Aku bermimpi. Ikut
perang melawan alien untuk menyelamatkan seluruh umat manusia yang ada
di bumi bersama anggota super hero yang keren-keren. Entah bagaimana aku
bisa terlibat di dalamnya dan memegang senjata dan bertempur
habis-habisan di antara puing-puing bangunan yang hancur berantakan.
Salah satu alien membidikku dengan senjata lasernya tapi aku
diselamatkan oleh Thor yang agung, ia menabrakku dan kami menghantam
tembok dengan cukup kuat hingga tubuhnya menimpaku. Tapi ia tak juga
bangun-bangun dengan tubuh beratnya menindihku.
"Thor, get up! You breake my bones!" aku menggeliat tapi ia sama sekali tak bergerak.
"THOR!" Mataku terbuka
seketika dan menyadari semua kejadian barusan hanyalah bunga tidur.
Bunga tidur yang disalurkan otakku gara-gara lengan Rei melilit erat di
perutku dan badan berototnya sedikit menimpaku. "Thor, kau sungguh
berat.." cibirku sambil melepas lilitan tangannya dan mendorongnya
menjauh.
Eh.. tapi kan tadi malam
aku ketiduran di sofa bawah. Apa Rei menggendongku sampai kamar? Wi..
jumlah tangganya kan nggak main-main itu.. berat gwe 40 kilo lebih kali.
Aku segera menyelesaikan
kegiatan pagiku jogging, membersihkan diri, membuat sarapan. Rei turun
tepat setelah aku menyelesaikan masakanku. Dia tampak segar sehabis
mandi, aroma aftershave nya cukup membuatku mabuk di pagi hari.
"Good morning Thor."
Sebelah alis Rei
terangkat. "Why yuo call me like that?" aku hanya mengedikkan bahu. "Aku
menyukai Thor, bukan berarti aku sama sepertinya."
"Ya. Kau sedikit mirip."
"Apa yang membuatku
mirip dengan Chris Hemsworth. Perasaan kami memiliki wajah yang sangat
berbeda, tapi kami memang sama-sama tampan." Narsis sekali ini orang -_-
"Well.. kalian memang sama-sama tampan. Tapi bukan itu persamaannya"
"Jadi kau mengakui kalau aku tampan?" Rei nyengir sambil menarik kursi di dekat meja counter.
"Tapi aku lebih suka Stark."
"Kau mulai lagi.."
senyumnya menghilang digantikan garis tipis di bibirnya, tapi itu hanya
luarnya saja. Dia masih terlihat ceria, hanya sedikit kesal haha..
"Kalian sama-sama punya badan yang berat."
"Berat?" kali ini Rei benar-benar heran. "Maksudmu badan yang bagus?"
"No. Kalian.Punya.Badan.Yang.Berat." kembali kutegaskan perkataanku.
Rei sudah tak perduli
lagi, dia beralih pada makanan di depannya dan mulai menyuapkan sesendok
scrambled egg dan kentang tumbuk ke dalam mulutnya. Lalu terus menerus
dengan lahap sampai suapan terakhir.
Dalam escalade hitamnya
menuju kantorpun kami masih berdebat soal hero yang kami sukai. Dia
terus mencibir Stark dan terus memuji Thor. Oh ayolah.. kenapa dia
serius gini cuman bahas tokoh film yang fiktif. Sampai di dalam lift pun
kami masih membahas itu, untung tak ada orang lain selain kami.
Ting.
"Kau ini kenapa sih.
Suka-suka aku dong mau suka sama Stark atau siapa, dia emang nggak punya
kekuatan alami atau terpapar gamma hijau dan punya tubuh gede. Tapi dia
punya otak yang encer, manusia biasa yang punya otak encer hingga dia
bisa mendapat kekuatan miliknya. Dengan usahanya, bukan karna kebetulan
ata keberuntungan." Aku berkacak pinggang, masih memunggungi pintu lift
meski aku tau ini sudah sampai di lantaiku. "Dan Thor mu itu, dengan
kekuatan dewanya, huh tau apa dia? Cuman punya badan gede doang, kau.."
aku menunjuk ke dadanya ".. punya badan yang berat sama seperti dia.
Membuatku sesak saat kau menimpaku ketika tidur."
