Hopeless Part 42

Aku bermimpi. Ikut perang melawan alien untuk menyelamatkan seluruh umat manusia yang ada di bumi bersama anggota super hero yang keren-keren. Entah bagaimana aku bisa terlibat di dalamnya dan memegang senjata dan bertempur habis-habisan di antara puing-puing bangunan yang hancur berantakan. Salah satu alien membidikku dengan senjata lasernya tapi aku diselamatkan oleh Thor yang agung, ia menabrakku dan kami menghantam tembok dengan cukup kuat hingga tubuhnya menimpaku. Tapi ia tak juga bangun-bangun dengan tubuh beratnya menindihku.
"Thor, get up! You breake my bones!" aku menggeliat tapi ia sama sekali tak bergerak.
"THOR!" Mataku terbuka seketika dan menyadari semua kejadian barusan hanyalah bunga tidur. Bunga tidur yang disalurkan otakku gara-gara lengan Rei melilit erat di perutku dan badan berototnya sedikit menimpaku. "Thor, kau sungguh berat.." cibirku sambil melepas lilitan tangannya dan mendorongnya menjauh.
Eh.. tapi kan tadi malam aku ketiduran di sofa bawah. Apa Rei menggendongku sampai kamar? Wi.. jumlah tangganya kan nggak main-main itu.. berat gwe 40 kilo lebih kali.
Aku segera menyelesaikan kegiatan pagiku jogging, membersihkan diri, membuat sarapan. Rei turun tepat setelah aku menyelesaikan masakanku. Dia tampak segar sehabis mandi, aroma aftershave nya cukup membuatku mabuk di pagi hari.
"Good morning Thor."
Sebelah alis Rei terangkat. "Why yuo call me like that?" aku hanya mengedikkan bahu. "Aku menyukai Thor, bukan berarti aku sama sepertinya."
"Ya. Kau sedikit mirip."
"Apa yang membuatku mirip dengan Chris Hemsworth. Perasaan kami memiliki wajah yang sangat berbeda, tapi kami memang sama-sama tampan." Narsis sekali ini orang -_-
"Well.. kalian memang sama-sama tampan. Tapi bukan itu persamaannya"
"Jadi kau mengakui kalau aku tampan?" Rei nyengir sambil menarik kursi di dekat meja counter.
"Tapi aku lebih suka Stark."
"Kau mulai lagi.." senyumnya menghilang digantikan garis tipis di bibirnya, tapi itu hanya luarnya saja. Dia masih terlihat ceria, hanya sedikit kesal haha..
"Kalian sama-sama punya badan yang berat."
"Berat?" kali ini Rei benar-benar heran. "Maksudmu badan yang bagus?"
"No. Kalian.Punya.Badan.Yang.Berat." kembali kutegaskan perkataanku.
Rei sudah tak perduli lagi, dia beralih pada makanan di depannya dan mulai menyuapkan sesendok scrambled egg dan kentang tumbuk ke dalam mulutnya. Lalu terus menerus dengan lahap sampai suapan terakhir.
Dalam escalade hitamnya menuju kantorpun kami masih berdebat soal hero yang kami sukai. Dia terus mencibir Stark dan terus memuji Thor. Oh ayolah.. kenapa dia serius gini cuman bahas tokoh film yang fiktif. Sampai di dalam lift pun kami masih membahas itu, untung tak ada orang lain selain kami.
Ting.
"Kau ini kenapa sih. Suka-suka aku dong mau suka sama Stark atau siapa, dia emang nggak punya kekuatan alami atau terpapar gamma hijau dan punya tubuh gede. Tapi dia punya otak yang encer, manusia biasa yang punya otak encer hingga dia bisa mendapat kekuatan miliknya. Dengan usahanya, bukan karna kebetulan ata keberuntungan." Aku berkacak pinggang, masih memunggungi pintu lift meski aku tau ini sudah sampai di lantaiku. "Dan Thor mu itu, dengan kekuatan dewanya, huh tau apa dia? Cuman punya badan gede doang, kau.." aku menunjuk ke dadanya ".. punya badan yang berat sama seperti dia. Membuatku sesak saat kau menimpaku ketika tidur."
