Hopeless Part 13

Seketika duniaku seperti berputar. Ya Tuhan! Ada apa dengan hari ini? Apa aku telah memasuki dunia paralel atau apa? Jantungku hari ini bekerja dengan sangat ekstra. Mulai dari kedatangan Alex yang menyebalkan dengan proposal yang mau tak mau harus aku rundingkan dan pasti itu akan diterima mengingat reputasi hotel julian. Dan sekarang ini. Raihan Al Husain melamarku? Atas dasar apa?
Aku masih memandanginya dengan bingung. Baru kenal beberapa minggu dan dia sudah berani melamarku. Bahkan tak ada tanda-tanda dia menyukaiku. Apa sih yang ada di pikiran Rei itu.
“Kau pasti kaget mendengarkan permintaan tolongku ini.” Aku masih susah mencerna apa yang dibicarakan Rei. Meminta tolong?. “aku melamarmu tapi bukan untuk menikah secara nyata.” Apa pula yang dikatakan Rei ini :3 aku semakin menatapnya heran. “papaku.” Dia melanjutkan tapi sepertinya agak ragu.
“Ada apa dengan papamu Rei?” aku tak sabar akan penjelasannya.
“Dia dari luar tampak kokoh, kuat dan segar. Tapi sebenarnya dia sedang sakit. Dan waktunya tak lama.”
“Ya tuhan..” aku menutup mulutku. Pak salim punya penyakit mematikan? Tidak. Siapa yang bisa menyangka orang seramah dan sebugar itu sakit?
“Ya.. dan dia punya suatu keinginan terakhir yang dimintanya padaku...agar aku segera menikah.”
“Tapi kenapa aku? Kita baru bertemu beberapa minggu. Kau tentu saja belum mengenalku secara menyeluruh.”
“Aku tahu.. dan kaupun belum mengenalku lebih dalam. Untuk itu, kita bisa membuat kontrak perjanjian.”
“Rei kau jangan aneh-aneh deh.. kan banyak tuh..” aku agak sungkan mengatakannya. “Wanita yang lainnya.”
“Tidak ada Vio. Dan lagi aku tak punya banyak waktu. Papaku sepertinya sangat menyukaimu. Dia bertanya apa bagaimana hubungan kita, dan aku sama sekali tak ingin mengecawakannya di waktu-waktu terakhirnya.” Oh..aku tak sanggup melihat wajahnya yang tampak menanggung beban. Apalagi matanya yang sayu dan tampak sendu. “Jadi aku mengatakan bahwa kau adalah kekasihku. Dan akan segera menikahimu.
“Apa??!!” aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku.
“Maafkan aku karna membawamu ke dalam masalah ini.”
“Jadi bagaimana?” entah kenapa aku malah bertanya apa yang harus dilakukan. Sumpah aku benar-benar bingung.
“Aku sangat minta tolong padamu.. bisakah kira menikah secara sah tapi pura-pura?”
Pernikahan macam apa itu -_- “Maksudmu?”
“Yah, kita menikah secara sah, tapi sebenarnya kita hanya pura-pura. Akan ada kontrak perjanjian, perjanjiannya akan saling menguntungkan. Kau membantuku membuat papa bahagia di sepanjang sisa hidupnya dan kau...” Rei berhenti sejenak “akan mendapat dua puluh persen dari sahamku, itu sekitar 5-7 persen dari saham perusahaan.”
Aku terbelalak. 7 persen dari perusahaan?? Aku tak perlu bekerja lagi seumur hidupku, yah..hanya rapat-rapat kecil para pemegang saham yang harus kuhadiri jika aku punya saham sebesar itu, itupun bisa diwakilkan sama orang lain. Aku cuman tinggal ongkang-ongkang uang mengalir deras.
Tapi.. ya pasti tentu pasti ada tapinya. Aku jadi istrinya Rei? Ogah.. apa yang membuat gwe ogah?? Pokoknya enggak aja. Aku kan gak kenal Rei sama sekali, kenal dikit baru tiga mingguan ini.
