Hopeless Part 37


Aku merindukannya. Sangat merindukannya sampai rasanya ingin mati. Ingin mati ketika kulihat dia sedang bersama pria yang paling kubenci di muka bumi ini. Sialan! Kontrolku langsung hilang seketika. Awalnya aku hanya ingin menyeretnya pulang. Siapa suruh masih sakit malah kerja. Tapi dia malah dengan bodohnya menantangku. Sekali lagi kontrolku lenyap dan hampir menelanjanginya jika saja dia tak menamparku. Itu pantas kudapatkan, mengingat sebenarnya aku hanya suami kontraknya yang bersepakat tak ada kontak fisik. Tapi aku juga kesal setengah mati jika Viona harus bertemu bajingan itu.
Dan sekali lagi aku hampir gelap mata ketika mendapatinya sedang berendam di kamar mandi dengan pintu yang tak dikunci. Bagaimana bisa dia bisa melakukannya? Bagaimana jika ada orang lain yang masuk (selain aku). Lebih gila lagi dia tak menyadari ketika aku masuk dan menggosok gigi. Saat kutengok rupanya ia sangat menikmati aktifitas berendamnya sampai-sampai tertidur. Demi tuhan! Aku salah besar harus melihatnya, sebagian busa di bath up nya sudah menghilang, samar-samar menampakkan tubuh polosnya. Kepalanya terkulai di pinggiran bath up memamerkan lehernya yang licin berkilau karena sabun, mengundangku untuk menerkamnya. Shit! Sebelum aku melewati batas lebih baik aku mandi di bawah saja.
Makan malam kami berjalan sangat hening, aku tak ingin melihat wajahnya. Sialan. Sejak kejadian tadi membuatku terus berkhayal untuk menggerayangi tubuhnya. Aku tidak akan tahan melihat bibirnya yang seksi dan lembut itu mengunyah makanan. Bisa-bisa aku naik ke atas meja dan melahapnya.
"Mau kemana?" tanyaku saat melihat Viona hendak keluar kamar dengan membawa bantal dan selimut. Apa-apaan dia. Dia mau menghindariku?
"Ke bawah." Jawabnya singkat. Benar dia menghindar dariku
"Jadi kau mau menghindariku dan tidur di bawah?" rasa geram tak bisa kusembunyikan lagi.
Viona tampak berfikir dan satu alisnya terangkat kebingungan "Aku sedang malas berdebat denganmu, bisakah kau minggir." Ucapnya kemudian. Sialan. Lagi-lagi gadis di depanku ini menantang singa kelaparan. Tak akan kuberikan jalan keluar kandang, nona.. "Bisakah kau minggir Rei? Aku sedang tak ada waktu." Viona tampak tak sabar dan suaranya meninggi.
Senang rasanya bisa melihat mata hijaunya berkilat marah. Dengan gerakan cepat, selimut dan bantal yang Viona bawa berhasil kurebut dan kubuang ke lantai. Ia mundur selangkah demi selangkah saat aku mendekatinya. Matanya yang berkilat kini meredup, berubah menjadi kegugupan dan ketakutan.
"Rei.." suaranya bergetar memanggil namaku. Itu semakin mengundangku, seperti darah yang mengundang hiu. Aku merebut selimut dan bantalnya dengan mudah lalu membuangnya ke lantai. Viona terus mundur ketika aku mendekatinya hingga kakinya menyentuh tepian ranjang, seperti kelinci mungil yang terperangkap di lubangnya. Tak ada jalan keluar dan tak ada jalan mundur...
"Kau cantik Viona.." suaraku berubah serak bergairah. Jari-jariku menelusuri helai-helai rambut hitamnya, berhenti di bahu dan berlanjut ke tulang selangkanya. Kulitnya yang lembut dan putih berubah merona. Ya.. cantik sekali.
Viona maju hendak keluar melewati samping kananku. Dengan gesit aku meraih lengan kirinya dan membantingnya ke ranjang. Rambut gelapnya tergerai indah di bed cover. Matanya melotot penuh amarah ke arahku.
