Aku merindukannya. Sangat merindukannya sampai rasanya ingin mati. Ingin mati ketika kulihat dia sedang bersama pria yang paling kubenci di muka bumi ini. Sialan! Kontrolku langsung hilang seketika. Awalnya aku hanya ingin menyeretnya pulang. Siapa suruh masih sakit malah kerja. Tapi dia malah dengan bodohnya menantangku. Sekali lagi kontrolku lenyap dan hampir menelanjanginya jika saja dia tak menamparku. Itu pantas kudapatkan, mengingat sebenarnya aku hanya suami kontraknya yang bersepakat tak ada kontak fisik. Tapi aku juga kesal setengah mati jika Viona harus bertemu bajingan itu.
Dan sekali lagi aku
hampir gelap mata ketika mendapatinya sedang berendam di kamar mandi
dengan pintu yang tak dikunci. Bagaimana bisa dia bisa melakukannya?
Bagaimana jika ada orang lain yang masuk (selain aku). Lebih gila lagi
dia tak menyadari ketika aku masuk dan menggosok gigi. Saat kutengok
rupanya ia sangat menikmati aktifitas berendamnya sampai-sampai
tertidur. Demi tuhan! Aku salah besar harus melihatnya, sebagian busa di
bath up nya sudah menghilang, samar-samar menampakkan tubuh polosnya.
Kepalanya terkulai di pinggiran bath up memamerkan lehernya yang licin
berkilau karena sabun, mengundangku untuk menerkamnya. Shit! Sebelum aku
melewati batas lebih baik aku mandi di bawah saja.
Makan malam kami
berjalan sangat hening, aku tak ingin melihat wajahnya. Sialan. Sejak
kejadian tadi membuatku terus berkhayal untuk menggerayangi tubuhnya.
Aku tidak akan tahan melihat bibirnya yang seksi dan lembut itu
mengunyah makanan. Bisa-bisa aku naik ke atas meja dan melahapnya.
"Mau kemana?" tanyaku
saat melihat Viona hendak keluar kamar dengan membawa bantal dan
selimut. Apa-apaan dia. Dia mau menghindariku?
"Ke bawah." Jawabnya singkat. Benar dia menghindar dariku
"Jadi kau mau menghindariku dan tidur di bawah?" rasa geram tak bisa kusembunyikan lagi.
Viona tampak berfikir
dan satu alisnya terangkat kebingungan "Aku sedang malas berdebat
denganmu, bisakah kau minggir." Ucapnya kemudian. Sialan. Lagi-lagi
gadis di depanku ini menantang singa kelaparan. Tak akan kuberikan jalan
keluar kandang, nona.. "Bisakah kau minggir Rei? Aku sedang tak ada
waktu." Viona tampak tak sabar dan suaranya meninggi.
Senang rasanya bisa
melihat mata hijaunya berkilat marah. Dengan gerakan cepat, selimut dan
bantal yang Viona bawa berhasil kurebut dan kubuang ke lantai. Ia mundur
selangkah demi selangkah saat aku mendekatinya. Matanya yang berkilat
kini meredup, berubah menjadi kegugupan dan ketakutan.
"Rei.." suaranya
bergetar memanggil namaku. Itu semakin mengundangku, seperti darah yang
mengundang hiu. Aku merebut selimut dan bantalnya dengan mudah lalu
membuangnya ke lantai. Viona terus mundur ketika aku mendekatinya hingga
kakinya menyentuh tepian ranjang, seperti kelinci mungil yang
terperangkap di lubangnya. Tak ada jalan keluar dan tak ada jalan
mundur...
"Kau cantik Viona.."
suaraku berubah serak bergairah. Jari-jariku menelusuri helai-helai
rambut hitamnya, berhenti di bahu dan berlanjut ke tulang selangkanya.
Kulitnya yang lembut dan putih berubah merona. Ya.. cantik sekali.
Viona maju hendak keluar
melewati samping kananku. Dengan gesit aku meraih lengan kirinya dan
membantingnya ke ranjang. Rambut gelapnya tergerai indah di bed cover.
Matanya melotot penuh amarah ke arahku.
