“Lukanya agak dalam,
memang sudah boleh pulang tapi harus dirawat dengan hati-hati. Anda
harus menjaganya betul-betul.” Pesan dokter itu kembali memenuhi isi
kepalaku. Aku merasa amat bersalah, meski masih marah juga. Harusnya aku
tak memukulnya dengan terlalu keras.
“Apakah..apakah sakit?” aku ragu menanyakan ini, tentu saja sakit. Maksudku apakah itu sangat sakit?
Alex lama tak
menajwabku. Dia memejamkan matanya tapi aku tahu dia sedang tidak tidur
dan mendengar pertanyaanku. “sebentar lagi kau akan berurusan dengan
pihak berwajib.” Ucapnya dingin.
Hatiku langsung kecut.
Pihak berwajib? Hei, bukan aku saja yang salah. Dia bahkan berusaha
memperkosaku! Aku cuman mempertahankan diri saja. “kau juga akan masuk
bui karna pelecehan seksual!”
“Haha..kau lucu. Apa kau punya bukti?”
Aku begitu terhenyak.
Bukti? Apa yang bisa kubuktikan? Kalau dia sih jelas ada, luka di
kepalanya itu sudah cukup membuktikan kelakuanku. Aku meringis tertahan.
Shit!
“Turunkan aku disini”
perintahnya. Ingin sekali aku mengatakan seperti ucapannya beberapa
waktu lalu bahwa aku yang punya mobil ini dan aku yang mempunyai kuasa
atasnya.. tapi aku juga tak menginginkannya terus-terusan ada di dalam
mobilku.
Aku memelankan laju mobil dan meminggirkannya.
Alex turun dan berterima kasih. “Thank’s Viona.”
Aku tak mengerti maksudnya. Berterima kasih buat apa? Buat luka di kepalanya ya?
Tepat ketika aku mau menjalankan mobilku kembali deringan ponsel menghentikan niatku.
“Hallo Rei..”
Dia mengajakku pergi
sore ini. Entah kemana katanya rahasia dan aku harus ikut, dia akan
menungguku di parkiran kantor. Ah.. iya.. aku harus kembali ke kantor.
Dan Yuni! Aku sama sekali lupa, sudah berapa lama ini..
Kulirik jam digital di dashbor, jam 3 lebih.
“Yuni?” aku menghubunginya. “Kau masih di sana?”
“Bu Viona!! Ibu kemana? Kok saya telfon nggak diangkat?” semburnya, yeah aku sepertinya pantas mendapatkannya.
“Maaf, ada keadaan
darurat. Kau bisa membereskan peralatan kita di lantai 11, kamar nomor
47. Maaf sekali. Aku akan mengerjakan jurnalnya nanti.”
“Anda nggak apa-apa kan bu? Baiklah akan saya kerjakan.” Baik juga dia mengkhawatirkanku.
“Saya nggak papa. Makasih yun, kamu bisa langsung pulang nanti setelah selesai.”
“Thank’s mam.”
Oke. Sekarang ke kantor.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Kau suka yang mana?”
ternyata Rei mengajakku ke sini.. ke toko, toko perhiasan. Katanya ini
akan jadi mas kawin kita. Aduh.. serius amat nih si Rei.
“Ini adalah koleksi terbaik di sini, anda bisa juga memesannya sesuai selera.”
“Yang mana saja Rei, terserah.” Aku tak ingin memilih-milih. Aku juga lelah sekali hari ini dan ingin cepet tidur.
“Kalau begitu yang ini
saja.” Rei langsung memutuskan tanpa melihat lagi. Dia sepertinya tahu
aku lelah. “Vio, kita akan ke satu tempat lagi. Kau enggak terlalu capek
kan?” sopan sekali dia menanyaiku dulu.
“Ah..tidak.”
Satu tempat lagi
sepertinya aku masih kuat. Dan kemana lagi aku akan dibawanya pergi? Aku
memandangi pekatnya malam dari dalam jendela mobil Rei. Aku
menimbang-nimbang lagi, sebentar lagi aku akan jadi istrinya,dan dia
akan menjadi suamiku secara sah. Tapi kami tak lebih dari dua orang yang
terikat kontrak, dan setelah itu kami akan bercerai. Aku mungkin akan
pindah ke tempat terpencil dan pensiun dini, hmm.. atau membuat usaha
kecil, atau apalah. Pokoknya menyibukkan diri..
