Hopeless Part 57


Sayup-sayup terdengar suara desir tak asing di telinga Viona. Ia setengah sadar dengan mata masih terpejam. Ia tau betul itu bukan suara desiran mobil, maka dengan sedikit malas Viona membuka matanya perlahan, menyesuaikan dengan sinar jingga yang menerobos dari celah kaca jendela yang terbuka sedikit. Celah itu bukan hanya menghantar sinar kekuningan sore hari, namun juga semilir angin dan bau asin yang lembab.
"Hampir sampai." Bisik Rei. Viona mengalihkan pandangannya dari jendela ke arah suaminya, lalu menengok ke belakang.
"Putri tidur rupanya telah bangun oleh ciuman pangeran kodok!" bibir Viona langsung mencebik mendengar ejekan dari sekretarisnya.
Pandangan Viona kembali melayang keluar jendela. Laut lepas dengan warna biru bercampur orange dari matahari yang semakin merendah dan busa ombak putih yang bergulir pelan ke tepian pantai dengan pasirnya yang berwarna keemasan. Diam-diam ia memekik dalam hati.
"Aku tau hatimu sedang bersorak." Ujar Rei.
"Bagaimana kau tau?!" pertanyaan impulsif yang membawa senyum miring Rei tercetak di wajahnya. Viona yang menyadari perkataannya langsung cemberut. "Yah, itu memang indah, tapi aku tak memekik!" tampiknya.
"Nanti malam Vio.. kau akan memekikkan namaku sekali lagi.." bisik Rei tepat di telinga Viona.
Viona langsung melotot. "Kapan aku melakukannya?" tanyanya sinis. Ia sama sekali tak merasa pernah melakukan itu, apalagi dengan maksud tertentu.
"Hmm.. sepertinya benar-benar harus kuingatkan."
Kecepatan van berlogo palang emas turun secara konstan saat menepi berbelok pada sebuah jalan dengan ujung gerbang kokoh berwarna putih. Gerbang itu adalah titik temu dari dinding pagar yang tak kalah kokoh melindungi privasi area di dalamnya.
Ini adalah pantai pribadi. Dengan hanya beberapa cottage berdiri tepi laut dengan jarak berpuluh meter antara satu dengan yang lainnya. Pasir selembut gula putih menjorok ke air laut dengan ombak kecilnya. Warna biru kehijauan sungguh menjadi magnet bagi siapapun untuk segera mendekatinya.
"Aaa..!!!" tak terkecuali dua wanita yang baru turun dari kendaraan mereka. Tidak tahan untuk berteriak gembira sambil berlari kecil ke arah tepian pantai.
"Aku mencintaimu Rei!!" teriak salah satu wanita di kejauhan, melempar kiss bye untuk pria yang disebutnya. Pernyataan itu diikuti geraman dari pria di sebelah Rei.
"Aku ayah dari anak di kandunganmu sayang! Kenapa kau mencintai pria lain?!" Gio menyusul ke arah mereka. Naya hanya menjulurkan lidah pada kecemburuan Gio kemudian sudah asyik kembali menikmati air laut yang terasa hangat di kakinya bersama Viona.
"Aku tak tau di Jogja ada tempat seperti ini. Bahkan Gio tak tau. Dia memang bilang kemungkinan tujuan kita adalah ke pantai, tapi dia memperingatkanku untuk tak berada di air karna gelombang pantai selatan pasti besar." Naya tersenyum ceria menikmati belaian gelombang laut yang menyapu kakinya. Pasir yang lembut menggelitik dua pasang kaki anak manusia itu. Matahari sudah seperempatnya bersembunyi di balik garis cakrawala.
"Ayo kita lihat kamar kita." Rei menarik lengan Viona, membawanya menjauhi tepi laut. "Tempat kalian di sana, ikuti saja orang itu." Rei menunjuk pada seorang yang membawa dua koper kecil milik Gio dan Naya ke salah satu cottage. "Kita bertemu saat makan malam." Rei mengarahkan Viona pada arah yang berlawanan.