Tangan kiri Viona yang
kucengkeram menggeliat bergerak memutar membebaskannya berbarengan
dengan tangan kanannya yang memelintir pergelangan tangan kiriku.
Sementara tangan kirinya yang terbebas mendorongku. Dan hap!
Dia menelikung dan
membantingku di lantai dan menindih punggungku. "I hate the game
rei.."Ok, aku semakin suka ini. Kita lihat apakah kau benar-benar
membencinya..
"Good job Vio.. tapi kau
sama sekali tak bisa menang dariku." Aku mendorongnya melalui
punggungku dan aku tak perlu bersusah payah melepaskan tangan kiriku
dari cengkramannya yang tak seberapa. Sekali lagi aku berhasil
menghempasnya ke tengah ranjang dan memerangkapnya, kedua tangannya
kucengkeram erat dan menindihnya dengan tubuhku.
Viona memberontak dengan
sekuat tenaga, salah satu tangannya terlepas dan berupaya mendorong
dadaku. Tentu saja aku segera menangkap tangan mungilnya dan mengunci
kedua tangannya di atas kepalanya. "Kita akan lihat seberapa bencinya
dirimu dengan ini.."
"Bajingan kau Rei!" Viona semakin gencar untuk meloloskan diri. "Aku tidak akan.. argh!"
Erangannya terlepas kala
telinganya menerima sentuhan dari bibirku serta lidah yang mengembara
di antara rongga daun telinganya. Dia tak akan tahan dengan hembusan
nafas hangat yang mengalir ke dalam rongga telinganya. Aku yakin Viona
sedang menggigit bibirnya untuk menahan erangannya. Aku segera berpindah
ke wajahnya. Dan benar saja, kelopak matanya tertutup rapat dan giginya
menekan kuat-kuat pada bibir bawahnya sementara nafasnya mulai tak
teratur.
"Buka matamu sayang.."
warna cokelat emas matanya yang berkabut tampak menggairahkan. Tak ada
lagi perlawanan darinya. "Matamu indah.. Mata yang cantik." Aku
mendekatkan wajahku dan mengecup kelopaknya dengan lembut dan turun ke
hidung, pipi dan rahangnya. Wangi facial washnya amat manis, tapi tentu
tak semanis bibirnya.
Bibirnya selalu menjadi
favorit. Bahkan walau sudah setiap malam mencicipinya setiap malam aku
tak akan bosan dengan yang satu ini. "I'm addicted to your lip.." aku
merasakan nafas viona tercekat mendengar pernyataanku. "Breath Vio..
take a breath.." aku terkekeh dengan reaksinya dan langsung menyambar
bibirnya yang sedikit terbuka. Seperti kubilang, bibirnya hangat, basah
dan amat manis seperti cake caramel dengan selai strawberry yang segar.
"Aku tak akan bosan dengan bibirmu yang semanis madu." Viona sama sekali
tak merespon. Baik, aku akan membuatnya tak bisa diam bahkan jika dia
tak mau.
Lehernya menjadi sasaran
berikutnya, harum aroma terapi yang hangat menyapa hidungku. Ini adalah
wangi sabun yang digunakannya saat berendam tadi. Ah sial. Bayangan
tubuhnya saat berendam tadi sore membuatku semakin keras, aku tak sabar
untuk melihatnya lagi. Aku kembali menciumi rahangnya dan menggigitinya
kecil-kecil.
Ada rasa asin saat aku
menyesapi sudut bibirnya. Ini.. Sontak kepalaku terangkat dan mendapati
wajahnya.. Tidak! "Viona, kau.." Ya Tuhan! Sialan kau Rei!
Tak ada rona merah di
wajahnya sama sekali, yang ada hanya wajah sepucat langit musim dingin.
Tubuhnya gemetar bukan karna gairah, dan matanya.. Shit! Itu
menjadikanku pria paling brengsek. Matanya yang berkabut itu menatap
kosong ke langit-langit, dan sekali lagi aku yakin itu bukan karena
hasratnya. Yang paling membuatku muak dengan diriku sendiri adalah
lelehan air dari sudut matanya.
