Jadi kubiarkan dia pergi
begitu saja setelah mengantarku. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan
permintaan maaf secara singkat. Alex tak menanggapi rasa terima kasih
dan permintaan maafku, ah peduli amat. Pak hendra, tukang kebun rumah
Rei terheran-heran memandangiku saat masuk rumah. Mungkin karna
penampilanku yang acak-acakan dan tanpa alas kaki.
Aku langsung menuju ke
kamar. Pusingku belum juga membaik, aku ingin segera membaringkan
tubuhku. Entah aku bisa masuk kerja atau tidak besok. Tergantung saat
aku bangun nanti. Apakah lebih segar atau tak membaik.
Belum sempat aku
memejamkan mataku, aku teringat bungkusan obat dari Alex. Iya, aku harus
meminumnya dulu. Aku bangun lagi dari tempat tidur dan pergi ke dapur
untuk mengambil minum.
Di dapur aku bertemu bibi ama. Dia sedang mengupas apel.
“Mau buat apa bi?” tanyaku basa-basi sambil mengambil air putih di kulkas.
“Manisan buah.” Jawabnya tanpa menoleh padaku, berkonsentrasi pada apel di tangannya.
“Oh..”aku pun hanya meng oh kan jawabannya. Tak mau mengganggunya dengan pertanyaanku lagi.
“Anda tadi di cari pak Raihan. Dia menelepon ke rumah apakah anda sudah pulang apa belum.”
Aku yang sudah sampai di
lorong antara dapur dan ruang tengah berhenti karena perkataan bibi
ama. Oh Tuhan.. aku lupa dengan Rei.. ini sudah dua jam sejak aku
meninggalkannya. Padahal aku berjanji hanya sebentar saja tadi.
“ohh..aku hanya terpisah tadi bi, aku akan mengabarinya nanti.” Ujarku
dan kembali menuruskan langkahku ke dalam kamar. Aku terpaksa berbohong
karna tak ingin menjelaskan lebih lanjut, rasa nyeri di kepala
menuntutku untuk segera berbaring.
Segera setelah ku minum
semua obatku (bukan semua, sesuai dosislah). Aku berbaring kembali,
mengeistirahatkan seluruh persendianku. Tak butuh waktu lama hingga
keterlelapan membungkusku.
.
.
.
.
.
Aku terbangun dengan
degupan jantung yang terpacu dengan cepat. Ada sebuah tangan yang
melingkar di pinggangku. Aku membalikkan badan dan bertemu pandang
dengan tatapan
“Rei..?”
“I’m so sorry Viona...” lirihnya.
Aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Ada seorang pria, di ranjangku, memelukku dan.. meminta maaf?
“Maaf aku telah mengabaikanmu.” Dia menunduk tak lagi menatapku.
“Kau nggak salah kok. Ngapain harus minta maaf segala.” Secara teknis memang dia gak salah apa-apa kan?
“Waktu aku sakit
kemaren, kau merawatku dengan sangat baik. Menjagaku hingga malam,
mengurus segalanya. Dan giliranmu sakit, aku bahkan tak ada di
sampingmu. Aku mengabaikanmu..”
“Hei..” aku mengangkat
kepalanya yang tertunduk agar sejajar dengan pandanganku. “aku
melakukannya dengan ikhlas, kau tak perlu membalas apapun. Dan aku juga
sudah membaik.” aku bohong soal yang terakhir itu. Perutku masih
meronta, melilitku tanpa ampun.
“Tetap saja aku salah., aku benar-benar minta maaf. I promise, i’ll never ignore you again.”
“Sudahlah Rei..” aku
harus memutar otak untuk mengusir Rei dari ranjangku. “Tak ada yang
perlu kai khawatirkan. Yang penting aku baik-baik saja. Jam berapa
sekarang?”
“Jam setengah lima.”
“Ohh..aku harus segera ke kamar mandi.” Kilahku.
“Thank’s Vio..” dia bangun. Oh.. akhirnya..
Tapi..
Rei malah merunduk mendekatkan wajahnya, dan mengecup lembut keningku. Jantungku berhenti bekerja sesaat dan kemudian bekerja kembali ratusan kali lebih cepat. Ada rasa dingin dan hangat menghantam hatiku secara bersamaan.
Rei malah merunduk mendekatkan wajahnya, dan mengecup lembut keningku. Jantungku berhenti bekerja sesaat dan kemudian bekerja kembali ratusan kali lebih cepat. Ada rasa dingin dan hangat menghantam hatiku secara bersamaan.
“Kau mau makan apa? Biar dimasakin sama bibi ama.”
“A..apa aja.” Jawabku gugu. Aku masih berusaha menetralkan hatiku.
“Baiklah..” Rei beranjak
dari kamarku tanpa melepaskan pandangannya dariku. Hingga sampai
akhirnya dia menghilang dari balik pintu.
Aku bangun dari tempat tidur dan sedikit berlari ke kamar mandi. Menyalakan keran air di wastafel dan.
Mengeluarkan sisa-sisa terakhir makanan yang ku santap.
