“Kau tampak ceria sekali Vio??” aku masih saja tak terbiasa dengan panggilan yang diberikan Rei. Memang itu bagian dari namaku, tapi belum pernah sekalipun aku dipanggil seperti itu oleh orang lain selain Rei.
“Yah.. aku sudah menemukan tempat yang cocok.” Kataku gembira.
“Tempat yang cocok?”
“Iya, tempat yang cocok. Aku kan gak mungkin tinggal disini selamanya Rei.” Jelasku.
“Oh.. itu..” Rei
nenyesap kopinya dan matanya kembali menulusuri buku yang dia baca dari
tadi di ruang tengah. Sepertinya Rei mengetahui suasana hatiku sedang
baik. Tentu saja, karna aku tak bisa menghentikan bibirku yang terus
tertarik “tempatnya dimana?” Rei bertanya tanpa mengalihkan
pandangannya dari buku.
“Dekat kantor. Jalan
kenanga di daerah Rama baru. Deket kan? Jadi aku gak takut telat. Biaya
sewanya juga murah banget!! Oh.. aku sedang beruntung banget hari ini
Rei..” kataku riang.
“Jadi kapan mau pindah”
masih tetap menjaga pandangannya ke buku Rei bertanya kembali. Itu
perasaanu saja atau Rei terdengar agak ketus.
“Em.. mungkin setelah pernikahan Gio. Kataku lirih..” kecerianku hilang seketika. Apa Rei marah, apa Rei kecewa, tapi kenapa?.
“Cepet banget, seminggu lagi dong?” sekarang Rei meletakkan bukunya di meja dan menatapku yang sedang menghidangkan kudapan.
“I..iya..” kegugupanku sangat kentara hingga akhirnya Rei menertawaiku.
“Haha.. kau kenapa, tadi kau senang sekali kenapa sekarang malah keliatan sedih gitu? Atau kau sedih ya mau pisah denganku”
“Eh..” ternyata memang
benar hanya perasaanku saja. “ye..ngapain ngangenin kamu, yang bakalan
kangen itu malah kamu kali! Nih mumpung aku lagi seneng, aku buatin
strawbery chesse cake.” Kuberikan potongan kue yang baru saja selesai
kubuat setelah kembali dari peninjauan.
“Iya nih.. aku pasti
bakalan kanget banget..” apa?? Aku terkesiap dan memandangi Rei. “Siapa
yang bakal masak seenak gini lagi.” Oh..jadi dia hanya akan kangen
masakanku nih?? Ada rasa cubitan kecil dalam hatiku. “well.. lembut
banget, kau memang jago masak Vi.” Komentar Rei membuatku tersipu, dia
menyuapkan sekali lagi potongan chesse cakenya.
“Tenang saja, aku akan
memasakanmu setiap ada waktu luang kok. Janji deh.” Tentu saja. Aku
harus membayar kebaikan hati Rei. “Katakan saja makanan apa yang kau
inginkan, maka aku akan segera mencari resepnya dan memasakannya
untukmu.” Ujarku kemudian.
.
.
.
.
.
.
Baru beberapa jam. Yah..
sekitar enam jam yang lalu aku begitu senang dan sekarang kesenangan
itu seolah diambil paksa. Gara-gara telfon barusan. Telfon dari pemilik
rumah sewaan yang akan aku tinggali. Dia memberi tahu bahwa ada orang
yang bersedia membayar dua kali lipat untuk rumahnya. Ah sial!!. Memang
dia meminta maaf, yah mau bagaimana lagi. Jika aku jadi diapun
sepertinya aku akan mengambil untung yang ebih besar. Yang aku benci
adalah orang yang berani menawar dengan harga dobel. Sial sial sial.
Tuhan... kenapa kau selalu mengambil apa yang sudah kugenggam.
“Kenapa kau malah cemberut Vio?” Rei lagi-lagi menyadari perubahan emosiku.
“Sepertinya aku akan
tetap tinggal disini..” aku menghempaskan diri duduk di samping Rei, di
sofa ruang tengah. Rei tampak mengantuk dengan matanya yang memerah
masih ngotot mnggonta-ganti chanel tv.
“Jadi kau akan tinggal disini selamanya?”
“Jadi kau akan tinggal disini selamanya?”
“Haha.. gak gitu juga.
Mungkin akan makan waktu sekitar sebulan lagi untukku menemukan tempat
baru. Aku kesel banget. Barusan aku dikasih tahu kalau tempat yang akan
kusewa telah diserahkan pada penyewa lain hanya karna dia memberikan dua
kali lipat harga sewa sesungguhnya. Aku sebel deh sama orang sama orang
yang nyewa itu. Udah tau rumah itu udah ada yang nyewa, eh maen sogok
aja." Aku terus menggerutu dan misuh-misuh.
