Semenjak pembicaraan
tentang pernikahanku beberapa waktu lalu, aku belum pernah ketemu lagi
dengan Alex. Karena proposalnya sudah disetujui dan kunjungan juga sudah
dilakukan, tinggal kuserahkan saja pada bawahan dan pihak produksi
untuk mengurusnya lebih lanjut. Aku sudah cukup dipusingkan dengan
urusan pernikahanku yang tinggal dua minggu lagi. Meski sudah diurus
semuanya oleh Rei, bukan ding, tapi para asistennya tentu saja.
Sepertinya aku tegang. Dan stress.
Hari ini Rei kembali
mengajakku fitting baju untuk terakhir kalinya. Ke tempat itu lagi. Aku
jadi parno sejak pertama datang ke janice boutique. Ditambah waktu itu
ada kejadian yang membuatku sangat bernapsu... bernapsu ngebunuh orang!!
Itu gara-gara bajingan
satu itu, maen nyelonong nyium orang, padahal calon suaminya ada di
sebrang ruangan. Untung nggak ada yang liat. Bisa mati aku kalau
ketahuan. Dia benar-benar pria gila yang suka memaksakan kehendak.
“Kau sangat menawan
Vio.” Rei kembali memujiku yang memakai gaun yang dipesannya. Dan kau
juga ganteng pisan Raihan Al husain!! Dia mah udah dari sononya ganteng.
Tapi sorry, gwe kagak cinta ame elu..
“Kau juga sangat
kharismatik..” sekali-kali aku harus memujinya. Dipikir-pikir aku
sepertinya belum pernah memuji Rei, cuman dalam hati saja mengaguminya,
as a man who has good looking, no more.
Dan dia kali ini
benar-benar kelihatan berkharisma, seperti layaknya pria lain dengan
kemaskulinannya dalam balutana jas hitam. Sudah kubilang pria hanya
membutuhkan sedikit sentuhan untuk terlihat keren, jas yang dipakai Rei
jas hitam dengan sedikit modifikasi dan ornamen samar di pundaknya.
Simple dan keren, juga maskulin tentunya.
Rei tersenyum lebar mendengar pujianku. Mungkin aku memang harus sering-sering memujinya agar dia terus tersenyum seperti itu.
Dia mengajakku selfie. Ya ampun.... katanya buat di sebarin di sosmed. Biar beritanya cepat tersebar.
Dia mengajakku selfie. Ya ampun.... katanya buat di sebarin di sosmed. Biar beritanya cepat tersebar.
“Kau punya sosmed kan? Posting apa saja agar mereka tak mencurigai pernikahan ini.” Pintanya.
Aku punya beberapa,
instagram, facebook, twitter, linked-in,g+ dan lainnya. Cuman rada nggak
keurus, mungkin hanya facebool, dan g+ nya aja yang kadang aku buka.
“Eh.. Rei, kita kan nggak berhubungan sama sekali di dunia maya?”
“Oh iya! Ya ampun, sekarang juga kita harus berteman di dunia maya.” Dengan cepat dia mengambil ponselnya. “apa dulu ya.. twitter. Id mu?”
“Oh iya! Ya ampun, sekarang juga kita harus berteman di dunia maya.” Dengan cepat dia mengambil ponselnya. “apa dulu ya.. twitter. Id mu?”
“@VionaAK7.” Aku mengambil ponselku juga.
“instagrammu?”
“Sama @VionaAK7”
Begitulah. Dia terus
menanyai semua akun sosial mediaku. Bukannya fitting baju malah asyik
main sosmed. Padahal kami masih memakai baju pengantin.
“Udah semua? Oke, aku akan mengupload beberapa foto dan menandaimu. Kau kasih komen yang romantis dong..”
“Iya..iya..” kayak ABG
banget siih si Rei. Nggak nyangka dia juga punya begitu banyak akun
sosial media. Kukira dia anti sama yang begituan.
Ada panggilan dari Naya. “Hay nay..”
“Viona..!!!” lengkingan suaranya memekakan telingaku. “Itu foto apa-apaan. Kalian lagi bercanda kan?”
“Oh..itu.” aku melihat
pada Rei. Dia juga sedang dihubungi seseorang. Gerak bibirnya mengatakan
bahwa itu dari Gio. “Haha..” aku tertawa geli. “Itu beneran kok,
katanya disuruh cepet nyusul. Ya ini mau nyusul kalian.”
