetik kemudian tatapannya kembali menjadi sendu. Lebih menyedihkan.
"Katakan padaku!" tuntut Viona, dengan kasar ia menarik tangannya yang berada dalam genggaman Rei. Hatinya tiba-tiba bergemuruh oleh sesuatu, bersiap untuk hal mengerikan yang tak pernah ia ingin dengar.
Rei hanya menggeleng lemah, dan itu sudah bisa menjelaskan semuanya. Viona memejamkan matanya erat-erat, berusaha menahan luapan emosi yang siap meledak dalam dirinya. Sedih, marah, kecewa.. Rei menggenggam buku-buku jari Viona yang mengetat.
"Maafkan aku.."
Rasa perih di hatinya mengalahkan nyeri berkepanjangan di bagian perutnya. Hanya tiga hari dan setitik asa bahagianya langsung direnggut dari Viona.
"Keluar.." geram Viona, lagi-lagi ia menepis genggaman Rei.
"Vio kumohon.."
"Lepaskan aku! Keluar kubilang!" Viona semakin memberontak dan tak memperdulikan jarum infus yang mulai melukai pergelangan tangannya.
Rei bertindak cepat menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.
"Keluar kau dasar brengsek.." segala emosi Viona akhirnya tertumpah dalam genangan di pelupuk matanya, mengalir tanpa ampun melewati pipi mulusnya. "Pergi!"
Dua perawat dan seorang dokter mendatangi kamar yang ditempati Viona. Mencoba menenangkan gadis yang kini meronta dan menjerit dengan pilu. Dokter dengan sigap dibantu oleh perawat yang memegangi Viona menyuntikkan obat penenang.
Perlahan tapi pasti obat itu mulai bereaksi. Rei bersyukur Viona sudah mulai tenang. Tapi di sela-sela ketidaksadaran yang menghampirinya, Viona melemparkan satu kata dengan sangat lirih namun masih bisa didengar Rei dan membuatnya terhenyak.
"Pembunuh.."
.
.
.
Beberapa hari terakhir ini dijalani seperti mayat hidup oleh Viona. Wanita itu hanya terus berbaring di kamarnya. Menolak untuk bicara pada siapapun, terutama Rei. Bahkan Viona tak menghiraukannya meski mereka masih tidur serangjang. Ia hanya terus memunggungi Rei yang tak jarang terus memeluknya dari belakang.
Kedua mertuanya bahkan ayahnya sendiripun sudah mencoba menghibur Viona namun semua terasa sia-sia. Kinanti, mamanya Rei, telah datang berkali-kali dan memberi Viona semangat dan petuah-petuah agar cepat bangkit kembali. Pun begitu ayahnya, ia selalu datang menjenguknya yang selalu hanya ditanggapi senyum datar tak bernyawa.
Gio dan Naya bahkan juga sudah mencoba membuat Viona kembali seperti dulu. Namun semua terasa mustahil mengingat apa yang terjadi pada Viona dalam beberapa waktu terakhir. Masalahnya dengan Rei dan bayinya. Semuanya terasa menindih Viona dan membuatnya mati rasa.
"Vi.. kamu ngga boleh gitu.. kasian Rei.. kasian diri kamu sendiri kalau kamu kayak gini terus." Naya mulai kembali ceramahnya. Perutnya yang mulai membuncit tidak menghalaginya menemui wanita yang kini memandang hampa pada pemandangan luar jendela.
"Aku tau ini berat buat kamu dan Rei. Tapi setidaknya kalian bisa mencoba lagi. Jangan karena hal ini kamu menyerah dan berputus asa seperti ini." Viona masih saja tak menghiraukan dari boss gedung tetangganya. Jendela sudah seperti magnet kuat bagi matanya.
"Kau tau? Ini sama sekali bukan Viona yang kukenal." Gio mulai angkat bicara ketika istrinya undur diri ke kamar mandi. "Kau tak akan secepat ini menyerah hanya karna gagal satu kali." Lanjut Gio. "Kau bukan orang yang akan langsung berputus asa ketika sebuah produk gagal di pasaran. Kau akan merombaknya dan memenangi hati para konsumen. Aku tidak pernah.."
