“Kopi untukmu.”
Sore-sore aku bangun dan langsung disuguhi kopi oleh Rei.
“Kafein bisa membantu mengembalikan kesedaran.”
“Thank’s Rei..” aku
menyibakkan selimut dan menerima secangkir kopi dari tangan Rei. Rasa
pahit langsung memenuhi mulut, tapi kehangatan juga menyertainya. Memang
merefresh kesadaran.
Kamar kami lagi-lagi
satu bed, dan lebih parahnya nggak ada shofanya. Ergh.. berarti aku
harus berbagi ranjang dengan Rei. Namun ada yang istimewa dari kamar
ini, kamarnya langsung menghadap ke kolam renang yang berpadu dengan
pemandangan laut. Wow banget deh, tau harga semalamnya berapa.
“Aku mau mandi..” aku meletakkan cangkir dan tatakannya di atas nakas.
“Kita mandi bareng yuk..??!”
“What?”
Rei tersenyum simpul
sambil melepas kancing kemeja pendeknya. Aku beringsut ke ranjang tapi
Rei menarik lenganku. Dia membuka pintu kaca dan membawaku ke kolam
renang.
“Kau akan mati jika melakukan ini Rei!” ancamku. Aku tahu dia hanya bercanda.
“It’s too late bab..” Rei nyengir kuda lalu menghempasku ke dalam air.
Byur..
Deburannya cukup keras.
“Rei..!! kakiku kram..!!” aku berteriak panik.
“Give me your hand!” Rei berusaha menggapai tanganku dari pinggir kolam.
Aku berhasil menggenggam tangan Rei. Tapi..
“Kau mau mandi barengkan?” aku berkata penuh kemenangan kemudian menarik tangannya, menyeretnya ke dalam air.
“Kau pandai berbohong
ya!” Rei mencripatiku dengan air. Kemejanya basah kuyup dan
memperlihatkan dadanya yang bidang. Bayangan Rei yang pernah kulihat
saat half naked kembali terputar di otakku. Sial.
“Haha..” aku berenang menjauh.
Tapi dimana Rei. “Rei?”
aku menyisir pandangan ke seluruh bagian kolam. “Rei!” teriakan
panggilanku hanya menggema sia-sia. “Rei jangan bercanda! Kau tak bisa
membohongiku dengan tipuan yang sama.” Aku berenang kembali ke tempat
dimana Rei tadi berada lalu menyelam ke bawah air.
Ya tuhan! Dia tenggelam! Aku menarik tubuh ke atas hingga kepalanya keluar dari air. Tapi dia masih belum sadar.
“Rei jangan bercanda. Ya
tuhan..” dengan susah payah aku berhasil mengangkat Rei ke pinggir
kolam. Bagaimana cara melakukan pertolongan pertama? Ya ampun.. aku
belum pernah memperoleh pelatihan seperti itu seumur hidupku.. yang
pernah kulihat di tv adalah menekan dadanya agar air bisa keluar dari
paru-paru.
Baiklah. Aku harus bisa.
Kuposisikan telapak tangan kiriku di bawah telapak tangan kanan di atas
dada Rei. satu dua tiga, aku menekan berulang-ulang. Rei belum sadar
dan tak ada tanda-tanda air keluar dari mulutnya.
“Rei please..” aku mulai
putus asa. Tanganku gemetar menggerakan badan Rei. “Ayo bangun..”
Tidak..tidak.. aku tak mau melihat orang mati di depanku lagi..
Aku terus memutar otak,
bagaimana dengan napas buatan? Euh.. di film2 itu dilakukah hanya untuk
ciuman, aku tak tahu teori bagaimana cara melakukannya.
Tapi nggak ada jalan lain. Aku harus mencobanya..
Aku menjepit hidung Rei dan membuka mulutnya. Aku ragu melakukannya..
“Aku nggak bisa napas kalau kau menutup hidungku seperti itu..”
“Rei?”
Senyumnya yang lebar membuatku lega sangat lega sampai air mataku menetes. Lalu entah kenapa aku juga marah.
“It’s not funny,
really..”aku bangkit berdiri dan masuk ke kamar mandi. Menutup pintu
sekeras mngkin untuk meluapkan kemarahan yang meledak-ledak. Menyalakan
kran air dan terisak. Entah kenapa dadaku serasa sesak. Sumpah itu sama
sekali bukan candaan yang tepat untukku. Aku benar-benar takut setengah
mati. Bayangan tentang ibuk, tentang kecelakaan itu kembali
menghantuiku.
“Viona..” samar-samar
aku mendengar Rei memanggilku dan menggedor pintu kamar mandi.“Viona
maaf.. aku takk bermaksd begitu. Keluarlah aku mohon..”