“Jadi bagaimana?”
“Ya?” Rei menyadarkanku dari lamunan.
“Kau mau? Benarkah? Oh..terima kasih Viona..” Rei menggenggam erat tanganku. Apa? Loh.. emang aku jawab apa?? “Akan kusiapkan segera perjanjiannya.”
“Ehh..” loh emang aku setuju?
Rei malah berlutut, memungut cincin yang ada di tatakan dan memakaikannya di jari manis tangan kiriku. Oh my god... oh my... lord...!!!! bagaimana caraku untuk menolaknya??!!
“Terima kasih Vio..” Rei memelukku dengan sangat erat. “Terima kasih..” ucapnya sekali lagi.
Apa aku tega menghancurkan harapannya? Apa aku tega membiarkan papanya, peresdir perusahaanku, pak Salim meninggal dengan rasa kecewa??
.
.
.
Semalam suntuk aku memutar otak mencari ide. Bagaimana bisa Rei salah menanggapi jawaban atas tegurannya padaku jadi jawaban atas lamarannya. Rei!! Kau bodoh sekali..!! aku bahkan tidak bisa berbaring dengan tenang. Mondar-mandir di depan meja rias sambil sesekali berhenti memandangi pantulan diriku di cermin. Bagaimanapun aku harus punya cara. Tekadku dalam hati.
Cara agar aku tak mengecewakan mereka dan juga agar tak melibatkan diri. Jujur saja aku sempat tertarik dengan tawaran Rei, tapi setelah dipikir-pikir aku tak mau menjual kehidupanku dengan tawaran itu. Aku tak mau terlibat apapun dengan itu.
Menikah? Ahh..aku sama sekali tak punya pandangan tentang itu, bahkan terbersitpun tidak. Aku masih muda, pengen menikmati masa-masa sekarang ini, aku bahkan tak punya target akan menikah di umur berapa. Mau umur tiga puluh lebih juga gak masalah, yang penting aku masih happy-happy aja menjalani hari-hariku.
“Rei sialan!!” umpatku sambil kututpi dengan bantal untuk meredam suaraku. “damn..damn..”
Cincin yang terpasang apik di jari manisku serasa membakar seluruh emosiku. Aku melepasnya dengan gusar. Agak sedikit susah rupanya. Kenapa bisa pas banget sih!! Setelah sedikit memaksa, dan membuat jariku memerah, cincin dengan mata yang berkilauan. Yah cincin cantik yang memuakkan!! Kuletakkan di nakas dekat ranjang lalu aku berusaha untuk memejamkan mata.
Menenangkan hati, menstabilkan kerja jantung, menghilangkan pikiran-pikiran liar dan mensugesti diri sendiri bahwa besok pasti ada jawaban. Selama satu jam lebih aku melakukan itu dan hasilnya nihil. Mataku memang tertutup, tapi sepertinya jiwaku tak mau beristirahat dengan tenang, dia berkelana dengan gelisah mencari jawaban. Atas semua masalah yang begitu pelik menempel secara tiba-tiba.
“Erghh!!!”
Jam 23.47
Dan aku sama sekali tidak mengantuk atau lelah. Hanya ada rasa sebal, jengkel, terbebani dan takut..
Kruk...krukkk
Kenapa tubuhku  ikut-ikutan protes sih! Malam-malam begini perutku malah bunyi. Padahal tadikan udah makan banyak. Apa gara-gara kebanyakan mikir jadi pencernaannya bekerja lebih keras ya? Ah tak hubungannya kali. Perutku saja manja mminta diisi malam-malam begini.
Dengan amat malas aku turun dari ranjang dan keluar menuju dapur. Buat apa ya enaknya malam-malam begini. Heh...kuharap setelah perutku kenyang aku bisa tidur dengan nyenyak.
Aku hampir berbalik kembali ke kamar saat tahu lampu dapur menyala. Namun terlambat.