Kukira dia akan
mendebatku lebih jauh, tapi dia hanya tersenyum miring dan dagunya
bergerak menunjuk ke belakangku, menyuruhku untuk segera keluar dari
lift. Ok, saatnya berpisah. Aku berbalik dan mundur selangkah dengan
mata melotot. Super shit!!
.
.
.
"Surprise..!!" sebagian.. oh mungkin seluruh pegawai sembilan sepertinya sudah menungguku di depan pintu lift sejak tadi. Dan bodohnya aku malah.. aahhh!!! Aku berharap pintu lift tertutup kembali, tapi Gio menahan pintu itu.
.
.
.
"Surprise..!!" sebagian.. oh mungkin seluruh pegawai sembilan sepertinya sudah menungguku di depan pintu lift sejak tadi. Dan bodohnya aku malah.. aahhh!!! Aku berharap pintu lift tertutup kembali, tapi Gio menahan pintu itu.
Rei mendorongku bahuku
keluar lift, dia juga ikut keluar. "Ini bukan hari ulang tahun saya, ada
apa ini?" untuk menutupi rasa maluku aku bertanya dengan suara tegas
dan jutek, tapi hasilnya malah keliatan salting -_-
"Nggak usah galak gitu
dong Vi. Nggak malu apa sama suamimu." Aku udah terlanjur malu tau, dah
putus tuh urat malu. Pasti mereka mendengar percakapanku dan Rei tadi,
sialan!
"Jadi?"
"Selamat Vi, mulai besok poyek lo udah bisa dijalanin."
Rahangku jatuh ke bawah
dan berkedip dua kali sebelum akhirnya aku mencerna informasi itu secara
penuh. "God... YESS!" aku memukul tinjuku tinggi-tinggi. Sorak sora
langsung riuh disekelilingku. Yes! Yes! Yes!
Rei berdehem cukup keras
untuk menarik perhatian. "Luangkan waktu setelah pulang nanti. Kita
rayakan di cafe sebelah." Seketika suara para penghuni sembilan semakin
meninggi dan antusias. "Aku pergi dulu sayang." Rei mencium bibirku
sekilas lalu berbalik masuk lift tepat sebelum puntunya tertutup.
Siulan dan seruan
kembali menggema disertai pekikan dari beberapa wanita. Meski status
kami pasangan suami istri di mata umum, tapi untuk diriku sendiri itu
tadi adalah jenis ciuman seorang kekasih. Dan kini mukaku panas, sepanas
kepiting yang direbus.
"Kembali ke meja kalian.
Ada banyak pekerjaan yang menunggu kalian!" perintahku. Lagi-lagi aku
memasang muka tegas untuk menyelamatkan maluku. Dengan senang hati
mereka membubarkan diri dan menuju meja masing-masing dengan raut muka
gembira, seperti anak TK yang diajak pergi tamasya.
Gio mengekori langkahku menuju ruanganku. Dia berbisik tepat di telingaku sebelah kanan "Senang melihat kalian sudah akur."
Aku terkesiap dan
berhenti melangkah beberapa detik lalu melanjutkan lagi. Bagaimana dia
bisa tau? Apa Rei bercerita padanya? "Bagaimana kau tau?" selidikku.
"Orang sekantor juga tau
kali. Kemarin Rei keliatan kacau, aku tau kalau bukan karnamu apalagi."
Oh wow.. jadi seluruh kantor tau kalau Rei bermasalah kemarin? Memang
tampangnya mencerminkan itu, tapi tak kusangka semua penghuni Orion
mengetahuinya. "Tapi sepertinya pagi ini kalian baik-baik saja."
"Yah.. seperti yang kau
lihat, dan kau bilang. Semuanya beres. Terjadi kesalahpahaman diantara
kami, dan lucunya dia mengira aku pergi. Dan tak akan kembali maksudku.
Rei mencariku kemana-mana padahal aku sendiri malah tidur di rumah. Pagi
kemarin dia masih mencariku, dan dia baru ingat kemarin adalah hari
untukku. Ia memutuskan pergi ke kantor untuk mencariku."
