Aku mengintip dari jendela kecil di bagian pintu kamar, melihat dia yang terbaring lemah di ranjang putih dengan selimut hijau muda membungkus badannya. Ada seorang dokter dengan dua perawat di belakangnya sedang memeriksanya. Aku ragu untuk masuk, dan menanyakan keadannya. Lebih baik aku dokter itu menyelesaikan pekerjaannya.
"Dokter, bisakah saya minta waktu sebentar?" kuhentikan langkah dokter itu saat berjalan di lorong.
Dokter itu menoleh ke
salah satu perawat. "Anda sudah memiliki pasien untuk dikunjunggi lagi
dok." Si perawat itu memeriksa clipboard di tangannya dan memberitahu
dokter muda dengan name tag nama Bara itu bahwa ia sudah selesai
memeriksa pasien.
"Mari ke ruanganku." Aku mengekor dokter Bara sementara dua suster yang tadi di belakangnya sudah pergi entah kemana.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter Bara sesampainya di ruang berukuran 4x6 meter dengan satu set meja kursi serta rak yang penuh buku yang kuyakin seumur hidup tak bakal kupahami isinya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter Bara sesampainya di ruang berukuran 4x6 meter dengan satu set meja kursi serta rak yang penuh buku yang kuyakin seumur hidup tak bakal kupahami isinya.
"Saya ingin mengetahui keadaan pasien yang bernama Bapak Kamaluddin." Tanyaku tanpa basa basi.
"Maaf tapi saya tidak_"
"Saya anaknya dok.." aku tahu dokter itu tak mau membeberkan informasi pasien pada orang asing.
"Oh.." dokter Bara agak
terkejut dan membenarkan letak kacamatanya. "Ayah anda mengalami gejala
stroke ringan." Stroke? "Menurut catatan medis dari rumah sakit
sebelumnya, ayah anda pernah mengalami serangan jantung sekitar setahun
yang lalu. Itu salah satu penyebab yang memungkinkan penyakit ini." Ayah
mengalami serangan jantung beberapa hari setelah ibu meninggal. Kukira
aku akan kehilangan ayah juga waktu itu..
"Apa.. apakah parah?"
"Untungnya cepat di bawa
ke rumah sakit, jadi kami bisa mengurangi resiko kecacatannya. Setelah
ini, ayah anda bisa melakukan fisioterapi untuk memulihkan kondisi
badannya. Dia tidak boleh terlalu capek dan stress. Anggota keluarga
harus mendampinginya dalam masa pemulihan, serta memberinya dorongan
semangat." Aku hanya mengangguk kecil sambil masih mencerna kata-kata
dokter Bara. Ya Tuhan.. apa yang harus aku lakukan?
Aku kembali menengok ke
kamar ayah. Tak ada siapapun di dalam selain ayah yang tidur. Wajahnya
menampakkan gurat kelelahan bahkan dalam tidurnya. Kenapa wanita sialan
itu tak ada disini menemani ayah? Benar-benar jalang keparat.. kemana
sih dia? Seharusnya dia ada disini merawat ayah.
Aku duduk di salah satu
bangku yang berderet sepanjang lorong kamar. Masih bingung langkah apa
yang harus kuambil. Apa aku akan membiarkan ayah sendirian. Tapi bahkan
dia tak menginginkanku. Jika dia benar-benar menyayangiku dia tak akan
mengusirku hanya demi menuruti nenek sihir itu. Aku menunduk dan
memegangi kepala dengan kedua tanganku. Kenapa jadi rumit kayak gini sih
hidupku.
"Kereta telah menunggu.
Tuan putri bisa pulang kapanpun." Sejurus itu, Alex menyodoriku paper
glass yang penuh dengan kopi hangat. Aku menerimanya dan menyesap
sedikit. Rasa pahit langsung menyebar di mulutku. Aku memang kurang suka
minum kopi yang tanpa gula, tapi ini sedikit menyadarkanku dari
seliweran pikiran yang memenuhi otakku.
Alex menarik lenganku
dan menuntunku keluar rumah sakit. Aku menurut saja, aku sedang tak
ingin berdebat dengan siapapun. Dalam perjalanan ke rumah Rei kamipun
bungkam seribu bahasa, bahkan tak ada suara musik atau penyiar yang
terdengar. Aku sendiri lebih memilih menatap keluar jendela, mengamati
lalu lalang kendaraan yang saling berpacu mendahului. Sepertinya Alex
juga tenggelam dalam pikirannya sendiri, memandang lurus kedepan
berkonsentrasi dalam mengemudi.