“Edann!! Gila.. gila.. ah, jangan bercanda gitu dong..”
“Siapa yang bercanda. Ini serius, duarius juga boleh... haha.”
“Ya nyusul sih nyusul,
tapi nggak secepet itu. Kapan kalian akan menikah?” sepertinya Naya
sudah mulai percaya pada pernikahanku.
“Sekitar dua minggu lagi.”
“Apa..??!!” sekali lagi aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku. “Ah, kalian lagi berncanda ah..”
“Kau harus sudah pulang saat resepsiku nanti.”
“Lo kecelakaan ya Vi?? Gio udah cerita kalau kalian tinggal bareng..”
“Nggak, sama sekali nggak. Ya kita mau cepet nikah aja, malah supaya nggak kecelakaan.” Candaku.
“Iya, gwe ngerti tapi
masak dua minggu lagi, emang kalian udah persiapan apa? Gwe ama Gio aja
setengah mati ribetnya nyiapin kawinan kemaren.. eh.. sumpah gwe masih
belum percaya ya Vi, awas ntar kalau lo ketahuan bo’ong”
Yee.. ini nikahan juga
bo’ongan kok.. “Terserah lo sama Gio deh mau dateng nggak.. eh udah ya,
gwe sama Rei mau fitting dulu. Belum selesei nih.”
“Vio..” aku memutuskan sambungan sebelum teriakan Naya menulikan telingaku.
“Naya ya?” tanya Rei.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum geli menjawabnya.
.
.
.
.
.
.
Postingan Rei yang
dikasih judul with my love Viona anjalina kamal mendapatkan reaksi
gila-gilaan. Banyak netizen yang berusaha menghubungiku. Sumpah aku
hampir gila menanggapinya. Gio juga berulangkali menghubungiku, dan
sampai saat ini dia masih nggak percaya.
Entah dia ada dibelahan bumi bagian mana, dia menelfonku jam sepuluh malam, tepat saat aku hampir tertidur.
“Apa kau sudah memikirkan ini?”
“Tentu.” Tentu saja, aku sudah memikirkannya matang-matang. Ini demi pak salim. Dan tujuh persen saham.
“Baru kemaren kau membentakku bahwa kau sama sekali nggak percaya yang namanya cinta..”
“Dan kau juga
memberitahuku bahwa nggak ada yang nggak mungkin kan di dunia ini?”
karna dia membalikkan kataku, kubalikkan juga perkataannya saat debat
kami beberapa waktu lalu.
“Iya.. emang gitu. Tapi,
dua minggu lagi kan itu apa nggak terlalu cepet?” yah.. dua minggu
memang terlalu cepat juga bagiku. Makin hari nafsu makanku makin
berkurang, setiap detiknya ketegangan selalu bertambah intensitasnya.
“Katanya suruh cepet nyusul, kalian gimana sih. Naya juga dari kemaren ribut terus nanyain kenapa aku nikah cepet.”
“Ya abis.. kalian tuh
bikin bulan madu kita nggak tenang tau nggak sih!! Gwe sama Naya jadi
bertanya-tanya. Kalian nggak keblabasan kan?”
“Nggak.. elo sama Naya
juga nanya itu mulu sih. Udah aku dah ngantuk banget, capek tau.” Aku
memutuskan sambungannya. Capek kali ditanya itu-itu mulu. Ditambah
netizen yang tanpa ampun mengirimiku pesan, email, dan sebagainya. Dan
bagaimana bisa mereka bergeraj begitu cepat. Ini hanya gara-gara sebuah
foto selfi. Foto itu sempat muncul di sebuah majalah bisnis, nggak
sampai jadi sampul atau, muncul di halaman utama sih.
Mungkin suatu saat aku
harus meminta maaf dan memberitahu Gio dan Naya tentang pernikahan ini.
Entah untuk beberapa tahun yang akan datang.
.
.
.
.
.
Tepat seminggu sebelum
hari H, aku dan Rei mengambil foto prawed. Kami pergi ke beberapa tempat
dalam sehari. Ke pantai dan puncak. Karna bukan hari libur, kami
beruntung lalu lintas tak terlalu padat dan bisa tiba tepat waktu. Rei
telah memesan beberapa gaun dari diana, entah ada berapa. Dan kami
berangkat dalam dua rombongan, ada team fotografer dan perias.
