Hopeless Part 8


“Kau tampak ceria sekali Vio??” aku masih saja tak terbiasa dengan panggilan yang diberikan Rei. Memang itu bagian dari namaku, tapi belum pernah sekalipun aku dipanggil seperti itu oleh orang lain selain Rei.
“Yah.. aku sudah menemukan tempat yang cocok.” Kataku gembira.
“Tempat yang cocok?”
“Iya, tempat yang cocok. Aku kan gak mungkin tinggal disini selamanya Rei.” Jelasku.
“Oh.. itu..” Rei nenyesap kopinya dan matanya kembali menulusuri buku yang dia baca dari tadi di ruang tengah. Sepertinya Rei mengetahui suasana hatiku sedang baik. Tentu saja, karna aku tak bisa menghentikan bibirku yang terus tertarik “tempatnya dimana?” Rei bertanya  tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Dekat kantor. Jalan kenanga di daerah Rama baru. Deket kan? Jadi aku gak takut telat. Biaya sewanya juga murah banget!! Oh.. aku sedang beruntung banget hari ini Rei..” kataku riang.
“Jadi kapan mau pindah” masih tetap menjaga pandangannya ke buku Rei bertanya kembali. Itu perasaanu saja atau Rei terdengar agak ketus.
“Em.. mungkin setelah pernikahan Gio. Kataku lirih..” kecerianku hilang seketika. Apa Rei marah, apa Rei kecewa, tapi kenapa?.
“Cepet banget, seminggu lagi dong?” sekarang Rei meletakkan bukunya di meja dan menatapku yang sedang menghidangkan kudapan.
“I..iya..” kegugupanku sangat kentara hingga akhirnya Rei menertawaiku.
“Haha.. kau kenapa, tadi kau senang sekali kenapa sekarang malah keliatan sedih gitu? Atau kau sedih ya mau pisah denganku”
“Eh..” ternyata memang benar hanya perasaanku saja. “ye..ngapain ngangenin kamu, yang bakalan kangen itu malah kamu kali! Nih mumpung aku lagi seneng, aku buatin strawbery chesse cake.” Kuberikan potongan kue yang baru saja selesai kubuat setelah kembali dari peninjauan.
“Iya nih.. aku pasti bakalan kanget banget..” apa?? Aku terkesiap dan memandangi Rei. “Siapa yang bakal masak seenak gini lagi.” Oh..jadi dia hanya akan kangen masakanku nih?? Ada rasa cubitan kecil dalam hatiku. “well.. lembut banget, kau memang jago masak Vi.” Komentar Rei membuatku tersipu, dia menyuapkan sekali lagi potongan chesse cakenya.
“Tenang saja, aku akan memasakanmu setiap ada waktu luang kok. Janji deh.” Tentu saja. Aku harus membayar kebaikan hati Rei. “Katakan saja makanan apa yang kau inginkan, maka aku akan segera mencari resepnya dan memasakannya untukmu.” Ujarku kemudian.
.
.
.
Baru beberapa jam. Yah.. sekitar enam jam yang lalu aku begitu senang dan sekarang kesenangan itu seolah diambil paksa. Gara-gara telfon barusan. Telfon dari pemilik rumah sewaan yang akan aku tinggali. Dia memberi tahu bahwa ada orang yang bersedia membayar dua kali lipat untuk rumahnya. Ah sial!!. Memang dia meminta maaf, yah mau bagaimana lagi. Jika aku jadi diapun sepertinya aku akan mengambil untung yang ebih besar. Yang aku benci adalah orang yang berani menawar dengan harga dobel. Sial sial sial.
Tuhan... kenapa kau selalu mengambil apa yang sudah kugenggam.
“Kenapa kau malah cemberut Vio?” Rei lagi-lagi menyadari perubahan emosiku.
“Sepertinya aku akan tetap tinggal disini..” aku menghempaskan diri duduk di samping Rei, di sofa ruang tengah. Rei tampak mengantuk dengan matanya yang memerah masih ngotot mnggonta-ganti chanel tv.
“Jadi kau akan tinggal disini selamanya?”
