Hopeless Part 17

“Lukanya agak dalam, memang sudah boleh pulang tapi harus dirawat dengan hati-hati. Anda harus menjaganya betul-betul.” Pesan dokter itu kembali memenuhi isi kepalaku. Aku merasa amat bersalah, meski masih marah juga. Harusnya aku tak memukulnya dengan terlalu keras.
“Apakah..apakah sakit?” aku ragu menanyakan ini, tentu saja sakit. Maksudku apakah itu sangat sakit?
Alex lama tak menajwabku. Dia memejamkan matanya tapi aku tahu dia sedang tidak tidur dan mendengar pertanyaanku. “sebentar lagi kau akan berurusan dengan pihak berwajib.” Ucapnya dingin.
Hatiku langsung kecut. Pihak berwajib? Hei, bukan aku saja yang salah. Dia bahkan berusaha memperkosaku! Aku cuman mempertahankan diri saja. “kau juga akan masuk bui karna pelecehan seksual!”
“Haha..kau lucu. Apa kau punya bukti?”
Aku begitu terhenyak. Bukti? Apa yang bisa kubuktikan? Kalau dia sih jelas ada, luka di kepalanya itu sudah cukup membuktikan kelakuanku. Aku meringis tertahan. Shit!
“Turunkan aku disini” perintahnya. Ingin sekali aku mengatakan seperti ucapannya beberapa waktu lalu bahwa aku yang punya mobil ini dan aku yang mempunyai kuasa atasnya.. tapi aku juga tak menginginkannya terus-terusan ada di dalam mobilku.
Aku memelankan laju mobil dan meminggirkannya.
Alex turun dan berterima kasih. “Thank’s Viona.”
Aku tak mengerti maksudnya. Berterima kasih buat apa? Buat luka di kepalanya ya?
Tepat ketika aku mau menjalankan mobilku kembali deringan ponsel menghentikan niatku.
“Hallo Rei..”
Dia mengajakku pergi sore ini. Entah kemana katanya rahasia dan aku harus ikut, dia akan menungguku di parkiran kantor. Ah.. iya.. aku harus kembali ke kantor. Dan Yuni! Aku sama sekali lupa, sudah berapa lama ini..
Kulirik jam digital di dashbor, jam 3 lebih.
“Yuni?” aku menghubunginya. “Kau masih di sana?”
“Bu Viona!! Ibu kemana? Kok saya telfon nggak diangkat?” semburnya, yeah aku sepertinya pantas mendapatkannya.
“Maaf, ada keadaan darurat. Kau bisa membereskan peralatan kita di lantai 11, kamar nomor 47. Maaf sekali. Aku akan mengerjakan jurnalnya nanti.”
“Anda nggak apa-apa kan bu? Baiklah akan saya kerjakan.” Baik juga dia mengkhawatirkanku.
“Saya nggak papa. Makasih yun, kamu bisa langsung pulang nanti setelah selesai.”
“Thank’s mam.”
Oke. Sekarang ke kantor.
.
.
.
.
“Kau suka yang mana?” ternyata Rei mengajakku ke sini.. ke toko, toko perhiasan. Katanya ini akan jadi mas kawin kita. Aduh.. serius amat nih si Rei.
“Ini adalah koleksi terbaik di sini, anda bisa juga memesannya sesuai selera.”
“Yang mana saja Rei, terserah.” Aku tak ingin memilih-milih. Aku juga lelah sekali hari ini dan ingin cepet tidur.
“Kalau begitu yang ini saja.” Rei langsung memutuskan tanpa melihat lagi. Dia sepertinya tahu aku lelah. “Vio, kita akan ke satu tempat lagi. Kau enggak terlalu capek kan?” sopan sekali dia menanyaiku dulu.
“Ah..tidak.”
Satu tempat lagi sepertinya aku masih kuat. Dan kemana lagi aku akan dibawanya pergi? Aku memandangi pekatnya malam dari dalam jendela mobil Rei. Aku menimbang-nimbang lagi, sebentar lagi aku akan jadi istrinya,dan dia akan menjadi suamiku secara sah. Tapi kami tak lebih dari dua orang yang terikat kontrak, dan setelah itu kami akan bercerai. Aku mungkin akan pindah ke tempat terpencil dan pensiun dini, hmm.. atau membuat usaha kecil, atau apalah. Pokoknya menyibukkan diri..
