Hopeless Part 72

.
Aku tidak menyangka, jadwal kunjunganku ke Malang akan mempertemukanku dengan Viona. Dua hari yang lalu Clara mengingatkanku soal proyek Caffe yang dipindah dari Surabaya ke Malang. Dan sama sekali tak kusangka kalau wanitaku malah menjadi salah satu anggota desain yang mengurusi caffe di Malang. Mungkin ini yang dinamakan takdir Tuhan. Meski Viona masih tak mau mempercayai bahwa ini sebuah kebetulan. Aku tau dia masih marah dan kepercayaannya padaku belum pulih sama sekali. Aku memang pantas mendapatkan itu.
Tapi ini memang takdir Tuhan. Tuhan terlalu murah hati padaku setelah semua yang terjadi. Dan aku tidak akan menyianyiakan kemurahanNya kali ini. Akan kudapatkan kembali Viona..
"Lepaskan aku sekarang!" Ia menggeram di telingaku. Aku melepas lenganku yang melingkar di pinggangnya dan dengan sigap ia pindah ke kursi di sebelahku. Rasanya aku rela memberikan seluruh sahamku agar bisa melihat ekspresi telah kembali ke wajah cantiknya. Meski itu hanya ekspresi kejengkelannya seperti sekarang ini.
"Viona memang suka malu-malu kalau sama saya.." Yeah.. sangat kebalikan dirinya. Sebenarnya dia menyukai perlakuan romantis. Darimana aku tau itu? Aku harusnya berterima kasih pada buku kecil berwarna biru yang ditinggalkan Viona. Tak sengaja kutemukan di salah satu laci walk in closet. Awalnya hanya rasa penasaran karena sepertinya itu bukan bukuku, lagipula saat itu aku hampir gila karena kepergian Viona dan berharap ada suatu petunjuk di dalam buku itu. Tak ada suatu petunjuk apapun dalam buku itu namun setelah membacanya aku merasa cukup lega. Ternyata itu adalah buku harian Viona. Manis sekali istriku ini masih suka menulis buku harian. Melalui buku harian itulah aku tau bahwa Viona benar-benar mencintaiku dan aku tau cinta itu tidak akan hilang begitu saja. Jadi aku aku akan memperjuangkannya apapun yang terjadi. Apapun. Hey! Jangan tatap aku seperti itu karna membaca buku harian milik orang lain! Salah sendiri dia meninggalkannya, akukan hanya pria malang yang sedang putus asa mencari petunjuk keberadaan istrinya.
"Nggak nyangka Viona bisa malu-malu. Padahal biasanya malu-malui." Kalimat terakhir budhe Lis membuat Viona melotot, membuat kami yang melihatnya jadi tergelak.
"Ahh.." Viona menghentikan tawaku setelah dia memberikan serangan cubitannya di pinggangku. Ah andaikan serangan itu dilakukan pada bagian lain aku pasti dengan senang hati menerimanya.
"Kenapa nak Rei?" Budhe sepertinya menyadari ada yang tak beres denganku karna aku tiba-tiba saa berhenti tertawa.
"Ahhahaha.. tidak apa-apa." Viona semakin mengencangkan cubitan kecilnya. Sial! Jika saja aku tak mencintai wanita di sampingku ini! "Kita lihat siapa yang akan bertahan Viona.." Tantangku usai Viona melepaskan tangannya dari pinggangku. Sengaja aku membisikinya tepat di telinga dengan sedikit menghembuskan nafasku. Aku tau ini akan bereaksi padanya, setiap wanita menyukainya bukan? Tapi beberapa detik kemudian dia menatapku sambil menyeringai! Huh.. tidak mau mengalah begitu saja rupanya.
"Nak Rei nginep disini aja. Tadikan kamu bilang ada kerja sama dengan Kia, jadi kalian bisa mudah komunikasinya kalau nak Rei mau disni." Kakak dari Ayah Viona masih membujukku untuk tinggal di rumahnya. Itu memang ide yang tidak buruk, karna aku bisa mendekati Viona kembali.
"Nanti saya akan membawa pakaian saya yang ada di hotel." Aku bisa merasakan tajamnya picingan mata Viona serta bibirnya yang mengerucut tak senang padaku. Aku tak pernah melihat ekspresi jengkelnya yang seperti ini. Tapi ia malah jadi terlihat imut jika seperti ini.
"Tapi maaf ya kalau rumah kami tidak semewah hotel yang nak Rei tempati."
"Tidak apa budhe. Dimana Viona berada disitu sudah menjadi rumah bagi saya." Wajahnya yang sudah pulih dari rona kembali memerah. Berterima kasih pada buku harian biru yang ditinggalkan si pemilik. Aku jadi tau Viona menyukai hal-hal romantis. Meski tak dipungkiri akan sulit sekali membuka hatinya kembali.
