.
“Bu.. bu Viona.. selamat pagi.” rendi. Salah satu bawahanku terlihat gugup saat menyapaku di dalam lift.
“Pagi ren. Sembilan beres kan?” aku terbiasa menyebut sembilan sebagai sebutan lantai kami.
“A..aman.” hmm... aku
meragukannya jika diliat dari cara bicara rendi. “kok udah pulang bu,
katanya dua minggu di bali?” itu itu aja yang ditanyai semua orang.
“Pak Raihan ada kerjaan yang nggak bisa diwakilin jadi kami pulang lebih awal.” Aku menjelaskan secara singkat.
Ting.
Lantai sembilan.
Dan.. seperti pasar pagi buta yang sedang ramai tawar menawar.
“Ekhem..” aku berdehem
cukup keras tapi sepertinya mereka sama sekali tak mendengarku. Rendi
yang berdiri di belakangku tampak tak enak hati.
“Good morgan..!!” kukeluarkan suaraku semerdu-merdunya.
Dan semuanya langsung menjatuhkan pandangan ke depan pintu lift dimana aku dan rendi berdiri.
“Pagi bu direktur!!”
suara Gio. Hanya Gio yang berani menantangku seperti itu. Yang lain
hanya menatapku dengan cemas dan takut..
“Semuanya.. setelah
makan siang akan ada rapat untuk membahas produk hijau. Jadi, nanti
tidak perlu diinterupsikan lagi kalian langsung masuk ke ruang rapat.”
Boom.... aku menjatuhkan bom atom di siang hari yang amat cerah dimana
angin sedang bertiup sepoi-sepoi ^_^ .
Gio mengikutiku masuk ruang kerjaku.
“Jangan keterlaluan gitu dong Vi. Mereka nanti bisa kena serangan jantung, pagi-pagi udah disuguhin sambaran petir.”
“Yah.. bonus karna udah liburan seminggu full mereka itu.” Kilahku.
“Mereka nggak sepenuhnya libur kali, kerja juga kok. Yah emang gak full kerja kayak pas lo disini.”
“Nah itu lo tahu.
gimana? Katanya ide kita sudah diterima. Nanti kita bicarakan ke yang
lain pas rapat. Biar dijadikan oleh-oleh dariku hehehe..” tawa jahatku
keluar
“Iya, udah diterima. Tiga minggu lagi kita disuruh presentasi.”
“Ngomong-ngomong yang nggantiin gwe pas nggak ada siapa?”
“Gwe lah.. yang jadi sekretaris ya si rama. Sekarang dia udah kembali ke bagian produksi.”
“Pantesan..”
“Pantesan..”
“Pantesan apa?”
“Pantesan kacau balau kayak pasar malem!”
.
.
.
.
.
Yah.. karena aku telah
mengacaukan hari tenang (atau hari huru hara) mereka, jadi aku nggak
cuman ngasih puting beliung aja. Kubawakan beberapa souvenir untuk
mereka. Cukup untuk menarik bibir mereka ke atas setelah segala
ceramahku yang ngalor ngidul selama sejam ini memenuhi gendang telinga
mereka. Belum lagi tambahan beban karna proyekku, tekanan stres mereka
pasti tinggi.
“Makasih bu, gantungannya lucu banget.” Yuni menenteng gantungan kunciku yang kuberikan sebagai oleh-oleh.
“Iya, jangan lupa ya, semuanya harus beres lima hari lagi. Nggak ada alasan apapun!”
“Yes mam..”
“Apa??” aku berlagak nggak denger.
“Yes ma’m..!!” jawab
mereka serentak serta lebih semangat. Oh ayolah, ini hari senin. Kalian
harus lebih semngat dari hari minggu!
Hah.. yah.. inilah yang aku rindukan seminggu ini.
“Gio, bisa bicara sebentar?”
“Ya?”
Aku menahan Gio agar tak keluar dulu dari ruang rapat.
“Kemarin aku bertanya
padamu tentang Alex. Dan kau bilang Rei dan Alex sudah lama berteman.
Benarkah itu, kok kemarin kayaknya mereka nggak akrab.” Memang waktu
kedatangan Alex, Rei bersikap ramah. Tapi sekembalinya aku dari toilet
waktu itu tatapan Rei seperti akan memakannya bulat-bulat.
“Kan udah gwe bilangin,
mereka pernah punya masalah. Nggak ngerti juga apaan, Naya yang lebih
tahu. tapi kata Naya juga mereka udah baikan yah emang nggak kayak dulu
lagi. Kenapa nggak lo tanya aja sama suami lo sendiri?”
Pertanyaan Gio sedikit
menohokku. Aku nggak bisa tanya seenaknya! Dia itu kan bukan suami gwe..
“Eh.. ya, aku cuman penasaran kok. Ini.. nanti tolong disalin dan di
bagiin ke yang lain. Aku mau konsepnya udah jadi 90% di minggu pertama,
minggu kedua aku dan kau akan berlatih untuk presentasi. Dan minggu
terakhir kuharap kita sudah bebas dan tinggal memoles yang perlu.”
Kualihkan topik agar Gio tak menanyaiku lebih dalam.
“Beres bos.”
Dan hari-hariku kini
diisi dengan lembur-lembur dan lembur! Aku selalu pulang minimal jam
sembilan sampai rumah, kadang sampai jam sepuluh. Dan Rei selalu
menungguku, dia menghabiskan waktunya di tempat makan sambil menungguku.
Sudah kucoba untuk menyuruhnya pulang lebih dulu, tapi dia menolak
dengan alasan nanti pasti bakalan banyak yang curiga. Kenapa pengantin
baru pulang sendiri-sendiri. Kubilang untuk tak mendengarkan kata orang,
tapi dia balik berkata bukankah pernikahan ini memang untuk didengar
oleh orang lain. Aku langsung nurut deh.
Bukan cuman nungguin aku
aja, Rei kadang juga bantuin beresin laporan harianku, dan membawakanku
makanan. Hmm..katanya sih biar keliatan romantis.. ya ampun Rei..
sumpah lo bikin hati gwe jadi galau..
Don’t! Don’t ever think about that! Jangan pernah !
Para karyawan di
lantaiku sepertinya amat cemburu melihat kemesraan kami. Tapi mereka mau
berbuat apa, toh status kami sudah suami istri. Itu menurut pandangan
mereka sih.. menurut pandanganku mah mereka benar-benar kena tipu
hihihi.. cuman Gio yang berani nggangguin ama ngledekin kalau Rei sedang
bertandang ke ruanganku.
“Cie.. pak direktur
turun jadi office boy ni ye...” ledek Gio saat Rei membawakan makanan
atau minuman hangat ke ruanganku. Atau malah.. “WOY SEMUANYA..!! ayo
pada pulang !! bentar lagi mau ada gempa bumi hebat di lantai sembilan.”
Sumpah. Kupingku langsung panas mendengarnya.
Dan Rei memperparahnya
.. “ya, kalian sepertinya harus cepat pulang agar lantai ini tidak penuh
dengan tisu..” what??!! What did you say Raihan al husain??!! Oh
god.... hancur sudah image ku.. bagaimana aku harus membangun citraku
kembali. Sialan mereka berdua!!
.
.
.
TBC
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 28"
Post a Comment