Hopeless Part 12

Hari selasa aku masuk. Tapi aku salah besar masuk hari ini. Rasanya pengen nangis, pengen mati aja. Eh..enggak ding, atau resign juga boleh. Ya tuhan...!! apa kesalahan hambamu ini?? Sehingga engkau memberi cobaan seperti ini.
Pagiku sudah hancur berantakan karena sebuah ketukan pintu.
Tok tok
“Masuk” aku mempersilahkan.
“Maaf bu, ada yang mau bertemu. Dari hotel jullian.” Yuni memberitahuku. Biasanya sih Gio yang masuk atau menelpon untuk mengabari. Tapi berhubung dia hari ini terbang ke eropa mau berbulan madu sama Naya ya gak bakalan ada sekretaris untukku eberapa hari ini. Tapi katanya dari kantor bakal ada penggantinya selama sebulan ini, kuharap dia segesit Gio.
“Yah, suruh masuk saja.” Hotel jullian? Itu adalah hotel yang kutinggali setelah aku diusir beberapa waktu yang lalu. Hmm.. Apa aku punya jani bertemu? Ahh..catatan di ponselku.. sialan.. sumpah serapah untukmu Alexander curtiz. Aku belum beli ponsel baru, rencananya sore ini sepulang ngantor.
“Masuk, silahkan du..” biasanya aku mempersilahkan tamu, menyambutnya dengan senyum hangat agar nantinya kerja sama kami.. ralat kerja sama perusahaan kami beralan dengan lancar. Well.. kadang amat susah menyambut orang yang menyebalkan, arogan, jutek, atau yang .. pokoknya orang-orang yang kadang suka semaunya sendiri, termasuk yang satu ini.
Senyumku sirna seketika seperti kota hirosima dan nagasaki yang di musnahkan oleh bom atom. Aku bahkan rela di pecat agar bisa melemparnya dengan asbak yang ada di atas meja tamu di ruanganku.
ALEX!!!!!
Kenapa dia bisa kemari?? Oh tuhan..tidakkah kau cukup membuatku menderita akhir-akhir ini, mengapa engkau menghadirkan makhluk brengsek ini ke kantorku??
“Hey..”sapanya asal, lalu duduk di sofa tamu dan meletakkan sepasang hells yang ia tenteng di atas meja?? Itu helssku?? Lalu disusulnya dengan meletakkan cluthc hitamku. “Aku ingin mengembalikan barangmu dan membicarakan sesuatu..” Alex menatapku yang berdiri mematung tak bergerak. “Apa seperti ini cara perusahaan ini memperlakukan tamunya?” tanyanya kemudian.
Aku kembali ke mejaku dan mengambil dompet, menyeset beberapa lembar uang berwarna merah. “Ini, untuk biaya ke dokter kemarin dan yang lainnya. Kalau kurang kau tinggal kirim tagihannya dan jangan datang kemari seperti ini.” Kuletakkan uang itu di sebelah heels yang nongkrong dia atas meja.
Alex tak menggubris uang itu. Dia berdiri, bersedekap dan tersenyum sinis. “Ms. Viona Anjalina K.” Dia mengeja nama yang tercetak di name tag ku. “What the meaning of ‘K’? familly name?” Ini sebenarnya kesalahan pembuatan name tag ku, kenapa mereka malah menyingkat nama keluargaku. Tapi aku tetap membiarkannya, toh sebenarnya aku tak ingin memakai nama itu lagi. Ya K adalah nama ayahku! Kamal! Dan sekarang kau membuat amarahku memuncak. Demi Tuhan apa sih maunya?!?! Niat banget ngerjain gwe sampai di kantor.
“Silahkan pergi kalau anda sudah tak punya urusan lagi, atau apa perlu saya memanggil keamanan?” gigiku terkatup menahan emosi yang meluap-luap.
“Aku bahkan belum memberitahu keperluanku kemari, tapi kenapa kau malah mengusirku? Mungkin aku harus mempertimbangkan kemitraan perusahaan kita. Sebenarnya aku ingin menawarkan sponsor pada perusahaan ini, tapi yah.. sepertinya managernya menolak kehadiranku.” Katanya kalem.
Aku menelan ludah. Apa Alex benar-benar kesini cuman urusan bisnis? Maksudku yah selain mengembalikan barangku tadi. Sialan. Aku terlalu PD menganggap dia kesini hanya untuk urusan pribadi denganku. Pengen kulahap hidup-hidup ni orang, ya ampuuuunn... “Apa maumu tuan curtiz?” tanyaku to the point. Kini aku duduk untuk menenangkan diri, namun mukaku masih kutekuk.
Dia sedikit terkekeh. “Jadi kau sudah tahu namaku ya? Kalau begitu aku tak perlu mengenalkan diri lagi..jadi ehhmm..” dia berdeham sebentar dan duduk kembali sebelum melanjutkan kata-katanya. “Aku membawa proposal untuk pengajuan sponsor secara menyeluruh pada salah satu cabang hotel kami di kota ini. Kami berencana mengembangkan fasilitas kami dan ingin membangun kerjasama dengan brand yang  sudah lama dikenal masyarakat. Setelah melakukan survey dan berbagai riset kami memutuskan memilih produk dari perusahaan anda. Silahkan dipelajari dulu proposalnya.”
