"Kumohon, katakan ya.." Rei kembali memohon.
Ergh..!! bisakah Tuhan
mengembalikan duniaku yang dulu. Dimana aku pegawai biasa yang hidup
bahagia tanpa dibenuhi beban pikiran tentang orang lain???
"Ya, baiklah. Kita akan
mencoba." Keputusan tersinting sepanjang sejarah hidupku. Bahkan aku
sedikit tak percaya kata-kata itu begitu lancar dan fasih keluar dari
mulutku.
Raut muka Rei yang
semula pucat kini kembali memerah. Sepertinya ada banyak darah yang
dihantar ke wajah dan kepalanya. Ia tersenyum, sangat lebar, ear to ear.
Rei meraih tanganku dan mengaitkan dengan jari-jarinya. "Oh Tuhan.. kau
tak tau betapa bahagianya aku mendengar jawabanmu Viona.." kemudian ia
mencium punggung tanganku dengan lembut.
Benarkah kau bahagia
Rei..?? apa aku bisa merasakannya juga jika aku mengikutimu? Sudah
tepatkah ini semua?? Kepalaku tiba-tiba dipenuhi jutaan kemungkinan
akibat keputusanku sendiri. Itu membuatku mual.
Kami kembali ke kantor
hampir pukul dua. Rei memang memilih tempat makan yang agak jauh. Ia tak
lagi mengendarai range rovernya, sebagai ganti ia pakai cadillac
escalad hitam. Setipe dengan range rover kupikir, sama-sama cocok untuk
mobil pengawal yang kuat dan tangguh. Mobil itu selalu teronggok di
garasi paling pojok di sebelah jeep. Rei punya selera prianya pada
pilihan mobil. Man and his car.
Dengan digantinya mobil
yang biasa ia pakai, aku bisa memastikan keadaan range rovernya tak
cukup bagus. Rasa bersalah menjalar ke dalam diriku. Sebegitu
khawatirkah Rei sampai dia tak memikirkan keselamatannya sendiri. Aku
agak menyesal mengenai pemikiranku semalam yang mengasumsikan kepergian
Rei semalam dengan pikiran yang iya iya, maksudku enggak enggak >_
"Maaf tak menghubungimu
semalam, kukira kau ada urusan dan tak pulang. Aku menunggu hingga jam
sebelas tapi kau tak muncul juga." Well.. setidaknya aku harus mengirim
pesan padanya, tapi kuurungkan karna gengsi.
"Kau menungguku?" suara Rei menunjukkan ketidak percayaannya. "Did you?" Rautnya berubah tertarik.
"I..iya."
Rei kembali tersenyum
lebar. Jenis swenyum yang kusuka. "Maaf aku juga tak bisa mengabarimu
semalam. Setelah menabrak pohon, aku dibawa ke UGD. Niatnya aku inging
pergi lagi mencarimu. Tapi dokter sialan itu malah membiusku." Meski
tipis, senyumnya tak pernah lepas dari wajah Rei saat ia bercerita.
"Kau gila Rei.."
"Yes, i am." Ia membenarkan.
"Kau seharusnya
memikirkan keadaan dirimu sendiri. Kutebak kau bersikeras pergi padahal
dokter tak mengijinkanmu. Dan kau, dengan kepalamu yang sekeras batu itu
pasti berontak."
Rei tertawa ringan, "Kau
benar sekali. Keadaanku tak penting lagi jika aku kehilanganm tadi
malam." Oh.. itu terdengar manis. Tapi menakutkan juga. Benar-benarr
gila kurasa dia. "Pagi-pagi sekali aku terbangun. Masih di ranjang putih
sialan.."
"Berhenti mengumpat Rei." Selaku. Ok, aku sering mengumpat memang, tapi aku tak pernah megumpat seorang dokter, atau ranjang.
"Baik." Dia melanjutkan
ceritanya lagi. "Aku langsung pulang, dan kupikir kau benar-benar telah
meningalkanku karna tak ada mobilmu di garasi."
"Jam berapa kau pulang?"
"Sekitar jam enam."
"Kau tidak masuk rumah?"
"Tidak."
