Hopeless Part 19

Semenjak pembicaraan tentang pernikahanku beberapa waktu lalu, aku belum pernah ketemu lagi dengan Alex. Karena proposalnya sudah disetujui dan kunjungan juga sudah dilakukan, tinggal kuserahkan saja pada bawahan dan pihak produksi untuk mengurusnya lebih lanjut. Aku sudah cukup dipusingkan dengan urusan pernikahanku yang tinggal dua minggu lagi. Meski sudah diurus semuanya oleh Rei, bukan ding, tapi para asistennya tentu saja.
Sepertinya aku tegang. Dan stress.
Hari ini Rei kembali mengajakku fitting baju untuk terakhir kalinya. Ke tempat itu lagi. Aku jadi parno sejak pertama datang ke janice boutique. Ditambah waktu itu ada kejadian yang membuatku sangat bernapsu... bernapsu ngebunuh orang!!
Itu gara-gara bajingan satu itu, maen nyelonong nyium orang, padahal calon suaminya ada di sebrang ruangan. Untung nggak ada yang liat. Bisa mati aku kalau ketahuan. Dia benar-benar pria gila yang suka memaksakan kehendak.
“Kau sangat menawan Vio.” Rei kembali memujiku yang memakai gaun yang dipesannya. Dan kau juga ganteng pisan Raihan Al husain!! Dia mah udah dari sononya ganteng. Tapi sorry, gwe kagak cinta ame elu..
“Kau juga sangat kharismatik..” sekali-kali aku harus memujinya. Dipikir-pikir aku sepertinya belum pernah memuji Rei, cuman dalam hati saja mengaguminya, as a man who has good looking, no more.
Dan dia kali ini benar-benar kelihatan berkharisma, seperti layaknya pria lain dengan kemaskulinannya dalam balutana jas hitam. Sudah kubilang pria hanya membutuhkan sedikit sentuhan untuk terlihat keren, jas yang dipakai Rei jas hitam dengan sedikit modifikasi dan ornamen samar di pundaknya. Simple dan keren, juga maskulin tentunya.
Rei tersenyum lebar mendengar pujianku. Mungkin aku memang harus sering-sering memujinya agar dia terus tersenyum seperti itu.
Dia mengajakku selfie. Ya ampun.... katanya buat di sebarin di sosmed. Biar beritanya cepat tersebar.
“Kau punya sosmed kan? Posting apa saja agar mereka tak mencurigai pernikahan ini.” Pintanya.
Aku punya beberapa, instagram, facebook, twitter, linked-in,g+ dan lainnya. Cuman rada nggak keurus, mungkin hanya facebool, dan g+ nya aja yang kadang aku buka.
“Eh.. Rei, kita kan nggak berhubungan sama sekali di dunia maya?”
“Oh iya! Ya ampun, sekarang juga kita harus berteman di dunia maya.” Dengan cepat dia mengambil ponselnya. “apa dulu ya.. twitter. Id mu?”
“@VionaAK7.” Aku mengambil ponselku juga.
“instagrammu?”
“Sama @VionaAK7”
Begitulah. Dia terus menanyai semua akun sosial mediaku. Bukannya fitting baju malah asyik main sosmed. Padahal kami masih memakai baju pengantin.
“Udah semua? Oke, aku akan mengupload beberapa foto dan menandaimu. Kau kasih komen yang romantis dong..”
“Iya..iya..” kayak ABG banget siih si Rei. Nggak nyangka dia juga punya begitu banyak akun sosial media. Kukira dia anti sama yang begituan.
Ada panggilan dari Naya. “Hay nay..”
“Viona..!!!” lengkingan suaranya memekakan telingaku. “Itu foto apa-apaan. Kalian lagi bercanda kan?”
“Oh..itu.” aku melihat pada Rei. Dia juga sedang dihubungi seseorang. Gerak bibirnya mengatakan bahwa itu dari Gio. “Haha..” aku tertawa geli. “Itu beneran kok, katanya disuruh cepet nyusul. Ya ini mau nyusul kalian.”
“Edann!! Gila.. gila.. ah, jangan bercanda gitu dong..”
