.
"Oh.. maaf, saya kira kalian adalah.." perkataan dokter itu menggantung.
"Oh.. maaf, saya kira kalian adalah.." perkataan dokter itu menggantung.
"Kami hanya teman." Sambung Alex.
Ruangan tiba-tiba
dipenuhi aura ketegangan yang kaku. Viona masih belum bisa mengutarakan
rasa yang ada dalam dirinya. Sementara si dokter merasa tak enak karna
salah duga, ia tau ada yang salah dengan pasangan itu.
"Ehm.. apa saya sudah diperbolehkan pulang?" akhirnya suara Viona memecah keheningan yang memenuhi mereka bertiga.
"Ya, tentu. Akan saya
buatkan resep untuk vitamin, anda bisa menebusnya di apotek nanti. Akan
kubuatkan jadwal temu juga dengan bagian obstetri untuk pemeriksaan
lebih lanjut." Dokter menuliskan beberapa baris resep pada secarik
kertas dan menyerahkannya pada Alex. "Jangan sampai melewatkan waktu
makan lagi, saya melihat anda memiliki penyakit magh pada catatan medis
anda. Apalagi sekarang ada calon bayi yang harus terus diberi nutrisi."
Dengan bijak dokter itu menasehati Viona.
Viona merasa de javu
saat menunggui Alex menebus obat untuknya. Dulu pertama kali ia bertemu
dengan Alex kejadiannya hampir sama seperti ini. Alex menolongnya,
membawanya ke rumah sakit (atau setidaknya dulu itu klinik), dan menebus
obat untuknya. Ia tersenyum miris, ironis sekali Rei bukan yang pertama
yang mendengar bahwa dirinya hamil. Oh tunggu.. Rei??
Viona mengobrak abrik
isi tasnya, mencari bendar persegi panjang berwarna putih. Ia harus
segera menghubungi Rei, menjelaskan ketidak datangannya pada waktu makan
siang tadi. Sial, dia bahkan melewatkan dua waktu makannya. Ada lima
panggilan tak terjawab dan beberapa pesan. Tak usah menjadi cenayang
untuk tau siapa pemilik nomer itu. Ia mulai mendial nomor suaminya, tapi
ia mengurungkan saat melihat seorang yang akhir-akhir ini jarang
didengar kabarnya.
Pria seumur ayahnya itu
terlihat menyalami seorang dokter. Viona hampir menyusul tapi mertuanya
sudah lebih terburu ke pintu keluar. Viona tidak heran jika melihat Pak
Salim pergi ke rumah sakit mengingat akan penyakit yang diderita oleh
mertuanya.
"Mungkin aku harus
bertanya soal penyakit papa pada dokter itu." gumam Viona. ia beranjak
dari kursi tunggu dan menghampiri ruang dokter yang tadi dikunjungi oleh
Pak Salim.
"Permisi dokter, bisakah saya meminta sedikit bantuan?" dokter muda itu tersenyum dan mempersilahkan Viona duduk.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanya dokter ramah.
"Bagaimana keadaan papa
saya?" Viona langsung ke poin permasalahan, tapi dahi dokter di depannya
tampak berkerut. "Maksudk saya.. Pak Salim Husain." Ia meralat
panggilan untuk mertuanya.
"Oh.. Mr. Husain. Tadi
dia kemari, melakukan check up seperti biasa. Dan dia juga baik seperti
biasa." Keterangan singkat yang diakhiri dengan senyuman berlesung oleh
sang dokter. Tapi keterangan itu membingungkan Viona.
"Apakah penyakitnya
tidak.. kambuh?" Viona agak ragu menyebutkan kata terakhir. Ia kurang
tahu dengan tepat menggambarkan situasi penyakit ayahnya.
"Kambuh? Mr. Husain
tidak mempunyai penyakit yang serius Nona. Dia adalah pria berumur yang
paling sehat yang pernah kutemui. Ia sangat menjaga kesehatannya,
selalu.."
"Viona?!" Alex terlihat
sulit mengambil nafas, dua manusia di ruangan itu seketika memandangnya.
"Aku sudah menyuruhmu menunggu!" ucapnya kesal.
"Ma..maaf, aku ada
sedikit urusan." Viona terlihat menyesal, tapi ada satu hal yang harus
ia pastikan kini. "Ehm.." ia kembali pada dokter di depannya. "Maksud
anda papa sudah sembuh dari kankernya?" pertanyaan Viona kembali
menimbulkan kerut pada dahi dokter muda itu.
"Viona.. sebaiknya kita pergi sekarang." Alex juga terlihat semakin tegang.
"Mr. Husain sama sekali tidak.."
"Dokter!" dokter dan
Viona terlonjak kaget mendengar bentakan dari Alex. "Maaf mengganggu
waktu anda. Viona, sebaiknya kita pergi sekarang." Alex maju dan
menangkap lengan Viona, tapi sang empu berusaha keras menahannya.
