"Aku akan membawa Ben sendiri, pagi ini aku harus bertemu dengan Naya." Aku memberesi kotak isi sandwich ku ke dalam tas. Sandwich ini bukan untuk makan siang, melainkan sarapanku.
"Memang Naya ngidam
pengen ketemu kamu?" Rei masih bersantai dengan piyamanya beserta
secangkir kopi hitam dalam genggamannya. Cih.. mentang-mentang bos bisa
seenaknya mau berangkat jam berapapun. Atau malah tak berangkat
sekalipun siapa yang mau menegur? Sedang aku? Meski gajiku tak seberapa
dibanding apa yang Rei berikan tapi aku suka pekerjaanku, dan bersifat
profesional seperti sudah menjadi keharusan bagiku.
"Nggak, aku ada proyek
dengannya." Rei mungkin curiga karna beberapa hari yang memang Naya
sempat minta untuk ditemani seharian pergi ke pusat perbelanjaan dan
beberapa tempat makan hanya denganku. Dan itu sampai malam hingga aku
dan Rei tak sempat 'lembur'. Hal itu membuat Rei uring-uringan dan
menagih padaku di pagi hari, membuatku terlambat hampir satu jam.
"Sayang, kalau kau tak
segera memakai blazermu, kita akan ada ronde baru.." aku melotot
padanya, mencebik. Apa dia sudah gila? Kurang waras? Tiga kali semalam
ditambah morning sex yang selalu dia tagih dan sekarang dia masih merasa
belum cukup? "Oke..oke.." Rei mengangkat kedua tangannya, menyerah dan
membiarkanku kembali berkutat dengan beberapa barang yang kumasukkan ke
dalam tas. Berkas, ponsel, disk, tas make up, dompet.. apa? Apa lagi
yang kurang? Aku memeriksa nakas dan meja rias. Sepertinya sudah semua.
"Aku pergi dulu.."
kecupan singkat kudaratkat di bibir Rei setelah aku berhasil menutupi
kemeja putih tanpa lengan yang kupakai dengan blazer cokelat tua, warna
yang senada rok pensil yang kupakai.
"Jangan lebih dari 100
Viona.." Tidak ada kalimat lainkah selain itu. Kenapa Ben tidak boleh
kubawa dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam, itu kan termasuk mobil
sport.
"Yes sir." Jawabku
sambil menggerutu. Setelah itu aku langsung melesat turun ke bawah.
Kalau dipikir-pikir lucu juga, biasanya suami yang berpamitan pada istri
saat mereka berangkat kerja. Berbanding terbalik dengan diriku. Rei
masih leha-leha menikmati kopi panasnya sambil menyaring berita harian
di pad nya, sedangkan aku diburu waktu untuk pekerjaan yang sangat aku
muliakan. Yah, semua memang gara-gara proyekku kemarin. Aku harus
bekerja ekstra untuk tiga bulan ini supaya proyek berjalan sempurna.
Lalu lintas pagi ini
tidak padat. Aku cukup beruntung rupanya, tidak ada antrean panjang di
lampu merah. Tapi itu hanya memberiku sedikit waktu untuk menghabiskan
sarapanku. Sandwich tuna buatan mbak Nina, pembantu baru untuk sementara
waktu karna bibi Ama masih menemani Ayah.
Lumayan enak dan agak..
DINN DINN..
Oh shit! Sarapanku! Roti
isiku terjatuh karna kekagetanku. Aku menengok ke belakang sudah ada
beberapa mobil yang terlihat tidak sabar ingin melaju. Aku kembali
menatap ke depan dan merasa bodoh. Ya ampun.. ternyata antrian kendaraan
di depanku sudah lenyap karna lampu merah telah beralih ke hijau. What a
stupid you are Viona..
.
.
.
"Kau terlihat pucat Viona." Naya yang sedari tadi menjabarkan rencana kerjanya pada Viona baru menyadari bahwa wajah rekan bisnis sekaligus sahabatnya itu terlihat sayu.
.
.
.
"Kau terlihat pucat Viona." Naya yang sedari tadi menjabarkan rencana kerjanya pada Viona baru menyadari bahwa wajah rekan bisnis sekaligus sahabatnya itu terlihat sayu.
"Benarkah? Apa karna
make up ku kurang? Aku harus terburu pagi ini hingga tak bisa
memperhatikan penampilan. Aku bahkan belum sarapan." Aku Viona. Demi
image kerjanya yang sempurna ia melupakan penampilan serta sarapannya.
Sebenarnya ia telah membawa sarapannya, namun sialnya Viona menjatuhkan
sandwich tunanya saat berkendara.
"Ya Tuhan, bagaimana kau
bisa melupakan sarapanmu?" pekik Naya. "Ayo kita cari makan, ini bahkan
sudah jam 1 lebih." Naya memberesi berkas serta komputer jinjingnya.