Kukira dia akan mendebatku lebih jauh, tapi dia hanya tersenyum miring dan dagunya bergerak menunjuk ke belakangku, menyuruhku untuk segera keluar dari lift. Ok, saatnya berpisah. Aku berbalik dan mundur selangkah dengan mata melotot. Super shit!!
.
.
.
"Surprise..!!" sebagian.. oh mungkin seluruh pegawai sembilan sepertinya sudah menungguku di depan pintu lift sejak tadi. Dan bodohnya aku malah.. aahhh!!! Aku berharap pintu lift tertutup kembali, tapi Gio menahan pintu itu.
Rei mendorongku bahuku keluar lift, dia juga ikut keluar. "Ini bukan hari ulang tahun saya, ada apa ini?" untuk menutupi rasa maluku aku bertanya dengan suara tegas dan jutek, tapi hasilnya malah keliatan salting -_-
"Nggak usah galak gitu dong Vi. Nggak malu apa sama suamimu." Aku udah terlanjur malu tau, dah putus tuh urat malu. Pasti mereka mendengar percakapanku dan Rei tadi, sialan!
"Jadi?"
"Selamat Vi, mulai besok poyek lo udah bisa dijalanin."
Rahangku jatuh ke bawah dan berkedip dua kali sebelum akhirnya aku mencerna informasi itu secara penuh. "God... YESS!" aku memukul tinjuku tinggi-tinggi. Sorak sora langsung riuh disekelilingku. Yes! Yes! Yes!
Rei berdehem cukup keras untuk menarik perhatian. "Luangkan waktu setelah pulang nanti. Kita rayakan di cafe sebelah." Seketika suara para penghuni sembilan semakin meninggi dan antusias. "Aku pergi dulu sayang." Rei mencium bibirku sekilas lalu berbalik masuk lift tepat sebelum puntunya tertutup.
Siulan dan seruan kembali menggema disertai pekikan dari beberapa wanita. Meski status kami pasangan suami istri di mata umum, tapi untuk diriku sendiri itu tadi adalah jenis ciuman seorang kekasih. Dan kini mukaku panas, sepanas kepiting yang direbus.
"Kembali ke meja kalian. Ada banyak pekerjaan yang menunggu kalian!" perintahku. Lagi-lagi aku memasang muka tegas untuk menyelamatkan maluku. Dengan senang hati mereka membubarkan diri dan menuju meja masing-masing dengan raut muka gembira, seperti anak TK yang diajak pergi tamasya.
Gio mengekori langkahku menuju ruanganku. Dia berbisik tepat di telingaku sebelah kanan "Senang melihat kalian sudah akur."
Aku terkesiap dan berhenti melangkah beberapa detik lalu melanjutkan lagi. Bagaimana dia bisa tau? Apa Rei bercerita padanya? "Bagaimana kau tau?" selidikku.
"Orang sekantor juga tau kali. Kemarin Rei keliatan kacau, aku tau kalau bukan karnamu apalagi." Oh wow.. jadi seluruh kantor tau kalau Rei bermasalah kemarin? Memang tampangnya mencerminkan itu, tapi tak kusangka semua penghuni Orion mengetahuinya. "Tapi sepertinya pagi ini kalian baik-baik saja."
"Yah.. seperti yang kau lihat, dan kau bilang. Semuanya beres. Terjadi kesalahpahaman diantara kami, dan lucunya dia mengira aku pergi. Dan tak akan kembali maksudku. Rei mencariku kemana-mana padahal aku sendiri malah tidur di rumah. Pagi kemarin dia masih mencariku, dan dia baru ingat kemarin adalah hari untukku. Ia memutuskan pergi ke kantor untuk mencariku."
"Kutebak dia pakai baju baru."Gio menatapku penuh arti. Lalu kami tertawa keras. "Baguslah kalau kalian baik-baik saja. Memang kadang harus ada kesalah pahaman seperti itu dalam hubungan agar semakin teruji ikatan diantara kalian." Alex menarik nafas lalu menghelanya secara perlahan, menghilangkan efek tertawanya.