"Jadi apakah papa sudah
sembuh?" Viona kembali mengulang pertanyaannya, harapan wanita itu akan
kesehatan mertuanya begitu besar.
"Mr. Husain tak pernah
mempunyai riwayat kanker. Seperti saya bilang tadi, beliau termasuk
orang yang sangat memperdulikan diri sendiri. Terbukti di umur beliau
sekarang ini dia masih terlihat segar bugar. Darimana anda mendengar
bahwa beliau sakit?"
"Jadi.. jadi.." Viona tergagap, ia bingung. Jadi selama ini mertuanya tidak sakit kanker. Lalu... Kalau begitu Rei..
"Viona, aku akan
mengantarmu. Terima kasih atas waktu anda." Alex menarik lengan Viona,
kali ini tidak ada perlawanan. Viona terlalu sibuk dengan pikirannya.
Perkataan dokter tadi membuat akal sehatnya macet. Ia bahkan tak
menyadari saat Alex terus menyeretnya sepanjang lorong rumah sakit. Jadi
selama ini apa yang terjadi pada dirinya? Jika Pak Salim tidak sakit
maka itu berarti Rei telah.. membohonginya.
"Kau belum makan kan?
kita makan dulu sebelum pulang." Alex menepikan mobilnya ke sebuah kafe.
Viona hanya melamun saja sejak dari rumah sakit, tak sedikitpun ia
membuka mulut sekedar sepatah dua patah kata.
"Apa kau tau ini Alex?" viona diam tak bergeming di jok samping kemudi.
"Kita makan dulu.."
"Alex.."
"Viona, bukan hanya
dirimu saja yang membutuhkan makan saat ini. Apa kau tidak dengar kata
dokter tadi? Ada calon bayi yang harus kau perhatikan."
Viona tertegun mendengar
penuturan Alex. Ia bahkan hampir lupa, ada sesuatu, tidak.. tepatnya
seseorang yang sedang bergantung padanya. Ia akhirnya turun dengan
perlahan, mengikuti Alex masuk dan menuju ke meja kosong. Alex
memesankan makanan untuk mereka berdua. Ia tau Viona tak berselara makan
saat ini tapi ia harus tetap memaksanya makan. Kenyataan bahwa Viona
hami juga telah membingungkannya.
"Kau sudah tau ini semua
kan..?" tanya Viona lemah, ia bahkan tak memandang pada Alex. Lantai
marmer di bawahnya jauh lebih menarik untuknya.
"Kumohon kita makan dulu baru akan kujelaskan semuanya.."
"Semuanya?" Kini Viona memandang penuh pada Alex. "Kau bahkan tau semuanya.." ucapnya penuh ironi.
"Makan Viona.." dagu
Alex menunjuk pada makanan di depan Viona. Apa dia harus terus
mengingatkan soal kehamilan Viona. Oh Tuhan! Itu begitu menyakitkan..
Dengan terpaksa Viona
menyantap hidangan di depannya. Meski ia belum makan terhitung sejak
pagi tadi, ia tetap tak bernafsu. Ia bahkan tak tau apa makanan yang
sedang ditelannya. Tak ada rasanya, manis, asin, asam, ataupun pahit.
Tak berasa. Hanya satu yang memberinya kekuatan untuk menelan, bayinya.
"Saat kau bilang akan
menikah dengan Rei karena Pak Salim sakit, aku segera tau Rei sedang
berbohong. Tapi aku tak tau jika rencananya akan sejauh ini.. " Alex
berhenti sebentar dan menyesap minumannya. "Aku sudah memperingatkanmu
Viona.. saat kita ada disini. Saat kau akan merubah komitmenmu pada Rei.
Aku sudah memperingatkanmu.."
"Kau bahkan tak
mengatakan apapun. Hanya tentang aku yang menyesal.. dan kau membiarkan
aku menyesal bahkan kau bisa mencegahku untuk menyesal.." air mata yang
sedari tadi Viona tahan akhirnya tumpah juga. Dan setelahnya ia tak bisa
menghentikan rasa sakit yang mulai menggerogoti hatinya, ia mulai
terisak. "Kenapa Alex? Kenapa kau tak mencoba menghentikanku waktu
itu.."
"Maaf.." Alex
menggenggam tangan Viona. "Waktu itu aku begitu emosi saat kau
memutuskan untuk benar-benar bersama Rei. Aku.. aku sangat marah.
Kupikir..kau hanya akan sementara dan juga tak akan sejauh ini.." Alex
semakin mengeratkan genggamannya, ia tak kalah menyesal telah
memenangkan emosinya dan membiarkan Viona seperti ini.
.
.
0 Response to "Hopeless Part 62"
Post a Comment