"Tidak..tidak..kumohan
jangan lakukan itu." Aku menariknya ke dalam pelukanku dan aku berbaring
menyamping. "Maafkan aku. Maafkan aku.." Kepala viona tenggelam dalam
antara lekukan leher dan bahuku, aku bisa merasakan air matanya terus
keluar mengalir di bahuku. Aku terus menggumamkan permintaan maaf dan
penyesalanku seraya membelai punggungnya naik turun.
.
.
.
.
.
Aku bangun dengan lengan
besar melilit perut dan hembusan nafas teratur di puncak kepala.
Kepalaku terasa berat dan pening. Sial. Ini gara-gara tangisan sialan
semalam. Kontrolku hilang dan aku tak ingat apapun selain tangisanku.
Aku melepaskan belitan lengan Rei dan bergegas ke kamar mandi.
Aku perlu ruang dan
jarak dengan Rei saat ini, memikirkan langkah apa yang akan kuambil
menanggapi kejadian malam tadi. Setelah memakai pakaian olahraga aku
segera keluar untuk melakukan beberapa putaran mengelilingi komplek.
Udara pagi yang belum tercemar mungkin saja bisa membantu otakku
bekerja, serta hatiku. Aku bisa saja meninggalkannya kalau aku mau, tapi
aku pasti akan menyesal. Bukan soal uang dan sahamnya, melainkan Pak
Salim. Apa yang akan aku katakan padanya, juga Tante Kinan, masa iya aku
tiba-tiba minta cerai tanpa alasan yang jelas. Tidak mungkin juga aku
membeberkan tentang kontrak itu. Bisa-bisa Pak Salim down dan
penyakitnya tambah parah. Tapi tidak mungkin juga aku membiarkan masalah
ini. Sepertinya ada yang salah dengan Rei akhir-akhir ini, jujur itu
membuatku sedikit takut.
Menarik nafas panjang,
lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Sudah tiga putaran keliling komplek
yang menghasilkan cukup banyak keringat yang keluar dari tubuhku. Itu
memakan waktu setengah jam lebih, kurasa sudah cukup untuk menyegarkan
badan dan kuharap.. kuharap aku sudah siap menghadapi Rei.
Saat kembali aku belum
melihat Rei turun, mungkin dia masih tidur, syukur deh kalau benar.
Karna sebenarnya aku juga belum siap menghadapinya. Aku harus bergerak
cepat agar bisa menghindar pagi ini. Sarapan. Ya harus segera dibuat,
dibuat secara cepat. Bacon, scramble egg, roti panggang, susu. Hal yang
harus dilakukan untuk menghindarinya adalah pergi ke kantor sendiri,
juga mandi di kamar mandi bawah. Aku tak mau ambil resiko, ke atas hanya
untuk mengambil baju ganti. Dugaanku salah, Rei sudah bangun karna
kulihat tempat tidur sudah kosong. Kemana dia? Di kamar mandi tak ada.
Ah, terserahlah, aku harus segera mencari baju ganti dan turun untuk
mandi dan secepatnya pergi kerja.. Ngomong-ngomong soal kerja.. Demi
semua ikan yang ada di laot! Aku belum menyelesaikan laporan hari
kemarin. Sialan!
Dengan super cepat,
hanya dalam 10 menit, aku selesai mandi dan berganti pakaian. Tak ada
make up. Tak ada waktu untuk itu. Bergegas ke dapur untuk sarapan. Roti
panggang dengan keju lenyap dalam semenit, menyusul olahan telur yang
kusuapkan dengan bacon juga habis dalam sekejap. Dan aku seketika
tersedak susu yang sedang kutenggak karna sebuah tubuh hangat
melingkupiku dari belakang dan tangannya memeluk perutku sangat erat.
Saking kagetnya, gelas yang kugenggam tergelincir dari tanganku dan
jatuh ke lantai menjadi serakan kaca genangan susu.
"Lepaskan aku Rei!" aku menggeram marah.
"Tidak!" ujarnya. "Ya
Tuhan.. Kukira aku kehilanganmu pagi ini. Aku mencarimu kemana-mana" Dia
semakin mengeratkan lengannya di perutku. Itu membuatku semakin sulit
mengambil nafas.