"Aku akan bercerai, Gi." Viona menatap Gio dan langsung menembakkan kalimat itu. Entah kenapa Viona mengatakan ini pada Gio. Tapi setidaknya harus ada satu orang yang mau mengerti kenapa dia seperti orang tak waras. Atau memang dia sudah tak waras.
"A..Apa?" Gio tergagap oleh pernyataan Viona.
"Ya, kau benar dari awal. Ada sesuatu tentang pernikahan kami." Wanita itu kembali mengalihkan pandangannya pada pemandangan yang disuguhkan dari luar jendela.
"Tapi , apa.." Gio mengurungkan pertanyaannya kala mendengar pintu kamar mandi yang terbuka.
Naya menghampiri mereka dan berbisik sesuatu pada suaminya. Gio mengangguk pelan dan berpamitan pada Viona dengan masih menggantungkan sejuta rasa penasaran terhadap keputusan bosnya itu.
Tak berselang lama dari kepergian pasangan suami istri tadi, Bibi Ama masuk membawa makanan. Ya, semenjak Viona mengalami kecelakaan, Bibi Ama kembali ke rumah Rei dan mengurusinya. Bibi Ama tak pernah menyinggung tentang kejadian yang dialami Viona dan tak berusaha dengan keras untuk membuat Viona kembali seperti dulu. Ia hanya akan menemani Viona makan dan bercerita tentang sesuatu yang menyenangkan. Tentang kebiasaan ayahnya saat bibi Ama tinggal beberapa waktu yang lalu, atau hanya akan bertanya makanan apa yang diinginkan Vona, yang pasti akan dijawabnya 'terserah bibi saja.' Tetapi ada yang beda kali ini. Ada yang mulai bangkit dari dalam dirinya dan meminta sesuatu pada bibi Ama.
.
.
Tbc

Related Posts:

Hopeless Part 67


.
Beberapa saat setelah Alex keluar terdengar keributan dari arah ruang depan dan suara pintu yang terbanting. Apa Alex sudah bertemu dengan Ane dan langsung pulang? Cepat sekali. Aku segera bergegas ke ruang depan. Alex tak boleh memarahinya.
"Alex kau tak bisa..". Sial.. "Rei?" Ia masih dengan piaya dan jaketnya. Sepertinya ia langsung megkutiku kesini dari minimarket tadi.
"Pulang sekarang Viona! atau aku akan menyeretmu!!" kilatan marah tercetak jelas dari matanya, aku mundur beberapa langkah. Rei sempat mengikuti kemana arahku tapi lengannya dipegangi salah seorang ajudan Alex.
"Tidak Rei. Aku tak akan kemana-mana."
"Anda lebih baik keluar sekarag Tuan." Saran sang ajudan.
Rei menggeram marah atas jawabanku. Ia menarik lengannya paksa tapi orang keamanan itu tidak lengah sama sekali. Ia masih kuat menahan lengan Rei. Membuat Rei tambah murka. Ia berbalik pada sang ajudan dan dengan cepat tinjunya bersarang di hidung pria berseragam hitam itu. Darah seketika mengalir dari lubang hidung si pria bertubuh tegap.
Rei tak berheti sampai disitu, ia melayangkan sebuah pukulan lagi ke arah perut. Untunglah bisa ditangkis si ajudan. Namun gerak kaki kanannya seperti peluru yang tidak bisa diprediksi, meghantam dengan keras tepat di ulu hati. Membuat sipenerima tendangan tersungkur. Rei bahkan tak memberi jeda, ia langsung menghajarnya membabi buta.
Sekali lagi aku melihat keberingasan Rei. membyat seluruh tubuhku meremangan. "Rei hentikan!" Aku seolah tersadar oleh sikap kesetanan yang dilakukan Rei. Ia sama sekali tak menggubris teriakanku dan terus melayangkan tinjunya. "Rei!" aku berusaha menarik bahu Rei.
Sadar akan aku yang mendekat, Rei segera melepas kerah seragam hitam pria malang yang sudah babak belur. Kini tangannya berbalik mencengkeram lenganku. Tanpa kata ia menyeretku keluar, menuju mobil besarnya. Meski aku telah berusaha menahan serta melepas genggamannya yang terlampau kuat, Rei sama sekali tak terpengaruh dan terus menyeretku dengan paksa.
