Hopeless Part 9

.
Walaupun terjadi perdebatan sepanjang perjalanan pulang dari butik semalam. Akhirnya aku, dengan sedikit terpaksa, menerima pemberian dari Rei. Lagi pula aku juga gak munafik tak menyukai gaun itu. Hah.. tapi yang membuatku agak berat karna bukan hanya gaun itu saja. Rei juga membelikanku heels yang dicobakannya padaku serta scarf, clutch kecil, dan beberapa pernik lainnya. Oh, dia seperti orang kaya yang kehabisan akal untuk menghabiskan uang !! ini sangat berlebihan. Tapi mau gimana lagi, sema sudah terlanjur dibeli. Kalau gak dipakai juga malah jadi mubadzir nantinya.
Berulang kali aku mematut diri di depan cermin. Sepertinya sudah cukup. Make up ok, baju udah gak usah ditanya lagi pasti cakep. Sanggul beres. Aku agak frustasi membuat sanggul sendiri. Rambtku memang panjang dan sedikit ikal, tapi aku tak bisa mengaturnya membuat sanggul yang bagus. Baru tadi setelah seperempat jam sendiri sanggul kecil yang kubuat dari menekuk ke dalam kuncir kuda rambutku akhirnya terlihat rapi dan sepertinya akan tahan lama. Yah sepertinya, kuharap saja begitu.
Baru jam tujuh pagi. Berarti masih ada waktu sekitar satu jam lebih. Akad nikah Gio bakal dilaksanain jam setengah sembilan atau paling tidak jam sembilan. Setelah itu baru deh resepsinya. Kata Gio resepsinya bakal kental sama adat jawa, dan dia juga memberitahuku bahwa acaranya akan membosankan. Aku mencandai perkataannya, buat apa mengundangku ke acara yang membosankan haha.. tapi demi temenku yang satu itu aku rela berbosan ria melihat serangkaian acara serta mendengarkan tembang-tembang jawa yang pasti membuatku menguap!
Di dapur rupanya Rei telah menungguku untuk sarapan. Dia sudah siap dalam balutan tuxedonya. Pria memang tak membutuhkan banyak waktu untuk mempersiapkan penampilannya, juga tak perlu bersusah-susah dengan wardrobe mereka. Hanya dengan pakaian serba hitam dan sepatu yang konclong, pria bisa dengan mudah terlihat maskulin. Sangat berbanding terbalik dengan wanita dengan segala tetek bengeknya.
"Baju itu memang pantas untuk kokiku." Senyum Rei mengembang menyambutku di meja makan.
"Kau sangat keterlaluan. Ini berlebihan." Aku menyeret kursi untuk diriku sendiri.
"Jangan bahas lagi, ayo makan.." aku hanya menggoreng ayam untuk sarapan serta membuat salad. Capek dan lelah membuatku malas membuat masakan yang aneh-aneh.
Rei tampak lahap menyantap sarapannya. Sementara aku malah malas-malasan menyuapkan ke mulutku. Bau amis ayam yang kumasak tadi masih terekam di otakku. Dan mengirim sinyal-sinyal ke perutku untuk menolak makanan ini. Setelah tiga kali kupaksakan menelan ayam goreng itu, perutku benar-benar tak tahan. Aku berlari ke wastafel. Memuntahkan seluruh makanan yang baru saja masuk serta cairan-cairan pait yang menjijikkan. Rei segera tanggap menghampiriku, menepuk punggungku, membberikan segelas air putih.
"Thank's Rei.." aku mengusap setitik air yang keluar di sudut mataku.
"Kau sakit? Apa sebaiknya kita ke dokter saja?"
"Gak usah. Gwe gak papa. Cuman bau amis ayamnya aja bikin gwe kayak gini."
"Loh ayamnya gak amis kok, gak low cook.."
"Iya, tapi kan lo gak ikut masak tadi. Baunya tuh amis banget.. gwe trus kebayang sampe gak kuat. Aku akan makan saladnya saja." Aku kembali ke meja makan. Entah dandananku ini masih utuh atau mulai hancur, gara-gara kejadian barusan.
