Hopeless Part 62

.
"Oh.. maaf, saya kira kalian adalah.." perkataan dokter itu menggantung.
"Kami hanya teman." Sambung Alex.
Ruangan tiba-tiba dipenuhi aura ketegangan yang kaku. Viona masih belum bisa mengutarakan rasa yang ada dalam dirinya. Sementara si dokter merasa tak enak karna salah duga, ia tau ada yang salah dengan pasangan itu.
"Ehm.. apa saya sudah diperbolehkan pulang?" akhirnya suara Viona memecah keheningan yang memenuhi mereka bertiga.
"Ya, tentu. Akan saya buatkan resep untuk vitamin, anda bisa menebusnya di apotek nanti. Akan kubuatkan jadwal temu juga dengan bagian obstetri untuk pemeriksaan lebih lanjut." Dokter menuliskan beberapa baris resep pada secarik kertas dan menyerahkannya pada Alex. "Jangan sampai melewatkan waktu makan lagi, saya melihat anda memiliki penyakit magh pada catatan medis anda. Apalagi sekarang ada calon bayi yang harus terus diberi nutrisi." Dengan bijak dokter itu menasehati Viona.
Viona merasa de javu saat menunggui Alex menebus obat untuknya. Dulu pertama kali ia bertemu dengan Alex kejadiannya hampir sama seperti ini. Alex menolongnya, membawanya ke rumah sakit (atau setidaknya dulu itu klinik), dan menebus obat untuknya. Ia tersenyum miris, ironis sekali Rei bukan yang pertama yang mendengar bahwa dirinya hamil. Oh tunggu.. Rei??
Viona mengobrak abrik isi tasnya, mencari bendar persegi panjang berwarna putih. Ia harus segera menghubungi Rei, menjelaskan ketidak datangannya pada waktu makan siang tadi. Sial, dia bahkan melewatkan dua waktu makannya. Ada lima panggilan tak terjawab dan beberapa pesan. Tak usah menjadi cenayang untuk tau siapa pemilik nomer itu. Ia mulai mendial nomor suaminya, tapi ia mengurungkan saat melihat seorang yang akhir-akhir ini jarang didengar kabarnya.
Pria seumur ayahnya itu terlihat menyalami seorang dokter. Viona hampir menyusul tapi mertuanya sudah lebih terburu ke pintu keluar. Viona tidak heran jika melihat Pak Salim pergi ke rumah sakit mengingat akan penyakit yang diderita oleh mertuanya.
"Mungkin aku harus bertanya soal penyakit papa pada dokter itu." gumam Viona. ia beranjak dari kursi tunggu dan menghampiri ruang dokter yang tadi dikunjungi oleh Pak Salim.
"Permisi dokter, bisakah saya meminta sedikit bantuan?" dokter muda itu tersenyum dan mempersilahkan Viona duduk.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanya dokter ramah.
"Bagaimana keadaan papa saya?" Viona langsung ke poin permasalahan, tapi dahi dokter di depannya tampak berkerut. "Maksudk saya.. Pak Salim Husain." Ia meralat panggilan untuk mertuanya.
"Oh.. Mr. Husain. Tadi dia kemari, melakukan check up seperti biasa. Dan dia juga baik seperti biasa." Keterangan singkat yang diakhiri dengan senyuman berlesung oleh sang dokter. Tapi keterangan itu membingungkan Viona.
"Apakah penyakitnya tidak.. kambuh?" Viona agak ragu menyebutkan kata terakhir. Ia kurang tahu dengan tepat menggambarkan situasi penyakit ayahnya.
"Kambuh? Mr. Husain tidak mempunyai penyakit yang serius Nona. Dia adalah pria berumur yang paling sehat yang pernah kutemui. Ia sangat menjaga kesehatannya, selalu.."
"Viona?!" Alex terlihat sulit mengambil nafas, dua manusia di ruangan itu seketika memandangnya. "Aku sudah menyuruhmu menunggu!" ucapnya kesal.
"Ma..maaf, aku ada sedikit urusan." Viona terlihat menyesal, tapi ada satu hal yang harus ia pastikan kini. "Ehm.." ia kembali pada dokter di depannya. "Maksud anda papa sudah sembuh dari kankernya?" pertanyaan Viona kembali menimbulkan kerut pada dahi dokter muda itu.
"Viona.. sebaiknya kita pergi sekarang." Alex juga terlihat semakin tegang.
"Mr. Husain sama sekali tidak.."
"Dokter!" dokter dan Viona terlonjak kaget mendengar bentakan dari Alex. "Maaf mengganggu waktu anda. Viona, sebaiknya kita pergi sekarang." Alex maju dan menangkap lengan Viona, tapi sang empu berusaha keras menahannya.