"Berhenti dan lepaskan aku!" Geramanku hanya disahutnya dengan melemparku ke jok penumpang depan. Dia memasangkan sabuk pengaman, bukan, ia mengikatku dengan itu karena entah bagaimana Rei menyimpulkannya membuatku tak bisa melepaskan lilitan sialan ini.
Masih dengan kesetanan, Rei mengemudikan escalade nya dengan brutal. Menyalip semua kendaraan yang menghalangi jalurnya. Darah di wajahku mungkin sudah surut saat ia berkali-kali mencoba mendahului kendaran besar. Akupun hanya bisa tutup mulut, tak berani mengusik emosinya yang sedang labil. Salah-salah kami berdua tamat hanya karena Rei terlambat memutar kemudi gara-gara membalasku dan menabrak truk pembawa material.
Beberapa saat kemudian kami telah masuk ke jalur yang sudah sangat kuhapal beberapa bulan ini. Kembali ke tempat yang belum genap kutinggalkan selama 24 jam. Dengan kasar ia menarikku keluar dari mobil, membawaku ke dalam rumah dan naik ke atas. Menuju kamar kami. Kamar Rei..
Rei menghempaskanku hingga aku tersungkur dekat rangjang. Untuk karpet berbulu tebal masih menyelamatkanku dari dingin dan kerasnya lantai marmer.
"Kau milikku. Ingat itu Viona.. sampai kapanpun akan tetap seperti itu." nada dinginnya seolah mampu menciptakan es dihatiku.
"Aku bukan milik siapa-siapa Rei.." sambil berpegangan pada pinggir ranjang aku berusaha berdiri. "Jangan mengklaimku seperti itu setelah semalam." Ujarku sinis.
"Sudah kubilang. Aku tak melakukan apapun dengan Helena. Dia yang menjebakku dan membuatku mabuk!"
"Klise sekali.. Tapi aku tak bodoh Rei. Kau pikir, karena telah berhasil membohongiku soal papa aku akan percaya pada omonganmu mengenai semalam?"
"Papa!?" Rei tampak gusar bercampur gugup.
"Aku sudah tau Rei." Kataku datar, dan sepertinya ia mengerti maksudku. "Bukti semalam juga sudah cukup. Semuanya sudah berakhir." Tekanku di kalimat terakhir.
"Tidak! Tak ada yang berakhir atau apapun!" Bentak Rei. "Apa Alex yang memberitahumu soal papa? Jangan pernah mempercayai si brengsek itu!"
Aku tertawa hambar. "Alex memang brengsek. Aku tau sekali, tapi aku juga sangat tau kalau dia tak pernah menipuku mentah-mentah!" Intonasiku ikut naik manakala Rei tak juga mau mengakui kesalahannya.
"Siapa yang menipumu?!"
"Ya Tuhan.. jangan buat aku mati tertawa Rei. Sungguh menggelikan saat aku harus bertanya pada dokter soal papa. Dokter itu pasti meragukanku yang mengaku sebagai menantunya sampai-sampai keadaan mertua sendiri tak tau." Helaan nafas menjadi jeda saat aku mengumandangkan permintaan itu. "Ceraikan saja aku Rei. Sudah tak ada lagi yang tersisa. Kau benar-benar berhasil merenggut semuanya.. kau sudah puas kan?"
Wajah Rei seketika merah padam. Ia berjalan mendekatiku. Tidak, aku tak mau mundur hanya karena intimidasinya. "Kau dan aku saling mencintai Viona, maka sampai kita matipun tak akan ada perceraian yang terjadi!"
Aku tersenyum sinis. Menggumamkan kata cinta, seolah kata itu tak mempunyai arti sama sekali. Seperti sebelumnya. It's a bulshit thing. "Terserah apa katamu. Aku akan segera mengajukan gugatan." Kataku datar sambil memandang ke arah jendela yang memaparkan senja kelabu. Menghindari tatapan mematikan dari iris biru Rei.