"Kutebak dia pakai baju
baru."Gio menatapku penuh arti. Lalu kami tertawa keras. "Baguslah kalau
kalian baik-baik saja. Memang kadang harus ada kesalah pahaman seperti
itu dalam hubungan agar semakin teruji ikatan diantara kalian." Alex
menarik nafas lalu menghelanya secara perlahan, menghilangkan efek
tertawanya.
"Tapi kulihat dari
mukamu yang kusut kayak cucian baru kering, sepertinya Naya cukup
berhasil membuatmu repot." Aku tersenyum miring lalu menjatuhkan diri di
kursiku.
"Akhir-akhir ini ia
membuatku gila. Gila dalam arti sebenarnya. Kau tau aku semalam tidur
dimana?" itu bukan sesuatu yang harus kujawab, emang dia tidur dimana?
"Di hotel! Karna Naya mengunciku di luar rumah." Dia membanting sebuah
map berisi berkas ke mejaku. Hmm.. aku cukup penasaran apa yang
diinginkan Naya kali ini.
"Emang Naya minta apaan?
Sampe lo nggak bisa dapet." Ngidamnya Naya emang aneh, seperti kayak
emak-emak rempong lainnya yang lagi hamil. Tapi ngidamnya Naya kadang
bikin geleng-geleng kepala. Aku dikasih tau Gio kalau beberapa hari yang
lalu Naya pengen minum jus jambu, jambunya harus Gio sendiri yang
metik. Itu sih nggak susah-susah amat, tapi yang bikin Gio hampir nangis
adalah jus jambu itu airnya harus asli dari mata air pegunungan yang
diambil langsung dari tempanya, bukan olahan yang udah dikemmas. Selama
tiga hari Naya baru dapat jus itu. Gio menyuruh orang untuk mengiriminya
air asli dari gunung, dan selama tiga hari itu Gio mendapat omelan dan
cibiran yang harus diterimanya dengan lapang dada dari istri tercinta.
"Dia pengen nasi goreng."
Dahiku berkerut.
"Bukannya itu gampang." Itu kan hal tergampang yang bisa didapat. Apa
dia minta Gio yang masak? Kan dia bisa nyari resepnya. Atau bahannya
lagi yang susah didapat? Emang dia minta nasi goreng kayak apa sih?
"Emang lo pikir nemuin
Farah Quinn gampang apa!" teriak Gio. Aku menggelengkan kepala dan
beberapa kali berdecak heran. Jadi yang dimaksud Gio adalah Naya itu
ngidam nasi goreng yang dibuat sama chef cantik itu. "Itu gara-gara
acara masak sialan tadi malem. Kebetulan bintang tamunya chef itu. Dia
masak apa itu gwe nggak tau, tiba-tiba Naya pengen nasi goreng, tapi
bikinan Farah Quinn. Dia ngasih ultimatum, pokoknya gwe harus dapet,
kalau nggak gwe nggak dibolehin pulang. Parah banget tuh. Kenapa sih
bumil ngidamnya suka kebangeten." Keluhnya.
"Ya ampun.. kenapa nggak
ke apartemen lo aja?" aku ingat dia kan masih punya apartemen tempat
tinggalnya dulu sebelum menikah. Gio dan Naya memutuskan tinggal di
rumah Naya. Sebenarnya mereka mau pindah ke tempat baru, tapi kakek Naya
meminta mereka untuk tinggal bersama. Gio sama sekali tak keberatan.
Aku pernah bertanya apa dia nggak canggung tinggal bareng kakeknya Naya.
Dia bilang itu bukan masalah, aku tak meragukannya karna Gio memang
orang yang mudah bergaul dengan siapapun, an easy going, aku iri dengan
kemampuannya yang satu itu.
"Lah kuncinya kan di
rumah, aku nggak bisa masuk tau! Dia bener-bener ngunci pintu dan teriak
dari dalem kalo sampe gwe nggak dapet tuh nasi goreng terkutuk gwe
nggak bakal diijinin masuk." Gio kembali menggerutu. "Untung tadi pagi
dia udah berangkat lebih awal, jadi aku bisa masuk."
"Ada-ada saja. Ajak Naya juga ya ntar ke caffe sebelah siapa tau ngambeknya ilang."
"Iya deh, nanti gwe coba hubungin." Dengan lesu Gio berjalan meninggalkan ruanganku.
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 42"
Post a Comment