“Siapa yang bercanda. Ini serius, duarius juga boleh... haha.”
“Ya nyusul sih nyusul, tapi nggak secepet itu. Kapan kalian akan menikah?” sepertinya Naya sudah mulai percaya pada pernikahanku.
“Sekitar dua minggu lagi.”
“Apa..??!!” sekali lagi aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku. “Ah, kalian lagi berncanda ah..”
“Kau harus sudah pulang saat resepsiku nanti.”
“Lo kecelakaan ya Vi?? Gio udah cerita kalau kalian tinggal bareng..”
“Nggak, sama sekali nggak. Ya kita mau cepet nikah aja, malah supaya nggak kecelakaan.” Candaku.
“Iya, gwe ngerti tapi masak dua minggu lagi, emang kalian udah persiapan apa? Gwe ama Gio aja setengah mati ribetnya nyiapin kawinan kemaren.. eh.. sumpah gwe  masih belum percaya ya Vi, awas ntar kalau lo ketahuan bo’ong”
Yee.. ini nikahan juga bo’ongan kok.. “Terserah lo sama Gio deh mau dateng nggak.. eh udah ya, gwe sama Rei mau fitting dulu. Belum selesei nih.”
“Vio..” aku memutuskan sambungan sebelum teriakan Naya menulikan telingaku.
“Naya ya?” tanya Rei.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum geli menjawabnya.
.
.
.
Postingan Rei yang dikasih judul with my love Viona anjalina kamal mendapatkan reaksi gila-gilaan. Banyak netizen yang berusaha menghubungiku. Sumpah aku hampir gila menanggapinya. Gio juga berulangkali menghubungiku, dan sampai saat ini dia masih nggak percaya.
Entah dia ada dibelahan bumi bagian mana, dia menelfonku jam sepuluh malam, tepat saat aku hampir tertidur.
“Apa kau sudah memikirkan ini?”
“Tentu.” Tentu saja, aku sudah memikirkannya matang-matang. Ini demi pak salim. Dan tujuh persen saham.
“Baru kemaren kau membentakku bahwa kau sama sekali nggak percaya yang namanya cinta..”
“Dan kau juga memberitahuku bahwa nggak ada yang nggak mungkin kan di dunia ini?” karna dia membalikkan kataku, kubalikkan juga perkataannya saat debat kami beberapa waktu lalu.
“Iya.. emang gitu. Tapi, dua minggu lagi kan itu apa nggak terlalu cepet?” yah.. dua minggu memang terlalu cepat juga bagiku. Makin hari nafsu makanku makin berkurang, setiap detiknya ketegangan selalu bertambah intensitasnya.
“Katanya suruh cepet nyusul, kalian gimana sih. Naya juga dari kemaren ribut terus nanyain kenapa aku nikah cepet.”
“Ya abis.. kalian tuh bikin bulan madu kita nggak tenang tau nggak sih!! Gwe sama Naya jadi bertanya-tanya. Kalian nggak keblabasan kan?”
“Nggak.. elo sama Naya juga nanya itu mulu sih. Udah aku dah ngantuk banget, capek tau.” Aku memutuskan sambungannya. Capek kali ditanya itu-itu mulu. Ditambah netizen yang tanpa ampun mengirimiku pesan, email, dan sebagainya. Dan bagaimana bisa mereka bergeraj begitu cepat. Ini hanya gara-gara sebuah foto selfi. Foto itu sempat muncul di sebuah majalah bisnis, nggak sampai jadi sampul atau, muncul di halaman utama sih.
Mungkin suatu saat aku harus meminta maaf dan memberitahu Gio dan Naya tentang pernikahan ini. Entah untuk beberapa tahun yang akan datang.
.
.
.
Tepat seminggu sebelum hari H, aku dan Rei mengambil foto prawed. Kami pergi ke beberapa tempat dalam sehari. Ke pantai dan puncak. Karna bukan hari libur, kami beruntung lalu lintas tak terlalu padat dan bisa tiba tepat waktu. Rei telah memesan beberapa gaun dari diana, entah ada berapa. Dan kami berangkat dalam dua rombongan, ada team fotografer dan perias.