"Silahkan saja kalau kau bisa." Tak kalah datar, Rei berujar lalu berbalik keluar. Menutup pintu keras-keras. Lalu terdengar bunyi klik dari pintu. Tunggu! Dia tak mungkin mengunciku dari luar!
"Rei!" aku mencoba memutar knop pintu dan berakhir dengan nihil. "Kau tak bisa melakukan ini!" tanganku berganti menggendor pintu dengan keras. Sial! Ponselku tentu masih berada di rumah Alex. Apa yang harus kulakukan agar bisa keluar dari sini?
Telepon rumah! Tentu saja. Masih ada alat komunikasi yang tidak akan pernah membuat seseorang terkurung sama sekali. Tapi siapa yang harus kuhubungi? Dan lagi.. aku tak hapal satu nomorpun, kecuali nomorku tentunya. Ah ya.. nomorku! Lebih baik kuhubungi ponselku sendiri dan berharap ada seseorang yang mengangkatnya.
Kutekan 12 angka id nomorku tapi tak terdengar nada apapun? Apa sambungannya telah diputus? Aku memicing pada pintu yang masih terkunci. Sialan kau Rei..
.
.
.
Pintu yang menghubungkan kamar dengan ruang kerja Reipun terkunci. Viona yang berniat menggunakan mac milik Rei jadi mengurungkan niatnya. Ia melongok pada jendela yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Tidak terkunci, namun ia juga tidak akan bisa turun mengingat ketinggian kamar itu. Menalikan gorden untuk turun ke bawah? Tidak, itu hanya ada di sinetron-sinetron. Dia tak mau ambil resiko jatuh dan mati konyol.
"Nyonya Viona?" Tiba-tiba saja Nina sudah muncul dari balik pintu membawa makanan yang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkanang tersusun di atas nampan.
"Nina?"
"Bapak menyuruh saya membawakan anda makan siang." Viona menyipitkan matanya pada nampan yang dipegang oleh Nina. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu di kenop pintu.
"Baik Nina, letakkan saja di atas meja akan segera kumakan." Viona menghampiri sofa yang ada di sudut kamar. "Bisakah aku minta tolong carikan dress warna cokelat dengan motif garis merah? Aku ingin segera membersihkan diri sebentar lagi." Viona mengambil mangkuk berisi sayur asam manis. "Sekalian pakaian dalam. Tolong pilihkan yang bahannya nyaman."
Tanpa rasa curiga Ninan masuk ke walk in closet sementara Viona mulai menjalankan rencananya. Ia menaruh mangkuk yang masih berisi penuh tersebut kembali ke meja dan mengendap-endap ke arah pintu yang terbuka. Dengan sigap ia keluar dan mengunci pintu. Anak kunci yang terluput oleh Nina masih menempel di kenop hingga memudahkannya.
Ia mengawat-awati ruang bawah dan memastikan tak ada seorangpun yang ada di sana sebelum ia turun. Beruntung kunci ben masih menggantung seperti biasa pada gantungan tembok dekat tangga. Segera ia menyambarnya dan berlari cepat ke arah garasi dengan tetap waspada.
Nina selamanya tak akan pernah menemukan pakaian yang diminta Viona karena pakaian itu tak pernah dimilikinya. Itu hanya akal-akalan Viona untuk mengalihkan perhatiannya supaya Viona bisa kabur. Dan ternyata berhasil. Kini ia bersama Ben melenggang meninggalkan rumah Rei.
Viona memastikan ini terakhir kalinya ia mengendarai ben. Meski sebenarnya dia sangat menyukai mobil ini. Miris, mana mungkin Rei membelikan mobil ini hanya untukku, pastinya ini hanya salah satu investasinya. Batin Viona. Semua yang dilaluinya dengan Rei adalah sebuah kebohongan, tak lebih dari kepalsuan.
Dan juga.. untuk terakhir kalinya ia akan melewati gerbang ini. Viona mengamati relief dengan huruf kapital yang menyebutkan nama kawasan ini dengan megah dan terlihat kokoh. Dulu, pertama kali saat Viona mengejanya rasanya terdengar mistis, namun saat melihat dengan mata kepala sendiri kawasan perumahan ini sungguh asri dan indah. Tak terkecuali rumah Rei.
