Hopeless Part 11

Alex mengantarku sampai ke rumah Rei. Sepanjang perjalanan dari klinik ke rumah kami sama sekali tak berucap sepatah katapun. Bahkan dia menyerahkan kantong kertas berisi obat-obatan tanpa mengucapkan apapun. Tapi sesungguhnya aku ingin menanyakan clutchku, tapi aku urungkan. Aku tak ingin memancing emosinya. Aku juga ingin menanyakan alamatnya, untuk memastikan agar aku bisa mengirim tagihannya. Itupun kuurungkan juga, dan sepertinya aku akan dengan mudah melacak nomor polisi mobilnya. 4L3X.
Jadi kubiarkan dia pergi begitu saja setelah mengantarku. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf secara singkat. Alex tak menanggapi rasa terima kasih dan permintaan maafku, ah peduli amat. Pak hendra, tukang kebun rumah Rei terheran-heran memandangiku saat masuk rumah. Mungkin karna penampilanku yang acak-acakan dan tanpa alas kaki.
Aku langsung menuju ke kamar. Pusingku belum juga membaik, aku ingin segera membaringkan tubuhku. Entah aku bisa masuk kerja atau tidak besok. Tergantung saat aku bangun nanti. Apakah lebih segar atau tak membaik.
Belum sempat aku memejamkan mataku, aku teringat bungkusan obat dari Alex. Iya, aku harus meminumnya dulu. Aku bangun lagi dari tempat tidur dan pergi ke dapur untuk mengambil minum.
Di dapur aku bertemu bibi ama. Dia sedang mengupas apel.
“Mau buat apa bi?” tanyaku basa-basi sambil mengambil air putih di kulkas.
“Manisan buah.” Jawabnya tanpa menoleh padaku, berkonsentrasi pada apel di tangannya.
“Oh..”aku pun hanya meng oh kan jawabannya. Tak mau mengganggunya dengan pertanyaanku lagi.
“Anda tadi di cari pak Raihan. Dia menelepon ke rumah apakah anda sudah pulang apa belum.”
Aku yang sudah sampai di lorong antara dapur dan ruang tengah berhenti karena perkataan bibi ama. Oh Tuhan.. aku lupa dengan Rei.. ini sudah dua jam sejak aku meninggalkannya. Padahal aku berjanji hanya sebentar saja tadi. “ohh..aku hanya terpisah tadi bi, aku akan mengabarinya nanti.” Ujarku dan kembali menuruskan langkahku ke dalam kamar. Aku terpaksa berbohong karna tak ingin menjelaskan lebih lanjut, rasa nyeri di kepala menuntutku untuk segera berbaring.
Segera setelah ku minum semua obatku (bukan semua, sesuai dosislah). Aku berbaring kembali, mengeistirahatkan seluruh persendianku. Tak butuh waktu lama hingga keterlelapan membungkusku.
.
.
.
Aku terbangun dengan degupan jantung yang terpacu dengan cepat. Ada sebuah tangan yang melingkar di pinggangku. Aku membalikkan badan dan bertemu pandang dengan tatapan
“Rei..?”
“I’m so sorry Viona...” lirihnya.
Aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Ada seorang pria, di ranjangku, memelukku dan.. meminta maaf?
“Maaf aku telah mengabaikanmu.” Dia menunduk tak lagi menatapku.
“Kau nggak salah kok. Ngapain harus minta maaf segala.” Secara teknis memang dia gak salah apa-apa kan?
“Waktu aku sakit kemaren, kau merawatku dengan sangat baik. Menjagaku hingga malam, mengurus segalanya. Dan giliranmu sakit, aku bahkan tak ada di sampingmu. Aku mengabaikanmu..”
“Hei..” aku mengangkat kepalanya yang tertunduk agar sejajar dengan pandanganku. “aku melakukannya dengan ikhlas, kau tak perlu membalas apapun. Dan aku juga sudah membaik.” aku bohong soal yang terakhir itu. Perutku masih meronta, melilitku tanpa ampun.
“Tetap saja aku salah., aku benar-benar minta maaf. I promise, i’ll never ignore you again.”
“Sudahlah Rei..” aku harus memutar otak untuk mengusir Rei dari ranjangku. “Tak ada yang perlu kai khawatirkan. Yang penting aku baik-baik saja. Jam berapa sekarang?”
“Jam setengah lima.”
“Ohh..aku harus segera ke kamar mandi.” Kilahku.
“Thank’s Vio..” dia bangun. Oh.. akhirnya..
Tapi..
Rei malah merunduk mendekatkan wajahnya, dan mengecup lembut keningku. Jantungku berhenti bekerja sesaat dan kemudian bekerja kembali ratusan kali lebih cepat. Ada rasa dingin dan hangat menghantam hatiku secara bersamaan.
“Kau mau makan apa? Biar dimasakin sama bibi ama.”
“A..apa aja.” Jawabku gugu. Aku masih berusaha menetralkan hatiku.
“Baiklah..” Rei beranjak dari kamarku tanpa melepaskan pandangannya dariku. Hingga sampai akhirnya dia menghilang dari balik pintu.
Aku bangun dari tempat tidur dan sedikit berlari ke kamar mandi. Menyalakan keran air di wastafel dan.
Mengeluarkan sisa-sisa terakhir makanan yang ku santap.