"Aku nggak bisa nafas
Rei!" seketika Rei melepas tangannya dan menjauhkan dirinya setelah
mendengar bentakanku. Aku berbalik dan agak terkejut menatap wajahnya
yang pucat. Apa dia sakit? Who care? "Kau tidak kehilangan apa-apa Rei."
Yah, memangnya aku ini miliknya apa. "Satu-satunya alasan aku masih
berada disini adalah ini!" tangan kiriku terjulur menunjukkan cincin
cantik yang tersemat di jari manis. "Aku masih sayang sama Papamu dan
tante Kinan. Kalau enggak karna mereka aku udah buang ni cincin ke
selokan!"
"Aku.. Maafkan aku Viona. Kumohon jangan pergi.. Aku tidak-"
"Aku sudah terlambat."
Aku mundur darinya, menginjak serpihan kaca. Untung sol sepatuku agak
tebal jadi tak ada kaca yang melukaiku. Segera kusambar tas dan kunci
mobilku. Meninggalkan Rei yang masih mematung sendirian di dapur.
Pekerjaanku sudah
menunggu untuk segera digaruk (dikerjakan). Dan lagi presentasi besok
lusa sangat menekan batinku. Entah kenapa hari-hari ini jadi kacau.
Diluar kendali. Ini memang masih pagi, jam enam lebih seperempat, dan
tentu aku tak akan telat ke kantor. Hanya saja aku sudah telat untuk
menyelesaikan pekerjaan yang udah numpuk itu.
Hhh.. aku menarik nafas
lewat hidung lalu mengeluarkannya dari mulut. "Rileks.. rileks..
rileks.." mencoba untuk menenangkan diri. Setidaknya pagi ini tak ada
macet yang menjebak, karena emang ini masih terlalu pagi untuk berangkat
ke kantor. Tapi..
"Kenapa nih!"
Ok. Bagus. Amat sangat
bagus sekali. Mobilku tiba-tiba mogok. Sialan! For God shake!! Adakah
yang lebih buruk dari ini?? Dengan gusar aku turun dan membanting pintu
mobil dan membuka kap belakang.
"Urgh.." apa yang salah?
Bagaimana cara memperbaikinya? Arg.. manakutahu, kalau kalian tanya
bagaimana cara meningkatkan penjualan, nah itu aku tahu. Hanya mematung
dan memandangi kabel-kabel serta mesin yang saling terhubung. Orang yang
buat mobil itu hebat ya, ya ampun mesing-mesin kek gini bisa bikin
orang pergi kemana-mana dengan cepat. Kecuali mesinnya bobrok. Cuman
jarak sepuluh kilo aja pake ngambek segala.
Frustasi. Aku tak punya
nomor bengkel sama sekali. Mana harus cepet-cepet sampai kantor. Sialan.
Bisa telat beneran ini! Gila.. gila.. apa aku kena karma gara-gara tadi
bilang aku udah terlambat. Kepalaku yang tak gatalpun kena garuk,
matahari udah mulai tinggi dan membakar aspal. Bikin tambah panas badan
sama hati. Frustasi.
Ban mobil yang tak
bersalah pun jadi sasaran tendangan amarahku. Yang sama sekali tak
membantuku. Malah bikin kakiku sakit dan sepatu lecet. Oh sialan!! Aku
melepas cardigan hitam yang kupakai dan mengambil ponsel dari sakunya.
Hubungi siapa ya?
Din din
"Butuh bantuan?"
Sebuah kepala dengan kacamata hitam muncul dari balik kaca pintu BMW. Kepalaku miring ke kanan. Siapa?
Dia menurunkan
kacamatanya hingga aku bisa melihat matanya yang hitam kelam, juga
seringaian itu! Oh Tuhan.. rupanya engkau mendengar perkataan hamba dan
menjawabnya. Yah.. ini memang bertambah buruk. Jika engkau bisa
mendengar yang itu kumohon buat ini mudah kali ini, sudah terlalu kacau
pagiku..
.
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 37"
Post a Comment