“Haha.. gak gitu juga. Mungkin akan makan waktu sekitar sebulan lagi untukku menemukan tempat baru. Aku kesel banget. Barusan aku dikasih tahu kalau tempat yang akan kusewa telah diserahkan pada penyewa lain hanya karna dia memberikan dua kali lipat harga sewa sesungguhnya. Aku sebel deh sama orang sama orang yang nyewa itu. Udah tau rumah itu udah ada yang nyewa, eh maen sogok aja." Aku terus menggerutu dan misuh-misuh.
"Tapi bukannya orang mau disogok itu lebih ga bisa diterima" ujar Rei.
"Iya sih.. tapi siapa sih yang ga mau. Coba bayangkan, jika lo ngejual sesuatu seharga seribu rupiah trus ada orang yang malah bayar dua ribu, tentu lo bakalan milih yang dua ribu kan. Kenapa harus menolak rejeki??"
"Nah itu lo ngerti.."
"Ya tapi aku sebel aja.." bibirku terus mengerucut. Aku juga agak sebal kenapa Rei menggonta-ganti chanel terus-terusan sih. Tapi dia tiba-tiba berhenti, di chanel luar yang entah sedang meNayangkan apa. Kurasa discovery atau..
"Sini.." dengan sangat tak terduga Rei menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Selama sedetik aku bingung. "aku hanya membutuhkanmu." Gumamnya lirih. Apa? Kenapa dengan Rei? Tapi... ohh..
Aku segera beringsut melepasnya meskipun dia sedikit menahanku. Aku tahu pasti kenapa dia bersikap seperti itu, dan berkata aneh kayak tadi. Aku mencium bau memuakkan, bau alkohol. Ya tuhan! Matanya yang memerah itu bukan karena ia mengantuk, melainkan pengaruh minuman keras.  "Kau minum ya Rei!" kataku tajam.
Rei sama sekali tak bersuara, dia hanya memandangi acara doscovery yang entah dia minati atau tidak dengan pandangan sayu. "Rei??!!" dia masih tak mau menjawabku. Ok, aku sedikit bergidik. Aku tak tahu sikap apa yang harus kuambil. Mungkin Rei sedang ada masalah, atau ah.. entahlah, aku tak mau menerka-nerka apa yang sedang Rei alami. Aku lebih memilih untuk pergi ke kamarku, membiarkan Rei sendiri di ruang tengah dengan pikirannya yang entah sedang berada di mana.
***
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku memasak untuk sarapan. Dapur dipenuhi aroma harum yang manis, aku membuat omlet buah. Yah, aku sedang ingin yang manis-manis. Dan aku juga menyiapkan air madu khusus untuk Rei, supaya pengaruh alkoholnya menghilang. Aku pernah dengar air madu bisa mengurangi pengaruh alkohol dan membuat badan lebih segar.
"Hmm.. manis baget Vi baunya. Kau masak apa??" aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Rei sedang berjalan melewati lorong antara ruang tengah dan dapur. Kelihatannya dia sudah fresh.
"Ah.. ini. Omlet buah, kuharap kau suka yang manis-manis." Kusiapkan semua hidangan ke meja.
"Apapun kalo lo yang masak juga gwe suka kok." Pujinya.
Pipiku serasa terbakar, oh.. pasti ada semburat merah yang muncul!! Memalukan sekali, hanya pujian kecil bisa membuatku tersipu.
"Kok minumannya bening gini?" protes Rei. Memang biasanya aku membuatkan sesuatu yang gak cuman 'transparan' kayak air putih doang. Entah itu jus atau minuman 'berwarna' lainnya.
"Itu air madu, enak kok. Coba deh." Rei mengikuti saranku dan meminum beberpa tenggak. "Gimana?"
Rei mengangguk dan tersenyum. "mau air putih doang kalo lo yang nyiapin juga pasti enak." Gurauannya membuatku kembali tersipu.
Aku merasa lega karna Rei tak membicarakan apapun tentang kejadian semalam selama sarapan pagi ini. Dan itu sudah bisa kusimpulkan bahwa dia melakukan itu dalam keadaan tak sadar. Aku juga tak mau menanyakan apapun alasan Rei minum karna itu hak dia, aku tak mau mencampuri urusan orang ini. Karna aku tahu ada sedikit sisi kemisteriusan Rei yang  entah apa itu aku sendiri tak tahu.