Dan sedetik kemudian saat matanya turun kembali ke arah jalan, pandangannya menangkap sosok mobil hitam yang sangat dikenalnya. Juga suara klakson memekakkan karena dibunyikan secara membabi buta.
"Oh, shit..!"
.
.
.
TBC

Related Posts:

Hopeless Part 66

.
.
.
"Nona.. maksudku Viona. Kamu mau kemana?" Gadis melihat khawatir padaku yang sedang membawa tas dan hendak pergi ke luar.
"Ada yang ingin aku beli." Jawabku.
"Tapi Tuan berpesan jika No.. anda.. jika anda butuh sesuatu tinggal bilang pada saya." Ia berkata gugup padaku.
"Aku tidak akan lama Ane. Lagipula aku tak akan pergi terlalu jauh."
"Em.. begini.." Ane menunduk dan terlihat ragu mengatakan sesuatu.
"Ada apa Ane?"
"Viona.. bisakah kau mengantarku ke suatu tempat?" Wajahnya penuh harap-harap cemas. Entah kemana tujuan gadis yang pasti akan kuantar.
"Tentu, apa kau perlu bersiap dulu?"
"Tidak. Kita berangkat sekarang saja!"Mata cokelat madu itu langsung berbinar.
Ane tidak bicara selama perjalanan menuju ke tempat yang sebelumnya ia sebutkan setelah duduk di kursi sebelah kemudi. Tapi dari wajahnya aku bisa menilai dia sedang bahagia. Aneh sekali. Bahagia datang ke rumah sakit?
"Terima kasih Viona. Bisakah aku meminta tolong sekali lagi?" Ane kembali ragu mengutarakan sesuatu saat kami telah sampai di pelataran rumah sakit yang cukup elit.
"Apa?"
"Tolong jangan katakan pada Al.. maksudku Tuan Alex kalau aku kemari."
"Kenapa?"
"A..Aku sebenarnya tidak boleh keluar rumah.." Apa? Memangnya apa hak Alex mengurung gadis ini?
"Kenapa?" pertanyaan itu lagi yang keluar dari mulutku. Ane bergerak gelisah dan memilin ujung kaosnya. "Tak apa Ane jika kau tak mau memberitahuku, itu adalah urusanmu dengan Alex. Kau bisa pergi sekarang."
Ane melewati konsol dan tiba-tiba memelukku erat. "Terima kasih banyak.. Kau sangat baik sekali Viona."
"Hey tenanglah.." aku mengelus pelan lengannya saat ia melepas pelukannya.
"Pantas Alex sangat menggilaimu.." gumaman Ane cukup keras untuk kudengar.
"Maksudmu?"
"Ah.. tidak. Sampai jumpa di rumah Viona.." Ane buru-buru membuka pintu vw kuningku dan berlari ke lobi rumah sakit. Gadis yang sulit di tebak.
.
.
.
Viona tengah mencari merk susu formula untuk ibu hamil yang telah direkomendasikan oleh dokter kandungan yang kemarin ia kunjungi. Berbagai macam susu mulai dari susu bayi dan susu pertumbuhan berjajar di rak mini market yang ia datangi, tapi belum ada susu ibu hamil yang berhasil ditemukannya.
"Ah.. ini dia.." Akhirnya ia menemukan susu khusus ibu hamil tepat dengan merk yang ia inginkan pula. "Cokelat atau vanilla?" Tapi ia bingung dengan rasa yang akan ia ambil.
"Sayang!" Tepat saat tangannya terulur untuk mengambil susu dengan rasa cokelat ada seseorang yang menariknya, denga cepat membawa Viona ke pelukan orang itu.
"Lepaskan aku!" Desis Viona tak terima.
"Jangan pergi, kau harus mendengar penjelasanku."
"Lepaskan aku Rei!" Viona menggeram dan terus berusaha melepas pelukan Rei. Ia tak boleh lama-lama dalam dekapan pria itu. Aroma memabukkan yang menguar dari tubuh Rei terlalu menggoda dan bisa membuatnya terpengaruh.
"Tidak sebelum kau mau mendengarkanku!" tekad Rei, namun Viona tetap memberontak dan berusaha melepaskan diri. Usahanya itu tak sia-sia karna ia memperoleh sedikit jarak dan segera meloloskan diri dari cengkeraman Rei.
