Sayup-sayup terdengar suara desir tak asing di telinga Viona. Ia setengah sadar dengan mata masih terpejam. Ia tau betul itu bukan suara desiran mobil, maka dengan sedikit malas Viona membuka matanya perlahan, menyesuaikan dengan sinar jingga yang menerobos dari celah kaca jendela yang terbuka sedikit. Celah itu bukan hanya menghantar sinar kekuningan sore hari, namun juga semilir angin dan bau asin yang lembab.
"Hampir sampai." Bisik Rei. Viona mengalihkan pandangannya dari jendela ke arah suaminya, lalu menengok ke belakang.
"Putri tidur rupanya
telah bangun oleh ciuman pangeran kodok!" bibir Viona langsung mencebik
mendengar ejekan dari sekretarisnya.
Pandangan Viona kembali
melayang keluar jendela. Laut lepas dengan warna biru bercampur orange
dari matahari yang semakin merendah dan busa ombak putih yang bergulir
pelan ke tepian pantai dengan pasirnya yang berwarna keemasan. Diam-diam
ia memekik dalam hati.
"Aku tau hatimu sedang bersorak." Ujar Rei.
"Bagaimana kau tau?!"
pertanyaan impulsif yang membawa senyum miring Rei tercetak di wajahnya.
Viona yang menyadari perkataannya langsung cemberut. "Yah, itu memang
indah, tapi aku tak memekik!" tampiknya.
"Nanti malam Vio.. kau akan memekikkan namaku sekali lagi.." bisik Rei tepat di telinga Viona.
Viona langsung melotot.
"Kapan aku melakukannya?" tanyanya sinis. Ia sama sekali tak merasa
pernah melakukan itu, apalagi dengan maksud tertentu.
"Hmm.. sepertinya benar-benar harus kuingatkan."
Kecepatan van berlogo
palang emas turun secara konstan saat menepi berbelok pada sebuah jalan
dengan ujung gerbang kokoh berwarna putih. Gerbang itu adalah titik temu
dari dinding pagar yang tak kalah kokoh melindungi privasi area di
dalamnya.
Ini adalah pantai
pribadi. Dengan hanya beberapa cottage berdiri tepi laut dengan jarak
berpuluh meter antara satu dengan yang lainnya. Pasir selembut gula
putih menjorok ke air laut dengan ombak kecilnya. Warna biru kehijauan
sungguh menjadi magnet bagi siapapun untuk segera mendekatinya.
"Aaa..!!!" tak
terkecuali dua wanita yang baru turun dari kendaraan mereka. Tidak tahan
untuk berteriak gembira sambil berlari kecil ke arah tepian pantai.
"Aku mencintaimu Rei!!"
teriak salah satu wanita di kejauhan, melempar kiss bye untuk pria yang
disebutnya. Pernyataan itu diikuti geraman dari pria di sebelah Rei.
"Aku ayah dari anak di
kandunganmu sayang! Kenapa kau mencintai pria lain?!" Gio menyusul ke
arah mereka. Naya hanya menjulurkan lidah pada kecemburuan Gio kemudian
sudah asyik kembali menikmati air laut yang terasa hangat di kakinya
bersama Viona.
"Aku tak tau di Jogja
ada tempat seperti ini. Bahkan Gio tak tau. Dia memang bilang
kemungkinan tujuan kita adalah ke pantai, tapi dia memperingatkanku
untuk tak berada di air karna gelombang pantai selatan pasti besar."
Naya tersenyum ceria menikmati belaian gelombang laut yang menyapu
kakinya. Pasir yang lembut menggelitik dua pasang kaki anak manusia itu.
Matahari sudah seperempatnya bersembunyi di balik garis cakrawala.
"Ayo kita lihat kamar
kita." Rei menarik lengan Viona, membawanya menjauhi tepi laut. "Tempat
kalian di sana, ikuti saja orang itu." Rei menunjuk pada seorang yang
membawa dua koper kecil milik Gio dan Naya ke salah satu cottage. "Kita
bertemu saat makan malam." Rei mengarahkan Viona pada arah yang
berlawanan.
