“Rei..” gumamku.
“Pangeran kodokmu itu
gak ada. Sepertinya kau telah dicampakkannya dengan wanita murahan itu.”
Jantungku hampir copot saat tahu aku bukan berada di mobil Rei. Aku
terlonjak duduk, tapi rasanya ingin kembal i tiduran karna ada gelombang
menyakitkan berdenyut di kepalaku.
“Si..siapa lo?” pria yang tadi?? “kemana lo bawa gwe?”
“Kau lebih manis kalau pingsan. Gak jutek kayak gini.” Dia mengacuhkan pertanyaanku.
Rasa mual tadi masih menyerang perutku secara membabi buta. “Ergh..” kupegangi perutku untuk meredakan rasa sakit.
“Kamu itu masih pucat, lebih pucat lebih baik tiduran aja lag..”
“Huek..” fix, rasa mual kau menang! Seluruh sarapanku tumpah ruah secara menjijikkan dan mengotori mobil orang.
“Minum..” dia menyerahkan sebotol air mineral. Segera kuminum sampai habis setengah botol.
Aku menghela napas agak
lega. “thank’s .. and sorry. Mobil lo jadi gini. Kirim saja tagihan
pembersihanya padaku. Dan bisakah kau mengantarkanku pulang sekarang?”
“Ck.. aku bukan supirmu.” Dia berkata dengan kecut.
Aku memandangnya heran.
Apa dia marah karna aku muntah di mobilnya? “ok. Kalau begitu hentikan
mobilnya. Aku akan mencari taxi.”
“Gwe yang punya mobil ini, dan cuman gweyang punya kendali atas mobil ini. Jadi diamlah.” Tegasnya.
Gak waras nih orang,
pikirku. “mana clutch gwe?” aku bertanya karna menyadari aku tak
memegangnya lagi. Sebenarnya aku mencari ponselku, yah.. jaga-jaga untuk
menghubungi Rei, atau siapapun..
“Dah gwe buang.” Katanya datar.
“What..??!!” ok, aku
benar-benar harus keluar dari mobil ini. Secepatnya. Orang ini tentu
punya niat jahat. “Pak, hentikan mobilnya sekarang juga!” aku beranjak
hendak meraih lengan si supir. Tapi aku gagal. Ada lengan kekar yang
menarik tubuhku kembali duduk. “Hei!! Lepas..!!” apa-apaan sih dia!
“Hmmpht...” dia membungkamku.. dengan mulutnya
.
.
.
.
Dia benar-benar gila. Mulutnya bergerak kesar di bibirku. ”Henti....” tak memberiku kesempatan berujar. Juga mendorong tubuhku secara paksa hingga terbaring di jok, mempersempit ruang gerakku. Aku.. aku sama sekali tak bisa berkutik. Poasturnya yang kekar tentu jauh lebih kuat dariku. Aku marah, jengkel dan takut. Ia dengan liar mencecap lidahku, menikmati seluruh mulutku.
.
.
.
.
Dia benar-benar gila. Mulutnya bergerak kesar di bibirku. ”Henti....” tak memberiku kesempatan berujar. Juga mendorong tubuhku secara paksa hingga terbaring di jok, mempersempit ruang gerakku. Aku.. aku sama sekali tak bisa berkutik. Poasturnya yang kekar tentu jauh lebih kuat dariku. Aku marah, jengkel dan takut. Ia dengan liar mencecap lidahku, menikmati seluruh mulutku.
Baru setelah napasnya
hampir habis dia berhenti. Napasku jauh lebih memburu. Aku belum pernah
berciuman seliar itu, meski dengan kekasihku dulu. “Diamlah. Jangan
kembali memaksak untuk membungkammu.” Ancamnya tepat di telingaku.
Kudorong tubuhnya kuat-kuat. Lalu kuhadiahi dia dengan sebuah tamparan.
Plakk..!!
Tepat di pipi kirinya. Warna merah langsung menjalar di pipi tirusnya itu.
“Kau kalau marah manis juga..” aku menepiskan tangannya yang hendak menyentuh rambutku.
“Jangan pernah menyentuhku lagi!” gertakku.
“Atau apa? Kau mau
melakukan apa..” dia menertawai dengan sinis gertakanku. Psikopatkah
dia? Kemana sebenarnya mobil ini melaju? Dan apa yang akan terjadi
padaku? Pikiran itu terus berkecamuk di kepalaku. Membuat denyutan di
kepalaku semakin parah.
Tak sampai berapa lama,
kurasakan mobil berjalan melambat. Aku melayangkan pandangan keluar kaca
mobil. Dan mobil berhenti tepat di depan sebuah.. klinik?. Tapi apa ini
memang benar-benar klinik? Atau ini tempat penyamaran dari sebuah
tempat jual beli manusia yang disamarkan menjadi sebuah klinik. Apa pria
tadi akan menjualku?
Tok..tok.. “cepat keluar” dia mengetuk kaca pintu di sampingku.
“Cepet banget dia keluar.” Gerutuku. Tapi kalau dia keluar.. berarti...
Aku berbalik ke arah
pintu yang lain. Yap! Gak terkunci. Sgera saja kubuka, tapi sebelum aku
lari. Kutanggalka heelsku. Aku akan kena sial kalau lari dengan heels
itu. Secepat kilat aku berlari ke arah jalan raya.
“Hey..!!” tak
kupedulikan teriakan pria tadi. Aku harus secepatnya mencapai jalan
raya, mencari taxi, atau tumpangan lain. Tak peduli betapa keras dan
panasnya paVing yang kupijak. Aku harus melepaskan diri.