Saat sampai di depan
rumah Rei. Ada sedikit kecanggungan padaku untuk menghadapi Alex.
"Emm.." aku mulai bergumam tak jelas. Biasanya aku tak begini. "Terima
kasih Alex.." Alex tersenyum miring lalu mendekat padaku. Sial.
Klik. "Kau bisa turun
sekarang princess." Ada nada geli dalam suara Alex. Ugh.. kenapa
jantungku kepacu gini gara-gara Alex, padahal dia hanya membukakan seat
belt.
"Good night Alex." Aku mengucapkan salam selamat tinggal dan beranjak dari mobilnya.
"Good night sweety."
Alex tersenyum lebar padaku lalu melajukan mobilnya. Aku memandangi
sampai mobil itu menghilang. Helaan nafas panjang keluar dari mulutku.
Saatnya menghadapi Rei. Kegugupanku semakin menjadi.
.
.
.
Rumah tampak sepi, bahkan lampu ruang depan telah dimatikan. Apa Rei sudah pergi tidur? Kalau begitu aku tak ada kesempatan bicara. Antara senang dan tak senang. Tapi harus kutuntaskan malam ini juga. Besok adalah waktu untuk presentasi proyekku, aku harus fokus pada satu titik dan mengabaikan semua hal yang membuatku goyah. Termasuk Rei.
.
.
.
Rumah tampak sepi, bahkan lampu ruang depan telah dimatikan. Apa Rei sudah pergi tidur? Kalau begitu aku tak ada kesempatan bicara. Antara senang dan tak senang. Tapi harus kutuntaskan malam ini juga. Besok adalah waktu untuk presentasi proyekku, aku harus fokus pada satu titik dan mengabaikan semua hal yang membuatku goyah. Termasuk Rei.
Seperti halnya ruang
depan, aku mendapati kamar dalam keadaan gelap, lampu tidurpun tak
menyala. Apa Rei belum pulang? Saklar lampu utama kunyalakan dan benar
saja dugaanku. Ranjang masih tampak rapi, kosong. Aku melirik jam di
nakas. Baru jam setengah sembilan sih, mungkin dia lembur atau pergi
keluar ke suatu tempat. Lebih baik aku membersihkan diri sambil berpikir
merangkai kata untuk kubicarakan dengan Rei nanti.
Setengah jam aku mandi
dan saat kembali kamar masih dalam keadaan kosong. Apa aku harus
bertanya padanya ya? Ponsel yang ada di meja rias segera kusambar.
Mati. Ya ampun, udah abis aja batrenya. Jangan heran, jaman sekarang
memang teknologi sangat mutakhir, super canggih. Cuman masalahnya pada
sumber tenaganya yang belum dimajukan. Masih sangat jarang ponsel dengan
embel-embel smart dapat bertahan selama 24 jam full saat digunakan
dengan sewajarnya. Paling cuman sampe 12 jam. Aku tak suka membawa power
bank kemana-mana. Hanya untuk keadaan darurat saja seperti pergi jauh
aku baru membawanya, kalau cuman ke kantor kan masih banyak tuh colokan
di ruanganku.
Tok tok
"Ya, masuk."
"Nak Viona, makan malam
sudah disiapkan." Bibi Ama muncul dan memberitahuku tentang makan malam.
Uh, yeah. Sebenarnya aku juga sudah lapar. Jam sembilan lebih sedikit
dan aku belum makan apa-apa sejak siang tadi. Cacing peliharaanku sudah
pada main tanjidor, memrotes untuk diberi makan.
"Baik bi. Saya akann
segera turun." Bibi Ama langsung undur diri. Lebih baik aku turun dulu
dan makan. Untuk saat ini mengisi perut jauh lebih penting dibandingkan
Rei.
Untuk makan malam
biasanya memang aku yang buat, tapi kalau aku pulang lebih dari jam
tujuh malam bibi Ama yang akan menggantikanku memasak. Malam ini walau
perutku meronta, aku agaknya sedikit tak bernafsu. Hanya menghabiskan
sedikit sup dan sepotong paha ayam goreng lalu melarikan segelas susu
dan kue jahe untuk menemaniku berlatih presentasi.
Hingga hampir pukul
setengah sebelas malam Rei belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku
berlatih presentasi sampai sampai mulutku seperti berbusa. Tidak. Aku
tidak bisa menunggunya lebih lama lagi. Dan pula, jika nanti pulang dan
berbicara serta teradi perdebatan, itu pasti akan lama dan melelahkan.