Puncak adalah tempat
pertama yang kami kunjungi, berlatar pepohonan dari hutan dan air terjun
kecil semuanya tampak sempurna. Begitu juga dengan Rei. Dia tampak
sempurna, terlalu sempurna untukku mungkin. Dalam beberapa sesi foto,
aku agak dimarahi fotografer, katanya pose-pose ku terlalu kaku. Well,
aku nggak terbiasa berdekatan dengan Rei, dan ini malah dilakukan di
depan banyak orang, aku tentu tak bisa seperti model-model itu.
“Santai saja Vio..”
bagaimana aku aku bisa tenang jika kita sedekat ini! Jarak kami hanya
beberapa mili dan bibir kami hampir bersentuhan.
“Mbak Viona natap matanya mas Rei dong..” perintah si fotografer.
Ergh... kenapa jadi
seribet ini sih mau nikah aja. Emang aku cuman siap badan aja, tapi kok
capek juga. Jantungku juga capek, dipacu berlebihan gara-gara
kejutan-kejutan yang diberikan Rei.
Aku menatap matanya, yang dalam dan hitam. Dia juga menatapku, itu yang bikin aku gugup. “oke.. satu..dua..yak..”
Begitulah, beberapa kali
ganti baju, dan instruksi-instruksi diberikan, terlebih padaku.
Akhirnya sesi di puncak usai, sudah tengah hari pula. Kami harus
emngejar waktu sampai ke pantai di sore hari dan mendapat sunset.
Mungkin akan makan waktu 3 sampai empat jam dari puncak. Uh.. itu akan
jadi perjalanan yang cukup melelahkan.
“Kau kedinginan?”
“Eh..” Rei menyampirkan
jasnya setelah usai pemotretan. Ya, hawa dipuncak cukup dingin, terlebih
semua pakaianku hampir-hampir terbuka semua. “terima kasih..”
Aku tertidur seelah satu
jam perjalanan dan sedikit terbangun karna hembusan nafas teratur yang
menerpa bagian atas kepalaku.. sepertinya dia juga tertidur, dan aku
bersandar di bahunya dengan lengannya melingkar di punggungku.
“Ergh..” aku menggeliat
memposisikan diriku secara nyaman di bahu Rei. Bau parfum Rei membuatku
rileks dan kembali ke alam bawah sadar.
“Sayang.. bangun, kita
sudah sampai..” sayang? Disinikan cuman ada mang jajang, ngapain mangil
sayang-sayangan. Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari sore
menyilaukan mataku. “kita harus segera bersiap.” Sekilas Rei mencium
keningku lalu melepas pelukannya dan keluar dari mobil. Sumpah ni orang
mulai nyeremin deh.
Aku menyesuaikan mataku
dengan suasana luar. Senja tampak indah di laut, warna orange
mendominasi langit dan berpadu denga warna biru dari laut. Sangat indah.
Kami istirahat sebentar sebelum pengambilan gambar.
Ada beberapa spot untuk
pengambilan gambar, di atas karang, di pasri pantai dan tentu saja di
laut. Uh.. lengket deh badanku kena air laut.
“Oke..finished!”
Oh.. akhirnya selesai juga. Dengan susah payah aku keluar dari air, ombak sudah semakin pasang. Tapi..
“Turunkan aku Rei!” desisku. Tanpa permisi Rei menggendongku.
“Tak apa, kau pasti lelah..”
Sebenarnya aku sedikit
malu, iyalah.. diliatin banyak orang. Memang mereka hanya memandang
sekilas. Rei tetap kekeh menggendongku hingga sampai di bibir pantai.
“Kita masih harus mengambil satu sesi foto lagi.” Ujar Rei. Satu lagi?
“Dimana?”
“Di studio kok, kita akan selesaikan hari ini juga.” Rei merangkulku menuju mobil. “maaf.. kau pasti lelah..”
“Tidak, aku sudah berniat dari awal. Jadi harus kujalani konsekwensinya.”
“Terima kasih Viona.. kau satu-satunya harapanku untuk membuat papa bahagia..”
Kalimat itulah yang hanya bisa mengunciku dalam perjanjian ini. Kebahagiaan papanya Rei.
.
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 19"
Post a Comment