Hopeless Part 6

Tekanan darahku tiba-tiba naik drastis, mungkin sampai 150an saking shocknya. Orang yang kutemui di lobi tadi yang kutabrak waktu aku terburu-buru mengejar absen adalah papanya Rei. Presiden direktur di perusahaanku. Rasanya pengen punya mesin waktu dan memperbaiki segalanya. Apalagi saat ini aku tengah duduk di pinggir ranjang anaknya dan sedang menyuapinya. Pasti ada kesalah pahaman yang akan terjadi nanti.
“Papa?” Rei buka suara. “Sejak kapan papa kemari.” Dengan amat perlahan aku turun dari ranjang.
Pak Salim Husain, papanya Rei. Aku jelas tahu namanya karna dia presdirku, tapi betapa bodohnya aku tak mengenali wajah orang nomor satu di perusahaan sendiri. “Ya, udah agak dari tadi. Kudengar kau kau sakit, sepertinya sudah tidak apa-apa..” tidak apa-apa, dia bilang seperti itu sambil memandangiku. Tuhkan, pasti deh salah paham.
“Kenalin, ini Viona, temennya Rei.”
Aku menunduk dan mengulurkan tanganku. Ah, tanganku rasanya pasti sedingin es. “Vi..Viona..” suaraku bergetar.
“Bener ini temanmu?” papa Rei meragukan perkataan Rei.
“Yah, dia bukan cuman sekedar temen..” apa!!!!?? Aku melirik Rei tajam. Apa yang sedang dia pikirkan. “Dia manager pemasaran di perusahaan kita.” Oh… itu, kukira apa.
“Huft..” aku menghela nafas.
“Kau kenapa Vi?” Rei menyadari perubahan emosiku.
“Ah, tidak. Aku harus keluar sebentar Rei..” pamitku. Aku tak ingin mengganggu waktu bersama ayah dan anak.
“Loh kenapa? Gak papa kamu jagain Rei aja. Papa masih ada urusah nih Rei. Harus keluar kota lagi.” Duh pak Salim kenapa mau pergi sih, bukannya dia baru saja datang.
“Papa kan baru kesini bentar.. anaknya sakit kok malah mentingin kera sih” wajah Rei cemberut manja, meminta waktu sang ayah buat menemaninya lebih lama.
“Halah kau ini jangan berlagak sok manja kayak gitu. Tiap hari juga ketemu kok.” Kilah sang ayah.
“Ketemu paling cuman di kantor..” balas Rei tak kalah sengit.
“Emang ketemu dimana lagi. Salah sendiri ngapain kamu beli rumah segala jadi ga bisa ketemu papa tiap hari kan di rumah.”
“Rumah itukan investasi pa. toh  lagipula papa jarang ada di rumah, ya kan?”
Aduh, kenapa mereka malah bertengkar kayak sepasang kekasih yang jarang bertemu sih.
“Aku akan per..”
“Jangan!” seketika tubuhku membeku. Belum sempat juga aku menyelesaikan perkataanku, ayah dan anak ini malah membentakku. Mengkeret sudah nyaliku.
“Vio, kau tetap disini.” Perintah Rei.
“Ya, jaga Rei karna aku akan segera pergi.”
“Papa…” rengek Rei.
Oke, aku benar-benar tak tahan berada di tengah-tengah perang argumen mereka.  “Maaf, tapi aku benar-benar harus segera pergi. Ini sudah jam setengah tujuh dan aku belum sholat maghrib..”  sesaat sunyi saat aku selesai bicara, dan mereka mematung memandangiku. “Jadi, bolehkah aku permisi sebentar?” Ayolah.. cuman aku cuman bisa menjalankan kewajibanku yang itu doang. Lainnya tau deh, aku masih suka mengumpat dan yang lainnya. Ha!
“Yah silahkan..” hanya seperti bisikan satu oktaf suara pak salim memecah keheningan. Huft... syukurlah aku bisa menghindar darri perdebatan mereka. Segera kucari mushola untuk menunaikan ibadah.
Papa Rei telah pergi ketika aku kembali ke kamar. Rupanya dia benar-benar akan keluar kota, yah persis sekali dengan anaknya yang workaholic. Rei kusuruh segera tidur agar pagi harinya dia segar dan diperbolehkan pulang. Dia menurut saja dan segera kumatikan lampu ruangan dan menggantinya dengan lampu tidur. Sementara itu aku menungguinya semalaman sambil mengerjakan laporan mingguangku.
.
.
.
Paginya aku memanggil dokter jaga dan menanyakan apakah Rei sudah diperbolehkan pulang atau belum. Seperti yang kuduga, dia boleh pulang namun harus beristirahat dan mengkonsumsi obat.
“Bisakah kita ke kantor sekarang?” entah kenapa tiba-tiba Rei malah meminta ke kantor ketika aku mengemudikan mobiln mengantarkannya pulang.
“Jangan bercanda rey. Lo itu masih kusut.” Aku mulai kesal dengan tingkahnya. Aku tahu dia gila kerja, tapi bukankah dia sedang sakit.
“Siapa yang bercanda?? Nanti mampir ke toko beli kemeja sama celana panjang kan beres.”
“Bukan penampilan lo yang kusut tapi tubuh lo itu yang kusut. Minimal kau harus istirahat sampai besok. Lo kan tadi denger sendiri dokter bilang apa..” gemes sekali aku harus mendiktenya.