"Tapi kau baik-baik saja kan Vi?" Rei masih saja mencemaskanku.
Aku memberikan senyum terbaikku agar Rei percaya bahwa aku baik-baik saja. "aku sehat, aku tahu dimana aku harus berhenti untuk istirahat."
.
.
.
"Loh, gedungnya kan di jalan sriwijaya Rei. Supirmu salah tuh." Kami, aku dan Rei, sedang menuju ke tempat pernikahan teman kami, Gio dan Naya. Tapi sepertinya mang jajang, supir Rei, salah jalan deh. Karna kini mobil melaju menuju jalan alor, bukan jalur yang tepat.
"Masih ada sekitar satu jaman lagi." Rei memandangi jam tangannya. "kita mampir ke tempat lain dulu." Ujarnya.Kemana? Aku menebak-nebak dalam hati. Rumah sakitkah? Atau menjemput pasangannya? Atau, ah entahlah.. mualku tiba-tiba muncul. Dengan sekuat tenaga ak u menahannya. "kau yakin, baik-baik saja Vio?" sepertinya Rei tau, gerak tubuhku yang merasa tak nyaman menahan mual.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum karna pandanganku langsung teralih pada tempat yang kami tuju. Ini tempat yang semalam. Jajaran ruko yang sama. "apa lagi yang perlu kita beli Rei?" aku memandang Rei penuh selidik.
"Haha..enggak, kita gak akan beli apa-apa." Rei tertawa geli melihatku yang memandanginya dengan was was. "kenapa kau tak suka aku membelikanmu sesuatu?"
Tentu saja aku tak suka. Aku tak ingin banyak berhutang budi pada siapapapun. "bukan soal.. eh.." meski memasuki kawasan yang sama tapi mobil berhenti di gedung yang berbeda. Aku tak begitu jelas dengan nama papan reklamenya tapi yang jelas itu adalah salon. "salon?" aku menyuarakan pikiranku.
"Kita akan sedikit memermakmu. Kau akan jadi pasanganku hari ini." Lagi-lagi Rei bertindak sesuka hatinya. dan aku juga lagi-lagi harus mengikuti kemauannya.
"Hai Rei..!! kau datang juga akhirnya." Ada seorang err.. pria.. oh.. haruskah kukatakan setengah pria? Yang menyambut kami,. Eh bukan, dia hanya menyambut Rei, menyalaminya dan bercipika cipiki. Sebenarnya dia itu pria yang tinggi dan kekar, tapi sedikit melambai. "aku sudah menunggumu dari tadi, dan ini..." barulah dia menyadari kehadiranku.
"Ini Viona, yang aku ceritakan tadi.. Vio ini tristan" Rei mengenalkanku pada 'pria' bernama tristan ini. Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Dia menyambutnya dengan hangat bahkan sampai memelukku segala. Memelukku dengan erat sampai aku sesak napas -_- .
"Baiklah, let's start Ms. Husain." Aku melayangkan pandangan protes ke tristan lalu melirik tajam ke arah Rei yang duduk sambil memegangi sebuah majalah. Dia tersenyum simpul.
"Aku bukan siapa-siapanya." Dengan tegas kukatakan itu pada Tristan.
"Whatever. Ayo, duduk yang manis. Widya, aku butuh sedikit bantuanmu" dia memanggil seorang lagi untuk membantunya membantunya 'mengolahku'. Pertama mereka melepaskan sanggulan yang susah-susah aku buat pagi ini, dan menghapus semua make up di seluruh wajahku. "kau tampak pucat sayang." Komentar tristan. Aku membuka mataku dan melihat ke cermin. Yah, setelah ini aku memang harus punya waktu berkualitas untuk istirahat. Setelah itu aku kembali memejamkan mataku, membiarkan tristan dan asistennya yang bernama widya menggilas, menggesek, mengamplas, dan memoles seluruh wajahku.
