Hopeless Part 66

.
.
.
"Nona.. maksudku Viona. Kamu mau kemana?" Gadis melihat khawatir padaku yang sedang membawa tas dan hendak pergi ke luar.
"Ada yang ingin aku beli." Jawabku.
"Tapi Tuan berpesan jika No.. anda.. jika anda butuh sesuatu tinggal bilang pada saya." Ia berkata gugup padaku.
"Aku tidak akan lama Ane. Lagipula aku tak akan pergi terlalu jauh."
"Em.. begini.." Ane menunduk dan terlihat ragu mengatakan sesuatu.
"Ada apa Ane?"
"Viona.. bisakah kau mengantarku ke suatu tempat?" Wajahnya penuh harap-harap cemas. Entah kemana tujuan gadis yang pasti akan kuantar.
"Tentu, apa kau perlu bersiap dulu?"
"Tidak. Kita berangkat sekarang saja!"Mata cokelat madu itu langsung berbinar.
Ane tidak bicara selama perjalanan menuju ke tempat yang sebelumnya ia sebutkan setelah duduk di kursi sebelah kemudi. Tapi dari wajahnya aku bisa menilai dia sedang bahagia. Aneh sekali. Bahagia datang ke rumah sakit?
"Terima kasih Viona. Bisakah aku meminta tolong sekali lagi?" Ane kembali ragu mengutarakan sesuatu saat kami telah sampai di pelataran rumah sakit yang cukup elit.
"Apa?"
"Tolong jangan katakan pada Al.. maksudku Tuan Alex kalau aku kemari."
"Kenapa?"
"A..Aku sebenarnya tidak boleh keluar rumah.." Apa? Memangnya apa hak Alex mengurung gadis ini?
"Kenapa?" pertanyaan itu lagi yang keluar dari mulutku. Ane bergerak gelisah dan memilin ujung kaosnya. "Tak apa Ane jika kau tak mau memberitahuku, itu adalah urusanmu dengan Alex. Kau bisa pergi sekarang."
Ane melewati konsol dan tiba-tiba memelukku erat. "Terima kasih banyak.. Kau sangat baik sekali Viona."
"Hey tenanglah.." aku mengelus pelan lengannya saat ia melepas pelukannya.
"Pantas Alex sangat menggilaimu.." gumaman Ane cukup keras untuk kudengar.
"Maksudmu?"
"Ah.. tidak. Sampai jumpa di rumah Viona.." Ane buru-buru membuka pintu vw kuningku dan berlari ke lobi rumah sakit. Gadis yang sulit di tebak.
.
.
.
Viona tengah mencari merk susu formula untuk ibu hamil yang telah direkomendasikan oleh dokter kandungan yang kemarin ia kunjungi. Berbagai macam susu mulai dari susu bayi dan susu pertumbuhan berjajar di rak mini market yang ia datangi, tapi belum ada susu ibu hamil yang berhasil ditemukannya.
"Ah.. ini dia.." Akhirnya ia menemukan susu khusus ibu hamil tepat dengan merk yang ia inginkan pula. "Cokelat atau vanilla?" Tapi ia bingung dengan rasa yang akan ia ambil.
"Sayang!" Tepat saat tangannya terulur untuk mengambil susu dengan rasa cokelat ada seseorang yang menariknya, denga cepat membawa Viona ke pelukan orang itu.
"Lepaskan aku!" Desis Viona tak terima.
"Jangan pergi, kau harus mendengar penjelasanku."
"Lepaskan aku Rei!" Viona menggeram dan terus berusaha melepas pelukan Rei. Ia tak boleh lama-lama dalam dekapan pria itu. Aroma memabukkan yang menguar dari tubuh Rei terlalu menggoda dan bisa membuatnya terpengaruh.
"Tidak sebelum kau mau mendengarkanku!" tekad Rei, namun Viona tetap memberontak dan berusaha melepaskan diri. Usahanya itu tak sia-sia karna ia memperoleh sedikit jarak dan segera meloloskan diri dari cengkeraman Rei.
"Semua sudah jelas Rei.. aku sudah tau."
