Hopeless Part 69

.
.
Rei masih bisa menerima jika Viona untuk sementara tinggal di rumah ayahnya untuk menenangkan diri. Tapi kiriman surat pagi ini di kantornya sudah melewati batas ambang kesabarannya. Dengan cepat ia merobek surat gugatan yang telah ditandatangani oleh istrinya. Suara bantingan pintu membuat Clara terlonjak seiring dengan aura kelam yang terpancar dari si boss yang keluar dari ruangannya.
“Ms. Antonio tolong kosongkan jadwal hari ini dan sesuaikan untuk besok. Saya tidak akan berada di kantor hari ini.” Perintah itu dilontarkan sambil lalu tanpa menoleh sedikitpun pada Clara. Sekretarisnya itu sangat tau jika Rei memanggil marganya maka dia sedang tak ingin bercanda atau dalam keadaan santai sama sekali.
“Yes, Sir.” Clara segera mengendalikan degupan jantungnya yang memburu gara-gara Rei yang seenak jidatnya membanting pintu dan memberinya perintah sambil lalu.
Satu-satunya tujuan Rei hari ini adalah menemui wanita yang sudah menghancurkan mood pagi harinya di kantor. Surat sialan itu. Sampai mati dia tak akan menyetujuinya.
“Jangan terlalu memaksanya. Aku tau kalian sedang ada masalah walau Viona tak mau membicarakannya denganku. Hanya.. dia sedang terguncang.”
“Baik, ayah.” Rei mengamini permintaan mertuanya. Justru Vionalah yang memaksa dirinya. Hingga sampai pada titik didihnya. Rei segera melangkahkan kakinya ke arah dapur karna menurut ayah mertuanya, Viona sedang berkutat di ruangan itu.
Rei bisa mencium bau manis yang menguar dari ruang yang tak begitu luas itu. Viona tampaknya tak menyadari kegiatannya membuat adonan tengah diperhatikan oleh sepasang mata biru yang menawan. Ah, andai saja semua masalah ini tak pernah ada pastinya Rei akan langsung memeluknya dari belakang dan memberikan kecupan hangat di tengkuknya.
“Kau sedang membuat apa?” Sejenak Rei melupakan amarah yang menyeretnya hingga sampai disini. Ia hanya sangat merindukan wanitanya.
Viona hampir menumpahkan saus strawberry panas yang baru saja sekesai dibuatnya karena suara dari orang yang tak akan disangkanya akan datang kemari. Ok, Viona memang tau Rei pasti akan datang menemuinya, tapi tidak secepat ini setelah baru tadi pagi ia mengiriminya surat itu. Dan ia belum siap untuk menghadapinya. Tidak dengan apron dan adonan serta panci yang penuh saus starwberry.
“Sedang apa kau disini?!” Tentu saja karena surat itu. Itu hanya pertanyaan bodoh yang reflek diutarakan Viona saking terkejutnya.
Viona meletakkan pancinya sebelum amarah menguasainya dan melempar isi panci itu ke wajah tampat Rei. Ia melepas apronnya dan mencuci tangannya. Tapi yang tidak disadari Viona adalah bubuk tepung yang menempel di sekitar pipi dan dahinya. Ingin sekali Rei membersihkan tepung itu. Dengan lidahnya.
“Tentu kau tau kenapa aku kemari.” Rei kembali memasang muka ‘kau sudah gila’ nya sama ketika ia membaca surat gugatan yang dikirim Viona pagi ini.
“Tentu kau juga tau maksud dari kirimanku. Kenapa kau masih kemari.” Saling melempar sarkasme seperti tak terhindarkan kali ini. Selain amarah, sebenarnya Rei juga sedikit bersyukur karna istrinya sudah mau beraktifitas serta membalas perkataannya, tidak hanya mengurung diri di kamar seperti orang pesakitan.
“Aku tidak main-main soal tidak akan ada perceraian sampai kita mati Viona.” Rei menghempaskan tubuhnya di kursi santai dekan kolam belakang rumah.
“Aku juga tidak main-main dengan gugatan itu.” lagi-lagi kekeras kepalaan mereka membuat saling membalik kata.
“Seharusnya kamu realistis. Kau tak akan memenangkan gugatan itu. Aku bisa menyewa puluhan pengacara handal bahkan jika perlu jaksapun akan kubeli.” Tanpa tedeng aling-aling Rei mengutarakan kelicikannya jika wanita disampingnya itu masih kekeh ingin melanjutkan gugatan perceraian.
Meski tau Rei akan menggunakan cara apapun untuk menggagalkan rencana Viona seperti cara Rei mendapatkannya. Viona masih kaget dengan keterus terangan Rei barusan. Rei.. pria yang selama ini dikenalnya lembut, penuh perhatian dan selalu membuat hatinya menghangat. Kini jadi seperti orang asing yang penuh obsesi. Obsesi untuk mengikat Viona.
“Kau masih saja egois setelah semua ini.” Lirih Viona. Ada getaran dalam suara kecilnya. “Kau sudah mendapatkan aku bukan? Kau berhasil mengelabuhiku dengan mudah. Pasti kau menertawai kebodohanku yang sangat mudah kau tipu. Dan setelah kau puas denganku, dengan mudahnya kau berpaling pada..”
