.
"Nggak bisa lex.. aku
sedang tak bisa keluar hari ini.." Alex mengajakku keluar makan. Dari
tadi aku menolaknya. Huh.. seandainya dia tau aku sedang sakit. Aku
nggak mau ngasih tau Alex kalau aku ada di rumah sakit. Entar malah dia
kemari lagi.
"Kenapa nggak bisa. Bukankan kau sudah janji untuk menuruti semua kemauanku?"
"Emang pernah aku
ngomong kayak gitu?" cibirku. Kusandarkan tubuhku ke punggung kursi
taman rumah sakit yang menghadap ke sebuah air mancur buatan yang
cantik. Bosan sekali berada di kamar terus. Aku sudah merasa sehat tapi
dokter belum mengizinkanku pulang, katanya istirahat satu dua hari lagi.
Duh.. ampun deh!! Gimana kabar kerjaanku nantinya ya...
"Apa aku harus mengingatkanmu tentang hubunganmu pada mertuamu?" sialan ni orang. Maen ancam-ancam aja.
"Please Alex. Aku benar-benar tak bisa pergi sekarang. Aku sedang ada di luar kota. Tak mungkin menemuimu sekarang."
"Jadi kau ada di luar kota ya? Luar kota mana?"
Eh tunggu kok suara Alex kedengeran deket banget ya?
"Arah jam lima."
"Arah jam lima."
Aku berpaling mengikuti
arahannya. Oh god.. ternyata benar dia. Sedang menenteng serangkaian
bunga dan buah. Dan senyumnya masih sama seperti terakhir kali aku
bertemu dengannya di bali. Senyuman yang paling kubenci di dunia. Tak
peduli setampan dan segagah apa pemilik senyumm itu aku tetap tak
menyukainya.
Dia terus mengembangkan senyumnya dan berjalan mendekat ke arah bangku yang kududuki.
"Kau sedang ada di luar kota ya?" dia menanyakan pertanyaan yang tak perlu lagi kujawab.
"Bagaimana bisa kau tahu aku ada disini?"
"Apa sih yang tak
kuketahui?" Alex menaruh rangkaian bunganya ke pangkuanku. "kenapa nggak
bilang kau ada disini? Sampai aku harus cari tahu sendiri?"
"Kenapa kau tanya. Katanya kau tahu segala hal. Bukankan kau barusa yang bilang 'apa sih yang nggak aku tahu' "
"Dasar. Memang aku bisa baca pikiran orang apa.. katanya kau lagi sakit kenapa kau malah di luar sini?"
"Aku bosan.."
"Kau mau keluar?" ajak Alex.
"Apa?" aku masih tak paham. Maksudnya keluar ke mana. Bukannya aku udah ada di luar.
"Kita keluar sebentar saja."
"Jangan gila, bagaimana
aku bisa keluar dengan keadaan seperti ini?" aku memperlihatkan tanganku
yang tersambung dengan selang infus.
"Biar aku yang tangani." Katanya enteng.
Alex membawaku kembali
ke kamar dan melepaskan selang infusku. Kupikir akan sakit, tapi
ternyata tidak. Dia melakukannya dengan hati-hati sekali.
"Tutup matamu kalau kau takut." Perintahnya.
Aku menurut pada Alex.
Dia membuka plaster yang menutup selang dan jarum infus di tanganku,
lalu dengan amat perlahan dia melepas jarum yang infus yang menembus
kulit punggun tanganku.
"Selesai.." ucapnya.
"Sudah?" tanyaku
"Ya. Sekarang kita bisa pergi."
Entah ini keputusan yang
bijak atau tidak. Pergi keluar dengan Alex? Mungkin kewarasanku sudah
hilang entah kemana. Tapi kalau aku berada di kamar terus aku bisa
benar-benar gila. Sungguh membosankan sendirian di kamar rumah sakit dan
tak melakukan apa-apa.
"Pakai jaketku."
"Nggak usah."
"Kau mau pergi dengan pakaian rumah sakit seperti itu ha?"
Oh.. iya.. aku baru
sadar masih memakai baju khas rumah sakit berwarna hijau dengan corak
garis. Mau bikin malu diri sendiri kalau keluar kayak gini. Kupakai deh
tuh jaket si Alex.
"Ayo."
.
.
.
.
.
"Kau mau kemana?" tanya Alex
.
.
"Kau mau kemana?" tanya Alex
"Aku mau makan sesuatu, yang seger-seger. Makanan rumah sakit rasa-rasanya hampir membunuhku."
"Hah.. membunuhmu?" Alex terheran-heran dengan pernyataan Viona.
"Iya. Sangat nggak enak, pokoknya aku pengen yang seger-seger." Viona ngotot.
"Oke..oke.." Alex memutar kemudi dan mengarahkan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar.
Sesampainya di sebuah
food court Viona memesan beberapa makanan. Dan ia juga memesan es serut.
Dia benar-benar rindu makanan luar.
