"Emang kita mau pergi kemana sih? Kok aku belum terima tiketnya." Rajuk Naya pada Gio.
"Tanya aja noh ama pak supir." Sindir Gio.
"Ke Kalimantan. Gwe mau pertemuin kalian ama sodara-sodara kalian." Teriak Rei dari balik kemudi.
"Vi kita mau kemana
sih?" Naya berbalik merajuk padaku untuk memberitahunya tujuan akhir
pekan kami. Aku sendiri tak tahu, Rei bungkam soal itu. Bahkan dia sudah
kubujuk tapi tak mau buka mulut.
"Tau deh, tapi ntar pasti juga lo suka."
"Kalo gwe nggak suka gimana?" mulai deh rewelnya. "Ayolah.. kasih tau doang apa susahnya sih!"
"Emang mau kemana sih
kita? Baru jum'at udah keburu berangkat? Apa mau abroad? Tapi kita nggak
bawa paspor" Gio mulai ikut mengusik juga, tapi belum berkata apa-apa
lagi jauh kami sudah tiba di bandara. Kami menuju terminal keberangkatan
sebelum Rei memberi komando untuk mengikutinya ke arah lain.
"Apa kita akan naik Helly?!" tiba-tiba Naya bersemangat.
"Lebih baik dari itu Naya." Ujar Rei sambil mempercepat langkah panjangnya. Uh! Aku harus berlari kecil untuk mensejajarinya.
"Apa jet pribadi?" tanya Gio dan disambut senyum penuh arti dari Rei.
"Kau punya jet pribadi?!" nada terkejutku tak bisa kutahan.
"Tidak sayang, punya
papa. Aku tak sering berpergian, papalah yang suka keliling
kemana-mana." Uh.. wow.. yah dari dulu kudengar papa memang sering
berpergian, sampai-sampai Rei merengek minta ditemani pas sakit waktu
itu.
Perutku seperti tertekan
melihat pesawat di depan kami. Aku tau keluarga Rei kaya raya, tapi jet
pribadi? Seharusnya aku sudah menduga. Dan saat ada di kabinnya? Aku
tahu interiornya pasti sangat berbeda dengan pesawat komersil, tapi
ini.. lounge bar mewah dan sofa merah marun melingkari meja bundar,
tentu saja empat kursi bersandaran nyaman lebar lengkap denga sabuk
pengamannya.
Suara pilot mengintrupsi
kami untuk bersiap lepas landas. Kami berempat dengan tertib menuju
empat kursi bersandar itu dan menempatkan pantat masing-masing ke
kelembutan kulit samak sapi berwarna putih bersih.
"Aku masih penasaran akan kemana pesawat ini menuju?" lagi-lagi Naya tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Penerbangan ini tidak
akan lama, tapi jika kau ingin istirahat ada dua kamar utama yang bisa
kau gunakan. Itu biasa digunakan ayah dan antek-anteknya."
"Yah, aku memang sedikit
lelah setelah seharian mengikuti proses pengambilan gambar untuk
iklan." Naya melepas sabuk pengamannya dan mengelus perutnya pelan,
perut buncitnya sudah mulai terlihat. Gio membantunya berdiri dan
mengirinya ke salah satu pintu kayu mengkilap yang menghubungkan dengan
kamar tidur. Benar-benar bisa disebut hotel terbang.
"Sebenarnya kita mau
kemana?" pertanyaan itu juga sesungguhnya bercokol di otakku sejak Rei
bungkam soal tujuan akhir pekan kali ini sejak beberapa malam yang lalu.
Ia selalu mengelak jika kutanya atau hanya bilang belum memutuskan atau
apalah. Dia terus menghindar jadi jika sejak tadi Naya dan Gio mengomel
kubiarkan saja, Rei tak akan buka suara. Tapi aku berusaha untuk
terakhir kalinya saat ini.
"Kau masih penasaran juga?" ejek Rei. Sialan, bahkan sampai akhirpun dia tetap tutup mulut.
Aku memutar mata kesal. "Terserah padamu."
.
.
.
Seperti kata Rei, penerbangan ini tak membutuhkan banyak waktu. Buktinya dengan segera kami tiba di daerah istimewa lain milik Indonesia yang terkenal akan keraton khas adat jawanya. Hmm.. kapan terakhir kali aku kesini? Beberapa tahun lalu mungkin? Dengan rombongan wisata perusahaanku bernaung sebelumnya, mengunjungi beberapa peninggalan sejarah dan museum. Sungguh membosankan! Untung di akhir perjalanan kami mampir ke sebuah pusat perbelanjaan, beberapa dari teman-temanku dan aku berbelanja gila-gilaan gara-gara tour yang membosankan.
.
.
.