"Tapi kulihat dari mukamu yang kusut kayak cucian baru kering, sepertinya Naya cukup berhasil membuatmu repot." Aku tersenyum miring lalu menjatuhkan diri di kursiku.
"Akhir-akhir ini ia membuatku gila. Gila dalam arti sebenarnya. Kau tau aku semalam tidur dimana?" itu bukan sesuatu yang harus kujawab, emang dia tidur dimana? "Di hotel! Karna Naya mengunciku di luar rumah." Dia membanting sebuah map berisi berkas ke mejaku. Hmm.. aku cukup penasaran apa yang diinginkan Naya kali ini.
"Emang Naya minta apaan? Sampe lo nggak bisa dapet." Ngidamnya Naya emang aneh, seperti kayak emak-emak rempong lainnya yang lagi hamil. Tapi ngidamnya Naya kadang bikin geleng-geleng kepala. Aku dikasih tau Gio kalau beberapa hari yang lalu Naya pengen minum jus jambu, jambunya harus Gio sendiri yang metik. Itu sih nggak susah-susah amat, tapi yang bikin Gio hampir nangis adalah jus jambu itu airnya harus asli dari mata air pegunungan yang diambil langsung dari tempanya, bukan olahan yang udah dikemmas. Selama tiga hari Naya baru dapat jus itu. Gio menyuruh orang untuk mengiriminya air asli dari gunung, dan selama tiga hari itu Gio mendapat omelan dan cibiran yang harus diterimanya dengan lapang dada dari istri tercinta.
"Dia pengen nasi goreng."
Dahiku berkerut. "Bukannya itu gampang." Itu kan hal tergampang yang bisa didapat. Apa dia minta Gio yang masak? Kan dia bisa nyari resepnya. Atau bahannya lagi yang susah didapat? Emang dia minta nasi goreng kayak apa sih?
"Emang lo pikir nemuin Farah Quinn gampang apa!" teriak Gio. Aku menggelengkan kepala dan beberapa kali berdecak heran. Jadi yang dimaksud Gio adalah Naya itu ngidam nasi goreng yang dibuat sama chef cantik itu. "Itu gara-gara acara masak sialan tadi malem. Kebetulan bintang tamunya chef itu. Dia masak apa itu gwe nggak tau, tiba-tiba Naya pengen nasi goreng, tapi bikinan Farah Quinn. Dia ngasih ultimatum, pokoknya gwe harus dapet, kalau nggak gwe nggak dibolehin pulang. Parah banget tuh. Kenapa sih bumil ngidamnya suka kebangeten." Keluhnya.
"Ya ampun.. kenapa nggak ke apartemen lo aja?" aku ingat dia kan masih punya apartemen tempat tinggalnya dulu sebelum menikah. Gio dan Naya memutuskan tinggal di rumah Naya. Sebenarnya mereka mau pindah ke tempat baru, tapi kakek Naya meminta mereka untuk tinggal bersama. Gio sama sekali tak keberatan. Aku pernah bertanya apa dia nggak canggung tinggal bareng kakeknya Naya. Dia bilang itu bukan masalah, aku tak meragukannya karna Gio memang orang yang mudah bergaul dengan siapapun, an easy going, aku iri dengan kemampuannya yang satu itu.
"Lah kuncinya kan di rumah, aku nggak bisa masuk tau! Dia bener-bener ngunci pintu dan teriak dari dalem kalo sampe gwe nggak dapet tuh nasi goreng terkutuk gwe nggak bakal diijinin masuk." Gio kembali menggerutu. "Untung tadi pagi dia udah berangkat lebih awal, jadi aku bisa masuk."
"Ada-ada saja. Ajak Naya juga ya ntar ke caffe sebelah siapa tau ngambeknya ilang."
"Iya deh, nanti gwe coba hubungin." Dengan lesu Gio berjalan meninggalkan ruanganku.
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 42"

Post a Comment