Aliran air kran
kumatikan dan aku berhenti menangis. Tanganku masih gemetaran,
membayangkan kalau kejadian tadi benar-benar nyata. Kalau Rei tenggelam
dan tertolong.. Aku sangat takut..
Kuhapus sisa-sisa air mata mata di sudut mataku. “Viona..” Rei masih terus berusaha membujukku.
.
.
.
“Viona maaf.. aku tak bermaksd begitu. Keluarlah aku mohon..” aku tak menyangka reaksinya akan seperti ini. Aku takut terjadi apa-apa dengannya di dalam kamar mandi.
.
.
.
“Viona maaf.. aku tak bermaksd begitu. Keluarlah aku mohon..” aku tak menyangka reaksinya akan seperti ini. Aku takut terjadi apa-apa dengannya di dalam kamar mandi.
“Viona..” aku menggedor pintunya sekali lagi.
Klek..
Kenop pintu diputar dari dalam.
“Viona..”
“Langan melakukan hal itu lagi..” suaranya berubah jadi sedikit serak. Habis menangiskah dia?
“I swear. Viona.. aku nggak akan membuatmu seperti ini lagi. Nggak akan kubiarkan air mata menetes dari kedua matamu.”
Aku memeluknya sebentar menenangkan tubuhnya yang sedikit gemetar.
“Sekarang kamu mandi, lalu ganti baju. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
Viona mengangguk, mengusap sisa air matanya yang mengumpul di sudut mata lalu kembali masuk ke kamar mandi.
.
.
.
.
.
.
“Kau suka tempat ini?”
sebenarnya aku tak perlu menanyakan lagi apakah Viona suka atau tidak.
Aku sudah mendapatkan jawabannya dari pancaran kekaguman mata Viona
terhadap tempat ini.
“Ini seperti.. di negri dongeng.”
Viona tak henti-hentinya berputar menyisir semua pandangan di sekitarnya.
Aku telah memesan tempat
ini jauh-jauh hari sebelum keberangkatan kami. Tempat ini termasuk
fasilitas yang disediakan hotel untuk umum, maksudku untuk tamu-tamu di
hotel ini. Tapi aku telah mebooking taman ini untuk Viona. Aku meminta
pada pihak hotel untuk dibuatkan gazebo kecil dengan pandangan ke arah
laut untuk tempat kami makan malam.
“Kau menyiapkan ini semua? Kenapa harus mendetal seperti ini.. ini kan cuman bulan madu bo’ongan.”
Andai kau tahu aku akan
melakukan apapun untuk mendapatkanmu Viona. “Yah.. sudah kubilang kan.
Semuanya harus mendetail agar tak curiga. Sebenarnya aku juga ingin
meminta maaf soal yang tadi.” Alasanku hanya itu, dan sepertinya bisa
menghapus keraguan di hatinya.
“Meski sebenarnya bukan
untukku, terima kasih Rei.. ini sangat indah, lampu hiasnya,
bunga-bunganya, dan semuanya. Aku tak akan melupakan tempat ini seumur
hidupku. Mungkin hanya kau yang bisa memberikan kesempatan seperti ini.
Tentang tadi, lupakan saja, aku hanya terbawa emosi dan kecapekan.”
Ini memang untukmu sayang.. bahkan akan kuserahkan selluruh hidupku jika itu bisa membuatmu mencintaiku.
“Aku senang jika kau suka juga. Aku tak pesan musik apa-apa agar kau bisa mendengar suara ombak dari atas tebing ini.”
“Ya.. aku lebih suka
seperti ini.” Dahinya agak berkerut saat mengatakannya. Mungkin dia
teringat akan musik yang menenggelamkan kami tadi malam.
“Aku tak tahu apa masakan ini seenak buatanmu. Tapi aku sudah memesan yang terbaik yang ada di sini.”
“Kau bercanda ya? Masakanku mah kalah jauh dari ini.”
“Bagiku masakanmu yang paling maknyuss..” aku menirukan logat salah satu pembawa acara kuliner yang terkenal itu.
“Haha.. berarti kau
belum pernah nyoba masakan di tempat makan favoritku. Disana masakannya
enak-enaaakk banget. Sampe aku suka minta bungkus kalau pergi ke sana.
Pokoknya bakal ketagihan deh kalau udah pernah nyobain.”
Aku senang karna Viona kembali ceria.
“Oh ya.. dimana itu?”
“Besok deh, kalau kita udah balik aku ajakin.”
“Oke, kau yang traktir ya.”
“Boleh. Siapa takut.”
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 23"
Post a Comment