.
“Maaf Vi.. pagi ini aku
harus pergi. Ada pertemuan mendadak yang harus aku hadiri.” Rei
menggenggam tangan Viona, meminta pengertiannya.
“Tak apa Rei. Itu kan udah jadi tanggung jawab kamu.”
“Than’ks Vio. Aku janji
bakal langsung balik pas selesai urusannya.” Rei mengecup kening Viona
singkat dan langsung berlalu keluar.
Viona tak habis pikir
dengan kelakuan yang Rei berikan padanya barusan. Apalagi yang
dilakukannya tadi malam, bahkan Viona seperti terhipnotis dan mengikuti
permainannya. Itu tak ada dalam skenario perjanjian, tak ada kontak
fisik berlebihan jika mereka sedang berduaan saja. Ia takut akan jatuh
dan terperangkap dalam pesona si mata biru. Ia tidak bisa.. ia tak mau
berakhir menyedihkan..
Viona menghela nafas.
Mengusir pikiran-pikiran gilanya. Ia memutuskan untuk tidur saja, siapa
tahu setelah bangun nanti pikirannya lebih fresh dan bisa diajak
kompromi. Ia hampir terlelap sebelum akhirnya dia mendengar suara pintu
bergeser.
“Hallo Viona..”
Saking terkejutnya,
Viona bangun dan duduk sambil melotot ke arah si pembesuk. “bitch..”
gumamnya rendah. Darah serasa menggelegak ke kepalanya.
“Apa kabarmu sayang?” tanya wanita setengah baya yang kini duduk di pinggir ranjang sambil memandang prihatin pada anak tirinya.
“Mau apa kau kemari? Kau
begitu senang ya aku begini sampai-sampai kau membawakanku bunga?”
Viona memicingkan matanya pada bunga yang di bawa ‘nenek sihir’, julukan
yang ia berikan pada ibu tirinya.
“Sebenarnya aku tak
sengaja tahu kau ada disini..” keyra, ibu tiri Viona, beranjak dari
ranjang dan menaruh rangkaian bunga yang ia bawa ke dalam sebuah vas.
Viona mengamatinya
dengan pandangan muak. Kalau saja dia tak terbaring lemah, dia pasti
sudah mengusirnya, atau setidaknya dia bisa menghindari wanita iblis
ini. “Jangan basa basi, apa maumu sampai mau menengokku, bukankah aku
sudah mengabulkan permintaanmu untuk angkat kaki dari rumah?”
“Sudah kubilang..” keyra
menatap Viona tajam. “Aku tak sengaja tahu kau ada di rumah sakit ini
juga. Aku cuman ingin memberitahumu sesuatu.. ini tentang ayahmu.”
“Ada apa dengannya.” Viona jengah dengan ibu tirinya yang tidak langsung mengatakan ke inti pembicaraannya.
“Dia juga sakit dan dirawat di rumah sakit ini.”
Viona terkejut, namun
segera mengendalikan emosinya. “kenapa aku harus tahu. Itu sudah bukan
urusanku. Seharusnya kau yang rawat dia.”
“Aku cuman ingin memberitahumu.” Keyra mengerlingkan matanya, membuat Viona jijik.
“Sekarang aku sudah tau.
Sebaiknya kau pergi, aku ingin istirahat.” Viona merebahkan tubuhnya,
lelah dengan emosi yang tiba-tiba menyerang.
“Baiklah Viona.. sampai jumpa lagi.” Pamit keyra.
“Jalang sialan!!” Viona
mengumpat dan melemparkan salah satu bantalnya ke arah vas berisikan
rangkaian bunga yang diberikan oleh keyra.
PRAANGG.
Bantal itu mulus tepat
mengenai vas tersebut dan menjatuhkannya ke lantai hingga pecahan beling
serta rangkaian bunga itu berhamburan.
“AARRGGHH..SHIT..!!!”
teriakan Viona terdengar frustasi. Tanpa dia sadari, ada senyum sinis
yang terkembang di wajah seseorang di balik pintu kamarnya.
.
.
.
.
.
.
“Vi..? Vio..??” seseorang mengguncang tubuhku dengan lembut. “Vio kamu nggak papa kan? Kamu terluka atau kenapa?”
“Aku tak apa. Kenapa sih.” Aku masih malas membuka mata. Kenapa sih dia.
“Itu kenapa ada vas pecah?”
Oh shit! Aku langsung
membuka mata. Mengerjap-ngerjap sebentar. “Eh.. itu.. kucing lewat
kali.” Jawabku sekenanya. Ya ampun! Aku lupa menyuruh seseorang untuk
membersihkannya.
“Itu bantalnya kok ada di situ?”
Sialan kau Rei! “Emm.. itu..” aarghh.. kenapa Rei menatapku seperti itu!!
“Vio..??” Rei masih menatapku intens menunggu jawaban.
“ARGH..!! itu bunga dari
FUCKING BITCH!! Gwe nggak sudi nerima bunga dari orang yang dah
ngancurin idup gwe!” ya Tuhan.. kenapa ni mulut tiba-tiba bisa njeblak
kek gini. Aku membalikkan tubuh membelakangi Rei. Nggak sanggup liat
reaksinya. Sialan.. gara-gara nahan emosi dari tadi malah meledak di
depan Rei.