Naya berbisik penuh arti pada Gio lalu cekikikan. Gio membalasnya dengan sebuah kecupan ringan di puncak kepalanya dan ikut tertawa.
"Kenapa tempat kita berjauhan?"
"Privasi sayang." Jawab Rei.
"Apa ini kurang privasi?" tangannya melambai pada sekelilingnya. Hanya ada mereka berempat, selain petugas, yang berada di wilayah seluas itu dan Rei masih ingin privasi.
"Tidak. Aku butuh lebih dari itu ketika membuatmu menjerit nanti malam."
Seketika kuping Viona memerah mendengar perkataan panas dari Rei. "Benarkah? Aku tak sabar menanti." Sontak Rei memandang tak percaya pada Viona, ia seperti baru mendengar lonceng kemenangan atas usahanya selama ini.
Viona berlari menjauh dan memamerkan seyum manisnya. "Bagaimana kalau sore ini saja?" tawar Rei. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan kegirangan dari suaranya. Viona tertawa sinis akan ketidak sabaran Rei.
"Hmm.. entahlah Rei, bagaimana jika aku masih 'libur'?" setelah melempar pertanyaan menggodanya, Viona berjalan mundur sambil memandangi Rei.
"Itu kan sudah seminggu yang lalu!" Teriak Rei frustasi. Viona hanya mengedikkan bahu dan berjalan lebih cepat. "Sebaiknya kuperiksa sendiri." Ucap Rei gusar. Dia mengejar Viona dan menangkapnya.
"Hey! Apa yang kau lakukan?! Turunkan aku!" Viona gelagapan karna Rei tiba-tiba mengangkat tubuhnya dan membawanya seperti sekantung goni berisi kapas.
"Kau perlu diberikan pelajaran nak.." Rei menampar pelan pantat Viona yang ada di bahunya, cukup untuk membuat gadis itu memekik kaget.
Aksi itu tentu tak lepas dari pandangan sepasang lainnya. Mereka hanya menggekengkan kepala dan tertawa heran melihat rekannya yang biasa dingin menunjukkan sisi lainnya.
Sore itu dihabiskan Viona dan Rei dengan melihat sunset hingga matahari tenggelam sempurna ke dalam cakrawala di teras yang menghadap persis ke hamparan laut yang maha luas. Rei memeluk istrinya dari belakang sambil sesekali mengecupi puncak kepala Viona dan cuping telinganya. Mereka tak bercakap apa-apa, hanya menikmati sore itu dalam diam, khidmat mengikuti detik demi detik saat mentari bergerak ke peraduan seperti pada saat terakhir mereka berlibur.
Kamar mereka tepat menghadap laut, begitu juga ranjang besar dengan kanopi serta kelambu tipis warna putih transparan yang mengelilinginya. Semua yang ada di kamar itu, kecuali lantai dan dindingnya yang dari kayu, sebagian berwarna putih, sofa, gorden, lukisan bahkan mawarnya pun berwarna putih. Menjadikan kesan yang suci dan misteri.
"Siapa yang menaruh ini di koperku?" Viona yang sedang membongkar barang bawaannya menemukan beberapa benda asing yang tak dikenal sebagai miliknya, ada dress, topi dan.. "Bikini?! Ih! Aku kan udah bilang nggak akan pernah mau pakai ginian, ini sama aja kayak pake daleman trus diliatin ke orang-orang!"
Rei tersenyum mengakui jika itu perbuatannya. Ia memang sengaja membawakan itu untuk berjaga-jaga karna Viona tak tau tempat mereka akan menghabiskan liburan kali ini. "Kita akan makan di luar, sebaiknya itu kau pakai besok saja. Sekarang dress itu dan sweater sudah cukup." Saran Rei.
"Kamu aja yang pakai nih pakaian dalem." Kata Viona sinis.