“Viona.. kita sudah
sampai.”Rei me,bangunkanku dari tidur ayamku. Aku langsung melempar
pandangan keluar. Perutku langsung mual saat mengetahui tempatku berada
kini. Secepat inikah Rei mempersiapkan pernikahan kami. Bahkan dia belum
menemui keluargaku sama sekali.
“Ayo.” Rei menghelaku
untuk segera turun dari mobil dan membuntutinya menuju sebuah sebuah
butik. Ini bukan butik yang waktu itu. Ini beda lagi. Hawa saat memasuki
butik itu sangat hening, tenang, dan sakral..
Tempatnya sangat luas,
dengan puluhan manekin berbungkus gaun yang dominan berwarna putih. Gaun
pengantin. Aku cepat-cepat menelan ludahku. Cepat atau lambat pasti aku
akan menghadapi ini, bukankah sebulan lagi aku dan Rei akan menikah?
Subulan lagi.. sebulan.. sebulan.. kata itu seolah kaset yang terus
diputar berulang kali di otakku. Aku menggelengkan kepala mengusir kata
itu.
“Beritahu keluargamu,
lusa kami akan datang.” Kami yang dimaksud Rei pastinya dia dan
keluarganya. “Aku akan melamarmu secara resmi, seminggu kemudian kita
akan bertunangan. Dan sebulan lagi kita akan menikah.” Rei dengan lancar
membacakan kronologi yang ia susun sendiri selama sebulan kedepan.
Perutku rasanya mulas, kantuk yang kurasakan saat perjalanan kemari juga
hilang berganti rasa tegang.
“Ya..” jawabku singkat.
Rei terus melajukan
kakinya, melenggang lurus ke sebuah pintu sang terhubung ke suatu
ruangan lain. Langkahnya tegap dan mantap, sementara aku hanya mengekor
dengan gelisah di belakangnya.
Yah, pintu itu memang
menghubungkan ruangan luas tadi dengan sebuah tempa yang hmm.. cukup
ramai dengan beberapa orang yang lalu lalang tampak sibuk dengan
kegiatan mereka. Salah satu darinya menghampiri kami. “Mr. Husain?”
“Ya.” Rei tersenyum membenarkan.
“Anda sedikit terlambat,
untung kami belum tutup. Akan kusiapkan pesanan anda.” Dengan cekatan
wanita muda itu sedikit berlari ke ruang lainnya. Muda karna
kuperkirakan usianya mungkin hampir sama denganku.
Wanita tadi kembali dengan menenteng sebuah gaun putih tulang. Kurasa itu gaunku.
“Mari..” wanita tadi
menuntunku ke kamar..eh ..ruang pas. Karna memang itu ruangan yang cukup
luas dan diselubungi kaca yang melingkar dan ada sebuah tirai yang
memisahkannya dengan ruang yang ramai tadi.
Wanita yang membawakanku
serta membantuku memakai gaun itu bernama sandra. Namanya tercetak di
name tag yang di pakainya. Setelah selesai mengenakan gaun itu padaku,
dia menarik tirai yang menutupi ruang ganti. Aku tak terlalu percayadiri
dengan gaun ini. Ini terlalu mewah, dan terbuka jujur saja. Sedikit
kebesaran juga. Mungkin karena belum difiting. Rei tampak antusias
memandangiku dari atas hingga bawah. Diperhatikan seperti itu aku jadi
kikuk.
“Kau sangat cantik
Vio..” pujian itu ditujukan padaku atau gaun ini ya? Haha karena gaun
indah inilah yang membuatku tampak cantik.
“Apa ini tidak terlalu
mewah?” ada banyak batu-batuan berkilauan dan mutiara-mutiara putih
tersusun indah dan rapi membentuk pola-pola floral, bagian bawah gaun
ini tentu saja seperti kebanyakan gaun pengantin lainnya menjuntai
panjang ke lantai, bedanya gaun ini entah terbuat dari bahan apa bagian
yang menjuntai tampak seperti salju yang turun dari langit dan
menumpuk. Ok aku terlalu lebay karna belum pernah melihat salju secara
langsung.
“Tidak ada yang lebih mewah dari dirimu sendiri Viona.”