Aku mengambil proposal. proposal yang berdekatan dengan asbak, heels dan uang ratusan ribu yang ada di meja. Rasan1ya ingin menangis, uang itu seperti memakiku. ‘kau salah meletakkan kami disini’ oloknya dalam fantasiku.
Tok tok
“Permisi..” si Yuni muncul membawa nampan dengan dua cangkir teh di atasnya.
Ahh.. makhluk satu ini pula..
Dia tampak ragu saat akan meletakkan minuman karna meja telah penuh barang-barang yang... pasti akan menimbulkan gosip yang cetar. Apalagi dengan bumbu pemanis yang dimiliki bibir si Yuni, sebentar lagi aku akan menjadi topik terhangat di lantai 9. Dan lagi, gara-gara pesta pernikahan Gio kemarin semua orang tentu tau aku datang dengan siapa. Pagi ini saja aku sudah harus memasang muka jutek menghadapi para karyawanku yang bersiul menggoda dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan basi.
“Tak perlu repot-repot cantik, aku sudah harus pergi.” Yuni yang dipanggil begitu langsung merona wajahnya. Cih, dasar pria hidung belang. “Saya permisi dulu Ms. Viona.” Alex mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku menyambutnya dengan malas-malasan. Senyum terus menghiasi wajahnya saat meninggalkan ruanganku. Dasar makhluk sialan. Sementara Yuni masih berdiri membawa baki minuman, dia dengan kagum memandangi kepergian Alex dan pipinya masih merona akibat pujian dari Alex. Huh, berani taruhan, jantungnya pasti sedang di Dufan naik torpedo.
“Bawa kembali itu.” Perintahku pada Yuni, membuatnya sedikit terlonjak kaget. Dengan terburu-buru diapun keluar juga dari ruanganku.
Segera kuturunkan heels yang dari tadi teronggok di atas meja, juga mengambil kembali uang yang tak di bawa Rei. Clutchh yang dikembalikan oleh Alex kuperiksa, apakah isinya masih lengkap. Setelah kuteliti ternyata masih utuh. Ergh... apa ini hari sialku? Baru masuk malah kayak gini.
.
.
.
.
“Pas kau pergi kemarin, aku sempat panik dan pergi ke ruang keamanan untuk bertanya. Aku berhasil membujuk petugasnya untuk menunjukkan rekaman cctv.” Rei berhenti sejenak, menyesap capucinonya. “Aku melihatmu keluar dan menuju ke kamar mandi..” Berhentinya kata-kata Rei malah membuat kue pencuci mulut yang sedang kumakan terasa seret di tenggorokan. Jadi dia lihat aksi gendong menggendong yang dilakukan Alex. Aku dan Rei sedang makan malam di luar, katanya dia mau mentraktirku untuk meminta maaf. Sudah berapa kali aku menolak tawaran itu karna kurasa dia tak salah apapun, tapi sepertinya tak ada seorangpun yang bisa menghentikan keinginannya itu. “Siapa yang menolongmu?”
“Itu pak Alex, dari hotel jullian.” Jelasku malas-malasan, kenapa Rei bahas itu sih. Aku melempar pandangan keluar, merasa tak nyaman dengan pertanyaan itu. Tapi ngomong-ngomong kok tempat ini sepi banget ya. Aku baru sadar kalau hanya ada aku dan Rei. Memang ini restauran kecil yang homy banget tapi masak sih jam segini sepi, apa lagi ini kota besar. Dan lagi itu penampilan live bandnya dari tadi mainnya lagu romantis mulu. Jujur aku malah rada jengah.
“Alex dari hotel jullian? Alexander curtiz maksudmu?”
“Kau kenal?” kini aku tampak excited.
“Ya, dia teman.. ku.” Hmm kenapa Rei tampak ragu mengucapkan kata teman itu. Dan yang benar saja kalau Alex itu temennya Rei.
“Oh..”
“Kenapa? Kau tampak kecewa.”
“Ehh? Tidak” aku hanya sebal saja, bagaimana Rei berteman dengan orang seperti Alex. Kukira Rei tahu mengenai dirinya karena Alex adalah rekan bisnisnya, tapi dia bilang Alex adalah temannya, well.. itu sedikit mengecewakanku memang. “aku cuman gak nyangka kau adalah temannya. Itu saja.” Aku melanjutkan menghabiskan makanan pencuci mulutku.
“Begini Vio.. aku ingin meminta tolong padamu.” Rei tampak berhati-hati dalam perkataannya.
“Apa?” aku bertanya di sela-sela kunyahanku.
Klek..
Namun aku berhenti memakan kue bluberry yang menjadi santapan penutup makan malamku ketika gigiku mengunyah benda asing, keras. Logam?. Benda itu kumuntahkan ke tatakan.
Sebuah cincin dengan permata yang tampak ...
“Oh..” indah sekali
“Menikahlah denganku Viona”
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 12"

Post a Comment