"Tapi bukannya orang mau disogok itu lebih ga bisa diterima" ujar Rei.
"Iya sih.. tapi siapa
sih yang ga mau. Coba bayangkan, jika lo ngejual sesuatu seharga seribu
rupiah trus ada orang yang malah bayar dua ribu, tentu lo bakalan milih
yang dua ribu kan. Kenapa harus menolak rejeki??"
"Nah itu lo ngerti.."
"Ya tapi aku sebel
aja.." bibirku terus mengerucut. Aku juga agak sebal kenapa Rei
menggonta-ganti chanel terus-terusan sih. Tapi dia tiba-tiba berhenti,
di chanel luar yang entah sedang meNayangkan apa. Kurasa discovery
atau..
"Sini.." dengan sangat
tak terduga Rei menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Selama sedetik aku
bingung. "aku hanya membutuhkanmu." Gumamnya lirih. Apa? Kenapa dengan
Rei? Tapi... ohh..
Aku segera beringsut
melepasnya meskipun dia sedikit menahanku. Aku tahu pasti kenapa dia
bersikap seperti itu, dan berkata aneh kayak tadi. Aku mencium bau
memuakkan, bau alkohol. Ya tuhan! Matanya yang memerah itu bukan karena
ia mengantuk, melainkan pengaruh minuman keras. "Kau minum ya Rei!"
kataku tajam.
Rei sama sekali tak
bersuara, dia hanya memandangi acara doscovery yang entah dia minati
atau tidak dengan pandangan sayu. "Rei??!!" dia masih tak mau
menjawabku. Ok, aku sedikit bergidik. Aku tak tahu sikap apa yang harus
kuambil. Mungkin Rei sedang ada masalah, atau ah.. entahlah, aku tak mau
menerka-nerka apa yang sedang Rei alami. Aku lebih memilih untuk pergi
ke kamarku, membiarkan Rei sendiri di ruang tengah dengan pikirannya
yang entah sedang berada di mana.
***
Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku memasak untuk sarapan. Dapur dipenuhi aroma harum yang
manis, aku membuat omlet buah. Yah, aku sedang ingin yang manis-manis.
Dan aku juga menyiapkan air madu khusus untuk Rei, supaya pengaruh
alkoholnya menghilang. Aku pernah dengar air madu bisa mengurangi
pengaruh alkohol dan membuat badan lebih segar.
"Hmm.. manis baget Vi
baunya. Kau masak apa??" aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Rei
sedang berjalan melewati lorong antara ruang tengah dan dapur.
Kelihatannya dia sudah fresh.
"Ah.. ini. Omlet buah, kuharap kau suka yang manis-manis." Kusiapkan semua hidangan ke meja.
"Apapun kalo lo yang masak juga gwe suka kok." Pujinya.
Pipiku serasa terbakar, oh.. pasti ada semburat merah yang muncul!! Memalukan sekali, hanya pujian kecil bisa membuatku tersipu.
"Kok minumannya bening
gini?" protes Rei. Memang biasanya aku membuatkan sesuatu yang gak cuman
'transparan' kayak air putih doang. Entah itu jus atau minuman
'berwarna' lainnya.
"Itu air madu, enak kok. Coba deh." Rei mengikuti saranku dan meminum beberpa tenggak. "Gimana?"
Rei mengangguk dan tersenyum. "mau air putih doang kalo lo yang nyiapin juga pasti enak." Gurauannya membuatku kembali tersipu.
Aku merasa lega karna
Rei tak membicarakan apapun tentang kejadian semalam selama sarapan pagi
ini. Dan itu sudah bisa kusimpulkan bahwa dia melakukan itu dalam
keadaan tak sadar. Aku juga tak mau menanyakan apapun alasan Rei minum
karna itu hak dia, aku tak mau mencampuri urusan orang ini. Karna aku
tahu ada sedikit sisi kemisteriusan Rei yang entah apa itu aku sendiri
tak tahu.
***
Aku lelah sekali
sebenarnya setelah perjalanan ke luar kota yang menguras tenaga. Tapi
Rei bersikeras mengajakku untuk beli baju untuk acara besok. Ya, acara
penikahannya Gio. Teman 'terdekatku'. Dengan malas aku mengiyakan
ajakannya, tapi itu juga demi kebaikanku juga karna aku juga tak punya
gaun yang bagus untuk besok.
Rei memutar kemudi
mobilnya menuju sebuah butik yang ada di jejeran ruko-ruko perbelanjaan.