"Dasar bodoh!" tawaku
sedikit lepas kendali. Aku tak bermaksud mengatainya. "Setidaknya kalau
kau berfikir bahwa aku pergi jauh periksalah baju dan barangku juga
masih ada atau tidak. Kau pastinya juga perlu sarapan dan mandi."
"Aku menghemat waktu
sayang. Kau tak tau perasaanku tadi pagi. Gelap, kacau, sangat
mengerikan." Otot-otot di sekitar rahang Rei mengencang, ia meringis
demi mengingat kejadian yang dialaminya pagi ini. "Kunci escalade segera
kusambar tanpa berpikir lagi. Lagi-lagi aku hanya mengemudi tanpa
tujuan yang jelas. Baru setelah melihat beberapa pekerja masuk ke kantor
mereka, akal sehatku bekerja. Aku ingat kemarin pagi kau berangkat awal
untuk ke kantor, jadi kupikir kau tipe orang yang bertanggung jawab
pada pekerjaan. Dan kau tak akan melariakan diri dari proyek yang sudah
lama kau siapkan. Tanpa berpikir lagi aku mampir ke toko pakaian dan
membeli ini." Rei mengedikkan bahunya.
Tawaku kembali meledak
setelah melihat sesuatu menempel di tengkuknya. "Aku tau seberapa
terburunya kau pergi ke kantor sampai nggak merhatiin penampilan."
"Loh, aku kan udah ganti dengan pakian formal. Kenapa kau tertawa?"
"Ini!" sebuah bandrol
yang mencuat di belakang kepalanya kutarik. "Kau tak melepas ini dari
pagi, mungkin semua dewan yang berjalan di belakangmu menertawaimu
habis-habisan!"
.
.
.
.
.
"Masak apa sayang?" Rei
hampir membuatku menumpahkan minyak panas beserta ikan gurame besar yang
sedang kugoreng ketika lengannya memeluk dengan posesif dari belakang.
"Kau akan membunuh kita berdua. Lepas!"
"Sebentar saja.." rengeknya. Ia semakin membenamkan kepalanya di antara helai rambutku.
"Lepas! Kau bau! Kau kan
belum mandi dari kemarin, ya kan?!" aku mencibirnya. Dia nggak bisa
dibilang bau juga sih.. cuman udah kubilang, dia akan membuat acara
memasakku jadi kacau. Aku memang pulang lebih awal darinya. Meski tadi
dia berkeras membuatku menunggu agar kami bisa pulang bersama, tapi aku
sudah sangat lelah. Satu hari yang sangat menguras tenagaku. Lahir dan
batin.
"Kau merusak suasana." Dia berdecak pelan.
"Kau mau kusiram minyak panas ini ya?!" ucapku sarkastik.
"Ok! Fine! You win." Rei
menarik tangannya dan menjauhkan dirnya dariku. "Aku akan mandi. Dan
setelah itu kau tak akan bisa menolakku." Aku tau dia sedang memamerkan
senyum miringnya di belakangku walau aku tak bisa melihatnya.
"Dalam mimpimu Mr. Husain."
"Also your dream Mrs. Husain." Balasnya sebelum kudengar langkahnya menjauh dari dapur.
Aku menghela nafas.
Lega, kesal dan..?? entah. Aku hanya ingin menghela nafas. Kelakuan Rei,
agak berubah sejak siang tadi. Sedikit manja? Oh.. apa yang telah
kulalukan?? Mencoba berhubungan dengan serius? Tenang.. tenang.. ini
hanya percobaan, tak perlu diambil serius. Akhirnya belum ada yang tahu
kan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya jalani saja yang ada
sekarang.
"Kita makan apa?" Rei
muncul dari lorong yang menghubungkan antara ruang tengah dan dapur
dengan polo hitam dan celana pendek. Dia jauh lebih baik daripada tadi.
Lebih fresh dan urgh.. dari dulu aku memang tak memungkiri kalau dia
tampan, bukan jenis tampan seperti squdward >_
"Aku hanya menggoreng
gurame serta sambal thailand, dan masih ada sisa sayur yang sudah
kuhangatkan. Maaf tak bisa membuat desert, aku capek seharian ini."
"Ini sudah cukup, ayo makan di ruang tengah." Rei meraih piring besar berisi gurame goreng yang sedang kubawa.