"Nggak akan ada yang ngliatin kali, disini hanya akan ada kita.." bujuk Rei.
"Hey! Kita kesini dengan Naya dan Gio, apa kau sudah lupa pada mereka?"
"Hanya mereka kan?"
"Huh.." sepertinya susah untuk mendebat Rei kali ini akan susah. Viona memilih untuk segera bersiap makan malam.
Naya duduk di kursi yang menghadap ke meja bundar di tepi pantai dengan tertekuk. Meski ada seorang wanita cantik sedang melantunkan syair-syair penuh cinta bersanding dengan seorang pemain celo beberapa meter dari mereka.
"Kenapa dia?" tanya Rei pada Gio, dagunya diarahkan pada istri temannya itu.
"Aku saltum. Apa kau tak liat?" jawab Naya dengan nada sinis. Ia memakai dress panjang bermotif etnik yang sebenarnya bukan masalah. Tapi jaket yang tersampir di bahunya yang membuat mood nya sedikit down. Jaket itu milik Gio, ia tak membawa pakaian hangat sama sekali, pikirnya ia bisa beli saja daripada harus membawa. Tapi di tempat ini mana ada toko atau butik, restoran saja tidak ada. Tempat ini benar-benar memiliki privasi yang tinggi. Tapi jauh dari jantung kota.
Rei hanya menggeleng dan tersenyum tipis. Setelah mereka berempat menempati tempat duduk yang melingkari sebuah meja bundar yang cukup besar, beberapa pelayan datang dan menyajikan menu-menu hidangan laut. Oyster, kepiting, lobster dan beberapa jenis ikan. Meja mereka terletak di tengah-tengah pasir pantai dekat bibir pantai, angin malam cukup membuat kulit meremang. Dengan penerangan hanya dari lilin-lilin di atas meja serta beberapa lampu di sekitar panggung kecil yang dihuni seorang penyanyi wanita dan pemain celo, tak mengurangi kenyamanan acara makan malam kali ini, malah menambah kesan romantis dan sensual.
"Tidak akan ada yang memperhatikan tampilanmu malam ini. Ini yang kusebut privasi, terserah kau mau pakai baju kayak apa."
"Atau nggak pakai apa-apa.." tambah Gio. Dengan penuh arti kedua pria itu melempar senyum miring.
"Bisakah kalian hentikan itu? Kita akan makan malam, jangan membuatku tak nafsu!" Viona tak bisa menyembunyikan kejengahannya.
"Yeah aku juga lapar Vi. Mari makan." Gio mengambil tiram dengan air lemonnya, menyeruput isinya yang langsung meluncur dengan nikmat di tenggorokan.
"Aku tak sabar dengan makanan penutupnya." Rei melirik Viona yang dibalasnya dengan putaran mata.
Lagu terus beralih dari satu judul ke judul lain selama acara makan mereka. Naya tampak sangat menikmati semua menunya, terbukti beberapa piring di dekatnya telah ludes. Ia telah melupakan prinsip dietnya yang dulu diagungkan untuk hanya makan buah atau sayur saja sebagai makan malam. Kehamilannya sungguh membuat nafsu makannya menggila, tapi anehnya berat badannya masih dalam batas normal seorang wanita hamil, tidak membengkak.
Setelah berbasa-basi sebentar sambil menikmati hidangan penutup, akhirnya kedua pasangan itu kembali ke cottage masing-masing. Naya yang kekenyangan setelah santap makannya meminta di gendong karna kesusahan berjalan. Gio tanpa mengeluh mengabulkan permintaannya. Berat badan Naya tak seberapa dibanding beratnya permintaannya yang lain, pikir Gio.
Viona dan Rei tersenyum melihat keharmonisan teman mereka, meski kadang terjadi perdebatan kecil.
"It's our time sweety. You'll be screaming my name.. soon." Bisikan itu begitu kuat dan panas membelai telinga Viona.
.
.
TBC

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 57"

Post a Comment