“Kena kau!” dia menyergap, menangkapku, dan menggendongku paksa
“Argh...!! siapapaun
tolong..tolooongg..!!!” aku berteriak keras sekali. Memberontak sekuat
tenaga. Enggak, aku nggak boleh kalah.
“Tenanglah! Kau ini kenapa sih!”
“Kau yang kenapa! Dasar
bregsek!! Turunkan aku!!” aku mengamuk, meronta memukul dadanya. Tapi
dia tak bergeming sama sekali. Dia membawaku masuk klinik tersebut.
.
.
.
.
.
“Dia cuman kena magh dan terlalu capai.”
“Aku tak mengidap magh, dan akhir-akhir ini aku makan dengan teratur.” Aku memrotes diagnosa dokter pada penyakitku.
“Mrs. Curtiz, magh bukan hanya karena telat makan saja. Bisa juga kebanyakan pikiran, bisa mempengaruhi kerja lambung.”
“Aku bukan mrs. Curtiz.” Tandasku. Sudah dua kali hari ini orang salah memanggilku.
“Apa cuman magh doang
dok? Gak ada masalah kejiwaan?” tanya Alex. Dia pasti menyindirku.
Gara-gara aku berpikiran aneh-aneh sampai-sampai mau melarikan diri,
padahal dia sudah berbaik hati. Memalukan pastinya. Seharusnya ini gak
terjadi jika kalau dia bilang dari awal. Dia nggak ngasih tau sih, maen
bawa-bawa orang aja. Ya, pria brengsek itu bernama Alex, Alexander
curtiz. Itu yang kutau dari dokter yang memeriksaku tadi, dia
memanggilnya dengan Alex, dan kadang Alexander. Curtiz adalah nama
keluarganya, dokter memanggilnya begitu ketika pertama kali kami masuk
ke ruang pemeriksaan.
Aku melirik sengit
padanya. Di pipi kirinya masih terlihat semburat merah bekas tamparanku.
Aku agak menyesal. Tapi itu juga pantas untuknya, siapa suruh dia main
nyosor. “Kenapa kalo emang gwe gila?” tantangku.
“Cih.. gak usah diperiksa lagi, kau pasti punya gangguan jiwa.”
“Ini resepnya. Kalian
bisa tebus di apotik sini.” Sang dokter menengahi kami yang hampir
bertengkar kembali. Sepertinya juga itu untuk mengusir kami.
“Baiklah, terima kasih dokter.” Alex menyalami dokter dan keluar bersamaku.
“Mana clutchku?”
“Kan udah gwe bilangin, udah gwe buang.”
“Heh! Jangan sembarangan
ya, di dalemnya tuh ada ponsel gwe, kartu kredit, KTP, sim. Lo ga bisa
sembarangan gitu dong buang barang orang.”
Alex tak memperdulikan
omelanku. Dia berjalan cepat mendahuluiku. Kakiku masih sakit gara-gara
tadi lari-larian sambil nyeker di atas paVing yang kasar dan panas.
Sial, sakitnya baru kerasa sekarang.
Tapi ngomong-ngomong
Alex pergi kemana ya? Aku udah sampai di lobi tapi dia tak kelihatan
batang hidungnya. Apa dia udah bener-bener pergi? Aku menengok ke arah
parkiran. Hanya ada mobil fortuner putih dan suv merah. Loh.. gwe gimana
dong pulangnya?
“Kenapa kau celingukan
gitu. Mau kabur lagi?” aku terkesiap dengan pertanyaan itu. Ternyata dia
belum pergi. Lalu mobilnya dimana? Aku yakin tadi warna mobil Alex
hitam pekat, meski aku gak yakin jenis mobilnya apa. Masak uya warnanya
luntur jadi putih gara-gara kena sinar matahari.
“Silahkan kalau kau mau pergi.” Aku tahu itu sebuah sindiran keras yang ditujukannya padaku. Aku hanya bisa membalasnya dengan tatapan sebal. Aku tau aku sangat memalukan tadi, menolak orang menolongku dan menyerangnya. Aku terus bertahan menatap sebal kepadanya, lalu akhirnya dia mengalah.
“Ayo, akan kuantar kau pulang.” Tanpa berkata-kata lagi aku mengikuti Alex keluar.
“Masuk” perintahnya. Dia membukakan pinti mobil fortuner putih untukku. Apa aku tadi salah liat warnanya ya. Bukan. Ini memang bukan mobil yang tadi. Jika memang mobil tadi pasti ada bekas muntahanku. Yeah, gak mungkin kan dicuci secepat itu. Hah.. sebenarnya siapa sih Alexander curtiz ini.
“Silahkan kalau kau mau pergi.” Aku tahu itu sebuah sindiran keras yang ditujukannya padaku. Aku hanya bisa membalasnya dengan tatapan sebal. Aku tau aku sangat memalukan tadi, menolak orang menolongku dan menyerangnya. Aku terus bertahan menatap sebal kepadanya, lalu akhirnya dia mengalah.
“Ayo, akan kuantar kau pulang.” Tanpa berkata-kata lagi aku mengikuti Alex keluar.
“Masuk” perintahnya. Dia membukakan pinti mobil fortuner putih untukku. Apa aku tadi salah liat warnanya ya. Bukan. Ini memang bukan mobil yang tadi. Jika memang mobil tadi pasti ada bekas muntahanku. Yeah, gak mungkin kan dicuci secepat itu. Hah.. sebenarnya siapa sih Alexander curtiz ini.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 10"
Post a Comment