Kadang kami memang makan
di ruang tengah, sambil mendengar musik atau nonton sesuatu. Kali ini
Rei memilih sebuah film tentang sekumpulan superhero. Tak terlalu buruk,
lebih baik daripada film perang atau drama keluarga dan science fiction
yang terlalu berat.
"Kau suka yang mana?"
tanya Rei memecah konsentrasiku pada layar plasma. Kami sudah selesai
makan malam dan telah sampai pertengahan film.
"Apanya?"
"Heronya."
"Stark."
"Kenapa? Karna dia kaya? Punya mobil bagus? Kupikir dia kurang seksi."
"Bukannya kau tanya hero favorit, bukan pria favorit? Kenapa kau membuatku seperti wanita yang cari suami berduit?"
Rei terkekeh. "Lalu kenapa dia?"
"Karna dia konyol."
"Hanya itu?"
"Ya."
"Aneh."
"Loh, suka-suka aku toh. Kau yang mana?"
"Thor."
"Oh..
"Kau tak ingin tau kenapa?"
"Tidak tertarik."
"Dasar.." Rei menarik pergelangan kakiku hingga aku terpekik.
"Apa yang kau lakukan!?" ia memangku kedua kakiku sementara kepalaku terbaring di lengan sofa.
"Kau pasti capek berdiri
lama tadi." Rei mulai menekan lembut telapak kakiku. "Kau cukup bagus
tadi berhasil membungkam Bu Lidya, dia emang sedikit ganas mengenai hal
seperti ini. Tapi dia juga sebenarnya orang yang sangat memperhatikan
perusahaan."
"Hmmm" aku hanya menggumam untuk menjawabnya. Masih berkonsentrasi dengan film dan pijatannya.
"Ngomong-ngomong mobilmu dimana? Kok di garasi nggak ada? Kukira kau belum pulang."
"Bengkel."
"Jadi kau pulang naik taxi? Tadi kan udah kubilang untukku menungguku sebentar saja. Atau nyuruh mang Jajang jemput?"
"Iya. Capek banget aku tadi, pengen cepet sampe rumah aja."
"Sejak kapan di bengkel?
Kok bisa sih? Kau nggak kecelakaan juga kan?" Rei berubah profesi jadi
wartawan apa. Dari tadi nanya ini itu melulu.
"Kemaren. Mogok, tau kenapa. Nggak, aku mendapatkan SIM A ku tanpa sogokan. Jadi tenang aku nggak akan kecelakaan."
"Kecelakaan bukan karna SIM kali Vi. Kenapa sih nggak pakai mobil yang lain aja."
"Nggak mau."
"Kenapa."
"Kau banyak tanya."
"Aku pengen tau."
"Nggak aja... AA!!" Rei menekan kuat salah satu titik di telapak kakiku. Rasanya sakit sekali sampai aku berteriak keras. Damn.
"Kenapa?" Rei masih mengejar dengan pertanyaan yang sama namun lebih tegas dan mengancam.
"Mobilmu manly semua sih."
"Emang yang nggak manly itu gimana?" ia kembali memijat lembut kakiku.
"Yang nggak kayak mobilmu." Jawabku asal. Ayolah, apa dia main-main bertanya seperti itu. Maksudnya apa coba.
"Capek ngobrol sama kamu."
"Ya udah diem aja.
Lagian kan kita lagi nonton, ngapain ngobrol." Lagi-lagi Rei menekan
kuat titik menyakitkan itu. "Aaaa.. iya..iya.."
"Kau pengen mobil seperti apa?"
"Kau mau membelikanku satu?" tanyaku acuh.
"Kalau kau mau kita ke showroom sekarang."
"Aku mau limusin."
Jawabanku semakinn ngaco, masalahnya aku sedang terlarut dalam
pertempuran antara squad super hero melawan alien. Efek film ini cukup
memukau, sayang kalau dilewatkan.
"Kau menghabisi kesabaranku Vio.."
"Hhmm.." aku kembali
menggumam. Antara masih fokus ke film dan ngantuk. Selanjutnya aku tak
begitu jelas perkataan Rei, paduan rasa capek dan pijatan Rei
menenggelamkanku ke alam mimpi.
.TBC
0 Response to "Hopeless Part 41"
Post a Comment