"Kalau begitu tunggu apa lagi Viona? Sana bantu suamimu pindahin barangnya dari hotel."
"Tapi Viona harus ke kantornya cak Kia budhe." Huh.. alasan.
"Biar nanti sore saja saya kemari. Sekarang saya akan mengantar Viona."
Viona hendak membuka mulutnya untuk protes kembali namun segera diurungkannya. Ia tau tak akan ada alasan untuk menolak ini. Dan aku memenangkan babak pertama.
.
.
.
"Bagus sekali Rei. Baru kemarin kau bilang tida akan menggangguku dan sekarang apa?" Viona mulai menyerangku saat kami sudah berada di luar jangkauan pengamatan budhe. Setelah ajakan sarapan budhe yang segera kuiyakan, aku dan Viona segera beranjak dari kediaman budhe untuk mengantar Viona ke kantor milik Kia. Kia.. ngomong-ngomong soal sepupunya Viona itu tadi sewaktu sarapan meberiku tatapan sinis. Bukankah seharusnya dia malu padaku setelah kejadian kemarin? Atau.. mungkin saja Viona sudah memberitahunya soal permasalahan kami.
"Aku juga bilang bahwa akan menemuimu secepatnya. Kau tentu mendengarnya kan kemarin?" Aku membalasnya seraya memutar mobil ke arah jalan besar.
"Kau pikir ini lucu?" Lihat? Sekarang dia berani berteriak dan melotot marah padaku. Jika dalam kadaan normal mungkin aku akan senang sekali menertawainya. Tapi untuk saat ini aku harus berusaha mati-matian menahan tawa.
"Yeah terserah kalau kau menganggap ini lucu, tapi aku tidak." Bohong. "Jam berapa nanti kau pulang?"
"Aku akan pulang dengan Kia." Jawab Viona acuh, ia telah mengalihkan pandangannya pada pepohonan di luar kaca mobil.
"Baiklah aku akan berkemas sendiri nanti dari.."
"Jam empat! Aku pulang jam empat!" Akhirnya menyerah juga.
"Nanti akan kujemput."
Tidak ada bantahan dari Viona, Tapi aku tau dia menahan kesal setengah mati dengan mukanya yang ditekuk. Sampai di kantor Kia pun raut wajah Viona tak menunjukkan perubaham, cemberut dan selalu membuang muka. Aku tau ini tidak akan mudah, tapi setidaknya tidak ada penolakan dari Viona. Tidak ada kekosongan pada matanya, atau tatapan hampanya yang sering membuatku tersiksa karena rasa bersalah. Tidak ada kekosongan pada matanya, atau tatapan hampanya yang sering membuatku tersiksa karena rasa bersalah.
.
.
.
"Itu selimut dan bantal. Terserah kau mau tidur di lantai atau di luar tapi jangan sentuh ranjangku!" Viona melempar slimut tebal serta sebuah bantal ke lantai tempatku berpijak. Ohh.. ini sudah mulai melewati batas.
"Jika aku menolak tidur di sini dan memilih di luar, kau mau budhe tau kita ada masalah?" aku mencoba mengancamnya. Ayolah.. aku sudah sampai di sini dan dia tak mengijinkanku tidur di ranjangnya?
"Aku sudah memikirkannya Rei. Kita tetap pada rencana awal. Tetap jalani kontrak itu." Kontrak sialan..
"Kau sudah tau kan kontrak itu hanya akal-akalanku untukmendapatkanmu. Jadi itu sama sekali tidak valid. Kau istriku Viona. Perlu kau tau aku melakukan janji itu sepenuh hatiku, tak ada kontrak apapun dalam hal sesakral itu. Jadi aku masih suami syahmu sampai detik ini..!!" rasanya ada yang menyulut sumbu emosiku jika ada Viona membahas tentang kontrak bodoh itu. I know i was be the person behind that fucking contract. Tapi aku sudah mengakuinya bahwa aku melakukan hal itu untuk mendapatkan Viona.
"Jadi ceraikan saja aku sekarang jika kau tak mau menjalani kontrak itu!" Viona balas berteriak padaku. "Jangan mempersulit semuanya.." tambah Viona.
"Kau yang mempersulit ini." Desisku sebelum keluar dan membanting pintu kamar. Siapa yang mempersulit siapa?
"Hei Rei.. tidak bisa tidur?" Kia sedang membuat sesuatu di dapur saat aku berjalan menuju teras belakang.
"Yah begitulah." Tidak bisa tidur seranjang dengan Viona maksudku.
"Mau kubuatkan mie instan?" tawarnya.
"Boleh." Sudah berapa lama aku tidak makan mie instan? Lidahku sudah lupa rasanya.
"Kau sedang ada masalah kan dengan Viona?" tembakan langsung tepat ke sasaran.
"Terlihat jelas ya?"
"Tidak juga. Viona yang memberitahuku, hanya garis besarnya saja." Aku tersenyum miris.
"Kau tau kan para wanita. Mereka begitu sensitif, selalu bertindak dengan berdasar emosi. Kita harus berhati-hati dan harus sangat pelan menghadapi mereka. Dibalik sifat mereka yang kadang sekeras batu, mereka sedang menyembunyikan suatu kerapuhan yang tak ingin dilihat oleh kita para lelaki."
"Kenapa mereka selalu harus dimengerti?" dengusku. Aku tau.. aku tau.. bukannya aku langsung menyerah setelah bertekad untuk memperjuangkan Viona apapun yang terjadi. Tapi kata kontrak dan perceraian itu yang membuat darahku mendidik tak karuan.
"Karna itulah sifat dari makhluk yang bernama wanita. Kalau kau terus memasanya, batu itu memang akan lenyap karena kau menghancurkannya, tapi mereka juga akan ikut hancur bersama topeng yang selalu mereka gunakan untuk melindungi kerapuhannya. Kau mengerti kan maksudku?" Kia bicara panjang lebar sambil tetap bekerja di depan kompornya.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Aku bertanya seperti orang bodoh. Bodoh karena putus asa. Sebelumnya aku tak pernah menghadapi wanita yang merajuk marah sampai seperti ini. Tidak tak pernah sama sekali.
Kia mematikan kompor lalu menghidangkan mie yang dimasaknya ke dalam dua mangkuk. "Pindahkan topeng atau batu itu secara perlahan. Bukan menghancurkannya." Kata Kia bija sambil menyerahkan satu mangkuk berisi mie instan dengan kuahnya yang mengeluarkan kepulan panas. Aku yakin ini akan enak karena cuacanya yang sungguh dingin. "Turuti apa yang dimaui mereka." Tambah Kia kemudian.
"Jadi aku harus menurutinya yang minta cerai?"
Kia yang duduk di seberangku langsung tersedak pada suapan pertama. Mungkin kaget karena pertanyaanku. Ia ingin berbicara sesuatu tapi sepertnya batuknya masih enggan meninggalkan ia. Kia lalu mengambil air mineral dan menenggaknya. "Kau membuatku hampir mati tersedak." Ia berhasil mengatasi juga batuk tersedaknya. Sebenarnya aku ingin tertawa tapi kurasa Kia akan tersinggung dan tak jadi memberikanku solusi. "Ulur waktunya Rei, dan selama itu rebut hatinya."
Diam-diam aku membenarkan apa yang dikatakan Kia. Lagipula sebenarnya Viona tadi menawarkan kesepakatan tentang kembali menjalankan kontrak itu. Jadi aku masih punya waktu sekitar satu setengah tahun lagi. Waktu yang lumayan banyak untuk mendapatkan hatinya kembali. Kenapa aku tadi tidak berpikiran seperti itu? Sudah kubilang aku akan menjadi bodoh jika mendengar kata kontrak dan cerai dari mulut wanita yang paling kupuja itu.
Aku memikirkan rencana yang akan kulancarkan sambil menikmati mie yang dibuatkan Kia. Kenapa rasa mie instan jadi seenak ini? Apa aku sudah terlalu lama tidak memakannya dan tidak tau ada varian baru?
"Aku ke kamar dulu Ki. Thank's sudah menemaniku ngobrol dan memberi masukan."
"Never mind sir."
Sesampainya di kamar, Viona terlihat seperti sudah pulas dengan tidurnya yang memunggungi pintu kamar. Selimut dan sebuah bantal masih teronggok di lantai. "Ya ampun.. keras kepala sekali wanita ini.." Aku saja yang memakai sweater tebal masih kedinginan apalagi dia yang hanya memakai kaos oblong? Dia biasanya memakai piyama atau kamisol. Ohh.. hell.. aku merindukan kamisol linen itu, serta bagaimana tali kamisol turun melewati bahu jenjangnya.
Kuselimuti tubuh mungil wanitaku sekaligus bergabung dengannya. Viona membalikkan badannya. Kukira dia akan bangun namun ia hanya bergumam dan malah memelukku dan menelusupkan wajahnya ke dadaku. Lengannya terasa dingin menembus kaosk yang kupakai. Dasar keras kepala.. sudah tau dingin tapi kekeh tak mau memakai selimut. "Hey sweetheart.." aku bisa melihat bekas air mata yang telah mengering di pipinya, hatiku mencelos seketika. "Maafkan aku sayang.." kuuelus lembut pipinya dan memberinya kecupan di keningnya. "Maaf.."
.
.
.
TBC
.
.
.

Related Posts:

1 Response to "Hopeless Part 72"

  1. Why casinos use the term 'casino' in your own words
    If you 광주광역 출장안마 believe 천안 출장마사지 that 파주 출장샵 “casino” means 'casino”, you 당진 출장안마 don't 광명 출장샵 think casinos have the following characteristics:..

    ReplyDelete