Hopeless Part 61


"Aku akan membawa Ben sendiri, pagi ini aku harus bertemu dengan Naya." Aku memberesi kotak isi sandwich ku ke dalam tas. Sandwich ini bukan untuk makan siang, melainkan sarapanku.
"Memang Naya ngidam pengen ketemu kamu?" Rei masih bersantai dengan piyamanya beserta secangkir kopi hitam dalam genggamannya. Cih.. mentang-mentang bos bisa seenaknya mau berangkat jam berapapun. Atau malah tak berangkat sekalipun siapa yang mau menegur? Sedang aku? Meski gajiku tak seberapa dibanding apa yang Rei berikan tapi aku suka pekerjaanku, dan bersifat profesional seperti sudah menjadi keharusan bagiku.
"Nggak, aku ada proyek dengannya." Rei mungkin curiga karna beberapa hari yang memang Naya sempat minta untuk ditemani seharian pergi ke pusat perbelanjaan dan beberapa tempat makan hanya denganku. Dan itu sampai malam hingga aku dan Rei tak sempat 'lembur'. Hal itu membuat Rei uring-uringan dan menagih padaku di pagi hari, membuatku terlambat hampir satu jam.
"Sayang, kalau kau tak segera memakai blazermu, kita akan ada ronde baru.." aku melotot padanya, mencebik. Apa dia sudah gila? Kurang waras? Tiga kali semalam ditambah morning sex yang selalu dia tagih dan sekarang dia masih merasa belum cukup? "Oke..oke.." Rei mengangkat kedua tangannya, menyerah dan membiarkanku kembali berkutat dengan beberapa barang yang kumasukkan ke dalam tas. Berkas, ponsel, disk, tas make up, dompet.. apa? Apa lagi yang kurang? Aku memeriksa nakas dan meja rias. Sepertinya sudah semua.
"Aku pergi dulu.." kecupan singkat kudaratkat di bibir Rei setelah aku berhasil menutupi kemeja putih tanpa lengan yang kupakai dengan blazer cokelat tua, warna yang senada rok pensil yang kupakai.
"Jangan lebih dari 100 Viona.." Tidak ada kalimat lainkah selain itu. Kenapa Ben tidak boleh kubawa dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam, itu kan termasuk mobil sport.
"Yes sir." Jawabku sambil menggerutu. Setelah itu aku langsung melesat turun ke bawah. Kalau dipikir-pikir lucu juga, biasanya suami yang berpamitan pada istri saat mereka berangkat kerja. Berbanding terbalik dengan diriku. Rei masih leha-leha menikmati kopi panasnya sambil menyaring berita harian di pad nya, sedangkan aku diburu waktu untuk pekerjaan yang sangat aku muliakan. Yah, semua memang gara-gara proyekku kemarin. Aku harus bekerja ekstra untuk tiga bulan ini supaya proyek berjalan sempurna.
Lalu lintas pagi ini tidak padat. Aku cukup beruntung rupanya, tidak ada antrean panjang di lampu merah. Tapi itu hanya memberiku sedikit waktu untuk menghabiskan sarapanku. Sandwich tuna buatan mbak Nina, pembantu baru untuk sementara waktu karna bibi Ama masih menemani Ayah.
Lumayan enak dan agak..
DINN DINN..
Oh shit! Sarapanku! Roti isiku terjatuh karna kekagetanku. Aku menengok ke belakang sudah ada beberapa mobil yang terlihat tidak sabar ingin melaju. Aku kembali menatap ke depan dan merasa bodoh. Ya ampun.. ternyata antrian kendaraan di depanku sudah lenyap karna lampu merah telah beralih ke hijau. What a stupid you are Viona..
.
.
.
"Kau terlihat pucat Viona." Naya yang sedari tadi menjabarkan rencana kerjanya pada Viona baru menyadari bahwa wajah rekan bisnis sekaligus sahabatnya itu terlihat sayu.
"Benarkah? Apa karna make up ku kurang? Aku harus terburu pagi ini hingga tak bisa memperhatikan penampilan. Aku bahkan belum sarapan." Aku Viona. Demi image kerjanya yang sempurna ia melupakan penampilan serta sarapannya. Sebenarnya ia telah membawa sarapannya, namun sialnya Viona menjatuhkan sandwich tunanya saat berkendara.