Besok aku harus dalam keadaan paling fit. Jiwa dan raga. Harus tampak
segar, bukan mata yang menghitam dan berkantung jika mau proyekku
berhasil.
Aku naik dan pergi ke
kamar, mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Sekilas pikiran
aneh menyambangiku. Apa yang dilakukan Rei sampai selarut ini di luar?
Ugh.. bukan urusanku kali. Apa dia menemeui seseorang? Seorang wanita?
Apa karna dia tak bisa melampiaskan semalam dia jadi.. oh.. ya ampun..
enyahlah kau pikiran-pikiran negatif !!
Sekarang waktunya tidur
Viona. Besok kau akan jadi pemeran utama. Harus tampil meyakinkan.
Hilangkan semua hal yang mengganggu pikiranmu, mau itu hal penting atau
tidak. Besok hanya akan ada satu titik untuk kau fokuskan.
.
.
.
.
.
Seperti biasa Viona
terbangun karna bunyi alarm dari ponselnya. Ia melirik pada tempat
kosong di ranjangnya. Rei sama sekali tak pulang semalam. Berbagai
bayangan tentang rei bergejolak di benak Viona. Tapi dengan segera ia
mengenyahkannya. Dia segera membersihkan diri, lari, memasak dan bersiap
diri. Ia tak mau terintimidasi dengan ketidak pulangan Rei, sakitnya
ayahnya atau apapun. Untuk hari ini saja, sampai jam dua belas nanti
siang. Ia akan menjadi manusia yang tak akan perduli pada apapun di
sekitarnya untuk beberapa jam kedepan.
Viona bahkan telah
memesan taxi pagi-pagi sekali. Ia tak mau terlambat meski jadwal
presentasinya jam 10. Ia menarik oksigen banyak-banyak ke dalam
paru-parunya. Dia menghitung dari satu sampai sepuluh lalu melangkahkan
kakinya keluar rumah.
Tak sampai dua puluh
menit Viona tiba di kantor. Sudah ada beberapa karyawan yang lalu layang
dan menunggu lift turun. Aku pun ikut berbaur menunggu lift yang akan
mengantarku ke lantai sembilan. Sembilan sudah mulai penuh dengan staff
marketing, ternyata bukan hanya Viona yang antusias dengan hari ini.
Bahkan Gio saja sudah datang, menyambutnya dengan senyum lebar.
Sapaan-sapaan hangat menyerbu Viona, ia membalas dengan senyuman tipis
seperti biasanya.
"Good morning Mrs. Husain, are you ready for today?"
"Tak pernah lebih siap dari ini Gi."
Walau Gio tampak ceria,
dia sebenarnya gugup. Begitu juga Viona, meski dia terlihat percaya
diri, jauh di dasar hatinya ada sedikit ketakutan dan kekhawatiran. Tapi
itu semua tak akan menghalanginya untuk hari ini.
Sebelum jam sepuluh,
Viona dan team nya telah mempersiapkan ruang rapat di lantai paling atas
Orrion. Viona betul-betul memperhatikan detail penempatan minuman,
pena, serta berkas yang di letakkan di meja bundar tempan para dewan
direksi yang nanti akan dihadapinya. Proyeltor telah diturunkan dan
dinyalakan menghadap ke layar besar di samping podium.
Viona memandangi podium
yang berdiri gagah menghadap ke meja bundar. Ia pernah sesekali
menyelinap ke ruang ini dan berlatih di podium itu dengan Rei yang
menemaninya. Sekilas pikiran tentang Rei muncul kembali. Tapi
cepat-cepat Viona melenyapkannya. Toh dia akan bertemu saat presentasi
sebentar lagi.
Tak berapa lama, Viona
mendengar derap-derap langkah tegas dari luar ruangan. Ini saatnya,
sudah tiba waktuny. Ia menarik napas kuat-kuat. Menyiapkan senyum
profesionalnya. Pintu telah dibuka lebar dan wajah pertama yang nampak
adalah milik Pak Salim. Viona melempar senyumnya agak lebar, dibalas
dengan senyum yang sama pula. Lalu rekahan bibirnya lenyap seketika saat
melihat seseorang di belakang Pak Salim. Serasa ada tonjokan kuat di
perutnya. Rasanya ia tak mempercayai indra penglihatannya.
.
.
TBC
.
.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 39"
Post a Comment