Puncak adalah tempat pertama yang kami kunjungi, berlatar pepohonan dari hutan dan air terjun kecil semuanya tampak sempurna. Begitu juga dengan Rei. Dia tampak sempurna, terlalu sempurna untukku mungkin. Dalam beberapa sesi foto, aku agak dimarahi fotografer, katanya pose-pose ku terlalu kaku. Well, aku nggak terbiasa berdekatan dengan Rei, dan ini malah dilakukan di depan banyak orang, aku tentu tak bisa seperti model-model itu.
“Santai saja Vio..” bagaimana aku aku bisa tenang jika kita sedekat ini! Jarak kami hanya beberapa mili dan bibir kami hampir bersentuhan.
“Mbak Viona natap matanya mas Rei dong..” perintah si fotografer.
Ergh... kenapa jadi seribet ini sih mau nikah aja. Emang aku cuman siap badan aja, tapi kok capek juga. Jantungku juga capek, dipacu berlebihan gara-gara kejutan-kejutan yang diberikan Rei.
Aku menatap matanya, yang dalam dan hitam. Dia juga menatapku, itu yang bikin aku gugup. “oke.. satu..dua..yak..”
Begitulah, beberapa kali ganti baju, dan instruksi-instruksi diberikan, terlebih padaku. Akhirnya sesi di puncak usai, sudah tengah hari pula. Kami harus emngejar waktu sampai ke pantai di sore hari dan mendapat sunset. Mungkin akan makan waktu 3 sampai empat jam dari puncak. Uh.. itu akan jadi perjalanan yang cukup melelahkan.
“Kau kedinginan?”
“Eh..” Rei menyampirkan jasnya setelah usai pemotretan. Ya, hawa dipuncak cukup dingin, terlebih semua pakaianku hampir-hampir terbuka semua. “terima kasih..”
Aku tertidur seelah satu jam perjalanan dan sedikit terbangun karna hembusan nafas teratur yang menerpa bagian atas kepalaku.. sepertinya dia juga tertidur, dan aku bersandar di bahunya dengan lengannya melingkar di punggungku.
“Ergh..” aku menggeliat memposisikan diriku secara nyaman di bahu Rei. Bau parfum Rei membuatku rileks dan kembali ke alam bawah sadar.
“Sayang.. bangun, kita sudah sampai..” sayang? Disinikan cuman ada mang jajang, ngapain mangil sayang-sayangan. Aku membuka mataku perlahan, sinar matahari sore menyilaukan mataku. “kita harus segera bersiap.” Sekilas Rei mencium keningku lalu melepas pelukannya dan keluar dari mobil. Sumpah ni orang mulai nyeremin deh.
Aku menyesuaikan mataku dengan suasana luar. Senja tampak indah di laut, warna orange mendominasi langit dan berpadu denga warna biru dari laut. Sangat indah. Kami istirahat sebentar sebelum pengambilan gambar.
Ada beberapa spot untuk pengambilan gambar, di atas karang, di pasri pantai dan tentu saja di laut. Uh.. lengket deh badanku kena air laut.
“Oke..finished!”
Oh.. akhirnya selesai juga. Dengan susah payah aku keluar dari air, ombak sudah semakin pasang. Tapi..
“Turunkan aku Rei!” desisku. Tanpa permisi Rei menggendongku.
“Tak apa, kau pasti lelah..”
Sebenarnya aku sedikit malu, iyalah.. diliatin banyak orang. Memang mereka hanya memandang sekilas. Rei tetap kekeh menggendongku hingga sampai di bibir pantai.
“Kita masih harus mengambil satu sesi foto lagi.” Ujar Rei. Satu lagi?
“Dimana?”
“Di studio kok, kita akan selesaikan hari ini juga.” Rei merangkulku menuju mobil. “maaf.. kau pasti lelah..”
“Tidak, aku sudah berniat dari awal. Jadi harus kujalani konsekwensinya.”
“Terima kasih Viona.. kau satu-satunya harapanku untuk membuat papa bahagia..”
Kalimat itulah yang hanya bisa mengunciku dalam perjanjian ini. Kebahagiaan papanya Rei.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 19"

Post a Comment