.
Wajah orang, atau lebih bisa disebut pria di hadapanku ini cukup mengerikan. Tinggi besar dengan bekas luka di pipi dan tato di sekitar leher dan lengannya, dan yang membuatku bergidik adalah botol minuman keras yang ada di genggamannya. Aku menelan ludah dan mundur teratur, dan ia juga mengikuti langkahku dengan maju memperpendek jarak. Belakang tenda ini tepat di pinggir lapangan ini gelap dan cukup sepi. Ponselku kugenggam erat, kuharap bisa melakukan panggilan darurat dengan cepat, entah polisi atau Rei..
"Jangan ganggu dia."
Suara dingin itu membuatku terkesiap, terkejut sekaligus lega. Namun
kejadian selanjutnya adalah diluar dugaan. Sangat cepat sampai hanya
mulutku saja yang terbuka lebar. Hanya dalam beberapa detik Rei berhasil
menjatuhkan orang itu dan menghajarnya habis-habisan.
"Rei berhenti!"segera
setelah kesadaranku kembali aku berteriak keras memperingatkannya.
Tinjunya membeku tepat di depan wajah pria tadi yang sudah berlumuran
darah. Dada Rei naik turun karna emosinya, dari samping aku bisa melihat
tatapan matanya yang mengerikan. Belum pernah kulihat yang seperti ini,
bahkan lebih menakutkan daripada saat dia marah padaku. Ini jenis
tatapan kebencian yang kelam, kakiku bahkan hampir lemas hanya dengan
melihat pandangan seperti itu.
Rei berdiri dan
menormalkan tarikan nafasnya sambil memejamkan matanya. Pria di bawahnya
tampak tak bisa lagi melawan, ia mengerang kesakitan tanpa bisa berbuat
apa-apa. Aku bergerak mendekat tapi yang dilakukan Rei selanjutnya
membuatku terbelalak dan kakiku membeku di tempatnya.
Ia merogoh saku dalam
jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda yang hampir membunuhku saat-saat
awal aku tinggal di rumah Rei. Sebuah revolver. Kini dia tidak
mengarahkannya padaku, tidak sedang bangun tidur atau tidak demam. Ia
benar-benar sadar menggunakan senjata itu dan bersiap menarik
pelatuknya. Nafasnya sudah lebih tenang tapi tatapannya masih mematikan.
"Kau gila.. RAIHAN HENTIKAN!!"
Wajah Rei berpaling
padaku dengan senjata yang masih tertodong ke arah pria yang terbaring
di bawahnya. Sepertinya ia tak sadar bahwa ada pistol yang ditodongkan
padanya, ia sudah hampir tak sadar. Aku kembali mendekat ke arah Rei
yang masih menatapku dengan matanya yang kelam.
"Jangan lakukan. Kau bisa membunuhnya."
"If i don't kill him, he will hurt you." Ucapnya sambil kembali memandangi pria yang terkapar itu.
"No, he can not. Look at
me.." aku menarik lengan Rei agar ia menghadapku. Itu membuatnya
menurunkan senjatanya. "I'm fine, okey? You've saved me and given him
punch. Please, we can go home now.." bujukanku membuahkan hasil, Rei
menyimpan kembali revolvernya. Sedikit bisa bernafas lega saat
tatapannya mulai melembut.
Ia mengambil tanganku
dan menarikku ke dalam pelukannya. "Kamu nggak papa?" seharusnya aku
yang menanyakan itu, dan lagi aku sudah mengatakannya tadi bahwa aku
baik-bak saja. Sebagai jawabannya aku hanya mengangguk.
"Kita pergi." Ucap Rei pada akhirnya, menuntunku berbalik dan meninggalkan pria tadi.
"Kita pergi." Ucap Rei pada akhirnya, menuntunku berbalik dan meninggalkan pria tadi.
Entah bagaimana akhirnya
aku berhasil mengemudi sampai rumah dengan selamat, tidak kehilangan
anggota tubuh atau apa. Fiuh.. benar-benar baru bisa bernafas lega. Tadi
Rei sempat meminta kunci mobil, tapi tak kuberikan. Firasatku
mengatakan kalau dia bakal mengemudi dengan gila-gilaan. Maaf saja tapi
aku masih sayang nyawa jadi tak kuberikan.
Sekitar jam sembilan
kami tiba dan mengangkut makan malam kami ke dalam rumah. Sepertinya
kami akan kurang berselera makan setelah kejadian barusan. Huh.. padahal
semua makanan yang telah kami beli seharusnya terlihat sangat
menggiurkan.
Segera kusiapkan makanan
di atas meja. Sate iga, bubur kacang hijau, es camcau, getuk trio. Rei
mendekat ke meja makan. Aku melihat ia memegang suatu barang yang masuk
dalam daftar benda yang kubenci.
Kurebut botol minuman di
tangannya dan menggantinya dengan segelas wedang jahe panas. Untung pas
belanja kemaren aku sempet nyerobot wedang jahe instan. Wajah Rei
sedikit protes saat kurebut minuman itu dari tangannya, aku segera balik
memelototinya sebelum mulutnya mengatakan apapaun.
Kubuang isi minimunan itu ke wastafel dan botolnya ke bak sampah. Selama dia bersamaku tak ada yang namanya alkohol!
"Panas jahe lebih baik
dari alkohol." Nasehatku mengalihkan tatapan kosongnya pada minuman yang
tadi kuserahkan padanya. "Kemarikan tanganmu." Aku tau tangannya
sedikit lecet karna menolongku tadi. Dia masih tak bergeming, dengan tak
sabar aku menarik tangan kanannya dan membersihkannya dengan alkohol.