Tangan kiri Viona yang kucengkeram menggeliat bergerak memutar membebaskannya berbarengan dengan tangan kanannya yang memelintir pergelangan tangan kiriku. Sementara tangan kirinya yang terbebas mendorongku. Dan hap!
Dia menelikung dan membantingku di lantai dan menindih punggungku. "I hate the game rei.."Ok, aku semakin suka ini. Kita lihat apakah kau benar-benar membencinya..
"Good job Vio.. tapi kau sama sekali tak bisa menang dariku." Aku mendorongnya melalui punggungku dan aku tak perlu bersusah payah melepaskan tangan kiriku dari cengkramannya yang tak seberapa. Sekali lagi aku berhasil menghempasnya ke tengah ranjang dan memerangkapnya, kedua tangannya kucengkeram erat dan menindihnya dengan tubuhku.
Viona memberontak dengan sekuat tenaga, salah satu tangannya terlepas dan berupaya mendorong dadaku. Tentu saja aku segera menangkap tangan mungilnya dan mengunci kedua tangannya di atas kepalanya. "Kita akan lihat seberapa bencinya dirimu dengan ini.."
"Bajingan kau Rei!" Viona semakin gencar untuk meloloskan diri. "Aku tidak akan.. argh!"
Erangannya terlepas kala telinganya menerima sentuhan dari bibirku serta lidah yang mengembara di antara rongga daun telinganya. Dia tak akan tahan dengan hembusan nafas hangat yang mengalir ke dalam rongga telinganya. Aku yakin Viona sedang menggigit bibirnya untuk menahan erangannya. Aku segera berpindah ke wajahnya. Dan benar saja, kelopak matanya tertutup rapat dan giginya menekan kuat-kuat pada bibir bawahnya sementara nafasnya mulai tak teratur.
"Buka matamu sayang.." warna cokelat emas matanya yang berkabut tampak menggairahkan. Tak ada lagi perlawanan darinya. "Matamu indah.. Mata yang cantik." Aku mendekatkan wajahku dan mengecup kelopaknya dengan lembut dan turun ke hidung, pipi dan rahangnya. Wangi facial washnya amat manis, tapi tentu tak semanis bibirnya.
Bibirnya selalu menjadi favorit. Bahkan walau sudah setiap malam mencicipinya setiap malam aku tak akan bosan dengan yang satu ini. "I'm addicted to your lip.." aku merasakan nafas viona tercekat mendengar pernyataanku. "Breath Vio.. take a breath.." aku terkekeh dengan reaksinya dan langsung menyambar bibirnya yang sedikit terbuka. Seperti kubilang, bibirnya hangat, basah dan amat manis seperti cake caramel dengan selai strawberry yang segar. "Aku tak akan bosan dengan bibirmu yang semanis madu." Viona sama sekali tak merespon. Baik, aku akan membuatnya tak bisa diam bahkan jika dia tak mau.
Lehernya menjadi sasaran berikutnya, harum aroma terapi yang hangat menyapa hidungku. Ini adalah wangi sabun yang digunakannya saat berendam tadi. Ah sial. Bayangan tubuhnya saat berendam tadi sore membuatku semakin keras, aku tak sabar untuk melihatnya lagi. Aku kembali menciumi rahangnya dan menggigitinya kecil-kecil.
Ada rasa asin saat aku menyesapi sudut bibirnya. Ini.. Sontak kepalaku terangkat dan mendapati wajahnya.. Tidak! "Viona, kau.." Ya Tuhan! Sialan kau Rei!
Tak ada rona merah di wajahnya sama sekali, yang ada hanya wajah sepucat langit musim dingin. Tubuhnya gemetar bukan karna gairah, dan matanya.. Shit! Itu menjadikanku pria paling brengsek. Matanya yang berkabut itu menatap kosong ke langit-langit, dan sekali lagi aku yakin itu bukan karena hasratnya. Yang paling membuatku muak dengan diriku sendiri adalah lelehan air dari sudut matanya.