"Tidak! Aku dan Helena.. kami.. Ya! Kami memang minum, dan hanya itu. Percayalah padaku!" Rei menggenggam tangan Viona dengan erat, menyalurkan kepercayaan padanya.
"Aku tidak buta tidak buta atau rabun untuk melihat tanda cupang yang menyebar di seluruh leher dan dadamu! Sekarang lepaskan tanganmu!!" Viona menghentakkan tangannya dengan keras namun hanya berbuah rasa perih karna Rei mencengkeramnya dengan kuat. Meski teriakannya lantang, tak urung ulu hatinya serasa diperas mengingat kejadian semalam. Matanya juga sudah memanas siap menumpahkan air yang demi apapun di dunia ini Viona akan menahannya untuk tidak jatuh. Ia tak boleh terlihat lemah saat ini.
Bentakan serta teriakan dari pasangan suami istri itu ternyata mengundang perhatian tersendiri dari beberapa pengunjung yang tengah berbelanja, dan seorang yang satpam yang dilapori oleh pengunjung.
"Mas sebaiknya lepaskan tangan mbak ini." Satpam mulai menengahi pertengkaran Viona dan Rei.
"Sampai kapanpun aku tak akan melepaskanmu." Rei sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Viona. Cengkeramannya pun ikut mengencang, membuat Viona meringis kesakitan.
Satpam yang berusia sekitar pertengahan kepala tiga itu maju dan melerai. "Anda menyakiti tangan mbak ini. Lebih baik kalian membicarakannya dengan baik-baik permasalahan kalian di tempat yang lebih pribadi."
Rei baru tersadar karena perkataan satpam bahwa ia terlalu kencang menggenggam pergelangan tangan Viona. "Maaf.." Rei melonggarkan cengkeramannya, dan hal itu tentu tak disia-siakan oleh Viona yang langsung menarik tangannya dari belenggu jari-jari Rei.
Viona juga barus adar bahwa ia dan Rei telah menjadi pusat tontonan gratis dari pengunjung mini market, terutama para ibu-ibu. Ibu-ibu itu sebenarnya lebih memusatkan perhatiannya pada Rei, pria berpiyama merah muda dengan wajah timur tengahnya yang memang selalu bisa membuat semua orang menoleh dua kali padanya. Mungkin jaket yang langsung disambarnya setelah memutuskan untuk mencari Viona keluar rumah yang sedikit bisa menutupi keanehan pakaiannya saat ini.
Satpam menginstruksikan mereka untuk mengikutinya ke ruang keamanan demi kenyamanan para pengunjung lain. Rasa-rasanya Rei hampir gila dan ingin segera menyeret Viona pulang, tapi itu tidak mungkin. Selain ia yang akan menimbulkan keributan, ia juga tau Viona tak akan begitu mudah menerimanya walau ia sudah ada di rumah. Jadi lebih baik ia mengikuti satpam tadi dan terus berada di dekat Viona agar ia tak kabur lagi.
Saat mengekori satpam menuju ruang keamanan, Viona memanfaatkan kesempatan ini untuk menghubungi seseorang demi meminta bantuan.
Datang ke mini market dekat rs harapan, aku dalam masalah
Ia berdoa semoga pesan tersebut langsung dibaca dan si penerima akan segera datang dan menolongnya. Viona sama sekali tak menyanga Rei akan langsung bisa menemukannya, bahkan ini adalah daerah yang cukup jauh dari rumahnya. Dan melihat Rei masih memakai pakaian yang ia berikan tadi malam membuat hatinya sakit.
Kemarin pagi Rei pamit akan keluar kota selama dua hari, dan sebenarnya itu membuat Viona lega karena ia bisa berpikir dengan jernih akan keputusannya setelah mengetahui kebohongan yang mendasari pernikahannya. Viona bahkan sudah menggerakkan hatinya untuk berusaha memaafkan Rei demi anak mereka. Namun, menemukan Rei yang malah pulang dalam keadaan mabuk bersama wanita lain merupakan pukulan yang tak mampu ia terima. Viona jatuh telak. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya mundur.
.
.
.
Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya Alex bisa membawa Viona lepas dari Rei. tentu saja dengan hampir terjadinya baku hantam antara dirinya dan Rei jika saja tidak ada satuan keamanan di mini market itu. Rei hanya bisa memandang dengan amarah yang sudah diujung kawah saat melihat Viona dihela oleh Alex tadi, siap meledak dengan satu jentikan jari dan membumi hanguskan apa saja yang ada disekitarnya. Namun kemarahan itu bercampur rasa kecewa dan terluka melihat wanitanya bersisian dengan pria lain hingga ia hanya bisa menahan diri. Mundur satu langkah untuk mendapat dua langkah lebih cepat.
"Apa kau tidak mendengarku pagi tadi? Sudah kubilang kan, jika perlu sesuatu hubungi saja aku. Atau kau bisa menyuruh Ana." Alex geram akan perintahnya yang dilanggar.
"Aku hanya beli susu Lex.."
"Lalu mana susu yang kau beli? Kau malah mengadakan tontonan gratis pagi-pagi."
Viona juga tak menyangka ia akan bertemu Rei di mini market itu. Padahal jarak rumahnya dengan wilayah tempat tinggal Alex cukup jauh. Bagaimana dia bisa sampai disini? Dan piyama itu.. pakaian yang sembarangan ia ambil dan berikan semalam saat ia sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Masih melekat ditubuhnya.
"Aku hanya tak ingin merepotkan saja."
"Tak ada yang repot Viona.. justru barusan kau hampir membunuhku gara-gara aku ngebut tadi." Alex memang hampir meregang nyawa saat melajukan mobilnya secara gila-gilaan dan ingin menyalip kendaraan besar.
"Maaf.." Vina tertunduk merasa bersalah.
"Sudahlah, yang penting kau sudah disini. Tapi Rei pasti tau sekarang keberadaanmu yang bersamaku."
"Itu tak akan jadi masalah, aku akan meminta cerai padanya. Setelah anak ini lahir tentunya. Tapi sebelum itu, dia tak boleh tau kalau aku hamil."
"Kau tidak akan memberitahunya?" Alex terbelalak mendengar pernyataan Viona.
Viona bergerak gelisah di sofa merah maroon ruang hiburan rumah Alex. "Aku masih punya surat perjanjian itu, dengan bukti itu aku akan menggugatnya."
"Bagaimana dengan bayinya? Anak itu tak tau apa-apa Viona." Perkataan Alex akhir-akhir ini selalu benar dan membuat Viona sadar. Tapi cerai sepertinya sudah menjadi keputusan bulat untuknya.
"Aku bisa membesarkannya sendiri." Tegas Viona. Ia tak akan berada disini jika ia belum memutuskan untuk benar-benar berpisah dengan Rei.
"Aku akan selalu ada untukmu princess." Alex melingkarkan lengannya di bahu Viona, memberinya kekuatan serta menenangkannya. "Ngomong-ngomong, dimana Ana? Sejak pulang tadi aku tak melihatnya?"
Untuk sepersekian detik tubuh Viona kaku, namun detik berikutnya ia rileks. "Dia ke pasar, berbelanja katanya." Bohong Viona. Ia tak menyangka Alex akan menanyakan keberadaan Ane secepat itu.
"Pasar?"Alex mengurutkan keningnya. "Itu adalah tempat terakhir di dunia ini yang akan ia datangi." Sejurus kemudian Alex bangkit dari sofa dan menyambar jas yang tadi di sampirkannya ke punggung sofa. Aura kemarahan tiba-tiba melingkupi dirinya.
"Alex, kumohon jangan marahi dia. Dia hanya ke rumah sakit!" Viona cepat-cepat memberi keterangan. Sepertinya alasan yang ia berikan sangat salah jalur.
"Rumah sakit?" Mata Alex menyipit. Ia menggumamkan sebuah nama, terlalu cepat hingga Viona tak bisa mendengarnya. "Kau di rumah saja, biar pak Jaka yang beliin kamu susu nanti." Selepas itu, Alex menghilang dari balik ruang hiburan.
.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 66"

Post a Comment