“Viona.. kita sudah sampai.”Rei me,bangunkanku dari tidur ayamku. Aku langsung melempar pandangan keluar. Perutku langsung mual saat mengetahui tempatku berada kini. Secepat inikah Rei mempersiapkan pernikahan kami. Bahkan dia belum menemui keluargaku sama sekali.
“Ayo.” Rei menghelaku untuk segera turun dari mobil dan membuntutinya menuju sebuah sebuah butik. Ini bukan butik yang waktu itu. Ini beda lagi. Hawa saat memasuki butik itu sangat hening, tenang, dan sakral..
Tempatnya sangat luas, dengan puluhan manekin berbungkus gaun yang dominan berwarna putih. Gaun pengantin. Aku cepat-cepat menelan ludahku. Cepat atau lambat pasti aku akan menghadapi ini, bukankah sebulan lagi aku dan Rei akan menikah? Subulan lagi.. sebulan.. sebulan.. kata itu seolah kaset yang terus diputar berulang kali di otakku. Aku menggelengkan kepala mengusir kata itu.
“Beritahu keluargamu, lusa kami akan datang.” Kami yang dimaksud Rei pastinya dia dan keluarganya. “Aku akan melamarmu secara resmi, seminggu kemudian kita akan bertunangan. Dan sebulan lagi kita akan menikah.” Rei dengan lancar membacakan kronologi yang ia susun sendiri selama sebulan kedepan. Perutku rasanya mulas, kantuk yang kurasakan saat perjalanan kemari juga hilang berganti rasa tegang.
“Ya..” jawabku singkat.
Rei terus melajukan kakinya, melenggang lurus ke sebuah pintu sang terhubung ke suatu ruangan lain. Langkahnya tegap dan mantap, sementara aku hanya mengekor dengan gelisah di belakangnya.
Yah, pintu itu memang menghubungkan ruangan luas tadi dengan sebuah tempa yang hmm.. cukup ramai dengan beberapa orang yang lalu lalang tampak sibuk dengan kegiatan mereka. Salah satu darinya menghampiri kami. “Mr. Husain?”
“Ya.” Rei tersenyum membenarkan.
“Anda sedikit terlambat, untung kami belum tutup. Akan kusiapkan pesanan anda.” Dengan cekatan wanita  muda itu sedikit berlari ke ruang lainnya. Muda karna kuperkirakan usianya mungkin hampir sama denganku.
Wanita tadi kembali dengan menenteng sebuah gaun putih tulang. Kurasa itu gaunku.
“Mari..” wanita tadi menuntunku ke kamar..eh ..ruang pas. Karna memang itu ruangan yang cukup luas dan diselubungi kaca yang melingkar dan ada sebuah tirai yang memisahkannya dengan ruang yang ramai tadi.
Wanita yang membawakanku serta membantuku memakai gaun itu bernama sandra. Namanya tercetak di name tag yang di pakainya. Setelah selesai mengenakan gaun itu padaku, dia menarik tirai yang menutupi ruang ganti. Aku tak terlalu percayadiri dengan gaun ini. Ini terlalu mewah, dan terbuka jujur saja. Sedikit kebesaran juga. Mungkin karena belum difiting. Rei tampak antusias memandangiku dari atas hingga bawah. Diperhatikan seperti itu aku jadi kikuk.
“Kau sangat cantik Vio..” pujian itu ditujukan padaku atau gaun ini ya? Haha karena gaun indah inilah yang membuatku tampak cantik.
“Apa ini tidak terlalu mewah?” ada banyak batu-batuan berkilauan dan mutiara-mutiara putih tersusun indah dan rapi membentuk pola-pola floral, bagian bawah gaun ini tentu saja seperti kebanyakan gaun pengantin lainnya menjuntai panjang ke lantai, bedanya gaun ini entah terbuat dari bahan apa bagian yang menjuntai tampak seperti salju yang turun dari langit dan  menumpuk. Ok aku terlalu lebay karna belum pernah melihat salju secara langsung.
“Tidak ada yang lebih mewah dari dirimu sendiri Viona.”