"Tidak..tidak..kumohan jangan lakukan itu." Aku menariknya ke dalam pelukanku dan aku berbaring menyamping. "Maafkan aku. Maafkan aku.." Kepala viona tenggelam dalam antara lekukan leher dan bahuku, aku bisa merasakan air matanya terus keluar mengalir di bahuku. Aku terus menggumamkan permintaan maaf dan penyesalanku seraya membelai punggungnya naik turun.
.
.
.
Aku bangun dengan lengan besar melilit perut dan hembusan nafas teratur di puncak kepala. Kepalaku terasa berat dan pening. Sial. Ini gara-gara tangisan sialan semalam. Kontrolku hilang dan aku tak ingat apapun selain tangisanku. Aku melepaskan belitan lengan Rei dan bergegas ke kamar mandi.
Aku perlu ruang dan jarak dengan Rei saat ini, memikirkan langkah apa yang akan kuambil menanggapi kejadian malam tadi. Setelah memakai pakaian olahraga aku segera keluar untuk melakukan beberapa putaran mengelilingi komplek. Udara pagi yang belum tercemar mungkin saja bisa membantu otakku bekerja, serta hatiku. Aku bisa saja meninggalkannya kalau aku mau, tapi aku pasti akan menyesal. Bukan soal uang dan sahamnya, melainkan Pak Salim. Apa yang akan aku katakan padanya, juga Tante Kinan, masa iya aku tiba-tiba minta cerai tanpa alasan yang jelas. Tidak mungkin juga aku membeberkan tentang kontrak itu. Bisa-bisa Pak Salim down dan penyakitnya tambah parah. Tapi tidak mungkin juga aku membiarkan masalah ini. Sepertinya ada yang salah dengan Rei akhir-akhir ini, jujur itu membuatku sedikit takut.
Menarik nafas panjang, lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Sudah tiga putaran keliling komplek yang menghasilkan cukup banyak keringat yang keluar dari tubuhku. Itu memakan waktu setengah jam lebih, kurasa sudah cukup untuk menyegarkan badan dan kuharap.. kuharap aku sudah siap menghadapi Rei.
Saat kembali aku belum melihat Rei turun, mungkin dia masih tidur, syukur deh kalau benar. Karna sebenarnya aku juga belum siap menghadapinya. Aku harus bergerak cepat agar bisa menghindar pagi ini. Sarapan. Ya harus segera dibuat, dibuat secara cepat. Bacon, scramble egg, roti panggang, susu. Hal yang harus dilakukan untuk menghindarinya adalah pergi ke kantor sendiri, juga mandi di kamar mandi bawah. Aku tak mau ambil resiko, ke atas hanya untuk mengambil baju ganti. Dugaanku salah, Rei sudah bangun karna kulihat tempat tidur sudah kosong. Kemana dia? Di kamar mandi tak ada. Ah, terserahlah, aku harus segera mencari baju ganti dan turun untuk mandi dan secepatnya pergi kerja.. Ngomong-ngomong soal kerja.. Demi semua ikan yang ada di laot! Aku belum menyelesaikan laporan hari kemarin. Sialan!
Dengan super cepat, hanya dalam 10 menit, aku selesai mandi dan berganti pakaian. Tak ada make up. Tak ada waktu untuk itu. Bergegas ke dapur untuk sarapan. Roti panggang dengan keju lenyap dalam semenit, menyusul olahan telur yang kusuapkan dengan bacon juga habis dalam sekejap. Dan aku seketika tersedak susu yang sedang kutenggak karna sebuah tubuh hangat melingkupiku dari belakang dan tangannya memeluk perutku sangat erat. Saking kagetnya, gelas yang kugenggam tergelincir dari tanganku dan jatuh ke lantai menjadi serakan kaca genangan susu.
"Lepaskan aku Rei!" aku menggeram marah.
