“Good morning..” sapaan serak khas bangun tidur dari Rei menggelitik telingaku. Seperti biasa dia memelukku dengan posesif dari belakang, memberiku kehangatan dengan lengan-lengannya. Kulit kami saling menempel.
“Morn..” tunggu kulit?
Saling menempel? Aku mengintip tubuhku yang ada di balik selimut.
Berkedip dua kali sebelum sadar akan apa yang terjadi. Berteriak? Tidak,
bukan pilihan bagus. Ini bukan sinetron atau ftv atau sejenisnya.
Aku berbalik dan
memicingkan mata padanya. “Mati kau Rei!” bantal di bawah kepalanya
kuambil paksa hingga kepalanya tersentak, lalu bantal itu kugunakan
untuk membekap kepala bodohnya. “Dasar bodoh! Apa yang telah kau lakukan
ha??!! Bukannya kita udah sepakat untuk hal ini??!” aku tak main-main
untuk membunuhnya. Dasar bodoh! Bodoh! Bodoh!
Kedua tangan Rei
menggapai-gapai untuk melepaskan diri. Dan salah satunya berhasil
mencengkeram lenganku melepaskan bantal dari wajahnya dan membuangnya di
lantai. Dengan tenaga laki-lakinya dia dengan mudah membalik keadaan.
Sial! Kini aku yang ada di bawah kurungannya.
“Kau lagi-lagi coba
membunuhku ya?!” tangan besarnya memerangkap kedua tanganku di atas
kepala. Hey!! Seharusnya aku yang marah. Tapi kenapa wajah Rei keliatan
kesiksa gitu? “ Berterima kasihlah pada meetingku pagi ini, karna kalau
tidak aku pasti sudah melahapmu bulat-bulat.” Setelah menyemburkan
kata-kata, Rei melepas cengkramanku dan berlalu ke kamar mandi dengan
santai meski tak ada sehelai benangpun menutupi ketelanjangannya.
Walau sekilas, aku
sempat melihat tubuh bagiana bawahnya yang tegang. Oh MG!!!!!! Mukaku
pasti langsung terbakar. Sebaiknya cepat menyingkirkan gambar barusan,
tidak baik bagi otak dan jiwaku. Pagi gila! Apa yang sebenarnya
terjadi?? Apa.. apa kami telah melakukan ‘itu’? “Aa.. itu tidak
mungkin..”
Aku mencoba untuk
berdiri dan berjalan perlahan. Tidak sakit. Sedikit lari di tempat.
Tidak juga. Melompat-lompat. Tidak merasa apapun. Apa aku perlu kayang?
Tidak! Kurasa tak perlu melakukan yang satu itu dengan tubuh yang
telanjang dan hanya tertutup selimut. Menari hula-hula mungkin? Tidak!
Hentikan otak bodoh!
Semalam aku pergi ke
pesta dengan Rei. Lalu dia ketemu ex-nya terus melupakanku. Dasar
sialan. Setelah itu liat Alex sama adiknya, atau siapanya? Entah. Dia
juga nyuekin aku. Aku kayak orang salah masuk habitat semalam. Nggak ada
yang kenal atau mau kenal. Whatever. Yang perlu diingat adalah setelah
itu aku..
“MINUMAN SIALANN!!”
.
.
.
Makan pagi kami diselimuti keheningan serta pertarungan mata dariku dan Rei. Kalau kami punya mata laser mungkin dapur sudah luluh lantak tak bersisa. Rei bahkan sengaja mendentingkan peralatan makannya dengan keras, memotong dengan kasar omletnya. Memang omletku segitu kerasnya sampe pake tenaga gitu motongnya!
.
.
.
Makan pagi kami diselimuti keheningan serta pertarungan mata dariku dan Rei. Kalau kami punya mata laser mungkin dapur sudah luluh lantak tak bersisa. Rei bahkan sengaja mendentingkan peralatan makannya dengan keras, memotong dengan kasar omletnya. Memang omletku segitu kerasnya sampe pake tenaga gitu motongnya!
Setelah semua kesengitan
itu, Rei langsung meninggalkan dapur tanpa pamit atau apapun.
Meninggalkanku sendiri yang terbengong-bengong dengan sikapnya. Emosinya
ngalahin cewek lagi PMS. Atau dia emang lagi PMS? Cih.. mungkin saja,
dilihat dari kelakuan anehnya. Suara raungan escalade nya terdengar
menandakan kepergian Rei. Huh.. dia berani meninggalkanku eh? Awas saja
nanti..
Nanti? Kenapa nggak
sekarang? Tiba-tiba sebuah lampu bohlam menyala terang di atas kepalaku.
Aku segera mengambil kunci ben (bentley) dan berlari ke garasi. Aku
harus membalasnya. Apa yang telah dia lakukan tak bisa dimaafkan.
Seharusnya aku yang marah dan emosi kayak cewek PMS setelah apa yang dia
lakukan padaku. Entah ada berapa tanda, sepuluh? Lebih mungkin? Aku
sampai harus memakai syal untuk menutupinya. Lebih gila lagi yang di
rahangku, pondasion tebal tak cukup membantu menutupi warna merah
kehitaman yang tercetak di rahang kiriku. Seharusnya aku yang marah dan
mengamuk sialan!!