"Ya Tuhan, bagaimana kau bisa melupakan sarapanmu?" pekik Naya. "Ayo kita cari makan, ini bahkan sudah jam 1 lebih." Naya memberesi berkas serta komputer jinjingnya.
"Maaf Nay, aku sudah aja janji dengan Rei siang ini. Dia sepertinya sudah menungguku di bawah." Rei telah berjanji untuk membawa Viona makan siang bersama dengannya.
"Oh.. kalian benar-benar manis. Kalau begitu aku akan mengajak Gio, kau bisa mengijinkannya keluar untuk satu jam kan?" Naya meminta dengan bersemangat, tak ada yang bisa menolak mata puppynya saat merajuk sesuatu.
"Tentu saja. Kalaupun tidak mungkin kau akan membatalkan iklan ini." Canda Viona diiringi gelak tawa mereka kemudian. "Aku duluan ya Nay. Have fun.."
"Selamat bersenang-senang juga Vi!" Naya melambaikan tangannya pada Viona yang sudak semakin menjauh menghilang di balik tikungan lorong menuju lift yang akan mengantarkannya ke basement parkir.
Viona memeriksa pantulan wajah dirinya yang ada di pintu lift. Ia tak begitu jelas dengan air mukanya, namun ia bisa melihat pada kedua bola matanya yang tampak sayu. Juga sebenarnya perutnya yang sedari tadi protes meminta jatahnya.
"Argh.." Viona memegangi perutnya yang tiba-tiba melilit tak tertahankan. "Ya Tuhan.." salah satu tangannya bertopang pada dinding lift agar ia tak jatuh. Namun sepertinya itu sia-sia karna rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan, seperti ada tali tak terlihat yang mengikat perutnya yang semakin lama semakin mengencang. Apa maghnya kambuh? Ia akhirnya tersungkur bersamaan bunyi lift yang menandakan ruang pengantar itu berhenti.
Sebelum gelap benar-benar menelan dirinya, Viona mendengar seseorang meneriakkan namanya, dengan nada terkejut dan khawatir.
.
.
.
Viona mendengar suara seorang pria yang tampak bersemangat menjelaskan sesuatu. Bau khas antiseptik juga menyapa hidungnya. Dengan amat perlahan ia membuka kelopak matanya, menemukan dua siluat pria tak jauh darinya. Salah satunya berdehem mengetahui Viona telah sadar.
"Nyonya sudah sadar?" pria berjas putih itu segera mendekatinya. Melakukan beberapa pemeriksaan, sementara pria satunya lagi hanya berdiri tertegun tak jauh dari ranjang.
"Apa anda melewatkan sarapan pagi anda? Itu sangat tidak bijak mengingat ada janin yang sedang tumbuh di dalam perut anda."
Viona teringat akan sandwich tunanya yang jatuh dan menggagalkan sarapannya. Apa maghnya kambuh? Tapi dokter tadi bilang apa? Janin? Viona butuh beberapa saat untuk mencerna perkataan dokter paruh baya di depannya. Dan seketika ia terlonjak bangun ketika menyadari betul kalimat sang dokter. "Maaf? Saya hamil?" Viona meminta konfirmasi atas apa yang didengarnya.
"Jadi kalian belum tau? Kalau begitu selamat.." dokter itu menyalami Viona. "Kalian akan menjadi seorang ibu dan ayah.." lagi-lagi pernyataan dokter berhasil membuat mata Viona terbelalak, mulutnya susah untuk sekedar mengucap sepatah kata. Yang ia tau, kini ada sesuatu, sesatu yang hidup di dalam dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa hangat dan ia merasa ada cinta tumbuh dalam dirinya. Dengan lembut ia menyapukan telapak tangannya ke arah perutnya yang masih rata.
Berbeda denga pria yang masih berdiri kaku dekat meja dokter. Geraham pria tersebut saling beradu, bergelutuk menahan emosi. Ada aura ketegangan yang tampak jelas menguar dari pria bermata cokelat itu, mata yang indah yang dipenuhi rasa kecewa.. dan kekalahan.
Viona yang semula tak menyadari betul kehadiran orang lain di ruangan serba putih itu langsung menjatuhkan pandangannya pada sosok yang penuh dengan aura gelap. Ia menggigit bibir melihat reaksi yang dikeluarkan pria itu saat mendengar bahwa dirinya hamil. Mata mereka saling bertemu dan terikat beberapa saat setelah sang pria membuang pandangannya ke arah lain.
"Dia bukan istriku.."
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 61"

Post a Comment