Hopeless Part 41

.
"Kumohon, katakan ya.." Rei kembali memohon.
Ergh..!! bisakah Tuhan mengembalikan duniaku yang dulu. Dimana aku pegawai biasa yang hidup bahagia tanpa dibenuhi beban pikiran tentang orang lain???
"Ya, baiklah. Kita akan mencoba." Keputusan tersinting sepanjang sejarah hidupku. Bahkan aku sedikit tak percaya kata-kata itu begitu lancar dan fasih keluar dari mulutku.
Raut muka Rei yang semula pucat kini kembali memerah. Sepertinya ada banyak darah yang dihantar ke wajah dan kepalanya. Ia tersenyum, sangat lebar, ear to ear. Rei meraih tanganku dan mengaitkan dengan jari-jarinya. "Oh Tuhan.. kau tak tau betapa bahagianya aku mendengar jawabanmu Viona.." kemudian ia mencium punggung tanganku dengan lembut.
Benarkah kau bahagia Rei..?? apa aku bisa merasakannya juga jika aku mengikutimu? Sudah tepatkah ini semua?? Kepalaku tiba-tiba dipenuhi jutaan kemungkinan akibat keputusanku sendiri. Itu membuatku mual.
Kami kembali ke kantor hampir pukul dua. Rei memang memilih tempat makan yang agak jauh. Ia tak lagi mengendarai range rovernya, sebagai ganti ia pakai cadillac escalad hitam. Setipe dengan range rover kupikir, sama-sama cocok untuk mobil pengawal yang kuat dan tangguh. Mobil itu selalu teronggok di garasi paling pojok di sebelah jeep. Rei punya selera prianya pada pilihan mobil. Man and his car.
Dengan digantinya mobil yang biasa ia pakai, aku bisa memastikan keadaan range rovernya tak cukup bagus. Rasa bersalah menjalar ke dalam diriku. Sebegitu khawatirkah Rei sampai dia tak memikirkan keselamatannya sendiri. Aku agak menyesal mengenai pemikiranku semalam yang mengasumsikan kepergian Rei semalam dengan pikiran yang iya iya, maksudku enggak enggak >_
"Maaf tak menghubungimu semalam, kukira kau ada urusan dan tak pulang. Aku menunggu hingga jam sebelas tapi kau tak muncul juga." Well.. setidaknya aku harus mengirim pesan padanya, tapi kuurungkan karna gengsi.
"Kau menungguku?" suara Rei menunjukkan ketidak percayaannya. "Did you?" Rautnya berubah tertarik.
"I..iya."
Rei kembali tersenyum lebar. Jenis swenyum yang kusuka. "Maaf aku juga tak bisa mengabarimu semalam. Setelah menabrak pohon, aku dibawa ke UGD. Niatnya aku inging pergi lagi mencarimu. Tapi dokter sialan itu malah membiusku." Meski tipis, senyumnya tak pernah lepas dari wajah Rei saat ia bercerita.
"Kau gila Rei.."
"Yes, i am." Ia membenarkan.
"Kau seharusnya memikirkan keadaan dirimu sendiri. Kutebak kau bersikeras pergi padahal dokter tak mengijinkanmu. Dan kau, dengan kepalamu yang sekeras batu itu pasti berontak."
Rei tertawa ringan, "Kau benar sekali. Keadaanku tak penting lagi jika aku kehilanganm tadi malam." Oh.. itu terdengar manis. Tapi menakutkan juga. Benar-benarr gila kurasa dia. "Pagi-pagi sekali aku terbangun. Masih di ranjang putih sialan.."
"Berhenti mengumpat Rei." Selaku. Ok, aku sering mengumpat memang, tapi aku tak pernah megumpat seorang dokter, atau ranjang.
"Baik." Dia melanjutkan ceritanya lagi. "Aku langsung pulang, dan kupikir kau benar-benar telah meningalkanku karna tak ada mobilmu di garasi."
"Jam berapa kau pulang?"
"Sekitar jam enam."
"Kau tidak masuk rumah?"
"Tidak."