"Maaf Nay, aku sudah aja
janji dengan Rei siang ini. Dia sepertinya sudah menungguku di bawah."
Rei telah berjanji untuk membawa Viona makan siang bersama dengannya.
"Oh.. kalian benar-benar
manis. Kalau begitu aku akan mengajak Gio, kau bisa mengijinkannya
keluar untuk satu jam kan?" Naya meminta dengan bersemangat, tak ada
yang bisa menolak mata puppynya saat merajuk sesuatu.
"Tentu saja. Kalaupun
tidak mungkin kau akan membatalkan iklan ini." Canda Viona diiringi
gelak tawa mereka kemudian. "Aku duluan ya Nay. Have fun.."
"Selamat
bersenang-senang juga Vi!" Naya melambaikan tangannya pada Viona yang
sudak semakin menjauh menghilang di balik tikungan lorong menuju lift
yang akan mengantarkannya ke basement parkir.
Viona memeriksa pantulan
wajah dirinya yang ada di pintu lift. Ia tak begitu jelas dengan air
mukanya, namun ia bisa melihat pada kedua bola matanya yang tampak sayu.
Juga sebenarnya perutnya yang sedari tadi protes meminta jatahnya.
"Argh.." Viona memegangi
perutnya yang tiba-tiba melilit tak tertahankan. "Ya Tuhan.." salah
satu tangannya bertopang pada dinding lift agar ia tak jatuh. Namun
sepertinya itu sia-sia karna rasa sakit di perutnya semakin tak
tertahankan, seperti ada tali tak terlihat yang mengikat perutnya yang
semakin lama semakin mengencang. Apa maghnya kambuh? Ia akhirnya
tersungkur bersamaan bunyi lift yang menandakan ruang pengantar itu
berhenti.
Sebelum gelap benar-benar menelan dirinya, Viona mendengar seseorang meneriakkan namanya, dengan nada terkejut dan khawatir.
.
.
.
Viona mendengar suara seorang pria yang tampak bersemangat menjelaskan sesuatu. Bau khas antiseptik juga menyapa hidungnya. Dengan amat perlahan ia membuka kelopak matanya, menemukan dua siluat pria tak jauh darinya. Salah satunya berdehem mengetahui Viona telah sadar.
.
.
.
Viona mendengar suara seorang pria yang tampak bersemangat menjelaskan sesuatu. Bau khas antiseptik juga menyapa hidungnya. Dengan amat perlahan ia membuka kelopak matanya, menemukan dua siluat pria tak jauh darinya. Salah satunya berdehem mengetahui Viona telah sadar.
"Nyonya sudah sadar?"
pria berjas putih itu segera mendekatinya. Melakukan beberapa
pemeriksaan, sementara pria satunya lagi hanya berdiri tertegun tak jauh
dari ranjang.
"Apa anda melewatkan sarapan pagi anda? Itu sangat tidak bijak mengingat ada janin yang sedang tumbuh di dalam perut anda."
Viona teringat akan
sandwich tunanya yang jatuh dan menggagalkan sarapannya. Apa maghnya
kambuh? Tapi dokter tadi bilang apa? Janin? Viona butuh beberapa saat
untuk mencerna perkataan dokter paruh baya di depannya. Dan seketika ia
terlonjak bangun ketika menyadari betul kalimat sang dokter. "Maaf? Saya
hamil?" Viona meminta konfirmasi atas apa yang didengarnya.
"Jadi kalian belum tau?
Kalau begitu selamat.." dokter itu menyalami Viona. "Kalian akan menjadi
seorang ibu dan ayah.." lagi-lagi pernyataan dokter berhasil membuat
mata Viona terbelalak, mulutnya susah untuk sekedar mengucap sepatah
kata. Yang ia tau, kini ada sesuatu, sesatu yang hidup di dalam dirinya.
Sesuatu yang membuatnya merasa hangat dan ia merasa ada cinta tumbuh
dalam dirinya. Dengan lembut ia menyapukan telapak tangannya ke arah
perutnya yang masih rata.
Berbeda denga pria yang
masih berdiri kaku dekat meja dokter. Geraham pria tersebut saling
beradu, bergelutuk menahan emosi. Ada aura ketegangan yang tampak jelas
menguar dari pria bermata cokelat itu, mata yang indah yang dipenuhi
rasa kecewa.. dan kekalahan.
Viona yang semula tak
menyadari betul kehadiran orang lain di ruangan serba putih itu langsung
menjatuhkan pandangannya pada sosok yang penuh dengan aura gelap. Ia
menggigit bibir melihat reaksi yang dikeluarkan pria itu saat mendengar
bahwa dirinya hamil. Mata mereka saling bertemu dan terikat beberapa
saat setelah sang pria membuang pandangannya ke arah lain.
"Dia bukan istriku.."
.
.
.
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 61"
Post a Comment