Seperti kata Rei, penerbangan ini tak membutuhkan banyak waktu. Buktinya dengan segera kami tiba di daerah istimewa lain milik Indonesia yang terkenal akan keraton khas adat jawanya. Hmm.. kapan terakhir kali aku kesini? Beberapa tahun lalu mungkin? Dengan rombongan wisata perusahaanku bernaung sebelumnya, mengunjungi beberapa peninggalan sejarah dan museum. Sungguh membosankan! Untung di akhir perjalanan kami mampir ke sebuah pusat perbelanjaan, beberapa dari teman-temanku dan aku berbelanja gila-gilaan gara-gara tour yang membosankan.
"Apa kita akan
mengunjungi candi-candi di sini? Kalau iya aku tak mau ikut! Apa kau
gila mengajak ibu hamil menaiki undakan-undakan itu?!" Naya
menghentakkan sebelah kakinya.
"Kalau kau tak mau ikut, kita bisa ketemu bunda dan ayah dirumah." Yeah tentu saja, ini adalah kampung halaman Gio.
"Ya Tuhan.. aku masih
punya hati Naya.. nanti kalau kau sudah tau tujuan kita pasti seneng
deh. Berhenti merajuk dan masuk ke van."
"Yes Boss!" bibir Naya
terkatup sejurus dengan majunya beberapa centi. Aku hampir tak bisa
menahan tawa melihat tingkahnya. Seperti itu dibilang harimau betina? Ya
ampun..
Gio dan Naya duduk di
jok belakang sementara aku dan Rei di tengah. Rei sudah menyiapkan supir
untuk perjalanannya entah kemana ini. Van baru berjalan beberapa menit
meninggalkan bandara dan pasutri di jok belakang sudah kembali
melanutkan aktifitas panas mereka yang sempat tertunda. Aku belum juga
sembuh dari trauma live show nya Bayu di kantor ayah, eh tadi pas Rei
menyuruhku untuk memanggil Gio dan Naya untuk bersiap landing mereka
sedang asyik bercumbu di kamar. Entah sudah base ke berapa tapi uh..
entah bagaimana perasaanmu saat menemukan kedua temanmu sedang seperti
itu. Aku tau mereka pasangan suami istri sah apa mereka nggak bisa
menunggu beberapa saat sampai tiba di hotel. Demi Tuhan aku tak mau
memergoki pasangan lain lagi, sangat aneh dan canggung.
"Tidak bisakah kalian menunggu hingga sampai di tujuan?" gerutu Rei.
"Tidak." Jawab Gio
singkat sebelum mulutnya kembali lagi ke leher Naya. Euh! "Hormon Bumil"
tambahnya lagi. Hormon Bumil palamu! Gio aja yang mupeng.
Rei menggeram gemas. Ia
menekan tombol volum pada remot audionya beberapa kali dan suara
lengkingan Ariana Grande memenuhi atmosfir mobil menutup suara decakan
dua sejoli di belakang. Dan desahan mereka tentu saja.
Perjalanan darat kami
jauh lebih lama daripada perjalanan udara. Sudah sekitar setengah jam
jalanan di depan terus berkelak-kelok dengan kiri kanan adalah
hutan-hutan, membuatku sedikit mual. Sementara pasangan gila di belakang
telah teler sejak seperempat jam yang lalu. Sepertinya Gio sudah dapat
petunjuk akan kemana tujuan kami hingga memutuskan untuk tidur.
"Tidur saja jika kau
bosan." Rei menarikku dan menyandarkan kepalaku ke bahunya dan
melingkarkan salah satu tanganku ke perutnya.
"Apa kita kemari untuk
ke pedalaman? Kenapa malah seperti kita menjauh dari pusat kota?"
tanyaku sambil memejamkan mata, mencoba menghilangkan rasa melilit di
perutku. Untung aku tak makan banyak, jika iya maka aku akan muntah
secara menjijikkan.
"Tidak juga, kupastikan kau menyukainya nanti."
"Kalau sampai tempat itu
jelek, akan kubunuh kau karna membuatku sekarat dengan jalan sialan
ini." Bahu Rei berguncang karna tawanya mendengar ancamanku.
"Sayang, kau bahkan akan memekik kegirangan jika sudah sampai." Ucap Rei ketika tawanya telah berhenti.
"Aku tidak akan memekik." Janjiku.
"Mau taruhan?" tantang Rei.
"Terserah." Satu kata
terakhir sebelum aku benar-benar mencari jalan ke alam bawah sadarku
agar terhindar dari rasa mual yang terus memukul lambungku, mendesak
isinya naik ke atas. Rei mengusap pelan lenganku dan sesekali mencium
puncak kepalaku, sangat menenangkan, bahkan lebih baik dibanding obat
atau minyak kayu putih.
.
TBC
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 56"
Post a Comment