“Vio?” Suara Rei dengan tegas membuatku harus berbalik ke tujuan awalku untuk ke dapur. Sial! Padahal aku masih engan menemuinya. Kalau-kalau saja dia membahas kejadian pas makan malam tadi aku mau ngomong apa coba. “kau belum belum tidur?” dan kau juga kenapa ada di dapur >_
“Udah tadi, tapi kebangun.” Boong banget. Iyalah kalau aku jawabnya belum karna gak bisa tidur, dia pasti akan nanya ‘kenapa gak bisa tidur’ trus apa mau aku jawab karna mikirin lamaran kamu, gengsi!!! Aku membuka frezzer memeriksa isinya. Aku menghindari tatapan langsung dengan Rei.
Dinginnya lemari es tiba-tiba memberiku sedikit pencerahan. Aku ingat penjelasan Rei dia bilang kan ini Cuma pura-pura. “Rei aku ingin bertanya.”
“Tentang apa?”
“Yang tadi. Emm.. kau bilang kan tadi hanya pura-pura?.” Aku menutup pintu freezer karna sudah menemukan apa yang ingin kubuat, menggenggam dua buah telur dan satu buah tomat. Ya, aku hanya pengen telor goreng dengan tambahan irisan tomat segar.
“Ya, memang kenapa?”
“Jadi.. kita tidak akan melakukan ‘hubungan itu’ kan?” aku sebenernya agak malu menanyakan ini. Tapi harus kutanyakan sejak awal.
“Maksudnya?” Rei bertanya sambil mengaduk-aduk tehnya. Ini orang pura-pura bego atau emang tulalit sih, masak aku harus jelasin arti kata itu. Aku terdiam malu menjelaskannya. Rei tersenyum simpul. “Tidak Vio. Kita tidak akan melakukan hubungan intim, no sex..” dia menatapku geli. Ah..syukurlah, aku sedikit lega dan bisa dengan lebih ringan membantu Rei. “..jika kita tak saling menginginkan.” Tambah Rei.
Apa?? Apa maksudnya?? Aku menatap Rei tajam. Katanya Cuma pura-pura, apa kami juga harus melakukan itu.
“Haha..kau jangan tegang gitu. Enggak, itu tak akan terjadi Vi, dan itu akan menjadi bagian dari perjanjian kita.”
“Huft...”
“Kau lega?”
“Ha?” Rei menyadari kekhawatiranku terhadap hal itu, dan kini dia tau aku sudah tak merasa cemas pada persoalan itu. “Oh..ya. kau mau telur goreng?”
“Boleh.”
Selama lebih dari satu jam kami membicarakan perjanjian yang akan kami lakukan. Pernikahan akan dilangsungkan selama dua tahun. Dan jika pak salim masih hidup, ya Tuhan.. aku sedih juga memikirkan keadaan pak salim. Maka akan diadakan perjanjian baru. Tidak ada yang boleh tahu mengenai perjanjian ini selain kami, aku dan Rei, serta notaris tentunya. Termasuk Gio atau orang tuaku juga. Ngomong-ngomong soal orang tua. malam ini aku terpaksa menjelaskan juga kepada Rei tentang keadaan keluargaku yang sesungguhnya. Alasan kenapa aku diusir dan sebagainya. Tapi Rei bersikukuh untuk menemui orang tuaku untuk meminta ijin dan melamarku secara resmi, katanya sih untuk meyakinkan semua orang. Aku mengiyakan saja. Argh.. berarti aku harus bertemu nenek lampir penghancur kehidupan orang itu lagi. Menyebalkan.
Aku akan menghubungi ayah besok. Kata Rei pernikahannya akan diadakan sebulan lagi, aku sampai tersedak susu yang sedang kuminum. Secepat itu? Yah..mengingat umur papanya, sebisa mungkin dilakukan dengan segera. Rei memberitahuku agar tak usah mencemaskan persiapan apapun karna dia yang akan mengurusnya.
Well..sepertinya setelah dibicarakan perjanjian itu tak terlalu buruk. Sungguh lega rasanya. Sekitar jam 01.22 aku kembali ke kamar dengan rasa kantuk yang sudah mendera.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 13"

Post a Comment