***
Aku lelah sekali sebenarnya setelah perjalanan ke luar kota yang menguras tenaga. Tapi Rei bersikeras mengajakku untuk beli baju untuk acara besok. Ya, acara penikahannya Gio. Teman 'terdekatku'. Dengan malas aku mengiyakan ajakannya, tapi itu juga demi kebaikanku juga karna aku juga tak punya gaun yang bagus untuk besok.
Rei memutar kemudi mobilnya menuju sebuah butik yang ada di jejeran ruko-ruko perbelanjaan. DIANA BOUTIQUE, begitulah bunyi plakat yang terpampang mewah di atas ruko tersebut. Mewah karna warna backround plakat tersebut merah marun dengan ornament floral membayang dan tulisannya sendiri berwarna keemasan. Aku sudah tahu bakalan merogoh kocek lebih dalam di tempat ini. Ah.. andai aku bisa memilih tempat lain, tapi sepertinya Rei gak bakalan mau.
"Ayo Vio.. kok malah bengong sih?" Rei menugurku yang asyik memandangi plakat butik itu, uhh.. andai dia tahu yang kupikirkan.
"I..iya.." aku mengekor pada Rei memasuki butik. Aku sedikit merutuki diri sendiri karna keluar dengan pakaian santai sementara butik yang kukunjungi ini terkesan wah. Seharusnya aku mengenakan pakaian yang semi formal. Tapi aku kemudian melihat penampilan Rei, dia bahkan memakai baju yang lebih santai dariku. Celana pendek dengan kaos oblong?? Aku mendapat perspektif baru, ke butik itu buat beli baju bagus bukan pamer baju bagus haha..tawaku dalam hati.
Di dalam suasana tampak sepi. Iyalah, inikan butik yang hanya bisa dikunjungi segelintir orang berduit. Nah aku?? Aduh aku nemenin Rei aja deh, aku gak mau beli apa-apa. Bisa bolong nih kantong ntar, lagian aku juga sudah menghabiskan 2 juta lebih gara-gara kecerobohanku. Aku tak mau memangkas lagi gajiku bulan ini. Intinya aku harus berhemat dan tak tergoda.
Kami, aku dan Rei, disambut hangat oleh seorang pegawai yang langsung menginstruksi kami untuk masuk ke dalam. "diana ada?" tanya Rei pada pegawai yang menyambut kami tersebut. Sepertinya Rei sudah sering kesini dan mengenal dengan baik pemilik butik ini, diana.
"Ada, sebentar saya panggilkan." Sang pegawai undur diri dan berbalik memanggilkan wanita bernama diana itu. Sementara mataku jelalatan menyusuri seluruh koleksi baju yang tampak elegan dan mahal tentunya.
Saking asyknya memanjakan mata, aku sampai lengah dan tak tahu Rei pergi entah kemana. Celingukan tak pasti   mencari sosok pria turki. Kemana dia! Ah.. perduli amat, dengan begitu aku bebas melihat-lihat tanpa harus membeli. Aku mulai menelusuri barisan-barisan pakaian yang disusun rapi dan menampakkan kemewahannya. Ada satu gaun yang menarik perhatianku. Dengan potongan gaun sederhana baju itu dikenakan pada sebuah manekin di ujung ruanga. Simple dan cantik. Warna peach yang kalem dengan sedikit bordir di bagian bawah membentuk sulur-sulur. Kuperiksa bandrol harganya dan untuk sesaat ak menahan napasku. Tercekik melihat jejeran angka yang harus dikeluarkan demi gaun seperti ini. Sumpah demi apapun malam ini aku gak mau belanja disini! Mending pakai pakaian lama deh, lagian ga banyak orang yang nantinya akan mengenaliku, jadi pasti tak akan ada yang tau apakah aku pernah memakai bajuku itu atau belum.
“Sepertinya ini cocok denganmu..” bukan hanya suara Rei yang mengagetkanku tapi juga tangannya yang menelusup mengalungkan dan mengikat sebuah.. scarf? “giamana? Bagus gak?” Rei meminta pendapatku . scarf berwarna biru gelap yang entah terbuat dari kain apa. Sangat lembut dan nyaman di kulit leher serta tak terasa panas.
“Ini..” aku hampir mengemukakan pendapatku sebellum akhirnya terpotong suara berwibawa dari seorang wantita.
