.
.
Rei masih bisa menerima jika Viona untuk sementara tinggal di rumah ayahnya untuk menenangkan diri. Tapi kiriman surat pagi ini di kantornya sudah melewati batas ambang kesabarannya. Dengan cepat ia merobek surat gugatan yang telah ditandatangani oleh istrinya. Suara bantingan pintu membuat Clara terlonjak seiring dengan aura kelam yang terpancar dari si boss yang keluar dari ruangannya.
.
Rei masih bisa menerima jika Viona untuk sementara tinggal di rumah ayahnya untuk menenangkan diri. Tapi kiriman surat pagi ini di kantornya sudah melewati batas ambang kesabarannya. Dengan cepat ia merobek surat gugatan yang telah ditandatangani oleh istrinya. Suara bantingan pintu membuat Clara terlonjak seiring dengan aura kelam yang terpancar dari si boss yang keluar dari ruangannya.
“Ms. Antonio tolong
kosongkan jadwal hari ini dan sesuaikan untuk besok. Saya tidak akan
berada di kantor hari ini.” Perintah itu dilontarkan sambil lalu tanpa
menoleh sedikitpun pada Clara. Sekretarisnya itu sangat tau jika Rei
memanggil marganya maka dia sedang tak ingin bercanda atau dalam keadaan
santai sama sekali.
“Yes, Sir.” Clara segera
mengendalikan degupan jantungnya yang memburu gara-gara Rei yang seenak
jidatnya membanting pintu dan memberinya perintah sambil lalu.
Satu-satunya tujuan Rei
hari ini adalah menemui wanita yang sudah menghancurkan mood pagi
harinya di kantor. Surat sialan itu. Sampai mati dia tak akan
menyetujuinya.
“Jangan terlalu
memaksanya. Aku tau kalian sedang ada masalah walau Viona tak mau
membicarakannya denganku. Hanya.. dia sedang terguncang.”
“Baik, ayah.” Rei
mengamini permintaan mertuanya. Justru Vionalah yang memaksa dirinya.
Hingga sampai pada titik didihnya. Rei segera melangkahkan kakinya ke
arah dapur karna menurut ayah mertuanya, Viona sedang berkutat di
ruangan itu.
Rei bisa mencium bau
manis yang menguar dari ruang yang tak begitu luas itu. Viona tampaknya
tak menyadari kegiatannya membuat adonan tengah diperhatikan oleh
sepasang mata biru yang menawan. Ah, andai saja semua masalah ini tak
pernah ada pastinya Rei akan langsung memeluknya dari belakang dan
memberikan kecupan hangat di tengkuknya.
“Kau sedang membuat
apa?” Sejenak Rei melupakan amarah yang menyeretnya hingga sampai
disini. Ia hanya sangat merindukan wanitanya.
Viona hampir menumpahkan
saus strawberry panas yang baru saja sekesai dibuatnya karena suara
dari orang yang tak akan disangkanya akan datang kemari. Ok, Viona
memang tau Rei pasti akan datang menemuinya, tapi tidak secepat ini
setelah baru tadi pagi ia mengiriminya surat itu. Dan ia belum siap
untuk menghadapinya. Tidak dengan apron dan adonan serta panci yang
penuh saus starwberry.
“Sedang apa kau
disini?!” Tentu saja karena surat itu. Itu hanya pertanyaan bodoh yang
reflek diutarakan Viona saking terkejutnya.
Viona meletakkan
pancinya sebelum amarah menguasainya dan melempar isi panci itu ke wajah
tampat Rei. Ia melepas apronnya dan mencuci tangannya. Tapi yang tidak
disadari Viona adalah bubuk tepung yang menempel di sekitar pipi dan
dahinya. Ingin sekali Rei membersihkan tepung itu. Dengan lidahnya.
“Tentu kau tau kenapa
aku kemari.” Rei kembali memasang muka ‘kau sudah gila’ nya sama ketika
ia membaca surat gugatan yang dikirim Viona pagi ini.
“Tentu kau juga tau
maksud dari kirimanku. Kenapa kau masih kemari.” Saling melempar
sarkasme seperti tak terhindarkan kali ini. Selain amarah, sebenarnya
Rei juga sedikit bersyukur karna istrinya sudah mau beraktifitas serta
membalas perkataannya, tidak hanya mengurung diri di kamar seperti orang
pesakitan.
“Aku tidak main-main
soal tidak akan ada perceraian sampai kita mati Viona.” Rei
menghempaskan tubuhnya di kursi santai dekan kolam belakang rumah.
“Aku juga tidak main-main dengan gugatan itu.” lagi-lagi kekeras kepalaan mereka membuat saling membalik kata.
“Seharusnya kamu
realistis. Kau tak akan memenangkan gugatan itu. Aku bisa menyewa
puluhan pengacara handal bahkan jika perlu jaksapun akan kubeli.” Tanpa
tedeng aling-aling Rei mengutarakan kelicikannya jika wanita
disampingnya itu masih kekeh ingin melanjutkan gugatan perceraian.
Meski tau Rei akan
menggunakan cara apapun untuk menggagalkan rencana Viona seperti cara
Rei mendapatkannya. Viona masih kaget dengan keterus terangan Rei
barusan. Rei.. pria yang selama ini dikenalnya lembut, penuh perhatian
dan selalu membuat hatinya menghangat. Kini jadi seperti orang asing
yang penuh obsesi. Obsesi untuk mengikat Viona.
“Kau masih saja egois
setelah semua ini.” Lirih Viona. Ada getaran dalam suara kecilnya. “Kau
sudah mendapatkan aku bukan? Kau berhasil mengelabuhiku dengan mudah.