"Kau nggak pesan?"
"Ah..ya. aku pesan es serutnya saja."
"Nggak makan?"
"Tidak kau saja."
Segera setelah makanan datang. Viona langsung menyantapnya dengan lahap.
"Jangan buru-buru. Tak ada yang akan merebut makananmu." Alex menertawai cara makan Viona yang seperti orang kelaparan.
Setelah memuaskan perut Viona, Alex mengajaknya nonton film yang kebetulan sedang ada premier sebuah film.
"Kau mau nonton atau
kembali sekarang?" tawar Alex di tengah-tengah film yang diputar. Dia
tau Viona tak suka genre film yang akan mereka lihat.
"Tidak. Aku lebih suka
disini meski ac nya agak terlalu dingin." Viona mengetatkan jaketnya,
menghalangi hawa dingin dari ac menyentuh kulitnya
Alex menarik wajah Viona menghadapnya. "kau pucat Viona!"
"Tidak. Aku tak apa."
Viona menepis tangan Alex. "kita tonton filmnya sampai selesai, sesuai
keinginanmu." Lagi-lagi Viona mengetatkan jaketnya dan melipat
tangannya.
"Jangan bodoh. Itu tak
penting sekarang, kita harus kembali ke rumah sakit agar kau tak semakin
parah." Alex menarik lengan Viona agar mau berdiri, tak memperdulikan
geraman dari beberapa penonton yang merasa terusik karena tingkah
mereka.
"Alex.." Viona agak
limbung saat menuruti tarikan tangan Alex. Seluruh makanan yang baru
disantapnya seolah berputar meminta untuk dikembalikan.
Dengan sigap Alex
memegangi dan memapah Viona keluar dari bioskop. Alex tahu Viona tak
akan bertahan lama. "Naik ke punggungku." Perintahnya.
"Alex.. jangan bodoh. Aku tak mau! Itu memalukan.." tolak Viona.
"Kau yang bodoh! Cepat
naik sebelum aku membawamu layaknya karung seperti waktu itu!" Alex
berjongkok untuk memudahkannya menggendong Viona.
Viona menggumam tak
jelas. Tentu saja dia ingat kejadiaan waktu pertama kali bertemu Alex
dan acara pelarian dirinya dari klinik. Itu kejadian luar biasa
memalukan baginya. Ia segera menuruti kata-kata Alex.
"Jika kau malu sembunyikan wajahmu.."
Viona menekuk wajahnya
di cekungan leher Alex. Menghindari tatapan tatapan dari para pengunjung
lainnya. Dia menghirup parfum Alex, sedikit menenangkan kepalanya yang
berdenyut, hangat dan menenangkan.
"Kau bisa turun sekarang."
Viona perlahan turun dan menapaki lantai parkir pusat. Napasnya mulai terengah seperti habis berlari puluhan kilo
"Masuk." Alex membukakan pintu depan mobilnya. Setelah Viona masuk, Alex sedikit berlari menuju ke kemudi mobilnya.
Karena mereka pergi tak
terlau jauh dari rumah sakit, beberapa menit saja mereka telah kembali
lagi ke rumah sakit. Alex segera membawa Viona ke UGD. Dan entah
bagaimna dia juga ada di sana.. si mata tajam yang kini sedang diamuk
amarah.
"Lepaskan tanganmu.." suaranya rendah, namun penuh penekanan dan ancaman.
"Rei.." Viona tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Lepas.." ucapnya lagi, matanya tak lepas dari Alex dan mengintimidasinya.
Tanpa berkata apapun,
Alex melepaskan lengan Viona. Rei segera mengambil alih dan membawanya
ke perawat. Ia sama sekali tak mengatakan apapun pada Viona, bibirnya
terkatup dan membentuk garis lurus. Viona tau Rei benar-benar marah.
Sepertinya ia baru kali ini mendapati Rei marah. Dan sekalinnya marah ia
begitu menakutkan.
"Tetap disini, aku akan
segera kembali." Kata Rei datar. Viona dibaringkan oleh seorang perawat,
dan dokter segera memeriksanya."
"Apa yang nona rasakan?" suara lembut dari dokter menyapanya.
"Mual, pusing.." Viona tak lagi konsen dengan apapun. "anda bisa melihat catatan kesehatan saya di rumah sakit ini.."
"Maksud nona? Apa yang.."
Pertanyaan sang dokter tertahan karena suara ribut-ribut dari balik tirai. Ada teriakan dari beberapa orang.
"Tolong tunggu sebentar." Dokter dan perawat yang memeriksa Viona meninggalkannya untuk mengecek keadaan di ruang UGD.
Viona juga penasaran,
apa penyebab ribut-ribut itu. Apa ada kondisi darurat, apa ada
kecelakaan yang banyak korbannya, tapi kenapa mereka berteriak..
Viona turun dari ranjang dan mengintip dari balik tirai.
"Ya Tuhan.."
.
.
.
TBC
.
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 32"
Post a Comment