“Itu sangat cocok dengan kulit putihnya Rei. Aku punya baju yang cocok dengan scarf itu.” Aku langsung menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang wanita yang kutebak umurnya hampir sama dengan ibuku. Jika dia masih hidup. Tapi auranya sangat .. oh.. bagaimana aku harus menggambarkannya. Menyenangkan? Yah dia seperti punya pancaran yang bisa membuat orang-orang disekitarnya gembira.
“Benarkah?boleh aku melihatnya?” Rei berseru girang dan mengikuti wanita bernama diana masuk ke ruangan yang lebih dalam. Loh.. gimana sih Rei ini, kenapa dia malah mencarikanku gaun.. aduh aku kan gak mau beli apapun. Gimana nih..
“Ayo Vio, kemari.” Kepala Rei muncul dari balik ruangan dan dengan setengah memerintah menyuruhku masuk ke dalam juga. Aku, dengan amat terpaksa, menuriti perkataannya. Rei menyerahkan gaun berwarna senada dengan scarf yang tadi Rei kenakan padaku. “cobalah.” Dia mendorongku paksa masuk ke kamar pas.
Aku hanya bisa menurutinya, mencoba gaun berpoongan selutut tanpa lengan dengan sedikit rumbai-rumbai tipis di bagian bawahnya. Yang adaa di otakkku hanya berapa harga baju ini?? Argh.. bagaimaana aku harus mengatakan pada Rei bahwa aku tak ingin membeli ini semua.
Gaun itu sangat pas menempel di badan dan membuat setiap lekukan tubuhku menjadi semakin jelas dan inda. Memang pakaian bagus bisa menambah citra diri seseorang. Dan tiba-tiba aku juga menginginkan gaun ini, walaupun masih ragu jika mengetahui harganya.
“Sangat bagus, dan cantik..” puji Rei ketika aku keluar dari kamar pas. Aku tersenyum, sebenanya senyum terpaksa juga. Tentu saja bagus dan cantik, inikan gaun mahal. Rei sendiri juga sedang menciba sebuah tuxedo hitam pekat. Transformasi dari kaos oblong dan celana pendeknya tadi ke tuxedo warna hitam membuat Rei makin tambah gagah saja.
“Pakai ini.” Rei berjongkok dan memasangkan heels ke kakiku. Rasanya aku sungguh ingin menangis saja, bukan karna terharu dada seorang pria memakaikanku sepatu tapi karna aku pastinya tak akan mampu membayar semua ini. Sudah cukup Rei, jangan memakaikanku apa-apa lagi, bisa-bisa uang gajiku bulan ini amblas semua.
“Sempurna.” Gumamnya kemudian.iya, semuanya terlalu sempurna sampai-sampai aku tak sanggup membelinya! Batinku. “Di, aku ambil semuanya.” Dengan tanpa persetujuanku sama sekali Rei berkata seperti itu. Sontak aku membelalakan mata dan ohh.. Rei sudah ngacir kembali ke kamar pas, kembali mengenakan pakaiannya yang semula mungkin.
Aduh..apa yang harus aku lakukan? Atau aku katakan? “Rei tunggu..!! aku gak butuh itu. Aku masih punya gaun lamaku. Dan itu juga masih bagus, aku ga akan membeli baju ini..” tak ada jawaban dari dalam kamar pas yang dimasuki Rei. Akupun mengganti pakainku yang semula. Setelah Rei selesai berganti pakaian lagi aku mengatakan kembali pernyataanku tadi untuk tidak membeli gaun ini. tapi Rei tampak tak menghiraukan perkataanku dan tetap melenggang menuju kasir.
“Kau memang ga akan membeli gaun ini karna aku yang akan membelinya.”
“Apa..” secara otomatis mulutku terbuka. “gak! Gak usah Rei, aku masih punya banyak pakaian yang lain di rumah, toh besok ga harus pake baju baru.
Rei tersenyum menanggapi penolakanku. “aku bukan membelikan ini untukmu.”
“Eh..??” jadi aku cuman ke GR an doang nih? -_- ah sialan Rei, umpatku dalam hati. Tak bisa terbayangkan lagi bagaimana memalukannya ini.
“Itu untuk koki baik hati yang selalu membuatkan masakan lezat setiap hari untukku.”
Aku memutar bolamataku. Itu sama aja kali Rei...
.
.

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 8"

Post a Comment