Naya berbisik penuh arti
pada Gio lalu cekikikan. Gio membalasnya dengan sebuah kecupan ringan
di puncak kepalanya dan ikut tertawa.
"Kenapa tempat kita berjauhan?"
"Privasi sayang." Jawab Rei.
"Apa ini kurang
privasi?" tangannya melambai pada sekelilingnya. Hanya ada mereka
berempat, selain petugas, yang berada di wilayah seluas itu dan Rei
masih ingin privasi.
"Tidak. Aku butuh lebih dari itu ketika membuatmu menjerit nanti malam."
Seketika kuping Viona
memerah mendengar perkataan panas dari Rei. "Benarkah? Aku tak sabar
menanti." Sontak Rei memandang tak percaya pada Viona, ia seperti baru
mendengar lonceng kemenangan atas usahanya selama ini.
Viona berlari menjauh
dan memamerkan seyum manisnya. "Bagaimana kalau sore ini saja?" tawar
Rei. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan kegirangan dari suaranya. Viona
tertawa sinis akan ketidak sabaran Rei.
"Hmm.. entahlah Rei,
bagaimana jika aku masih 'libur'?" setelah melempar pertanyaan
menggodanya, Viona berjalan mundur sambil memandangi Rei.
"Itu kan sudah seminggu
yang lalu!" Teriak Rei frustasi. Viona hanya mengedikkan bahu dan
berjalan lebih cepat. "Sebaiknya kuperiksa sendiri." Ucap Rei gusar. Dia
mengejar Viona dan menangkapnya.
"Hey! Apa yang kau
lakukan?! Turunkan aku!" Viona gelagapan karna Rei tiba-tiba mengangkat
tubuhnya dan membawanya seperti sekantung goni berisi kapas.
"Kau perlu diberikan
pelajaran nak.." Rei menampar pelan pantat Viona yang ada di bahunya,
cukup untuk membuat gadis itu memekik kaget.
Aksi itu tentu tak lepas
dari pandangan sepasang lainnya. Mereka hanya menggekengkan kepala dan
tertawa heran melihat rekannya yang biasa dingin menunjukkan sisi
lainnya.
Sore itu dihabiskan
Viona dan Rei dengan melihat sunset hingga matahari tenggelam sempurna
ke dalam cakrawala di teras yang menghadap persis ke hamparan laut yang
maha luas. Rei memeluk istrinya dari belakang sambil sesekali mengecupi
puncak kepala Viona dan cuping telinganya. Mereka tak bercakap apa-apa,
hanya menikmati sore itu dalam diam, khidmat mengikuti detik demi detik
saat mentari bergerak ke peraduan seperti pada saat terakhir mereka
berlibur.
Kamar mereka tepat
menghadap laut, begitu juga ranjang besar dengan kanopi serta kelambu
tipis warna putih transparan yang mengelilinginya. Semua yang ada di
kamar itu, kecuali lantai dan dindingnya yang dari kayu, sebagian
berwarna putih, sofa, gorden, lukisan bahkan mawarnya pun berwarna
putih. Menjadikan kesan yang suci dan misteri.
"Siapa yang menaruh ini
di koperku?" Viona yang sedang membongkar barang bawaannya menemukan
beberapa benda asing yang tak dikenal sebagai miliknya, ada dress, topi
dan.. "Bikini?! Ih! Aku kan udah bilang nggak akan pernah mau pakai
ginian, ini sama aja kayak pake daleman trus diliatin ke orang-orang!"
Rei tersenyum mengakui
jika itu perbuatannya. Ia memang sengaja membawakan itu untuk
berjaga-jaga karna Viona tak tau tempat mereka akan menghabiskan liburan
kali ini. "Kita akan makan di luar, sebaiknya itu kau pakai besok saja.
Sekarang dress itu dan sweater sudah cukup." Saran Rei.
"Kamu aja yang pakai nih pakaian dalem." Kata Viona sinis.