DIANA BOUTIQUE, begitulah bunyi plakat yang terpampang mewah di atas
ruko tersebut. Mewah karna warna backround plakat tersebut merah marun
dengan ornament floral membayang dan tulisannya sendiri berwarna
keemasan. Aku sudah tahu bakalan merogoh kocek lebih dalam di tempat
ini. Ah.. andai aku bisa memilih tempat lain, tapi sepertinya Rei gak
bakalan mau.
"Ayo Vio.. kok malah bengong sih?" Rei menugurku yang asyik memandangi plakat butik itu, uhh.. andai dia tahu yang kupikirkan.
"I..iya.." aku mengekor
pada Rei memasuki butik. Aku sedikit merutuki diri sendiri karna keluar
dengan pakaian santai sementara butik yang kukunjungi ini terkesan wah.
Seharusnya aku mengenakan pakaian yang semi formal. Tapi aku kemudian
melihat penampilan Rei, dia bahkan memakai baju yang lebih santai
dariku. Celana pendek dengan kaos oblong?? Aku mendapat perspektif baru,
ke butik itu buat beli baju bagus bukan pamer baju bagus haha..tawaku
dalam hati.
Di dalam suasana tampak
sepi. Iyalah, inikan butik yang hanya bisa dikunjungi segelintir orang
berduit. Nah aku?? Aduh aku nemenin Rei aja deh, aku gak mau beli
apa-apa. Bisa bolong nih kantong ntar, lagian aku juga sudah
menghabiskan 2 juta lebih gara-gara kecerobohanku. Aku tak mau memangkas
lagi gajiku bulan ini. Intinya aku harus berhemat dan tak tergoda.
Kami, aku dan Rei,
disambut hangat oleh seorang pegawai yang langsung menginstruksi kami
untuk masuk ke dalam. "diana ada?" tanya Rei pada pegawai yang menyambut
kami tersebut. Sepertinya Rei sudah sering kesini dan mengenal dengan
baik pemilik butik ini, diana.
"Ada, sebentar saya
panggilkan." Sang pegawai undur diri dan berbalik memanggilkan wanita
bernama diana itu. Sementara mataku jelalatan menyusuri seluruh koleksi
baju yang tampak elegan dan mahal tentunya.
Saking asyknya
memanjakan mata, aku sampai lengah dan tak tahu Rei pergi entah kemana.
Celingukan tak pasti mencari sosok pria turki. Kemana dia! Ah..
perduli amat, dengan begitu aku bebas melihat-lihat tanpa harus membeli.
Aku mulai menelusuri barisan-barisan pakaian yang disusun rapi dan
menampakkan kemewahannya. Ada satu gaun yang menarik perhatianku. Dengan
potongan gaun sederhana baju itu dikenakan pada sebuah manekin di ujung
ruanga. Simple dan cantik. Warna peach yang kalem dengan sedikit bordir
di bagian bawah membentuk sulur-sulur. Kuperiksa bandrol harganya dan
untuk sesaat ak menahan napasku. Tercekik melihat jejeran angka yang
harus dikeluarkan demi gaun seperti ini. Sumpah demi apapun malam ini
aku gak mau belanja disini! Mending pakai pakaian lama deh, lagian ga
banyak orang yang nantinya akan mengenaliku, jadi pasti tak akan ada
yang tau apakah aku pernah memakai bajuku itu atau belum.
“Sepertinya ini cocok
denganmu..” bukan hanya suara Rei yang mengagetkanku tapi juga tangannya
yang menelusup mengalungkan dan mengikat sebuah.. scarf? “giamana?
Bagus gak?” Rei meminta pendapatku . scarf berwarna biru gelap yang
entah terbuat dari kain apa. Sangat lembut dan nyaman di kulit leher
serta tak terasa panas.
“Ini..” aku hampir mengemukakan pendapatku sebellum akhirnya terpotong suara berwibawa dari seorang wantita.
“Itu sangat cocok dengan
kulit putihnya Rei. Aku punya baju yang cocok dengan scarf itu.” Aku
langsung menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang wanita yang
kutebak umurnya hampir sama dengan ibuku. Jika dia masih hidup. Tapi
auranya sangat .. oh.. bagaimana aku harus menggambarkannya.
Menyenangkan? Yah dia seperti punya pancaran yang bisa membuat
orang-orang disekitarnya gembira.
“Benarkah?boleh aku
melihatnya?” Rei berseru girang dan mengikuti wanita bernama diana masuk
ke ruangan yang lebih dalam. Loh.. gimana sih Rei ini, kenapa dia malah
mencarikanku gaun.. aduh aku kan gak mau beli apapun. Gimana nih..