Sekitar setengah jam kemudian tristan menyuruhku melihat ke cermin. "Open your eyes beib.. Look at the mirror."
Oh..itu pasti kembaranku yang terpisah jauh dan memiliki keluarga super kaya. Wajahnya sangat rupawan dan anggun. Smokey eyes yang tajam dengan gradasi biru tua, bibir mungil yang di poles dengan warna merah tua. rambut kepang yang dibentuk menjadi bando, dan meyisakan sedikit rambut depan untuk mempercantik penampilan. itu bukan diriku.
"Awesome, kau akan membuat semua orang terkesima dengan melihatmu." Rei mengomentari penampilan baruku. Aku masih mematung mengawat-awati refleksi diriku di dalam cermin.
.
.
.
Jangan ditanyakan lagi bagaimana para tamu undangan memandangiku. Mungkin bukan karna penampilanku, tapi karna orang yang di sebelahku ini. Siapa lagi. Raihan al husain. Ada tatapan seperti cemoohan, terutama dari para wanita. Hei! Tenanglah para betina! Aku tak akan merebut pejantan kalian. Aku hanya datang dengannya tak lebih dari itu. Ingin sekali kukatakan itu pada mereka. Juga ada pandangan bertanya-tanya dari beberapa orang. Mungkin isi pikiran mereka begini, siapa bebek yang bersama pangeran itu, apa dia berharap bisa jadi angsa.
Akad nikah Gio berlangsung lancar tadi. Dia berhasil mengucapkan ijabnya dengan baik dalam sekali kesempatan saja. Haha, patut disyukuri karna aku dengar Naya sangat khawatir dengan Gio yang gak mau ngapal-ngapalin kata-kata untuk ijabnya. Dan sesuai dengan prediksi Gio bahwa acara adat yang diadakan berlangsung dengan membosankan.
Aku malah lebih banyak mengobrol dengan Rei, terutama tentang masalah pekerjaan. Aku melobinya untuk membantu peluncuran brand yang ramah lingkungan. Proyek yang kugadang-gadang belakanan ini. Memang berkas yang kuajukan sudah sampai kantor pusat. Tapi masih harus menunggu proses uji matero, kelayakan, laba ruginya dan sebagainya. Satu tahap saja gagal maka akan menghancurkan pemikiran kerasku. Dan aku berharap, Rei sebagai salah satu direktur dan calon tunggal sang CEO, bisa membantuku. Haha.. agak licik memang melobi secara pribadi. Yah mau gimana lagi, orang ada kesempatan kok disia-siain, rugilah.
Rei cuman manggut-manggut sambil terkaadang menyela,menyuruhku mengulangi beberapa kata yang ia kurang paham atau tak dengar. Ia tak menampakkan ekspresi tertarik atau sebaliknya. Datar-datar saja. Ya ampun.. padahal aku ngomongya udah semangat 45 walaupun dengan agak sedikit bisik-bisik karna ada banyak orang di sekitar kami. Sepertinya dia sangat berpinsip dalam bisnis. Susah sekali menebak ekpresi wajahnya.
Setelah satu jam, atau lebih. Acara seserahan dan apalah itu akhirnya berakhir juga. Sang MC mempersilahkan para tamu untuk menikmati hidangan atau berfoto dengan pasangan pengantin.
"Ayo Rei, kita ucapkan selamat pada Gio."
"Sebelumnya kau harus bertemu beberapa orang. Akan kukenalkan pada orang-orang yang berpengaruh di bisnis perusahan kita." Perktaan Rei bagai sebuah jalur emas menuju impianku. "Perhatikan, dan ingat semua orang yang kusapa. Siapa tahu akan berguna di masa depan."
"Tentu.."
Saran Rei memang bagus, dan datang bersamanya juga membuka sebuah kesempatan emas yang jarang diperoleh. Berkenalan dengan para petinggi dari perusahaan sendiri dan perusahaan luar tentunya. Tapi aku agak lemah soal mengingat sesuatu, terutama wajah. Direktur sendiri aja nggak ngenalin. Fiuh.. kebiasaan buruk yang bagaimanapun harus diperbaiki.
