Hopeless Part 63

.
Alex mengantarku pulang setelah aku agak tenang. Pulang? Entah apa aku harus menganggap ini adalah rumah. Justru Alex yang tadi bersikeras bahwa aku harus pulang, dan membicarakan ini baik-baik dengan Rei. Dua kali ia menyadarkanku akan statusku sekarang ini yang telah berubah. Aku adalah seorang ibu, dan Rei adalah ayah dari anak yang kukandung. Itulah katanya, membuat hatiku teriris.
"Sayang kau darimana saja..? Aku menjemputmu di kantor Naya api Naya bilang kau telah pergi." suara Rei yang muncul dari lorong dapur membuatku berjengit. Ada nada khawatir yang kentara dari suaranya.
"A..aku tadi tidak enak badan dan pergi ke dokter. Maaf.." entah kenapa aku merasa gugup sekarang.
"Kau sakit? Kenapa tak menghubungiku?" Rei mendekat dan meraihku. Seketika tubuhku kaku. "Sayang, kau kenapa?" Rei tau tubuhku menegang.
"Em.. tidak, aku hanya sedikit lelah. Aku akan ke atas dan beristirahat." Jemari Rei yang tersimpul di pinggangku kulerai.
"Kau butuh sesuatu? Biar kubuatkan."
Aku menggeleng lemah. "Aku sudah makan, hanya istirahat dan akan jadi baik nanti."
"Baik, segeralah ke atas. Atau kau mau kugendong?" Alis Rei bergerak menggoda lengkap dengan seringainya. Aku reflek mundur selangkah.
"Tidak! Jangan.." wajah Rei berubah drastis meliaht reaksiku, keningnya berkerut heran.
"Viona kau kenapa?" kekhawatiran kembali bercampur pada suaranya.
"Tidak. Aku tak apa. Jangan khawatir Rei aku hanya lelah." senyum kaku kupaksakann agar Rei tak terlalu curiga denganku. Aku belum siap menghadapi kenyataan, meski aku tau akan segera berhadapan dengan itu.. cepat atau lambat..
Cahaya jingga yang menelisik melewati celah-celah gorden kamar, sudah saatnya matahari terbunuh untuk kesekian kalinya tiap hari. Mataku terpejam menghalangi sinar nan menusuk itu, sekaligus meredam dentam sialan yang mengguncang seluruh kepalaku.
Apa yang akan kulakukan jika dokter itu mengatakan yang sebenarnya? Kalau Rei benar-benar telah menipuku secara mentah-mentah. Apa yang akan terjadi pada bayi ini? Secara tak sadar aku membelai perutku dengan lembut.
Apa yang akan terjadi padamu?
.
.
.
Entah aku terbangun jam berapa, tapi kamar sudah dalam keadaan gelap. Hanya lampu tidur yang menyala redup yang menjadi sumber pencahayaan. Aku beringsut ingin turun dari ranjang tapi gerakanku terhambat sebuah lengan hangat yang menegang tak membiarkanku lolos dari lilitannya.
"Mau kemana?" Sepertinya Rei sudah tertidur cukup lama menilik suaranya yang serak.
"Turun, aku haus." Aku melepas lengannya yang masih melingkat di perutku.
"Biar kuambilkan, kau berbaring saja." Ia mengecup keningku sebelum turun dari ranjang. Sikap hangat yang semakin membuat hatiku mencelos. Apakah dia tidak memikirkan perasaanku, setiap detik yang kami habiskan bersama adalah.. sebuah tipu muslihat. Aku terlalu terlena dengan pa yang dia beri hingga tak sadar sedang berjalan di atas duri.
"Em.. bolehkah aku bertanya sesuatu Rei?" aku menyerahkan gelas berisi air mineral yang tinggal setegah.
"Kenapa kau harus meminta ijin?" Rei tersenyum namun dahinya berkerut. "Aku akan menjawab semua yang ingin kau tanyakan. Sesulit apapun aku pasti akan menjawabnya, mungkin juga aku harus browsing dulu jika tak tau jawabannya."
"Ini tentang papa.." hanya sedetik. Ya, aku bisa melihat air mukanya yang tegang lalu kembali rileks dengan cepat.
"Ada apa dengan papa?"
"Apa.. dia baik-baik saja? Sudah lama aku tak mendengar kabarnya." Bahkan sejak awal aku tak tau keadaan aslinya. Dengan bodohnya aku menerima pernikahan kontrak ini tanpa menyelidinya lebih dulu.