Sepertinya aku tak bisa
berangkat kerja untuk besok. Aku benar-benar K.O. kali ini. Tak mungkin
aku pergi kerja besok. Aku memandangi cermin yang menggantung di atas
wastafel. Aku kembali ingin muntah melihat wajahku sendiri -_- . Ya
ampuunnn.... make up ku yang belum di bersihkan sebelum tidur tampak
sangat berantakan. Dan sangat mengerika, warna hitam dari maskara dan
eyeliner merembes ke mana-mana. Aku terlihat seperti kuntilanak yang
baru bangkid dari kubur.
“Vio, kau nggak papa?”
suara Rei terdengar dari balik pintu kamar mandi. Apa dia mendengar
kalau aku muntah? Padahal sudah kunyalakan air krannya agar meredam
suara muntahku.
“Ya aku baik-baik saja Rei..”
Tok..tok..tok.. “Apa kau baik-baik saja Vio?”
Sepertinya malah suaraku yang teredam oleh aliran air dari kran. Segera kucuci mukanu dan kumatikan krannya. “Aku tak apa Rei..”
“Kau yakin?”
“Ya.” Aku membuka pintu kamar mandi dan menemukan pandangan khawatir pada wajah Rei. “Jangan khawatir.” Ucapku.
“Berbaring saja, akan
kubawakan makanannya kesini.” Rei memapahku kembali ke ranjang.
Sebenarnya aku tak suka. Terlihat lemah di depan pria. Aku benar-benar
benci keadaan ini. Aku tak mau dipandang sebagai wanita yang rapuh, yang
harus di topang, di jaga dengan hati-hati.
Sesuai janjinya, Rei
membawa makanan yang dimasak bibi ama ke dalam kamar. Rei ingin
menyuapiku, tapi aku bersikeras menolaknya. Aku masih bisa makan
sendiri. Secara tersirat aku sudah menyuruhnya untuk pergi dari kamarku,
tapi dia sepertinya kekeh tetap menemaniku makan.
“Tidurlah.” Rei menarik selimutku sampai ke batas pundak. “Jangan kerja dulu sampai kau benar-benar sembuh.”
“Tentu, aku tak sepertimu yang gila kerja.” Ucapku diiringi uapan hasil efek samping obat.
Rei sedikit tertawa
dengan ucapanku sebelum akhirnya dia akhirnya benar-benar keluar dan aku
mendengar bunyi klik dari knop pintu.
.
.
.
.
.
Tidurku cukup nyenyak
meski aku terbangun sekitar jam satu dini hari. Setelah itu aku malah
tidur hingga jam 8. Ampun!! Jam delapan dan aku baru bangun! Meski aku
tak berangkat kerja tapi tak seharusnya aku bangun sesiang ini.
Memalukan sekali. Di nakas sudah ada segelas besar susu yang tampaknya
sudah dingin.
Aku tak biasa makan atau
minum sebelum gosok gigi, jadi aku ke kamar mandi dulu. Barulah setelah
itu aku menenggak habis susu yang sudah tinggal sedikit panasnya. Bibi
ama mendatangi kamarku dan membawa nampan lengkap dengan sarapanku. Aku
menolak makan di dalam kamar, kurasa aku sudah cukup kuat untuk makan di
luar.
Rei sudah berangkat
kerja dari tadi rupanya. Aku tak melihatnya pagi ini. Hah.. sungguh aku
benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa dengan Rei. Aku
sendiri tak bisa mengartikan perlakuannya kemarin terhadap diriku.
Sukakah dia denganku? Kalau dipikir secara logika, apa sih yang bisa
disukainya dariku. Dia bisa dapat lebih, contohnya sekretarisnya yang
kayak super model itu. Lebih pinter, lebih cantik, lebih seksi tentunya.
Lah aku?
Tapi sikapnya sungguh
sangat tak mudah di tebak. Tiba-tiba saja sudah ada di ranjangku. Siapa
yang gak kaget coba nemu makhluk tampan sehabis tidur. Tapi aku juga
agak risih dengannya. Terserah dia mau suka sama aku atau tidak. Yang
pasti aku tidak.
Sehabis makan aku
menghabiskan waktu berjemur di halaman belakang. Gila. Halaman belakang
rumah Rei ternyata luas banget. Sejak awal aku belum menyempatkan ke
sini, hanya melihat sekilas melalui jendela. Kolam renang yang jernih
dan terawat, hamparan rumput yang menurutku bisa di buat lapangan golf
mini. Ini halaman apa tempat parkir sih luas banget.
Bibi ama membuatkanku
teh untuk dinikmati di halaman belakang. Ada sebuah gazebo kecil yang
kutaksir terbuat dari kayu jati asli dengan ukiran-ukiran khasnya.
Disitulah aku duduk dan bersandar pada dinding gazebo sambil memandangi
air kolam tenang dan biru. Sudah merasa lebih baik, dan mualku sudah
hilang. Cuman nafsu makanku belum kembali sepenuhnya.
Lama-lama memandangi
kolam membuatku teringat kejadian kemarin. Brengsek. Cuma kata itu yang
pantas. Memang dia menolongku, tapi bukan berarti aku harus memaafkan
perbuatannya. Dia membuatku sangat muak. Alexander curtiz. Aku harus
cari tahu tentangnya, untuk berterima kasih dan mengganti rugi. Itu yang
lebih membuatku lebih jengkel.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 11"
Post a Comment