Rei sedikit mengernyit saat aku meneteskan obat merah pada lukanya. Ia
meraih wedang jahenya dan menyesapnya sedikit. "Bagaimana?"
"Apanya? Minuman ini atau tanganku?"
"Keduanya."
"Lumayan."
Ok, satu pertanyaan dan
jawaban yang menggambarkan keduanya. Kami akhirnya makan dalam diam.
Cacing di perutku yang dari tadi sudah menyanyi bak M. Shadow dengan a
little piece of heaven nya berteriak kencang meminta jatah malamnya
akhirnya terpuaskan. Sementara aku sebenarnya kurang berselera namun
tetap harus menelan sate iga yang sebenarnya cukup, sangat, enak demi
memenuhi demo perutku.
Selesai makanpun kami
masih bungkam. Ada puluhan pertanyaan yang rasanya ingin keluar dari
mulutku, namun hanya bisa berjejal tanpa bisa keluar kandang. Mulai dari
kenapa dia bisa begitu kejam tadi, bahkan hampir membunuhnya kalau tak
kuhentikan? Kenapa ia membawa senjata? Apa dia selalu membawanya? Apa
dia punya ijin?
Semua pertanyaan tadi terurung saat melihat wajah lelahnya. Sudahlah, toh besok lagi masih ada waktu. Waktu yang tepat.
.
.
.
.
.
.
Bebek peking dari
pembelian semalam yang belum tersentuh kuhangatkan di microwave. Sarapan
kali ini aku hanya menanak nasi, sisa belanja makanan semalam masih
ada. Moci yang kuinginkan pun belum sempat dimakan.
Jogging pagi ini hanya
mengeluarkan sedikit keringatku, cuman satu putaran komplek. Aku tak mau
terlalu lelah karna rencananya aku dan Rei nanti akan ke pantai. Dan
bisa kupastikan akan banyak aktifitas yang menguras tenaga. Menyisir
pantai, berenang, snorkling dan sebagainya. Jadilah aku segera ke dapur
menyiapkan sarapan dengan masih memakai bassball cap nangkring di kepala
dan sebelah headset tersumpal di telinga kiriku mengumandangkan suara
seksinya Meghan Trainor.
"Yeah, my mama she told me 'don't worry about your size'
Woa woa
She says, 'Boys like a little more booty too hold at night'
That booty uh.. that booty booty
You know i won't be no stick figure sillicone barbie doll
So if you what you're into, the go 'head and move along.."
Woa woa
She says, 'Boys like a little more booty too hold at night'
That booty uh.. that booty booty
You know i won't be no stick figure sillicone barbie doll
So if you what you're into, the go 'head and move along.."
Tanpa sadar pinggulku mengikuti irama dari lagu yang kudengar. Bergerak ke kiri dan ke kanan sambil mengupas melon.
"Because you know i'm all about that bass
Bout that bass, no treble
Na..na..na..na..na,,"
Bout that bass, no treble
Na..na..na..na..na,,"
Mulutku terus
bersenandung sambil mengangguk-anggukan kepala. Hingga sebuah tangan
melepas paksa topiku dan membuat rambut yang terikat di lubang topi
terurai berantakan.
"Sialaan kau!"
"Kau mau olahraga atau masak?" Rei mempertanyakan penampilanku yang bertolak belakang dengan kegiatan yang sedang kulakukan.
"Habis muter satu blok, ini lagi nyiapin makan." Aku kembali ke melonku lagi.
"Kau denger apa sih?" ia
melepas ujung headset dari ponselku dan suara Meghan dengan lagunya
yang hampir habis ter loud kan. "Punya siapa?"
"Meghan Trainor." Aku
menyentuh tombol previous sebelum ponselku memperdengarkan terlalu jauh
love me like you do nya Ellie Goulding dan suara Meghan Trainor kembali
menggema.
"Aku lebih suka yang
barusan.." kali ini kusentuh tombol next. Dan ia melakukan kebiasannya
lagi, memelukku dari belakang, membenamkan kepalanya pada rambutku
hingga hidungnya menyentuh tengkukku.
Aku baru menyadari lagu si Goulding ini soundtrack dari film yang err... mengandung inti yang cukup dalam. Plakk!
Awalnya Rei memberikan
kecupan-kecupan ringan di leherku sebelum lidah dan giginya menjelajah
lebih jauh. Membuatku menggeliat resah. Aku segera menghentikannya
dengan sebuah ancaman. "Berhenti atau kau tak akan menyadari bahwa
tubuhmu kumutilasi sebelum sempat jadi Mr. Grey. Pisauku memang tak
setajam punya Jason Voorhees, tapi cukup kuat memotong ke sepuluh jarimu
Sir."
"Kau dan pisau selalu membuatku takut. Awas saja." Omelnya.
Kuserukkann sepotong
melon ke dalam mulutnya agar bungkam. Ia menelannya dengan susah payah,
haha.. karna dia kuberikan potongan yang cukup besar.
"Segera bersiap Mrs.
Husain." Perintahnya. Huh! Siapa yang seharusnya disuruh bersiap, ia
masih memakai piyama dan jubah tidurnya. Ia memberikku kecupan singkat
sebelum meninggalkan dapur. Aku menjilat bibirku, sisa sari melon di
bibirnya terasa manis dan segar.
.
TBC
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 46"
Post a Comment