Sepertinya aku tak bisa berangkat kerja untuk besok. Aku benar-benar K.O. kali ini. Tak mungkin aku pergi kerja besok. Aku memandangi cermin yang menggantung di  atas wastafel. Aku kembali ingin muntah melihat wajahku sendiri -_- . Ya ampuunnn.... make up ku yang belum di bersihkan sebelum tidur tampak sangat berantakan. Dan sangat mengerika, warna hitam dari maskara dan eyeliner merembes ke mana-mana. Aku terlihat seperti kuntilanak yang baru bangkid dari kubur.
“Vio, kau nggak papa?” suara Rei terdengar dari balik pintu kamar mandi. Apa dia mendengar kalau aku muntah? Padahal sudah kunyalakan air krannya agar meredam suara muntahku.
“Ya aku baik-baik saja Rei..”
Tok..tok..tok.. “Apa kau baik-baik saja Vio?”
Sepertinya malah suaraku yang teredam oleh aliran air dari kran. Segera kucuci mukanu dan kumatikan krannya. “Aku tak apa Rei..”
“Kau yakin?”
“Ya.” Aku membuka pintu kamar mandi dan menemukan pandangan khawatir pada wajah Rei. “Jangan khawatir.” Ucapku.
“Berbaring saja, akan kubawakan makanannya kesini.” Rei memapahku kembali ke ranjang. Sebenarnya aku tak suka. Terlihat lemah di depan pria. Aku benar-benar benci keadaan ini. Aku tak mau dipandang sebagai wanita yang rapuh, yang harus di topang, di jaga dengan hati-hati.
Sesuai janjinya, Rei membawa makanan yang dimasak bibi ama ke dalam kamar. Rei ingin menyuapiku, tapi aku bersikeras menolaknya. Aku masih bisa makan sendiri. Secara tersirat aku sudah menyuruhnya untuk pergi dari kamarku, tapi dia sepertinya kekeh tetap menemaniku makan.
“Tidurlah.” Rei menarik selimutku sampai ke batas pundak. “Jangan kerja dulu sampai kau benar-benar sembuh.”
“Tentu, aku tak sepertimu yang gila kerja.” Ucapku diiringi uapan hasil efek samping obat.
Rei sedikit tertawa dengan ucapanku sebelum akhirnya dia akhirnya benar-benar keluar dan aku mendengar bunyi klik dari knop pintu.
.
.
.
Tidurku cukup  nyenyak meski aku terbangun sekitar jam satu dini hari. Setelah itu aku malah tidur hingga jam 8. Ampun!! Jam delapan dan aku baru bangun! Meski aku tak berangkat kerja tapi tak seharusnya aku bangun sesiang ini. Memalukan sekali. Di nakas sudah ada segelas besar susu yang tampaknya sudah dingin.
Aku tak biasa makan atau minum sebelum gosok gigi, jadi aku ke kamar mandi dulu. Barulah setelah itu aku menenggak habis susu yang sudah tinggal sedikit panasnya. Bibi ama mendatangi kamarku dan membawa nampan lengkap dengan sarapanku. Aku menolak makan di dalam kamar, kurasa aku sudah cukup kuat untuk makan di luar.
Rei sudah berangkat kerja dari tadi rupanya. Aku tak melihatnya pagi ini. Hah.. sungguh aku benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa dengan Rei. Aku sendiri tak bisa mengartikan perlakuannya kemarin terhadap diriku. Sukakah dia denganku? Kalau dipikir secara logika, apa sih yang bisa disukainya dariku. Dia bisa dapat lebih, contohnya sekretarisnya yang kayak super model itu. Lebih pinter, lebih cantik, lebih seksi tentunya. Lah aku?
Tapi sikapnya sungguh sangat tak mudah di tebak. Tiba-tiba saja sudah ada di ranjangku. Siapa yang gak kaget coba nemu makhluk tampan sehabis tidur. Tapi aku juga agak risih dengannya. Terserah dia mau suka sama aku atau tidak. Yang pasti aku tidak.
Sehabis makan aku menghabiskan waktu berjemur di halaman belakang. Gila. Halaman belakang rumah Rei ternyata luas banget. Sejak awal aku belum menyempatkan ke sini, hanya melihat sekilas melalui jendela. Kolam renang yang jernih dan terawat, hamparan rumput yang menurutku bisa di buat lapangan golf mini. Ini halaman apa tempat parkir sih luas banget.
Bibi ama membuatkanku teh untuk dinikmati di halaman belakang. Ada sebuah gazebo kecil yang kutaksir terbuat dari kayu jati asli dengan ukiran-ukiran khasnya. Disitulah aku duduk dan bersandar pada dinding gazebo sambil memandangi air kolam tenang dan biru. Sudah merasa lebih baik, dan mualku sudah hilang. Cuman nafsu makanku belum kembali sepenuhnya.
Lama-lama memandangi kolam membuatku teringat kejadian kemarin. Brengsek. Cuma kata itu yang pantas. Memang dia menolongku, tapi bukan berarti aku harus memaafkan perbuatannya. Dia membuatku sangat muak. Alexander curtiz. Aku harus cari tahu tentangnya, untuk berterima kasih dan mengganti rugi. Itu yang lebih membuatku lebih jengkel.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 11"

Post a Comment