Reaksi Rei justru di
luar dugaanku, kukira dia akan marah atau apalah gitu. Yang terjadi
malah dia membelai rambutku. Perlakuan Rei ini justru membuatku terharu
dan “hiks..” satu tetes.. dua tetes.. tiga tetes.. dan entah berapa
tetes lagi air mata yang kutahan akibat emosi yang bertubi-tubi
menghajarku turun bebas dari sudut mata ke tulang pipi sampai dagu. Ayah
sakit entah sakit apa, parahkah? Memang tadi aku bersikap acuh tak
acuh, tapi bagaimanapun dia ayahku, satu-satunya yang kumiliki bagaimana
kalau dia.. aku menggeleng kuat menghilangkan pikiran buruk. Wanita
sialan itu entah aku merasa ada maksud lain dari kedatangannya yang
hanya memberitahuku bahwa ayah sakit. Tidak cukupkah dia merecoki
hidupku, bukankah aku sudah rela diusir seperti itu. Sialan.. sialan..
sialan.. kenapa hatiku kek diremes-remes gini sih. Perih banget.. damn!!
Tangan Rei beralih
membelai lenganku. “kalau kau belum siap cerita tak apa.. tapi kumohon
jangan menangis. Aku tak suka melihatmu seperti ini, apa yang harus
kulakukan agar kau berhenti menangis?”
Oh Rei.. kenapa kamu
manis sekali.. malah bikin aku tambah pengen nangis. Aku berusaha kuat
menahan tangisku, mengusap lelehan air mata di pipiku dan berbalik
menghadap Rei.
“I want to go home right
now..” serak sekali tenggorokanku. Sudah lama aku tak menangis dengan
penuh emosi seperti ini, mungkin sejak ibu meninggal..
“Tapi kau masih sakit Vio..” Rei menghapus sisa-sisa air mata di sudat mataku.
“Pokoknya aku nggak mau disini, pindah di rumah sakit lain atau gimanan kek..” woy! Kenapa bicaraku jadi manja gini -_-
“Oke..oke.. nanti akan
kubicarakan dengan dokter.. sekarang berhentilah menangis. Aku akan
keluar sebentar menemui dokter.” Rei mencium keningku, rasanya lembut,
menenangkan dan nyaman..
“Rei..” tanganku menahan
lengannya sebelum dia beranjak. “thank’s..” ucapku tulus. Terima kasih
untuk segalanya Rei. Kau tak menuntutku untuk bercerita, juga mengerti
suasana hatiku serta menenangkannya.
Rei tak menanggapi perkataanku dengan ucapan, dia hanya mengambil tanganku dan mengecup punggungnya dengan hidmat dan pergi.
Kutub di hatiku semakin lama semakin cair sepertinya..
.
.
.
.
.
.
Aku diijinkan pulang
asalkan beristirahat total selama dua hari. Fiuh.. untunglah tidak
terlalu lama. Aku udah gatel banget nggak nyentuh kerjaan. Kerjanya
cuman tidur-tiduran doang. Yang malah bikin aku tambah frustasi itu si
Rei pergi ke luar kota dan mamanya Rei yang nungguin aku di rumah. Mama
lebih protektif daripada Rei, dia hampir tak memperbolehkanku turun dari
ranjang. Astaga.. padahal aku udah merasa lebih sehat dan lebih baik.
Dan lagi aku harus secepatnya kembali ke kantor. Dan lagi aku diharuskan
mengkonsumsi makanan yang..err..sehat. nggak boleh ini itu, paling
nyiksa itu nggak boleh makan yang pedes-pedes. Itukan kesukaanku, well
walau emang nggak boleh tapi nggak gini juga. Kayaknya dua hari ini
perutku akan penuh dengan sup sup sup dan sup! Duh..ma..aku sakit magh
bukan abis oprasi!
“Mama nnggak mau kamu
kecapekan. Lagian kalian kan baru aja nikah.. jangan kerjaan melulu dong
yang dipikirin. Mama kan juga pengen cepet-cepet jadi oma..” aku hampir
memuntahkan pencuci mulutku kalau saja aku tak bisa mengendalikan
emosi. Kami sedang makan siang di bawah, setelah aku meyakinkan mama Rei
bahwa aku udah sembuh dan udah kuat untuk beraktifitas.
“Ehm..itu..sedang
diusahain ma. Lagian di kantor emang lagi sibuk-sibuknya kok ma..” aih..
pandai sekali kau berbohong Viona! Tega sekali kau membohongi mertuamu.
“Mama tau. Jadi jangan terlalu lelah ya Vi..”
Maafin Viona sama Rei ya
ma.. huh.. jadi ngrasa bersaalah. Apalagi mama Rei tampak tulus padaku.
Entah bagaimana nantinya saat aku dan Rei resmi bercerai, apa mama Rei
akan terpukul ya? Apa lagi kalau seandainya papa Rei nggak ada
disampingnya lagi..
Hhmm.. tapi mungkin Rei
akan mendapat seorang pengganti dengan segera. Itu pasti akan sedikit
menghibur hati mamanya. Sementara aku? Mungkin aku akan keliling eropa,
atau asia. Menikmati jadi orang kaya baru.
Tapi entah, sebagian kecil hatiku serasa diremas saat memikirkan itu semua. Harusnya aku senang..
.
.
.
TBC
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 34"
Post a Comment