"Nggak akan ada yang ngliatin kali, disini hanya akan ada kita.." bujuk Rei.
"Hey! Kita kesini dengan Naya dan Gio, apa kau sudah lupa pada mereka?"
"Hanya mereka kan?"
"Huh.." sepertinya susah untuk mendebat Rei kali ini akan susah. Viona memilih untuk segera bersiap makan malam.
Naya duduk di kursi yang
menghadap ke meja bundar di tepi pantai dengan tertekuk. Meski ada
seorang wanita cantik sedang melantunkan syair-syair penuh cinta
bersanding dengan seorang pemain celo beberapa meter dari mereka.
"Kenapa dia?" tanya Rei pada Gio, dagunya diarahkan pada istri temannya itu.
"Aku saltum. Apa kau tak
liat?" jawab Naya dengan nada sinis. Ia memakai dress panjang bermotif
etnik yang sebenarnya bukan masalah. Tapi jaket yang tersampir di
bahunya yang membuat mood nya sedikit down. Jaket itu milik Gio, ia tak
membawa pakaian hangat sama sekali, pikirnya ia bisa beli saja daripada
harus membawa. Tapi di tempat ini mana ada toko atau butik, restoran
saja tidak ada. Tempat ini benar-benar memiliki privasi yang tinggi.
Tapi jauh dari jantung kota.
Rei hanya menggeleng dan
tersenyum tipis. Setelah mereka berempat menempati tempat duduk yang
melingkari sebuah meja bundar yang cukup besar, beberapa pelayan datang
dan menyajikan menu-menu hidangan laut. Oyster, kepiting, lobster dan
beberapa jenis ikan. Meja mereka terletak di tengah-tengah pasir pantai
dekat bibir pantai, angin malam cukup membuat kulit meremang. Dengan
penerangan hanya dari lilin-lilin di atas meja serta beberapa lampu di
sekitar panggung kecil yang dihuni seorang penyanyi wanita dan pemain
celo, tak mengurangi kenyamanan acara makan malam kali ini, malah
menambah kesan romantis dan sensual.
"Tidak akan ada yang memperhatikan tampilanmu malam ini. Ini yang kusebut privasi, terserah kau mau pakai baju kayak apa."
"Atau nggak pakai apa-apa.." tambah Gio. Dengan penuh arti kedua pria itu melempar senyum miring.
"Bisakah kalian hentikan itu? Kita akan makan malam, jangan membuatku tak nafsu!" Viona tak bisa menyembunyikan kejengahannya.
"Yeah aku juga lapar Vi.
Mari makan." Gio mengambil tiram dengan air lemonnya, menyeruput isinya
yang langsung meluncur dengan nikmat di tenggorokan.
"Aku tak sabar dengan makanan penutupnya." Rei melirik Viona yang dibalasnya dengan putaran mata.
Lagu terus beralih dari
satu judul ke judul lain selama acara makan mereka. Naya tampak sangat
menikmati semua menunya, terbukti beberapa piring di dekatnya telah
ludes. Ia telah melupakan prinsip dietnya yang dulu diagungkan untuk
hanya makan buah atau sayur saja sebagai makan malam. Kehamilannya
sungguh membuat nafsu makannya menggila, tapi anehnya berat badannya
masih dalam batas normal seorang wanita hamil, tidak membengkak.
Setelah berbasa-basi
sebentar sambil menikmati hidangan penutup, akhirnya kedua pasangan itu
kembali ke cottage masing-masing. Naya yang kekenyangan setelah santap
makannya meminta di gendong karna kesusahan berjalan. Gio tanpa mengeluh
mengabulkan permintaannya. Berat badan Naya tak seberapa dibanding
beratnya permintaannya yang lain, pikir Gio.
Viona dan Rei tersenyum melihat keharmonisan teman mereka, meski kadang terjadi perdebatan kecil.
"It's our time sweety. You'll be screaming my name.. soon." Bisikan itu begitu kuat dan panas membelai telinga Viona.
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 57"
Post a Comment