“Ayo Vio, kemari.”
Kepala Rei muncul dari balik ruangan dan dengan setengah memerintah
menyuruhku masuk ke dalam juga. Aku, dengan amat terpaksa, menuriti
perkataannya. Rei menyerahkan gaun berwarna senada dengan scarf yang
tadi Rei kenakan padaku. “cobalah.” Dia mendorongku paksa masuk ke kamar
pas.
Aku hanya bisa
menurutinya, mencoba gaun berpoongan selutut tanpa lengan dengan sedikit
rumbai-rumbai tipis di bagian bawahnya. Yang adaa di otakkku hanya
berapa harga baju ini?? Argh.. bagaimaana aku harus mengatakan pada Rei
bahwa aku tak ingin membeli ini semua.
Gaun itu sangat pas
menempel di badan dan membuat setiap lekukan tubuhku menjadi semakin
jelas dan inda. Memang pakaian bagus bisa menambah citra diri seseorang.
Dan tiba-tiba aku juga menginginkan gaun ini, walaupun masih ragu jika
mengetahui harganya.
“Sangat bagus, dan
cantik..” puji Rei ketika aku keluar dari kamar pas. Aku tersenyum,
sebenanya senyum terpaksa juga. Tentu saja bagus dan cantik, inikan gaun
mahal. Rei sendiri juga sedang menciba sebuah tuxedo hitam pekat.
Transformasi dari kaos oblong dan celana pendeknya tadi ke tuxedo warna
hitam membuat Rei makin tambah gagah saja.
“Pakai ini.” Rei berjongkok dan memasangkan heels ke kakiku. Rasanya aku sungguh ingin menangis saja, bukan karna terharu dada seorang pria memakaikanku sepatu tapi karna aku pastinya tak akan mampu membayar semua ini. Sudah cukup Rei, jangan memakaikanku apa-apa lagi, bisa-bisa uang gajiku bulan ini amblas semua.
“Sempurna.” Gumamnya kemudian.iya, semuanya terlalu sempurna sampai-sampai aku tak sanggup membelinya! Batinku. “Di, aku ambil semuanya.” Dengan tanpa persetujuanku sama sekali Rei berkata seperti itu. Sontak aku membelalakan mata dan ohh.. Rei sudah ngacir kembali ke kamar pas, kembali mengenakan pakaiannya yang semula mungkin.
“Pakai ini.” Rei berjongkok dan memasangkan heels ke kakiku. Rasanya aku sungguh ingin menangis saja, bukan karna terharu dada seorang pria memakaikanku sepatu tapi karna aku pastinya tak akan mampu membayar semua ini. Sudah cukup Rei, jangan memakaikanku apa-apa lagi, bisa-bisa uang gajiku bulan ini amblas semua.
“Sempurna.” Gumamnya kemudian.iya, semuanya terlalu sempurna sampai-sampai aku tak sanggup membelinya! Batinku. “Di, aku ambil semuanya.” Dengan tanpa persetujuanku sama sekali Rei berkata seperti itu. Sontak aku membelalakan mata dan ohh.. Rei sudah ngacir kembali ke kamar pas, kembali mengenakan pakaiannya yang semula mungkin.
Aduh..apa yang harus aku
lakukan? Atau aku katakan? “Rei tunggu..!! aku gak butuh itu. Aku masih
punya gaun lamaku. Dan itu juga masih bagus, aku ga akan membeli baju
ini..” tak ada jawaban dari dalam kamar pas yang dimasuki Rei. Akupun
mengganti pakainku yang semula. Setelah Rei selesai berganti pakaian
lagi aku mengatakan kembali pernyataanku tadi untuk tidak membeli gaun
ini. tapi Rei tampak tak menghiraukan perkataanku dan tetap melenggang
menuju kasir.
“Kau memang ga akan membeli gaun ini karna aku yang akan membelinya.”
“Apa..” secara otomatis
mulutku terbuka. “gak! Gak usah Rei, aku masih punya banyak pakaian yang
lain di rumah, toh besok ga harus pake baju baru.
Rei tersenyum menanggapi penolakanku. “aku bukan membelikan ini untukmu.”
“Eh..??” jadi aku cuman
ke GR an doang nih? -_- ah sialan Rei, umpatku dalam hati. Tak bisa
terbayangkan lagi bagaimana memalukannya ini.
“Itu untuk koki baik hati yang selalu membuatkan masakan lezat setiap hari untukku.”
Aku memutar bolamataku. Itu sama aja kali Rei....
.
0 Response to "Hopeless Part 8"
Post a Comment