"Semua sudah jelas Rei.. aku sudah tau."
"Tidak! Aku dan Helena.. kami.. Ya! Kami memang minum, dan hanya itu. Percayalah padaku!" Rei menggenggam tangan Viona dengan erat, menyalurkan kepercayaan padanya.
"Aku tidak buta tidak buta atau rabun untuk melihat tanda cupang yang menyebar di seluruh leher dan dadamu! Sekarang lepaskan tanganmu!!" Viona menghentakkan tangannya dengan keras namun hanya berbuah rasa perih karna Rei mencengkeramnya dengan kuat. Meski teriakannya lantang, tak urung ulu hatinya serasa diperas mengingat kejadian semalam. Matanya juga sudah memanas siap menumpahkan air yang demi apapun di dunia ini Viona akan menahannya untuk tidak jatuh. Ia tak boleh terlihat lemah saat ini.
Bentakan serta teriakan dari pasangan suami istri itu ternyata mengundang perhatian tersendiri dari beberapa pengunjung yang tengah berbelanja, dan seorang yang satpam yang dilapori oleh pengunjung.
"Mas sebaiknya lepaskan tangan mbak ini." Satpam mulai menengahi pertengkaran Viona dan Rei.
"Sampai kapanpun aku tak akan melepaskanmu." Rei sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Viona. Cengkeramannya pun ikut mengencang, membuat Viona meringis kesakitan.
Satpam yang berusia sekitar pertengahan kepala tiga itu maju dan melerai. "Anda menyakiti tangan mbak ini. Lebih baik kalian membicarakannya dengan baik-baik permasalahan kalian di tempat yang lebih pribadi."
Rei baru tersadar karena perkataan satpam bahwa ia terlalu kencang menggenggam pergelangan tangan Viona. "Maaf.." Rei melonggarkan cengkeramannya, dan hal itu tentu tak disia-siakan oleh Viona yang langsung menarik tangannya dari belenggu jari-jari Rei.
Viona juga barus adar bahwa ia dan Rei telah menjadi pusat tontonan gratis dari pengunjung mini market, terutama para ibu-ibu. Ibu-ibu itu sebenarnya lebih memusatkan perhatiannya pada Rei, pria berpiyama merah muda dengan wajah timur tengahnya yang memang selalu bisa membuat semua orang menoleh dua kali padanya. Mungkin jaket yang langsung disambarnya setelah memutuskan untuk mencari Viona keluar rumah yang sedikit bisa menutupi keanehan pakaiannya saat ini.
Satpam menginstruksikan mereka untuk mengikutinya ke ruang keamanan demi kenyamanan para pengunjung lain. Rasa-rasanya Rei hampir gila dan ingin segera menyeret Viona pulang, tapi itu tidak mungkin. Selain ia yang akan menimbulkan keributan, ia juga tau Viona tak akan begitu mudah menerimanya walau ia sudah ada di rumah. Jadi lebih baik ia mengikuti satpam tadi dan terus berada di dekat Viona agar ia tak kabur lagi.
Saat mengekori satpam menuju ruang keamanan, Viona memanfaatkan kesempatan ini untuk menghubungi seseorang demi meminta bantuan.
Datang ke mini market dekat rs harapan, aku dalam masalah
Ia berdoa semoga pesan tersebut langsung dibaca dan si penerima akan segera datang dan menolongnya. Viona sama sekali tak menyanga Rei akan langsung bisa menemukannya, bahkan ini adalah daerah yang cukup jauh dari rumahnya. Dan melihat Rei masih memakai pakaian yang ia berikan tadi malam membuat hatinya sakit.
Kemarin pagi Rei pamit akan keluar kota selama dua hari, dan sebenarnya itu membuat Viona lega karena ia bisa berpikir dengan jernih akan keputusannya setelah mengetahui kebohongan yang mendasari pernikahannya. Viona bahkan sudah menggerakkan hatinya untuk berusaha memaafkan Rei demi anak mereka. Namun, menemukan Rei yang malah pulang dalam keadaan mabuk bersama wanita lain merupakan pukulan yang tak mampu ia terima. Viona jatuh telak. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya mundur.