Keadaan lalu lintas pagi
ini sepertinya mendukung rencanaku. Dan juga sepertinya keberuntungan
sedang melambai padaku. Cat hitam escaladenya terlihat! Itu dia! Aku tak
tahan untuk tak tersenyum. Aku datang sayang..
Aku tak peduli pada
angka berapa yang ditunjuk oleh jarum speedometer. Yang penting ben bisa
segera menyusul mobil hitam itu. Saatnya bersenang-senang ben. Kita
akan memberi pria sialan dalam mobil manly nya itu pelajaran bahwa dia
bukan pengendali permainan ini.
Bunyi klakson yang
dihasilkan secara runtun berhasil mengalihkan fokus pandangan Rei dari
jalan. Mobil kami sejajar, aku bahkan bisa melihat dari balik kaca mata
hitamku kalau wajah tampannya yang semula terkejut menjadi merah padam
saat tau siapa pengemudi gila yang menantangnya. Yeah, it’s your wife
beib. Tidak sampai di situ saja sayang.. aku baru mulai. Satu kiss bye
melayang untuknya, mobil kami masih sejajar dan aku bisa merasakan
matanya yang kaku memandang tajam seolah bisa membelah diriku. Aku
tersenyum sinis dan mengacungkan ibu jariku, ke arah bawah. Dia pikir
aku takut? Hell No! Segera kulajukan mobilku lebih cepat, meninggalkan
mobil Rei jauh di belakang. Eat that boy!
Persetan jika Rei tak
mengijinkanku mengemudi lagi, atau malah ngambil si ben. Tapi aku sudah
cukup bersenang-senang tadi dengan ben. “Mungkin aku akan sedikit
merindukanmu ben jika nanti Rei mengambil kuncimu.” Aku menelusuri
rangka kemudi ben. Setidaknya pagi ini aku berhasil memacunya dengan
hebat.
Aku terlonjak mendengar
suara mobil yang kukenal. Mobil yang dipastikan berisi orang yang
kepalanya hampir keluar tanduk. Bubu-buru aku keluar mobil dan ngacir ke
lift. Aku semakin kalap menekan tombol saat dia setengah berlari
menujuku. Kakinya yang panjang menghasilkan langkah lebar. Ini buruk.
Dia semakin dekat. No no no!!
Di detik-detik terakhir
yang hanya menyisakan selangkah lagi bagi Rei untuk masuk ke dalam lift,
akhirnya pintu lift tertutup sempurna. Thank’s God.. aku menghela nafas
yang tak sadar sudah tertahan entah sejak kapan. Sial! Aku lupa telah
menantang siapa.
Untuk sekarang ini aku
aman di ruanganku sendiri, setidaknya sampai pulang nanti.. Ah! Kenapa
jadi parno gini gara-gara buat Rei marah. Dia kan pantas dapat itu.
Segelas air mineral langsung tandas demi mengurangi laju jantungku yang
ngos-ngosan melarikan diri dari Rei. Apa yang akan aku katakan ketika
pulang nanti? Kuharap emosinya sudah mendingin.
“Gi, kalo mau masuk ketok du_” sial!
Rei tanpa basi-basi
berjalan ke arahku dengan tatapan membunuhnya. Sukses menjatuhkan gelas
kertas yang kupegang hanya dengan mata birunya yang seolah berkobar
dalam api abadi. Dengan satu sentakan dia melepas syal yang melilit
leherku lalu menggamit tubuhku. “Kau tidak bisa melarikan diri
dariku.”ludahku serasa macet di tenggorokan, begitu juga suaraku saat
dia membungkamku dengan ciuman ‘marah’ nya. Aku selalu tak bisa
melawannya kalau begini, hanya pasrah sampai marahnya mereda. Bahkan
dalam kemarahannya pun aku menikmati ciuman yang menuntut ini, sama
sekali tak membuatku takut atau menjadi marah seperti dia.
Perlahan namun pasti,
pagutannya semakin melembut. Tapi lidahnya sama sekali belum mau
meninggalkan mulutku. Masih terus membelaiku dengan nikmat, dan semuanya
berubah jadi sensasi yang memabukkan, membuat kaki-kakiku gemetar.
Untungnya kedua tangan Rei menopangku karna rasanya aku sudah tak bisa
berpijak dengan benar.
“EHEM!!” kalau kalian
mengira suara deheman, mungkin juga batuk yang disengaja, menginstupsi
kegiatan kami, itu salah. Aku memang terkejut sampai rasanya jantungku
naik ke tenggorokan karna ketahuan melakukan hal tak senonoh di kantor,
meski dengan suami sendiri.
Protesku untuk
menghentikan perbuatan Rei pun hanya bisa teredam di tenggorokan karna
ia tak berniat melepasku bahkan untuk mengambil nafas sekalipun.
Berbanding terbalik denganku, Rei tak menghiraukan sama sekali suara
yang jelas-jelas menyindir kami untuk segera mengakhiri gairah kami. Ia
malah mendorongku ke dinding dan memperdalam ciumannya. Sepertinya ia
suudah kehilangan orientasi pada dunia di sekelilingnya.
“Aku memang sangat
menginginkan cucu. Tapi kalian juga tidak seharusnya membuat disini..”
dan saat itulah perut kami serasa ditonjok dengan tongkat pemukul
baseball. Rasanya aku bahkan tak bisa mengumpat walau dalam hati.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 50"
Post a Comment