"Kau ingat pasangan suami istri tadi, mereka adalah nyonya yin dan suaminya. Wanita itu sungguh perkasa. Bisnisnya di bidang persewaan kapal dan yacht, dia sangat dingin dalam menangani bisnisnya." Pasangan yang pertama kali menyapa kami sewaktu tiba di sini tadi.
"Lariana Cruise ya.. aku pernah mendengarnya."
"Ayo cari makanan dulu, dan menyapa yang lainnya." Rei menggamit pinggangku. Aku merasa tak nyaman dengan perlakuannya. Tapi sudahlah, aku adalah pasangannya hari ini.
Aku mendapat beberapa mangsa, tentunya dengan bantuan Rei. Petinggi salah satu cabang otomotif berlambang kuda yang ada di indonesia, beberapa pengusaha konstruksi, pemilik hotel, dan masih macam-macam lagi. Aku agak pusing menghapalnya. Udah namanya juga agak belibet. Beruntung Rei menawariku salinan kartu nama seluruh 'kenalan baruku' tadi.
"Sepertinya antrian di panggung pengantinnya udah agak longgar. Kita kesana sekarang aja."
Aku mengangguk dan melenggang ke singgasana sang raja ratu sehari. Mereka tampak sangat serasi, tentusaja. Senyum terus saja bertengger di wajah mereka yang berseri-seri. Menyalami beberapa tamu yang hilir mudik ke atas pannggung dan berfoto bersama.
"Rei?" saat mendekat ke arah kedua mempelai, ada suara familiar yang memanggil Rei.
Papanya.
"Papa? Papa sama siapa kesini?"
"Apa kau lihat seseorang di sampingku?"
"Eh.. enggak."
"Ya udah, berarti papa sendirian."
"Ya kirain dateng sama mama. Mama gak belum pulang ya dari rumah nenek?"
"Hmm.. begitulah, nenek belum juga membaik dan perlu perawatan dan perhatian lebih. Kakek sudah cukup berumur untuk melakukan itu semua. Mungkin mamamu akan pulang akhir bulan ini."
Obrolan tentang keluarga besar yang sangat menyenangkan. Mereka tampak akur dan baik-baik saja. Hahaha.. apa kabar dengan keluargaku ya? Aku tak punya waktu memikirkan orang yang juga tak memikirkanku. Buat apa!!
"Kau gadis mungil yang waktu itu di rumah sakit kan?"
Aku tersipu. Gadis mungil?? Yah.. pak salim memang memiliki postur orang eropa yang tinggi besar, mungkin di matanya aku gadis eropa berusia 14 tahunan kali ya.
"Ya, dia Viona yang jagain Rei waktu sakit yang malah ditinggal pergi sama orang tuanya." Rei kembali merajuk. Oh ayolah, apakah mereka akan bertengka lagi? Di sini? Di tempat umum? di pesta pernikahan seseorang?
"Papa kan udah bilang ada urusan. Lah kan ada Viona yang jagain kamu." Kalimat terakhir pak salim sedikit mengandung kata godaan. Apakah dia masih saja salah mengenai hubungan kami?
"Mr. Husain?" ada seorang yang bergabung menyapa papa Rei. Aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk berpisah dari papanya Rei. Bukannya gimana-gimana, cuman menghindar saja kalau-kalau mereka malah berdebat lagi.
Pak salim tampak ramah menyambut seorang koleganya tersebut. Aku menarik tangan Rei dan berbisik. "ayo temui Gio sekarang."
"Ok." Rei menyela pembicaraan papanya dengan seorang wanita bule yang asyk berbincang. "pa, aku ke Gio dulu." Papanya mengangguk memberi restu.
Naya sangat cantik. Dengan kebaya yang dimodif menjadi gaun, ia tampak anggung. "kau cantik sekali nay.." ucapku sambil memeluknya erat. "selamat ya! Kau sudah resmi adi mrs. Alamsyah."
"Thank's Vi. Cepet nyusl juga ya sama si bos besar."