"Dasar bodoh!" tawaku sedikit lepas kendali. Aku tak bermaksud mengatainya. "Setidaknya kalau kau berfikir bahwa aku pergi jauh periksalah baju dan barangku juga masih ada atau tidak. Kau pastinya juga perlu sarapan dan mandi."
"Aku menghemat waktu sayang. Kau tak tau perasaanku tadi pagi. Gelap, kacau, sangat mengerikan." Otot-otot di sekitar rahang Rei mengencang, ia meringis demi mengingat kejadian yang dialaminya pagi ini. "Kunci escalade segera kusambar tanpa berpikir lagi. Lagi-lagi aku hanya mengemudi tanpa tujuan yang jelas. Baru setelah melihat beberapa pekerja masuk ke kantor mereka, akal sehatku bekerja. Aku ingat kemarin pagi kau berangkat awal untuk ke kantor, jadi kupikir kau tipe orang yang bertanggung jawab pada pekerjaan. Dan kau tak akan melariakan diri dari proyek yang sudah lama kau siapkan. Tanpa berpikir lagi aku mampir ke toko pakaian dan membeli ini." Rei mengedikkan bahunya.
Tawaku kembali meledak setelah melihat sesuatu menempel di tengkuknya. "Aku tau seberapa terburunya kau pergi ke kantor sampai nggak merhatiin penampilan."
"Loh, aku kan udah ganti dengan pakian formal. Kenapa kau tertawa?"
"Ini!" sebuah bandrol yang mencuat di belakang kepalanya kutarik. "Kau tak melepas ini dari pagi, mungkin semua dewan yang berjalan di belakangmu menertawaimu habis-habisan!"
.
.
.
"Masak apa sayang?" Rei hampir membuatku menumpahkan minyak panas beserta ikan gurame besar yang sedang kugoreng ketika lengannya memeluk dengan posesif dari belakang.
"Kau akan membunuh kita berdua. Lepas!"
"Sebentar saja.." rengeknya. Ia semakin membenamkan kepalanya di antara helai rambutku.
"Lepas! Kau bau! Kau kan belum mandi dari kemarin, ya kan?!" aku mencibirnya. Dia nggak bisa dibilang bau juga sih.. cuman udah kubilang, dia akan membuat acara memasakku jadi kacau. Aku memang pulang lebih awal darinya. Meski tadi dia berkeras membuatku menunggu agar kami bisa pulang bersama, tapi aku sudah sangat lelah. Satu hari yang sangat menguras tenagaku. Lahir dan batin.
"Kau merusak suasana." Dia berdecak pelan.
"Kau mau kusiram minyak panas ini ya?!" ucapku sarkastik.
"Ok! Fine! You win." Rei menarik tangannya dan menjauhkan dirnya dariku. "Aku akan mandi. Dan setelah itu kau tak akan bisa menolakku." Aku tau dia sedang memamerkan senyum miringnya di belakangku walau aku tak bisa melihatnya.
"Dalam mimpimu Mr. Husain."
"Also your dream Mrs. Husain." Balasnya sebelum kudengar langkahnya menjauh dari dapur.
Aku menghela nafas. Lega, kesal dan..?? entah. Aku hanya ingin menghela nafas. Kelakuan Rei, agak berubah sejak siang tadi. Sedikit manja? Oh.. apa yang telah kulalukan?? Mencoba berhubungan dengan serius? Tenang.. tenang.. ini hanya percobaan, tak perlu diambil serius. Akhirnya belum ada yang tahu kan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya jalani saja yang ada sekarang.
"Kita makan apa?" Rei muncul dari lorong yang menghubungkan antara ruang tengah dan dapur dengan polo hitam dan celana pendek. Dia jauh lebih baik daripada tadi. Lebih fresh dan urgh.. dari dulu aku memang tak memungkiri kalau dia tampan, bukan jenis tampan seperti squdward >_
"Aku hanya menggoreng gurame serta sambal thailand, dan masih ada sisa sayur yang sudah kuhangatkan. Maaf tak bisa membuat desert, aku capek seharian ini."
"Ini sudah cukup, ayo makan di ruang tengah." Rei meraih piring besar berisi gurame goreng yang sedang kubawa.