Rei tampak sedang berfikir. Huh, apa dia sedang merangkai cerita menyedihkan lainnya? Apa kegilaannya selama ini tidak cukup? "Papa masih menjalani perawatannya. Jangan terlalu mengkhawatirkan papa.. dia kuat." Dua kata terakhirnya diucapkan dengan lamat-lamat. Tentu saja Rei, apa yang perlu dikhawatirkan dengan orang seperti papa? Dokter saja menertawaiku hari ini. "Sekarang tidurlah kembali, ini masih dini hari." Rei kembali berbaring di sampingku dengan aku memunggunginya.
"Vio.. kau kenapa?" Rei memelukku dari belakang seperti biasanya, namun kali ini membuatku berjengit, bahkan terlalu kuat. "Ada apa denganmu?" Rei mengeratkan pelukannya.
"Ti..tidak." berusaha sekuat tenaga untuk rileks dan mengatur nafas. Ini terlalu menyakitkan, kenapa harus Rei.. kenapa dia tak jujur dari awal.. apa dia tak tulus mencintaiku? Apa dia hanya ingin memiliki tubuhku saja? Tapi kenapa sikapnya begitu lembut...
Rei mencium puncak kepalaku dan membelai rambutku dengan halus. Dan saat itulah setitik air mata lolos. Kenapa kau Rei..
.
.
.
Jadi begini rasanya morning sick? Mending uga morning sex. Ah blokir pikiran kotormu itu Viona! Ya Tuhan... ini bahkan lebih parah dari mual saat magh. Aku bahkan sudah tak sanggup berdiri menghadap wastafel, jadi aku berjongkok menghadap lubang toilet. Memuntahkan apapun yang ada dalam perutku, mulutku jadi terasa pahit minta ampun. Rei dengan sigap memegang helaian rambutku yang menutupi wajah sementara tangan satunya lagi digunakan untuk memijat tengkukku. Ia sudah rapi dengan setelannya namun masih membantuku. Sungguh aku ingin segera berhenti memuntahkan semua cairan ini dan menghentikan sikap lembut Rei padaku.
"Sudah. Aku tidak papa."
"Apa kau sedang.." Rei tampak ragu akan pertanyaannya.
"Tidak, hanya magh ku kambuh kata dokter. Tak perlu khawatir" Jangan khawatir seperti kau tidak mengkhawatirkan papamu. Aku tau sebenarnya apa yang ingin Rei tanyakan, dan aku terpaksa membohonginya. Aku belum yakin untuk memberitahunya tentang hal ini, tidak sebelum aku yakin apa yang dia mau. Mungkin saja Rei tak menginginkan bayi ini, jika begitu maka..
"Pagi ini aku harus pergi Viona, apa kau tak apa kutinggal sendiri di rumah dua hari ini?" Huh? Mendadak sekali.
"Kemana?"
"Surabaya. Papa menghubungiku kemarin dan untuk menggantikannya karna beliau sakit." Sakit? Yang benar saja.. apa kankernya kambuh? Terakhir aku bertanya seperti dan aku yakin dokter itu menganggapku sangat menggelikan.
"Tak apa, ada mbak Nina di rumah."
Rei mengusap pelipisku. "Aku janji akan pulang secepatnya. Mau kubawakan sesuatu?" Aku menggeleng lemah. "Tidurlah lagi kalau kau masih pusing, kau terlihat seperti mayat hidup. Pucat dan tak berjiwa." Aku memang seperti itu, jiwaku hilang entah kemana. "Hubungi aku segera jika terjadi sesuatu." Tidak akan. "Bagus." Ia memujiku atas anggukan yang kuberikan.
Rei mencium keningku sedikit lebih lama dari biasanya sebelum menghilang di balik pintu kamar. Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku tak harus menghadapinya dua hari ini. Dan aku bisa berpikir sembari mencari tau tentang Rei. Aku butuh berpikir jernih, dan dekat dengan Rei sangat mustahil untuk melakukan itu. Lagipula ada yang harus aku lakukan hari ini tanpa sepengetahuan Rei, kepergiannya sungguh membuatku bisa bernafas sedikit lega.
"Hallo..?" ada jawaban dari orang dengan nomor yang baru saja ku dial. Entah bagaimana, saat ini hanya ia yang benar-benar bisa kupercaya.
"Hei.. bisakah kau membantuku?"
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 63"

Post a Comment