Pasti kau menertawai kebodohanku yang sangat mudah kau tipu. Dan setelah
kau puas denganku, dengan mudahnya kau berpaling pada..”
“Aku tidak pernah
bersama siapapun selain dirimu.”Rei dengan cepat memotong perkataan
Viona. Otot rahangnya mengeras tidak terima dengan apa yang dikatakan
oleh Viona.
Viona tersenyum sinis.
Hanya senyum inilah yang mampu ia tampilkan selain senyum tipis yang tak
sampai mata selama beberapa hari terakhhir. “Lalu apa namanya ketika
kau pulang dalam keadaan mabuk berat dengan seorang wanita?”
“Berapa kali harus
kubilang tidak terjadi apa-apa antara aku dan Helena malam itu?!” Rei
benar-benar gusar jika harus kembali membicarakan malam sialan itu. Ia
lengah saat itu dan membiarkan waita ular itu memperdayanya.
“Terus saja menyangkal
tapi tanda itu tak akan mampu berbohong Rei. Seharusnya kau sudah
melepaskanku karena sudah mendapatkan apa yang kau mau.” Viona
mengatakan kalimat terakhirnya sambil memalingkan wajahnya dari Rei.
“Hanya kau yang kuinginkan Viona.. harus bagaimana lagi aku menjelaskan padamu agar kau mengerti?”
“Seandainya kau mau
melepasku dan tak mengejarku waktu itu.. sekarang aku pasti masih
memiliki dia dan mungkin aku bisa mempertimbangkan semua ini.” Viona
masih tak mau menatap wajah Rei. Ia menyembunyikan sesuatu yang mendesak
di sudut-sudut matanya.
Rei teringat perkataan
mertuanya. ‘jangan terlalu memaksanya’. Rei sendiri sangat tau kondisi
mental istrinya yang sedang sangat rapuh. Maka dari itu, ia tak mau
memilih memaksa dan menyerangnya sekarang. Jadi ketika Viona pergi
meninggalkan teras belakang tanpa menatap sekalipun padanya, Rei tak
mengejarnya.
Rei sudah cukup menyampaikan maksud kedatangannya untuk menolak segala bentuk perceraian, perpisahan apapun itu namanya.
.
.
.
Aku tau Rei tidak akan begitu saja menyetujui permintaan gugatanku itu. Buktinya beberapa detik setelah menerima surat dari pengadilan agama tadi pagi dia langsung mendatangiku. Bahkan dia mengancamku..
.
.
.
Aku tau Rei tidak akan begitu saja menyetujui permintaan gugatanku itu. Buktinya beberapa detik setelah menerima surat dari pengadilan agama tadi pagi dia langsung mendatangiku. Bahkan dia mengancamku..
Tidak adakah jalan
untukku agar bisa lepas darinya? Kenapa dia belum mau melepasku? Apa..
apa dia belum puas bermain-main denganku? Bulu kudukku langsung
meremang. Dia kan sudah punya Helena.
“Vi, Ayah tau kau dan
Raihan sedang ada masalah. Tapi tidak baik kalau kamu membiarkan masalah
ini berlarut dan melarikan dirimu disini. Walau bagaimanapun Rei tetap
suamimu, dan tidak seharusnya kamu meninggalkan suamimu.”
Ayah menarikku dari lamunan dan menghadapkanku kembali pada cake yang telah jadi
“Ayah..” Aku memeluk
Ayah penuh sayang. Dia membelai lembut rambutku. Tentu aku tidak bisa
bercerita masalahku pada Ayah. Masalah Ayah dengan si nenek sihir saja
belum selesai betul, mana mungkin kubebani lagi dengan masalahku yang
pelik.
“Jangan berpikir bahwa
masalahmu akan membebani Ayah. Justru Ayah tak mau jika putri
satu-satunya memendam sendiri bebannya. Berbagilah..” Aku semakin
mengeratkan pelukanku dan tanpa bisa kuhindari lagi air mata yang sedari
tadi kutahan sejak kedatangan Rei tumpah ruah membasahi kemeja Ayah.
Dengan terbata-bata aku
menumpahkan semuanya pada Ayah. Mulai dari kebohongan Rei soal papa,
oh.. haruskah aku memanggilnya dengan sebutan papa? Aku tau Pak Salim
sama sekali tidak terlibat dalam permainan bodoh Rei, tapi rasanya aku
tak pantas lagi memanggilnya papa. Bukan aku benci padanya, tapi lebih
pada karena pernikahan mainan sialan ini.
Ayah mau mengerti aku
dan menyerahkan semuanya padaku. Dia hanya berpesan agar aku tidak
melulu menggunakan emosi jika menghadapinya, melihat melalui perspektif
berbeda pada semua masalah yang ada dan tidak gegabah dalam mengambil
keputusan. Ayah juga menegurku soal gugatan yang kulayangkan. Aku
meringis mendengar nasihatnya.
“Kamu berhak menenangkan
diri. Jika perlu pergilah ke rumah budemu selama yang kau perlukan.
Tapi ingat segera kembali untuk menyelesaikan semua ini.”
“Emang budhe nggak papa aku numpang disana?”
“Nanti Ayah bilangin.
Sudah hapus air matamu. Air mata dan tepung adonan, mau jadi apa pipimu
ini.” Ayah mengusap air mata di pipiku. Tapi.. tepung? Jadi sejak tadi
ada tepung di wajahku? Sial! Rei pasti menertawaiku.
Aku mengamini saran
Ayah. Malam itu juga aku berkemas dan memesan tiket pesawat. Aku perlu
udara segar yang tak terkontaminasi polusi. Juga kondisi yang tidak
terkontaminasi pengaruh Rei.
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 69"
Post a Comment