“Aku tidak pernah bersama siapapun selain dirimu.”Rei dengan cepat memotong perkataan Viona. Otot rahangnya mengeras tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Viona.
Viona tersenyum sinis. Hanya senyum inilah yang mampu ia tampilkan selain senyum tipis yang tak sampai mata selama beberapa hari terakhhir. “Lalu apa namanya ketika kau pulang dalam keadaan mabuk berat dengan seorang wanita?”
“Berapa kali harus kubilang tidak terjadi apa-apa antara aku dan Helena malam itu?!” Rei benar-benar gusar jika harus kembali membicarakan malam sialan itu. Ia lengah saat itu dan membiarkan waita ular itu memperdayanya.
“Terus saja menyangkal tapi tanda itu tak akan mampu berbohong Rei. Seharusnya kau sudah melepaskanku karena sudah mendapatkan apa yang kau mau.” Viona mengatakan kalimat terakhirnya sambil memalingkan wajahnya dari Rei.
“Hanya kau yang kuinginkan Viona.. harus bagaimana lagi aku menjelaskan padamu agar kau mengerti?”
“Seandainya kau mau melepasku dan tak mengejarku waktu itu.. sekarang aku pasti masih memiliki dia dan mungkin aku bisa mempertimbangkan semua ini.” Viona masih tak mau menatap wajah Rei. Ia menyembunyikan sesuatu yang mendesak di sudut-sudut matanya.
Rei teringat perkataan mertuanya. ‘jangan terlalu memaksanya’. Rei sendiri sangat tau kondisi mental istrinya yang sedang sangat rapuh. Maka dari itu, ia tak mau memilih memaksa dan menyerangnya sekarang. Jadi ketika Viona pergi meninggalkan teras belakang tanpa menatap sekalipun padanya, Rei tak mengejarnya.
Rei sudah cukup menyampaikan maksud kedatangannya untuk menolak segala bentuk perceraian, perpisahan apapun itu namanya.
.
.
.
Aku tau Rei tidak akan begitu saja menyetujui permintaan gugatanku itu. Buktinya beberapa detik setelah menerima surat dari pengadilan agama tadi pagi dia langsung mendatangiku. Bahkan dia mengancamku..
Tidak adakah jalan untukku agar bisa lepas darinya? Kenapa dia belum mau melepasku? Apa.. apa dia belum puas bermain-main denganku? Bulu kudukku langsung meremang. Dia kan sudah punya Helena.
“Vi, Ayah tau kau dan Raihan sedang ada masalah. Tapi tidak baik kalau kamu membiarkan masalah ini berlarut dan melarikan dirimu disini. Walau bagaimanapun Rei tetap suamimu, dan tidak seharusnya kamu meninggalkan suamimu.”
Ayah menarikku dari lamunan dan menghadapkanku kembali pada cake yang telah jadi
“Ayah..” Aku memeluk Ayah penuh sayang. Dia membelai lembut rambutku. Tentu aku tidak bisa bercerita masalahku pada Ayah. Masalah Ayah dengan si nenek sihir saja belum selesai betul, mana mungkin kubebani lagi dengan masalahku yang pelik.
“Jangan berpikir bahwa masalahmu akan membebani Ayah. Justru Ayah tak mau jika putri satu-satunya memendam sendiri bebannya. Berbagilah..” Aku semakin mengeratkan pelukanku dan tanpa bisa kuhindari lagi air mata yang sedari tadi kutahan sejak kedatangan Rei tumpah ruah membasahi kemeja Ayah.
Dengan terbata-bata aku menumpahkan semuanya pada Ayah. Mulai dari kebohongan Rei soal papa, oh.. haruskah aku memanggilnya dengan sebutan papa? Aku tau Pak Salim sama sekali tidak terlibat dalam permainan bodoh Rei, tapi rasanya aku tak pantas lagi memanggilnya papa. Bukan aku benci padanya, tapi lebih pada karena pernikahan mainan sialan ini.
Ayah mau mengerti aku dan menyerahkan semuanya padaku. Dia hanya berpesan agar aku tidak melulu menggunakan emosi jika menghadapinya, melihat melalui perspektif berbeda pada semua masalah yang ada dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ayah juga menegurku soal gugatan yang kulayangkan. Aku meringis mendengar nasihatnya.
“Kamu berhak menenangkan diri. Jika perlu pergilah ke rumah budemu selama yang kau perlukan. Tapi ingat segera kembali untuk menyelesaikan semua ini.”
“Emang budhe nggak papa aku numpang disana?”
“Nanti Ayah bilangin. Sudah hapus air matamu. Air mata dan tepung adonan, mau jadi apa pipimu ini.” Ayah mengusap air mata di pipiku. Tapi.. tepung? Jadi sejak tadi ada tepung di wajahku? Sial! Rei pasti menertawaiku.
Aku mengamini saran Ayah. Malam itu juga aku berkemas dan memesan tiket pesawat. Aku perlu udara segar yang tak terkontaminasi polusi. Juga kondisi yang tidak terkontaminasi pengaruh Rei.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 69"

Post a Comment