Tidak ada yang lebih mewah... dari diriku ?
“Lho..lenganmu kenapa?” Rei memicingkan matanya menuju lenganku yang polos tak tertutup apa-apa, aku mengikuti pandangannya.
Aku menyentuhnya sedikit
“Ergh..” aku meringis merasakan perih di atas warna biru kemerahan yang
menggaris di lenganku. ALEX, damn you!! Aku baru sadar ada luka lebam
akibat perbuatannya tadi “Aku.. tadi .. jatuh.”
“Jatuh?” Rei mengerutkan keningnya. apa aku sangat kentara berbohong.
“Raihan?” ada sebuah suara yang memanggil Rei
Aku dan Rei menoleh ke
sumber suara. Tidak terbayang lagi betapa kagetnya aku. Aku sampai mau
mati berdiri rasanya. Dari milyaran orang yang ada di bumi ini kenapa
aku harus bertemu dengan orang ini di tempat kayak gini juga.
“Alex! Hey!” raut wajah
Rei berubah ceria. Sementara aku, mungkin auraku jatuh suram
sesuram-suramnya. God...!!!! demi apapun mengapa engkau pertemukan kami
disini.... tidakkah cukup kami bertemu di tempat kerja saja..
“Oh..syukurlah, ini
benar kau. Aku melihatmu dari belakang dan menebak. Ternyata benar
dirimu. Kau sedang..” mata Alex teralih padaku.
Dengan susah payah aku menelan ludah.
“Kenalkan, Viona, tunanganku..”
Deg..deg.. aku seperti
bisa mendengarkan suara jantungku sendiri saking kerasnya dia bekerja.
Ini pertama kalinya Rei mengenalkanku secara resmi sebagai tunangannya.
Padahal kami juga belum tunangan. Maksudnya memberitahu tentang hubungan
kami pada orang lain selain keluarganya, walau cuman pada satu orang
brengsek ini.
“Ya.. aku sudah pernah
bertemu dengannya. Di pernikahan Naya beberapa waktu lalu.” Kedua
matanya mengerling padaku sambil tersenyum. Kampret, sumpah pengen
kucolok matanya itu.
“Aku belum sempat
berterima kasih karna kau telah menolong Viona. Dia sudah bercerita
tentangmu, dan aku .. oh hei.. kenapa kepalamu?”
Rupanya Rei menyadari
kepala Alex yang tertutup perban. Alex melirikku sekilas, tapi tajam dan
dalam seperti mau melindasku. Itu sangat mengerikan. Apa dia mau buka
mulut?
“Aku tadi jatuh.”
“Jatuh?” kali ini Rei
bertanya lebih keras daripada waktu dia bertanya padaku tadi. “haha..
orang-orang di sekitarku sepertinya sedang bermasalah dan terjatuh.
Seharusnya kau lebih hati-hati, kau tidak apa-apa kan?”
Apa Alex nggak punya alasan bagus lainnya. Eh.. aku juga tadi beralasan kayak gitu ding. Ah bodohnya!
“Yah.. lumayan, dapet 6 jahitan. But i’m fine dude. Not big problem.”
“Bdw, kau sedang apa kemari?”
“Ini..” Alex
memperlihatkan tas kertas berwarna hitam dengan logo JB berwarna emas.
Janice Boutiqe. “aku ambil pesanan jas.” Ngomong-ngomong soal jas. Alex
tak memakai pakaian formal seperti yang pernah aku temui
sebelum-sebelumnya. Dia pakai jeans panjang dengan kaos dan jaket hitam,
tampilannya tetap saja modis di luar jam kerjanya. “aku jarang
melihatmu ningkrong, kau datang kalau ada masalah doang.”
“Aku akan main kapan-kapan.”
Emang biasanya mereka nongkrong diamana? Apa Gio juga sering ikut.
“Permisi, Mr. Husain.
Baju anda sudah siap, silahkan mencobanya.” Sandra kembali lagi dengan
memegang setelan jas hitam untuk Rei.
“Bisa bantu Viona turun?” aku hampir berteriak pada Rei. APA!!!??
“Dengan senang hati, mari Ms. Husain.” Alex mengulurkan tangannya. Rei!! Kenapa kau melakukan ini!!
.
TBC
TBC
0 Response to "Hopeless Part 17"
Post a Comment