Kadang kami memang makan di ruang tengah, sambil mendengar musik atau nonton sesuatu. Kali ini Rei memilih sebuah film tentang sekumpulan superhero. Tak terlalu buruk, lebih baik daripada film perang atau drama keluarga dan science fiction yang terlalu berat.
"Kau suka yang mana?" tanya Rei memecah konsentrasiku pada layar plasma. Kami sudah selesai makan malam dan telah sampai pertengahan film.
"Apanya?"
"Heronya."
"Stark."
"Kenapa? Karna dia kaya? Punya mobil bagus? Kupikir dia kurang seksi."
"Bukannya kau tanya hero favorit, bukan pria favorit? Kenapa kau membuatku seperti wanita yang cari suami berduit?"
Rei terkekeh. "Lalu kenapa dia?"
"Karna dia konyol."
"Hanya itu?"
"Ya."
"Aneh."
"Loh, suka-suka aku toh. Kau yang mana?"
"Thor."
"Oh..
"Kau tak ingin tau kenapa?"
"Tidak tertarik."
"Dasar.." Rei menarik pergelangan kakiku hingga aku terpekik.
"Apa yang kau lakukan!?" ia memangku kedua kakiku sementara kepalaku terbaring di lengan sofa.
"Kau pasti capek berdiri lama tadi." Rei mulai menekan lembut telapak kakiku. "Kau cukup bagus tadi berhasil membungkam Bu Lidya, dia emang sedikit ganas mengenai hal seperti ini. Tapi dia juga sebenarnya orang yang sangat memperhatikan perusahaan."
"Hmmm" aku hanya menggumam untuk menjawabnya. Masih berkonsentrasi dengan film dan pijatannya.
"Ngomong-ngomong mobilmu dimana? Kok di garasi nggak ada? Kukira kau belum pulang."
"Bengkel."
"Jadi kau pulang naik taxi? Tadi kan udah kubilang untukku menungguku sebentar saja. Atau nyuruh mang Jajang jemput?"
"Iya. Capek banget aku tadi, pengen cepet sampe rumah aja."
"Sejak kapan di bengkel? Kok bisa sih? Kau nggak kecelakaan juga kan?" Rei berubah profesi jadi wartawan apa. Dari tadi nanya ini itu melulu.
"Kemaren. Mogok, tau kenapa. Nggak, aku mendapatkan SIM A ku tanpa sogokan. Jadi tenang aku nggak akan kecelakaan."
"Kecelakaan bukan karna SIM kali Vi. Kenapa sih nggak pakai mobil yang lain aja."
"Nggak mau."
"Kenapa."
"Kau banyak tanya."
"Aku pengen tau."
"Nggak aja... AA!!" Rei menekan kuat salah satu titik di telapak kakiku. Rasanya sakit sekali sampai aku berteriak keras. Damn.
"Kenapa?" Rei masih mengejar dengan pertanyaan yang sama namun lebih tegas dan mengancam.
"Mobilmu manly semua sih."
"Emang yang nggak manly itu gimana?" ia kembali memijat lembut kakiku.
"Yang nggak kayak mobilmu." Jawabku asal. Ayolah, apa dia main-main bertanya seperti itu. Maksudnya apa coba.
"Capek ngobrol sama kamu."
"Ya udah diem aja. Lagian kan kita lagi nonton, ngapain ngobrol." Lagi-lagi Rei menekan kuat titik menyakitkan itu. "Aaaa.. iya..iya.."
"Kau pengen mobil seperti apa?"
"Kau mau membelikanku satu?" tanyaku acuh.
"Kalau kau mau kita ke showroom sekarang."
"Aku mau limusin." Jawabanku semakinn ngaco, masalahnya aku sedang terlarut dalam pertempuran antara squad super hero melawan alien. Efek film ini cukup memukau, sayang kalau dilewatkan.
"Kau menghabisi kesabaranku Vio.."
"Hhmm.." aku kembali menggumam. Antara masih fokus ke film dan ngantuk. Selanjutnya aku tak begitu jelas perkataan Rei, paduan rasa capek dan pijatan Rei menenggelamkanku ke alam mimpi.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 41"

Post a Comment