Tidak ada yang lebih mewah... dari diriku ?
“Lho..lenganmu kenapa?” Rei memicingkan matanya menuju lenganku yang polos tak tertutup apa-apa, aku mengikuti pandangannya.
Aku menyentuhnya sedikit “Ergh..” aku meringis merasakan perih di atas warna biru kemerahan yang menggaris di lenganku. ALEX, damn you!! Aku baru sadar ada luka lebam akibat perbuatannya tadi “Aku.. tadi .. jatuh.”
“Jatuh?” Rei mengerutkan keningnya. apa aku sangat kentara berbohong.
“Raihan?” ada sebuah suara yang memanggil Rei
Aku dan Rei menoleh ke sumber suara. Tidak terbayang lagi betapa kagetnya aku. Aku sampai mau mati berdiri rasanya. Dari milyaran orang yang ada di bumi ini kenapa aku harus bertemu dengan orang ini di tempat kayak gini juga.
“Alex! Hey!” raut wajah Rei berubah ceria. Sementara aku, mungkin auraku jatuh suram sesuram-suramnya. God...!!!! demi apapun mengapa engkau pertemukan kami disini.... tidakkah cukup kami bertemu di tempat kerja saja..
“Oh..syukurlah, ini benar kau. Aku melihatmu dari belakang dan menebak. Ternyata benar dirimu. Kau sedang..” mata Alex teralih padaku.
Dengan susah payah aku menelan ludah.
“Kenalkan, Viona, tunanganku..”
Deg..deg.. aku seperti bisa mendengarkan suara jantungku sendiri saking kerasnya dia bekerja. Ini pertama kalinya Rei mengenalkanku secara resmi sebagai tunangannya. Padahal kami juga belum tunangan. Maksudnya memberitahu tentang hubungan kami pada orang lain selain keluarganya, walau cuman pada satu orang brengsek ini.
“Ya.. aku sudah pernah bertemu dengannya. Di pernikahan Naya  beberapa waktu lalu.” Kedua matanya mengerling padaku sambil tersenyum. Kampret, sumpah pengen kucolok matanya itu.
“Aku belum sempat berterima kasih karna kau telah menolong Viona. Dia sudah bercerita tentangmu, dan aku .. oh hei.. kenapa kepalamu?”
Rupanya Rei menyadari kepala Alex yang tertutup perban. Alex melirikku sekilas, tapi tajam dan dalam seperti mau melindasku. Itu sangat mengerikan. Apa dia mau buka mulut?
“Aku tadi jatuh.”
“Jatuh?” kali ini Rei bertanya lebih keras daripada waktu dia bertanya padaku tadi. “haha.. orang-orang di sekitarku sepertinya sedang bermasalah dan terjatuh. Seharusnya kau lebih hati-hati, kau tidak apa-apa kan?”
Apa Alex nggak punya alasan bagus lainnya. Eh.. aku juga tadi beralasan kayak gitu ding. Ah bodohnya!
“Yah.. lumayan, dapet 6 jahitan. But i’m fine dude. Not big problem.”
“Bdw, kau sedang apa kemari?”
“Ini..” Alex memperlihatkan tas kertas berwarna hitam dengan logo JB berwarna emas. Janice Boutiqe. “aku ambil pesanan jas.” Ngomong-ngomong soal jas. Alex tak memakai pakaian formal seperti yang pernah aku temui sebelum-sebelumnya. Dia pakai jeans panjang dengan kaos dan jaket hitam, tampilannya tetap saja modis di luar jam kerjanya. “aku jarang melihatmu ningkrong, kau datang kalau  ada masalah doang.”
“Aku akan main kapan-kapan.”
Emang biasanya mereka nongkrong diamana? Apa Gio juga sering ikut.
“Permisi, Mr.  Husain. Baju anda sudah siap, silahkan mencobanya.” Sandra kembali lagi dengan memegang setelan jas hitam untuk Rei.
“Bisa bantu Viona turun?” aku hampir berteriak pada Rei. APA!!!??
“Dengan senang hati, mari Ms. Husain.” Alex mengulurkan tangannya. Rei!! Kenapa kau melakukan ini!!
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 17"

Post a Comment