"Jadi apakah papa sudah sembuh?" Viona kembali mengulang pertanyaannya, harapan wanita itu akan kesehatan mertuanya begitu besar.
"Mr. Husain tak pernah mempunyai riwayat kanker. Seperti saya bilang tadi, beliau termasuk orang yang sangat memperdulikan diri sendiri. Terbukti di umur beliau sekarang ini dia masih terlihat segar bugar. Darimana anda mendengar bahwa beliau sakit?"
"Jadi.. jadi.." Viona tergagap, ia bingung. Jadi selama ini mertuanya tidak sakit kanker. Lalu... Kalau begitu Rei..
"Viona, aku akan mengantarmu. Terima kasih atas waktu anda." Alex menarik lengan Viona, kali ini tidak ada perlawanan. Viona terlalu sibuk dengan pikirannya. Perkataan dokter tadi membuat akal sehatnya macet. Ia bahkan tak menyadari saat Alex terus menyeretnya sepanjang lorong rumah sakit. Jadi selama ini apa yang terjadi pada dirinya? Jika Pak Salim tidak sakit maka itu berarti Rei telah.. membohonginya.
"Kau belum makan kan? kita makan dulu sebelum pulang." Alex menepikan mobilnya ke sebuah kafe. Viona hanya melamun saja sejak dari rumah sakit, tak sedikitpun ia membuka mulut sekedar sepatah dua patah kata.
"Apa kau tau ini Alex?" viona diam tak bergeming di jok samping kemudi.
"Kita makan dulu.."
"Alex.."
"Viona, bukan hanya dirimu saja yang membutuhkan makan saat ini. Apa kau tidak dengar kata dokter tadi? Ada calon bayi yang harus kau perhatikan."
Viona tertegun mendengar penuturan Alex. Ia bahkan hampir lupa, ada sesuatu, tidak.. tepatnya seseorang yang sedang bergantung padanya. Ia akhirnya turun dengan perlahan, mengikuti Alex masuk dan menuju ke meja kosong. Alex memesankan makanan untuk mereka berdua. Ia tau Viona tak berselara makan saat ini tapi ia harus tetap memaksanya makan. Kenyataan bahwa Viona hami juga telah membingungkannya.
"Kau sudah tau ini semua kan..?" tanya Viona lemah, ia bahkan tak memandang pada Alex. Lantai marmer di bawahnya jauh lebih menarik untuknya.
"Kumohon kita makan dulu baru akan kujelaskan semuanya.."
"Semuanya?" Kini Viona memandang penuh pada Alex. "Kau bahkan tau semuanya.." ucapnya penuh ironi.
"Makan Viona.." dagu Alex menunjuk pada makanan di depan Viona. Apa dia harus terus mengingatkan soal kehamilan Viona. Oh Tuhan! Itu begitu menyakitkan..
Dengan terpaksa Viona menyantap hidangan di depannya. Meski ia belum makan terhitung sejak pagi tadi, ia tetap tak bernafsu. Ia bahkan tak tau apa makanan yang sedang ditelannya. Tak ada rasanya, manis, asin, asam, ataupun pahit. Tak berasa. Hanya satu yang memberinya kekuatan untuk menelan, bayinya.
"Saat kau bilang akan menikah dengan Rei karena Pak Salim sakit, aku segera tau Rei sedang berbohong. Tapi aku tak tau jika rencananya akan sejauh ini.. " Alex berhenti sebentar dan menyesap minumannya. "Aku sudah memperingatkanmu Viona.. saat kita ada disini. Saat kau akan merubah komitmenmu pada Rei. Aku sudah memperingatkanmu.."
"Kau bahkan tak mengatakan apapun. Hanya tentang aku yang menyesal.. dan kau membiarkan aku menyesal bahkan kau bisa mencegahku untuk menyesal.." air mata yang sedari tadi Viona tahan akhirnya tumpah juga. Dan setelahnya ia tak bisa menghentikan rasa sakit yang mulai menggerogoti hatinya, ia mulai terisak. "Kenapa Alex? Kenapa kau tak mencoba menghentikanku waktu itu.."
"Maaf.." Alex menggenggam tangan Viona. "Waktu itu aku begitu emosi saat kau memutuskan untuk benar-benar bersama Rei. Aku.. aku sangat marah. Kupikir..kau hanya akan sementara dan juga tak akan sejauh ini.." Alex semakin mengeratkan genggamannya, ia tak kalah menyesal telah memenangkan emosinya dan membiarkan Viona seperti ini.
.

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 62"

Post a Comment