"Tidak!" ujarnya. "Ya Tuhan.. Kukira aku kehilanganmu pagi ini. Aku mencarimu kemana-mana" Dia semakin mengeratkan lengannya di perutku. Itu membuatku semakin sulit mengambil nafas.
"Aku nggak bisa nafas Rei!" seketika Rei melepas tangannya dan menjauhkan dirinya setelah mendengar bentakanku. Aku berbalik dan agak terkejut menatap wajahnya yang pucat. Apa dia sakit? Who care? "Kau tidak kehilangan apa-apa Rei." Yah, memangnya aku ini miliknya apa. "Satu-satunya alasan aku masih berada disini adalah ini!" tangan kiriku terjulur menunjukkan cincin cantik yang tersemat di jari manis. "Aku masih sayang sama Papamu dan tante Kinan. Kalau enggak karna mereka aku udah buang ni cincin ke selokan!"
"Aku.. Maafkan aku Viona. Kumohon jangan pergi.. Aku tidak-"
"Aku sudah terlambat." Aku mundur darinya, menginjak serpihan kaca. Untung sol sepatuku agak tebal jadi tak ada kaca yang melukaiku. Segera kusambar tas dan kunci mobilku. Meninggalkan Rei yang masih mematung sendirian di dapur.
Pekerjaanku sudah menunggu untuk segera digaruk (dikerjakan). Dan lagi presentasi besok lusa sangat menekan batinku. Entah kenapa hari-hari ini jadi kacau. Diluar kendali. Ini memang masih pagi, jam enam lebih seperempat, dan tentu aku tak akan telat ke kantor. Hanya saja aku sudah telat untuk menyelesaikan pekerjaan yang udah numpuk itu.
Hhh.. aku menarik nafas lewat hidung lalu mengeluarkannya dari mulut. "Rileks.. rileks.. rileks.." mencoba untuk menenangkan diri. Setidaknya pagi ini tak ada macet yang menjebak, karena emang ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor. Tapi..
"Kenapa nih!"
Ok. Bagus. Amat sangat bagus sekali. Mobilku tiba-tiba mogok. Sialan! For God shake!! Adakah yang lebih buruk dari ini?? Dengan gusar aku turun dan membanting pintu mobil dan membuka kap belakang.
"Urgh.." apa yang salah? Bagaimana cara memperbaikinya? Arg.. manakutahu, kalau kalian tanya bagaimana cara meningkatkan penjualan, nah itu aku tahu. Hanya mematung dan memandangi kabel-kabel serta mesin yang saling terhubung. Orang yang buat mobil itu hebat ya, ya ampun mesing-mesin kek gini bisa bikin orang pergi kemana-mana dengan cepat. Kecuali mesinnya bobrok. Cuman jarak sepuluh kilo aja pake ngambek segala.
Frustasi. Aku tak punya nomor bengkel sama sekali. Mana harus cepet-cepet sampai kantor. Sialan. Bisa telat beneran ini! Gila.. gila.. apa aku kena karma gara-gara tadi bilang aku udah terlambat. Kepalaku yang tak gatalpun kena garuk, matahari udah mulai tinggi dan membakar aspal. Bikin tambah panas badan sama hati. Frustasi.
Ban mobil yang tak bersalah pun jadi sasaran tendangan amarahku. Yang sama sekali tak membantuku. Malah bikin kakiku sakit dan sepatu lecet. Oh sialan!! Aku melepas cardigan hitam yang kupakai dan mengambil ponsel dari sakunya. Hubungi siapa ya?
Din din
"Butuh bantuan?"
Sebuah kepala dengan kacamata hitam muncul dari balik kaca pintu BMW. Kepalaku miring ke kanan. Siapa?
Dia menurunkan kacamatanya hingga aku bisa melihat matanya yang hitam kelam, juga seringaian itu! Oh Tuhan.. rupanya engkau mendengar perkataan hamba dan menjawabnya. Yah.. ini memang bertambah buruk. Jika engkau bisa mendengar yang itu kumohon buat ini mudah kali ini, sudah terlalu kacau pagiku..
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 37"

Post a Comment