.
.
.
Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya Alex bisa membawa Viona lepas dari Rei. tentu saja dengan hampir terjadinya baku hantam antara dirinya dan Rei jika saja tidak ada satuan keamanan di mini market itu. Rei hanya bisa memandang dengan amarah yang sudah diujung kawah saat melihat Viona dihela oleh Alex tadi, siap meledak dengan satu jentikan jari dan membumi hanguskan apa saja yang ada disekitarnya. Namun kemarahan itu bercampur rasa kecewa dan terluka melihat wanitanya bersisian dengan pria lain hingga ia hanya bisa menahan diri. Mundur satu langkah untuk mendapat dua langkah lebih cepat.
"Apa kau tidak mendengarku pagi tadi? Sudah kubilang kan, jika perlu sesuatu hubungi saja aku. Atau kau bisa menyuruh Ana." Alex geram akan perintahnya yang dilanggar.
"Aku hanya beli susu Lex.."
"Lalu mana susu yang kau beli? Kau malah mengadakan tontonan gratis pagi-pagi."
Viona juga tak menyangka ia akan bertemu Rei di mini market itu. Padahal jarak rumahnya dengan wilayah tempat tinggal Alex cukup jauh. Bagaimana dia bisa sampai disini? Dan piyama itu.. pakaian yang sembarangan ia ambil dan berikan semalam saat ia sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Masih melekat ditubuhnya.
"Aku hanya tak ingin merepotkan saja."
"Tak ada yang repot Viona.. justru barusan kau hampir membunuhku gara-gara aku ngebut tadi." Alex memang hampir meregang nyawa saat melajukan mobilnya secara gila-gilaan dan ingin menyalip kendaraan besar.
"Maaf.." Vina tertunduk merasa bersalah.
"Sudahlah, yang penting kau sudah disini. Tapi Rei pasti tau sekarang keberadaanmu yang bersamaku."
"Itu tak akan jadi masalah, aku akan meminta cerai padanya. Setelah anak ini lahir tentunya. Tapi sebelum itu, dia tak boleh tau kalau aku hamil."
"Kau tidak akan memberitahunya?" Alex terbelalak mendengar pernyataan Viona.
Viona bergerak gelisah di sofa merah maroon ruang hiburan rumah Alex. "Aku masih punya surat perjanjian itu, dengan bukti itu aku akan menggugatnya."
"Bagaimana dengan bayinya? Anak itu tak tau apa-apa Viona." Perkataan Alex akhir-akhir ini selalu benar dan membuat Viona sadar. Tapi cerai sepertinya sudah menjadi keputusan bulat untuknya.
"Aku bisa membesarkannya sendiri." Tegas Viona. Ia tak akan berada disini jika ia belum memutuskan untuk benar-benar berpisah dengan Rei.
"Aku akan selalu ada untukmu princess." Alex melingkarkan lengannya di bahu Viona, memberinya kekuatan serta menenangkannya. "Ngomong-ngomong, dimana Ana? Sejak pulang tadi aku tak melihatnya?"
Untuk sepersekian detik tubuh Viona kaku, namun detik berikutnya ia rileks. "Dia ke pasar, berbelanja katanya." Bohong Viona. Ia tak menyangka Alex akan menanyakan keberadaan Ane secepat itu.
"Pasar?"Alex mengurutkan keningnya. "Itu adalah tempat terakhir di dunia ini yang akan ia datangi." Sejurus kemudian Alex bangkit dari sofa dan menyambar jas yang tadi di sampirkannya ke punggung sofa. Aura kemarahan tiba-tiba melingkupi dirinya.
"Alex, kumohon jangan marahi dia. Dia hanya ke rumah sakit!" Viona cepat-cepat memberi keterangan. Sepertinya alasan yang ia berikan sangat salah jalur.
"Rumah sakit?" Mata Alex menyipit. Ia menggumamkan sebuah nama, terlalu cepat hingga Viona tak bisa mendengarnya. "Kau di rumah saja, biar pak Jaka yang beliin kamu susu nanti." Selepas itu, Alex menghilang dari balik ruang hiburan.
.
.
.
TBC

Related Posts: