.
Aku tidak menyangka, jadwal kunjunganku ke Malang akan mempertemukanku dengan Viona. Dua hari yang lalu Clara mengingatkanku soal proyek Caffe yang dipindah dari Surabaya ke Malang. Dan sama sekali tak kusangka kalau wanitaku malah menjadi salah satu anggota desain yang mengurusi caffe di Malang. Mungkin ini yang dinamakan takdir Tuhan. Meski Viona masih tak mau mempercayai bahwa ini sebuah kebetulan. Aku tau dia masih marah dan kepercayaannya padaku belum pulih sama sekali. Aku memang pantas mendapatkan itu.
Aku tidak menyangka, jadwal kunjunganku ke Malang akan mempertemukanku dengan Viona. Dua hari yang lalu Clara mengingatkanku soal proyek Caffe yang dipindah dari Surabaya ke Malang. Dan sama sekali tak kusangka kalau wanitaku malah menjadi salah satu anggota desain yang mengurusi caffe di Malang. Mungkin ini yang dinamakan takdir Tuhan. Meski Viona masih tak mau mempercayai bahwa ini sebuah kebetulan. Aku tau dia masih marah dan kepercayaannya padaku belum pulih sama sekali. Aku memang pantas mendapatkan itu.
Tapi ini memang takdir
Tuhan. Tuhan terlalu murah hati padaku setelah semua yang terjadi. Dan
aku tidak akan menyianyiakan kemurahanNya kali ini. Akan kudapatkan
kembali Viona..
"Lepaskan aku sekarang!"
Ia menggeram di telingaku. Aku melepas lenganku yang melingkar di
pinggangnya dan dengan sigap ia pindah ke kursi di sebelahku. Rasanya
aku rela memberikan seluruh sahamku agar bisa melihat ekspresi telah
kembali ke wajah cantiknya. Meski itu hanya ekspresi kejengkelannya
seperti sekarang ini.
"Viona memang suka
malu-malu kalau sama saya.." Yeah.. sangat kebalikan dirinya. Sebenarnya
dia menyukai perlakuan romantis. Darimana aku tau itu? Aku harusnya
berterima kasih pada buku kecil berwarna biru yang ditinggalkan Viona.
Tak sengaja kutemukan di salah satu laci walk in closet. Awalnya hanya
rasa penasaran karena sepertinya itu bukan bukuku, lagipula saat itu aku
hampir gila karena kepergian Viona dan berharap ada suatu petunjuk di
dalam buku itu. Tak ada suatu petunjuk apapun dalam buku itu namun
setelah membacanya aku merasa cukup lega. Ternyata itu adalah buku
harian Viona. Manis sekali istriku ini masih suka menulis buku harian.
Melalui buku harian itulah aku tau bahwa Viona benar-benar mencintaiku
dan aku tau cinta itu tidak akan hilang begitu saja. Jadi aku aku akan
memperjuangkannya apapun yang terjadi. Apapun. Hey! Jangan tatap aku
seperti itu karna membaca buku harian milik orang lain! Salah sendiri
dia meninggalkannya, akukan hanya pria malang yang sedang putus asa
mencari petunjuk keberadaan istrinya.
"Nggak nyangka Viona
bisa malu-malu. Padahal biasanya malu-malui." Kalimat terakhir budhe Lis
membuat Viona melotot, membuat kami yang melihatnya jadi tergelak.
"Ahh.." Viona
menghentikan tawaku setelah dia memberikan serangan cubitannya di
pinggangku. Ah andaikan serangan itu dilakukan pada bagian lain aku
pasti dengan senang hati menerimanya.
"Kenapa nak Rei?" Budhe sepertinya menyadari ada yang tak beres denganku karna aku tiba-tiba saa berhenti tertawa.
"Ahhahaha.. tidak
apa-apa." Viona semakin mengencangkan cubitan kecilnya. Sial! Jika saja
aku tak mencintai wanita di sampingku ini! "Kita lihat siapa yang akan
bertahan Viona.." Tantangku usai Viona melepaskan tangannya dari
pinggangku. Sengaja aku membisikinya tepat di telinga dengan sedikit
menghembuskan nafasku. Aku tau ini akan bereaksi padanya, setiap wanita
menyukainya bukan? Tapi beberapa detik kemudian dia menatapku sambil
menyeringai! Huh.. tidak mau mengalah begitu saja rupanya.
"Nak Rei nginep disini
aja. Tadikan kamu bilang ada kerja sama dengan Kia, jadi kalian bisa
mudah komunikasinya kalau nak Rei mau disni." Kakak dari Ayah Viona
masih membujukku untuk tinggal di rumahnya. Itu memang ide yang tidak
buruk, karna aku bisa mendekati Viona kembali.
"Nanti saya akan membawa
pakaian saya yang ada di hotel." Aku bisa merasakan tajamnya picingan
mata Viona serta bibirnya yang mengerucut tak senang padaku. Aku tak
pernah melihat ekspresi jengkelnya yang seperti ini. Tapi ia malah jadi
terlihat imut jika seperti ini.
"Tapi maaf ya kalau rumah kami tidak semewah hotel yang nak Rei tempati."
"Tidak apa budhe. Dimana
Viona berada disitu sudah menjadi rumah bagi saya." Wajahnya yang sudah
pulih dari rona kembali memerah. Berterima kasih pada buku harian biru
yang ditinggalkan si pemilik. Aku jadi tau Viona menyukai hal-hal
romantis. Meski tak dipungkiri akan sulit sekali membuka hatinya
kembali.
"Kalau begitu tunggu apa lagi Viona? Sana bantu suamimu pindahin barangnya dari hotel."
"Tapi Viona harus ke kantornya cak Kia budhe." Huh.. alasan.
"Biar nanti sore saja saya kemari. Sekarang saya akan mengantar Viona."
Viona hendak membuka mulutnya untuk protes kembali namun segera diurungkannya. Ia tau tak akan ada alasan untuk menolak ini. Dan aku memenangkan babak pertama.
.
.
.
"Bagus sekali Rei. Baru kemarin kau bilang tida akan menggangguku dan sekarang apa?" Viona mulai menyerangku saat kami sudah berada di luar jangkauan pengamatan budhe. Setelah ajakan sarapan budhe yang segera kuiyakan, aku dan Viona segera beranjak dari kediaman budhe untuk mengantar Viona ke kantor milik Kia. Kia.. ngomong-ngomong soal sepupunya Viona itu tadi sewaktu sarapan meberiku tatapan sinis. Bukankah seharusnya dia malu padaku setelah kejadian kemarin? Atau.. mungkin saja Viona sudah memberitahunya soal permasalahan kami.
Viona hendak membuka mulutnya untuk protes kembali namun segera diurungkannya. Ia tau tak akan ada alasan untuk menolak ini. Dan aku memenangkan babak pertama.
.
.
.
"Bagus sekali Rei. Baru kemarin kau bilang tida akan menggangguku dan sekarang apa?" Viona mulai menyerangku saat kami sudah berada di luar jangkauan pengamatan budhe. Setelah ajakan sarapan budhe yang segera kuiyakan, aku dan Viona segera beranjak dari kediaman budhe untuk mengantar Viona ke kantor milik Kia. Kia.. ngomong-ngomong soal sepupunya Viona itu tadi sewaktu sarapan meberiku tatapan sinis. Bukankah seharusnya dia malu padaku setelah kejadian kemarin? Atau.. mungkin saja Viona sudah memberitahunya soal permasalahan kami.
"Aku juga bilang bahwa
akan menemuimu secepatnya. Kau tentu mendengarnya kan kemarin?" Aku
membalasnya seraya memutar mobil ke arah jalan besar.
"Kau pikir ini lucu?"
Lihat? Sekarang dia berani berteriak dan melotot marah padaku. Jika
dalam kadaan normal mungkin aku akan senang sekali menertawainya. Tapi
untuk saat ini aku harus berusaha mati-matian menahan tawa.
"Yeah terserah kalau kau menganggap ini lucu, tapi aku tidak." Bohong. "Jam berapa nanti kau pulang?"
"Aku akan pulang dengan Kia." Jawab Viona acuh, ia telah mengalihkan pandangannya pada pepohonan di luar kaca mobil.
"Baiklah aku akan berkemas sendiri nanti dari.."
"Jam empat! Aku pulang jam empat!" Akhirnya menyerah juga.
"Nanti akan kujemput."
Tidak ada bantahan dari
Viona, Tapi aku tau dia menahan kesal setengah mati dengan mukanya yang
ditekuk. Sampai di kantor Kia pun raut wajah Viona tak menunjukkan
perubaham, cemberut dan selalu membuang muka. Aku tau ini tidak akan
mudah, tapi setidaknya tidak ada penolakan dari Viona. Tidak ada
kekosongan pada matanya, atau tatapan hampanya yang sering membuatku
tersiksa karena rasa bersalah. Tidak ada kekosongan pada matanya, atau
tatapan hampanya yang sering membuatku tersiksa karena rasa bersalah.
.
.
.
"Itu selimut dan bantal. Terserah kau mau tidur di lantai atau di luar tapi jangan sentuh ranjangku!" Viona melempar slimut tebal serta sebuah bantal ke lantai tempatku berpijak. Ohh.. ini sudah mulai melewati batas.
.
.
.
"Itu selimut dan bantal. Terserah kau mau tidur di lantai atau di luar tapi jangan sentuh ranjangku!" Viona melempar slimut tebal serta sebuah bantal ke lantai tempatku berpijak. Ohh.. ini sudah mulai melewati batas.
"Jika aku menolak tidur
di sini dan memilih di luar, kau mau budhe tau kita ada masalah?" aku
mencoba mengancamnya. Ayolah.. aku sudah sampai di sini dan dia tak
mengijinkanku tidur di ranjangnya?
"Aku sudah memikirkannya Rei. Kita tetap pada rencana awal. Tetap jalani kontrak itu." Kontrak sialan..
"Kau sudah tau kan
kontrak itu hanya akal-akalanku untukmendapatkanmu. Jadi itu sama sekali
tidak valid. Kau istriku Viona. Perlu kau tau aku melakukan janji itu
sepenuh hatiku, tak ada kontrak apapun dalam hal sesakral itu. Jadi aku
masih suami syahmu sampai detik ini..!!" rasanya ada yang menyulut sumbu
emosiku jika ada Viona membahas tentang kontrak bodoh itu. I know i was
be the person behind that fucking contract. Tapi aku sudah mengakuinya
bahwa aku melakukan hal itu untuk mendapatkan Viona.
"Jadi ceraikan saja aku
sekarang jika kau tak mau menjalani kontrak itu!" Viona balas berteriak
padaku. "Jangan mempersulit semuanya.." tambah Viona.
"Kau yang mempersulit ini." Desisku sebelum keluar dan membanting pintu kamar. Siapa yang mempersulit siapa?
"Hei Rei.. tidak bisa tidur?" Kia sedang membuat sesuatu di dapur saat aku berjalan menuju teras belakang.
"Yah begitulah." Tidak bisa tidur seranjang dengan Viona maksudku.
"Mau kubuatkan mie instan?" tawarnya.
"Boleh." Sudah berapa lama aku tidak makan mie instan? Lidahku sudah lupa rasanya.
"Kau sedang ada masalah kan dengan Viona?" tembakan langsung tepat ke sasaran.
"Terlihat jelas ya?"
"Tidak juga. Viona yang memberitahuku, hanya garis besarnya saja." Aku tersenyum miris.
"Kau tau kan para
wanita. Mereka begitu sensitif, selalu bertindak dengan berdasar emosi.
Kita harus berhati-hati dan harus sangat pelan menghadapi mereka.
Dibalik sifat mereka yang kadang sekeras batu, mereka sedang
menyembunyikan suatu kerapuhan yang tak ingin dilihat oleh kita para
lelaki."
"Kenapa mereka selalu
harus dimengerti?" dengusku. Aku tau.. aku tau.. bukannya aku langsung
menyerah setelah bertekad untuk memperjuangkan Viona apapun yang
terjadi. Tapi kata kontrak dan perceraian itu yang membuat darahku
mendidik tak karuan.
"Karna itulah sifat dari
makhluk yang bernama wanita. Kalau kau terus memasanya, batu itu memang
akan lenyap karena kau menghancurkannya, tapi mereka juga akan ikut
hancur bersama topeng yang selalu mereka gunakan untuk melindungi
kerapuhannya. Kau mengerti kan maksudku?" Kia bicara panjang lebar
sambil tetap bekerja di depan kompornya.
"Lalu apa yang harus aku
lakukan?" Aku bertanya seperti orang bodoh. Bodoh karena putus asa.
Sebelumnya aku tak pernah menghadapi wanita yang merajuk marah sampai
seperti ini. Tidak tak pernah sama sekali.
Kia mematikan kompor
lalu menghidangkan mie yang dimasaknya ke dalam dua mangkuk. "Pindahkan
topeng atau batu itu secara perlahan. Bukan menghancurkannya." Kata Kia
bija sambil menyerahkan satu mangkuk berisi mie instan dengan kuahnya
yang mengeluarkan kepulan panas. Aku yakin ini akan enak karena cuacanya
yang sungguh dingin. "Turuti apa yang dimaui mereka." Tambah Kia
kemudian.
"Jadi aku harus menurutinya yang minta cerai?"
Kia yang duduk di
seberangku langsung tersedak pada suapan pertama. Mungkin kaget karena
pertanyaanku. Ia ingin berbicara sesuatu tapi sepertnya batuknya masih
enggan meninggalkan ia. Kia lalu mengambil air mineral dan menenggaknya.
"Kau membuatku hampir mati tersedak." Ia berhasil mengatasi juga batuk
tersedaknya. Sebenarnya aku ingin tertawa tapi kurasa Kia akan
tersinggung dan tak jadi memberikanku solusi. "Ulur waktunya Rei, dan
selama itu rebut hatinya."
Diam-diam aku
membenarkan apa yang dikatakan Kia. Lagipula sebenarnya Viona tadi
menawarkan kesepakatan tentang kembali menjalankan kontrak itu. Jadi aku
masih punya waktu sekitar satu setengah tahun lagi. Waktu yang lumayan
banyak untuk mendapatkan hatinya kembali. Kenapa aku tadi tidak
berpikiran seperti itu? Sudah kubilang aku akan menjadi bodoh jika
mendengar kata kontrak dan cerai dari mulut wanita yang paling kupuja
itu.
Aku memikirkan rencana
yang akan kulancarkan sambil menikmati mie yang dibuatkan Kia. Kenapa
rasa mie instan jadi seenak ini? Apa aku sudah terlalu lama tidak
memakannya dan tidak tau ada varian baru?
"Aku ke kamar dulu Ki. Thank's sudah menemaniku ngobrol dan memberi masukan."
"Never mind sir."
Sesampainya di kamar,
Viona terlihat seperti sudah pulas dengan tidurnya yang memunggungi
pintu kamar. Selimut dan sebuah bantal masih teronggok di lantai. "Ya
ampun.. keras kepala sekali wanita ini.." Aku saja yang memakai sweater
tebal masih kedinginan apalagi dia yang hanya memakai kaos oblong? Dia
biasanya memakai piyama atau kamisol. Ohh.. hell.. aku merindukan
kamisol linen itu, serta bagaimana tali kamisol turun melewati bahu
jenjangnya.
Kuselimuti tubuh mungil
wanitaku sekaligus bergabung dengannya. Viona membalikkan badannya.
Kukira dia akan bangun namun ia hanya bergumam dan malah memelukku dan
menelusupkan wajahnya ke dadaku. Lengannya terasa dingin menembus kaosk
yang kupakai. Dasar keras kepala.. sudah tau dingin tapi kekeh tak mau
memakai selimut. "Hey sweetheart.." aku bisa melihat bekas air mata yang
telah mengering di pipinya, hatiku mencelos seketika. "Maafkan aku
sayang.." kuuelus lembut pipinya dan memberinya kecupan di keningnya.
"Maaf..".
.
.
TBC
.
.
.
Why casinos use the term 'casino' in your own words
ReplyDeleteIf you 광주광역 출장안마 believe 천안 출장마사지 that 파주 출장샵 “casino” means 'casino”, you 당진 출장안마 don't 광명 출장샵 think casinos have the following characteristics:..