“Ah.. jangan percaya dokter 100% deh..” Rei jengah.
“Loh kenapa emangnya? Dokter lebih tau kali daripada elo.”
“Ya..elo mah percaya aja ama dokter. Gwe sih percaya ama tuhan.” Kata Rei ringan kemudian.
“Ah sialan lo, kirain gwe kenapa.”
Kuantar Rei sampai rumah sekitar jam tujuh. Berada masih ada waktu sekitar setengah jam lagi untukku bersiap ke kantor. Sebelumnya aku sempat berpesan pada bibi ama untuk membuatkan Rei bubur dan jus tomat. Aku ingat beberapa waktu lalu dia mengatakan suka tomat, dan kuharap itu bisa menambah selera makannya. Tak lupa kuminta bibi ama untuk mengingatkan Rei untuk minum obat. Sebenarnya tadi aku pengen nanya apakah dia dan papanya sudah berbaikan.. yah kurasa perdebatan semalam tak terlalu panas tapi kuharap mereka sudah akur. Tapi kuurungkan dulu, mungkin waktunya belum tepat.
.
.
.
“Vi, ini jadwal pertemuan dari kantor pusat. Emm.. oh ya kudengar Rei sakit?” Gio meyerahkan beberapa berkas dan menanyakan tentang Rei.
Aku ragu untuk menjawabnya. “emm..ya dia kemarin pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Lo ga usah khawatir. Dia sekarang udah baik-baik saja.” Aku menenangkan Gio.
Dahi Gio mengerut. “kenapa kau ga bilang-bilang? Pertanyaan inilah yang kutakutkan keluar dari mulut Rei.
“Yaa.. kemarin kau bilang akan pergi dengan Naya gwe gak pengen gangguin kalian. So.. aku menunda untuk memberi tahumu.”
“Trus si Rei masih di rumah sakit sekarang?”
“Enggak, dia udah pulang tadi pagi. Lo jangan khawatit, dia udah sehat kok.” Setelah mendengar keteranganku kerutan di dahi Gio agak memudar.
“Syukur deh kalau dia ga papa.” Ucapnya lega. “bdw gosip lo sama Rei makin gencar aja sih. Pas kemaren aku dapet broadcast dari si Yuni foto lo sama Rei di mall lagi belanja bareng.”
"Ya.. kemarin aku tak sengaja mendengarmu berbicara dengan Naya memalui telfon. Dan kau sepertinya akan pergi bersamanya setelahnya. Gwe gak pengen gangguin kalian." Jawabku.
"Trus si Rei masih di rumah  sakit sekarang?" kecemasan Gio belum hilang meskipun aku mengatakan bahwa dia sudah baik-baik saja.
"Nggak, tadi pagi dia udahpulang. Lo jangan khawatir dia udah sehat kok." Kembali kutenangkan Gio.
"Syukur deh kalo dia gapapa. Bdw gosip lo sama si Rei makin gncar aja sih. Pas kemaren gw dapet broadcast dari Yunifoto lo ama Rei pas di mall lagi belanja bareng. Fotonya agak burem dan dari belakang sih, tapi itu jelas keliatan lo banget." Laporan Rei tentang ulah Yuni membuatku emosi
"Ah sialan bener sih si Yuni. Iya pas kemaren gwe belanja buat ngisi kulkas bareng sama Rei. Yah tau-tau tuh makhluk malah muncul deh. Gila tuh orang maen ambil gambar tanpa ijin segala." Kesal setengah mati aku.
"Kalo bener juga ga papa kan Vi.. lumayan dapet calon dirut muda. Dia tuh dah kelamaan jomblonya." Entah kenapa Gio malah bersemangat mengangkat topik ini.
"Elo kok malah ikut-ikutan gosip kayak gitu sih. Sialan banget. Amit-amit deh.. gwe ga percaya ama cinta atau apapu itu namanya. Jadi jangan sekali-kali bahas tentang itu, batesan aku sama siapapun itu hanya sampai friend zone ga lebih dari itu." Aku mengecamkan setiap kataku pada Gio. Yah aku memang tak pernah percaya lagi dengan yang namanya cinta atau apalah sejenis itu sejak keputusan ayah mengusirku. Aku tak akan pernah percaya lagi.
"Ke.. kenapa lo Vi? Kok jadi sensi gitu. Gwe kan cuman bercanda." Gio agak kaget menanggapi perubahan emosiku yang tiba-tiba.
Aku yang menyadarinya langsung meminta maaf. "sorry.. gwe cuman ga percaya aja yang namanya cinta.."
"Ah elo ada-ada aja. Gwe jabanin lo sama Rei pasti jadi. Pasti itu."
"It's so imposlbe babby. I'll never give my love for everyone. " kataku teguh.
"There's nothing imposible in this world honey. And it's true, i believe. Dan kata justin bieber mah 'never say never'  kalau bahasa jawanya ojo ngasi ngomong jongasi karna jongasi itu kepanjangan dari jodoh yang serasi."
"Haha.."aku cukup tergelak mendengar beberapa kalimat terakhir Gio yang diubahnya dengan logat jawa kental. Gio itu fasih berbahasa jawa karna dia asli orang jogja dan katanya masih ada keturunan ningrat atau apalah itu.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 6"

Post a Comment