"Untung ini hari nikah lo, kalo enggak udah gwe jambak deh haha.."
"Langkahi dulu mayatku Vi kalau mau ngejambak dia." Gio menimpali pembacaraanku dengan Naya.
"Cie..cie.. yang udah jadi laki orang. Siapa takut nglangkahin mayat lo!"
"Selamat gi.." Rei menyalami dan menepuk pundak sahabatnya itu. "pengantin lo cantik banget."
"Thank's Rei." Naya yang mendengarnya langsung tersipu.
"Bu manager juga gak kalah cantik kok, wow banget malah. Gwe sempet pangling tadi, is that my boss?"
"Iya nih, pak direktur pinter mermak Vionanya." Tambah Naya. Pasangan yang kompak sekali. Sama-sama menyebalkannya.
"Gwe udah cantik dari sononya kali. Udah-udah, kita poto-poto dulu. Dah cantik gini kok gak poto." Aku bergeser ke samping Naya dan Rei di sebelah Gio. Sang photografer mengerti dan mengarahkan kami ke posisi terbaik.
Beberapa foto di ambil dengan posisi yang berbeda-beda. Aku di samping Naya, lalu bergantian ke sebelah Gio dan yang terakhir aku berada di sebelah Rei dan Gio serta Naya sengaja menjauh. Sialan.
Setelah sesi berfoto ria selesai. Aku dan Rei kembali membaur dengan para tamu lainnya. Dan semakin banyak yang menyapa Rei semakin banyak pula yang aku tahu. Meskipun gak hapal-hapal banget tapi setidaknya mereka mungkin akan mengingatku, mungkin saja.
"Rei aku ambil minum sebentar." Sudah lebih dari lima menit Rei berbincang dengan wanita bernama Helena, entah ia bekerja dimana karna Rei dari tadi tak membicarakan tentang pekerjaan mereka, hanya kabar mereka, dan kegiatan mereka aakhir-akhir ini (bukan termasusk pekerjaan). Aku yang agak jengah ingin mengambil minum.
"Ya, segera kembali."
"Baik."
Yeah. Aku akan kembali jika wanita itu sudah pergi. Bukan hanya untuk menghindari wanitan bernama helena itu tapi juga karna kerongkonganku terasa sangat kering. Dan minuman dingin terlihat sangat menggoda.
"Kau sangat kehausan ya?"
"Hek.." Hampir saja kumuntahkan minuman yang sedang kutenggak. Apa aku kelihatan sangat terburu-buru minum.
"Haha.. maaf.." selucu itukah orang yang tersedak. "Santai saja. Gak akan ada yang bakal ngrebut minumanmu kok." Kutatap sengit orang yang mengolokku itu. Siapa sih pria slengekan ini. "Kau yang datang sama Raihan kan? Kok malah dianggurin sama cewek lain."
"Bukan urusan anda." Aku berusaha sesopan mungkin untuk tak menghiraukannya dan pergi.
"Aku akan menggantikannya untukmu sementara dia dengan wanita itu." Ngomong apa sih ni orang -_-
"Permisi, aku harus ke kamar kecil.."
"Kenapa? Kau mau menghindariku?"
Tidak. Aku benar-benar ingin ke kamar kecil karna rasa mual yang tadi pagi kembali lagi, menerjang lebih kuat. Ada suara berdenging memenuhi gendang telingaku. Yah seenggaknya aku tak bisa mendengar ocehan pria brengsek tadi.
Dengan buru-buru aku menerobos kerumunan menuju pintu keluar ruang utama gedung ini. Sempat bingung harus kemana sebelum akhirnya melihat tanda arah kamar mandi. Jalanku semakin memburu. Tapi semakin cepat aku melangkah, lantai yang kupijak seperti berubah semakin lembek, dan bergarak melentur.
Apa yang terjadi? Entah? Yang kuingat ada tangan kokoh yang menangkapku di saat-saat terakhir pandanganku mengabur dan hampir terjatuh.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 9"

Post a Comment